Kabupaten Pasuruan Komparasi Disparitas Produktivitas Relatif

VI. FAKTOR DETERMINAN TERHADAP TRANSFORMASI TENAGA KERJA PERTANIAN

6.1. Estimasi Parameter Transformasi Tenaga Kerja

Dari hasil penelitian dari 33 kabupatenkota di Jawa, di dapatkan data bahwa tidak satupun dari kabupatenkota ini mempunyai industri dominan yang padat teknologi. Hasil perhitungan nilai-nilai berbagai variabel dapat dilihat pada Lampiran 8. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ordinary Least Square OLS. Pengolahan data menggunakan Minitab 15. Estimasi persamaan regresi linier berganda yang dihasilkan adalah: IT i =-69,3+ 16,5IK i + 0,00254ID i + 4,43IP i + 20,1D mi +188D tk Nilai koefisien, standar error dan Statistik-t selengkapnya dapat dilihat di dan hasil analisis variannya disajikan pada Tabel 19 berikut. Tabel 19. Hasil Estimasi Model Persamaan Transformasi Tenaga Kerja Variabel Koefisien Standar Error Statistik - t Probabilitas Konstanta -69,34 26,72 -2,59 0,015 IK 16,522 14,18 1,17 0,254 ID 0,002538 0,003262 0,78 0,443 IP 4,431 1,427 3,11 0,004 Dmi 20,06 29,43 0,68 0,501 Dtk 187,67 33,35 5,63 0,000 S 0,514329 R-Sq R 2 75,4 Adjusted R-Sq 70,8 Source DF SS MS F P Regression 5 21,8851 4,3770 16,55 0,000 Residual Error 27 7,1424 0,2645 Total 32 29,0276 Pada penelitian ini nilai R 2 ditunjukkan oleh adjusted R-sq yang bernilai 70,8. Model dapat menjelaskan hubungan antara variabel-variabel bebas dengan variabel tak bebasnya sebesar 70,8. Masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi laju transformasi tenaga kerja seperti investasi, dinamika harga produk-produk pertanian, tingkat upah, infrastruktur, dan kebijakan pemerintah. Dari nilai F-statistik, dapat disimpulkan bahwa transformasi tenaga kerja minimal dipengaruhi oleh laju konversi, ketimpangan produktivitas relatif, tingkat partisipasi pendidikan angkatan kerja serta jenis industrialisasi dengan kemungkinan kesalahan model persamaan sangat kecil, tidak melebihi batas taraf nyata 0,05.

6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Transformasi Tenaga Kerja

Pengujian koefisien regresi secara individu menunjukkan bahwa hanya varibel indeks pendidikan IP yang mempunyai pengaruh signifikan secara statistik terhadap transformasi tenaga kerja dan terdapat perbedaan rata-rata indeks transformasi tenaga kerja berdasarkan tipologi industri. Bila dilihat dari nilai probalilitasnya, nilai probabilitas yang lebih kecil dari taraf nyata adalah partisipasi pendidikan dan jenis industrialisasi padat tenaga kerja. Sedangkan nilai probabilitas variabel-variabel lainnya seperti indeks konversi, indeks disparitas, dan tipologi industri padat modal lebih besar dari pada taraf nyata. Dari model persamaan tersebut, implikasinya adalah dengan laju konversi, disparitas antara produktivitas relatif industri dan produktivitas relatif pertanian yang tetap serta tipologi industri yang sama, kenaikan satu persen tingkat pendidikan SMU atau yang sederajat dari angkatan kerja di suatu wilayah, akan dihasilkan penambahan transformasi tenaga kerja sebesar 4,43 persen. Analisa tipologi industri dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan rata-rata laju transformasi tenaga kerja berdasarkan tipologi industri. Perbedaan terjadi antara industri yang padat sumber daya alam, padat tenaga kerja dan industri padat modal. Pada indeks konversi, disparitas, dan pendidikan tetap, transformasi tenaga kerja pada tipologi industri yang padat modal rata-rata lebih tinggi 20,1 dibanding transformasi tenaga kerja pada tipologi industri padat sumber daya alam. Pada indeks konversi, disparitas, dan pendidikan tetap, transformasi tenaga kerja pada tipologi industri yang padat tenaga kerja rata-rata lebih tinggi 188 dibanding transformasi tenaga kerja pada tipologi industri padat sumber daya alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju konversi tidak berpengaruh signifikan terhadap laju transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Hal ini menunjukkan bahwa dengan berkurangnya kepemilikan lahan sawah oleh petani tidak sepenuhnya mendorong perpindahan mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor industri. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti: i Dengan berkurangnya atau tanpa kepemilikan lahan, transformasi tenaga kerja tidak hanya berlangsung dari sektor pertanian ke sektor industri, namun mungkin saja berlangsung dari sektor pertanian ke sektor jasa, ii Selain petani padi yang mengelola lahan sawah, tenaga kerja pertanian dalam penelitian ini memiliki cakupan lebih luas, yaitu mencakup peternak, petani perkebunan, hortikultura serta pelaku usaha perikanan. Sehingga tidak seluruh petani akan mengalami pengurangan faktor produksi akibat terjadinya konversi lahan. Petani selain tanaman padi sawah, relatif tidak menanggung dampak dari konversi lahan sawah, sehingga konversi lahan sawah bukan menjadi alasan bagi petani perkebunan, hortikultura, peternak dan pelaku usaha perikanan untuk berpindah pekerjaan ke sektor industri, iii Terkait dengan relatif rendahnya produktivitas sektor pertanian, walaupun tidak terjadi konversi, kepemilikan lahan sawah yang pada umumnya relatif kecil juga mendorong petani untuk mencari sumber pendapatan lain karena pendapatan yang didapatkan dari usaha padi sawah yang dimiliki belum dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Misalnya petani yang juga menjadi tukang ojek untuk mendapatkan pendapatan tambahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar petani yang memiliki lahan sawah sempit telah berada pada transisi ke sektor non-pertanian yang dimulai dari sektor informal. Disparitas atau ketimpangan produktivitas relatif antara sektor industri dan pertanian tidak semata-mata menyebabkan transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Disparitas produktivitas relatif secara sekilas memang menggambarkan tingkat perbandingan antara pendapatan tenaga kerja di sektor industri dengan tenaga kerja di sektor pertanian. Disparitas yang tinggi dapat memotivasi tenaga kerja di sektor pertanian untuk berpindah ke sektor industri, namun transformasi tenaga kerja ke sektor industri ini menemui beberapa hambatan dalam hal kualifikasi dan daya serap industri. Beberapa industri menghasilkan output yang relatif besar hanya dengan memperkerjakan sedikit tenaga kerja. Dari sisi pemerataan, disparitas yang tinggi bukan berarti pendapatan