jasa industri pengolahan. Industri pengolahan ini mencakup Usaha Kecil Menengah UKM dan industri besar.
Struktur ketenagakerjaan didasarkan pada banyaknya orang yang bekerja di sektor pertanian dan industri pengolahan yang akan dianalisa tentang hubungan
antara kemampuan sektor dalam menyumbang PDRB dan kemampuannya menyerap tenaga kerja. Transformasi atau perpindahan tenaga kerja mengacu
pada perpindahan pekerjaan utama, tidak mencakup perpindahan yang bersifat sementara seperti musiman atau sirkuler. Migrasi tenaga kerja dari luar tidak
secara khusus menjadi salah satu faktor yang dianalisis dengan pertimbangan migrasi tenaga kerja bukan hanya mengarah ke sektor industri tetapi juga
mengarah ke sektor jasa. Selain itu, jumlah tenaga kerja yang bermigasi dari luar yang bersifat menambah jumlah tenaga kerja lokal sudah tercakup dalam jumlah
tenaga kerja total di sektor industri dan pertaian. Skala industri dibedakan berdasarkan klasifikasi BPS yang membedakan
skala industri berdasarkan jumlah tenaga kerja yaitu 1 industri rumah tangga dengan jumlah tenaga kerja sampai dengan empat orang, 2 industri kecil yang
memiliki tenaga kerja 5 sampai 20 orang, 3 industri sedang dengan tenaga kerja berjumlah 21 sampai 99 orang, dan 4 industri besar yang memperkerjakan 100
orang atau lebih. Keterbatasan lain pada penelitian ini adalah penggunaan data sekunder yang
agregatif tidak merinci perwilayahan sampai tingkat desa, jenis kelamin, status pekerjaan, jenis komoditi dan besarnya aset perusahaan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Proses dan Dampak Konversi Lahan Sawah
Konversi lahan pertanian cenderung terjadi pada lahan yang produktivitasnya tinggi seperti lahan sawah beririgasi. Kecenderungan demikian
sangat tidak menguntungkan bagi pengadaan pangan dan kesempatan kerja di perdesaan. Ada dua faktor utama yang menjadi penyebabnya Irawan et al., 2002.
Pertama, ketersediaan infrastruktur ekonomi merupakan faktor posistif dominan yang berpengaruh terhadap preferensi investor dalam memilih lahan yang akan
dibangun untuk kegiatan non-pertanian. Infrastruktur tersebut pada umumnya lebih tersedia di daerah pertanian yang sudah berkembang akibat pembangunan
masa lalu. Konsekuensinya adalah permintaan lahan cenderung lebih tinggi di daerah pertanian yang sudah berkembang, terutama yang berdekatan dengan
sasaran konsumen seperti di daerah pinggiran kota. Kedua, perlindungan pemerintah terhadap lahan pertanian produktif relatif lemah akibat penilaian pasar
terhadap pasar pertanian yang cenderung under-estimate. Lahan pertanian dianggap hanya menghasilkan komoditas yang berharga murah dan bernilai
tambah rendah. Dalam perhitungan ekonomi makropun persepsi demikian sangat dominan sehingga pertumbuhan ekonomi yang direfleksikan dalam pertumbuhan
GDP hanya diukur dari nilai produksi pertanian secara fisik, padahal lahan pertanian memiliki multifungsi yang sangat luas secara lingkungan dan sosial.
Persepsi demikian pula yang menyebabkan konversi lahan pertanian seringkali berlangsung dengan dukungan birokrasi daerah dengan alasan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi meskipun kadangkala alasan individual lebih dominan. Menurut Isa 2007, faktor-faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan
pertanian menjadi non-pertanian antara lain adalah: 1. Faktor kependudukan: pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah
meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, peningkatan taraf hidup mayarakat