II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Proses dan Dampak Konversi Lahan Sawah
Konversi lahan pertanian cenderung terjadi pada lahan yang produktivitasnya tinggi seperti lahan sawah beririgasi. Kecenderungan demikian
sangat tidak menguntungkan bagi pengadaan pangan dan kesempatan kerja di perdesaan. Ada dua faktor utama yang menjadi penyebabnya Irawan et al., 2002.
Pertama, ketersediaan infrastruktur ekonomi merupakan faktor posistif dominan yang berpengaruh terhadap preferensi investor dalam memilih lahan yang akan
dibangun untuk kegiatan non-pertanian. Infrastruktur tersebut pada umumnya lebih tersedia di daerah pertanian yang sudah berkembang akibat pembangunan
masa lalu. Konsekuensinya adalah permintaan lahan cenderung lebih tinggi di daerah pertanian yang sudah berkembang, terutama yang berdekatan dengan
sasaran konsumen seperti di daerah pinggiran kota. Kedua, perlindungan pemerintah terhadap lahan pertanian produktif relatif lemah akibat penilaian pasar
terhadap pasar pertanian yang cenderung under-estimate. Lahan pertanian dianggap hanya menghasilkan komoditas yang berharga murah dan bernilai
tambah rendah. Dalam perhitungan ekonomi makropun persepsi demikian sangat dominan sehingga pertumbuhan ekonomi yang direfleksikan dalam pertumbuhan
GDP hanya diukur dari nilai produksi pertanian secara fisik, padahal lahan pertanian memiliki multifungsi yang sangat luas secara lingkungan dan sosial.
Persepsi demikian pula yang menyebabkan konversi lahan pertanian seringkali berlangsung dengan dukungan birokrasi daerah dengan alasan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi meskipun kadangkala alasan individual lebih dominan. Menurut Isa 2007, faktor-faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan
pertanian menjadi non-pertanian antara lain adalah: 1. Faktor kependudukan: pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah
meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, peningkatan taraf hidup mayarakat
juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan akibat peningkatan intensitas kegiatan masyarakat, seperti lapangan golf, pusat
perbelanjaan, jalan tol, tempat rekreasi dan sarana lainnya. 2. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian antara lain pembangunan
real-estate, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan jasa-jasa lainnya yang memerlukan lahan yang luas, sebagian diantaranya berasal
dari lahan pertanian sawah. Hal ini dapat dimengerti mengingat lokasinya dipilih sedemikian rupa sehingga dekat dengan pengguna jasa
yang terkonsentrasi di perkotaan dan wilayah di sekitarnya sub-urban area. Lokasi sekitar kota, yang sebelumnya didominasi oleh
penggunaan lahan pertanian, menjadi sasaran pengembangan kegiatan non-pertanian, mengingat harganya yang relatif murah serta telah
dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang seperti jalan raya, listrik, telepon, air bersih, dan fasilitas lainnya. Selain itu, terdapat
keberadaan “sawah kejepit”, yaitu sawah–sawah yang tidak terlalu luas karena daerah sekitarnya telah beralih menjadi perumahan atau kawasan
industri, sehingga petani pada lahan tersebut mengalami kesulitan untuk mendapatkan air, tenaga kerja dan sarana produksi lainnya, yang
mendorong mereka untuk mengalihkan atau menjual tanahnya. 3. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas
sektor non-pertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk berusaha tani disebabkan oleh tingginya biaya produksi,
sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang terdesak oleh
kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya pendidikan, mencari pekerjaan non-pertanian atau lainnya, seringkali membuat
petani tidak mempunyai pilihan selain menjual sebagian lahan pertaniannya.
4. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak
memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
5. Degradasi lingkungan, antara lain kemarau panjang yang menimbulkan kekurangan air untuk pertanian, terutama sawah;penggunaan pupuk dan
pestisida secara berlebihan yang berdampak pada peningkatan serangan hama serta pencemaran air irigasi, serta rusaknya lingkungan sawah
sekitar pantai yang antara lain berupa intrusi air laut ke daratan yang meracuni tanaman padi.
6. Otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor yang menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi guna meningkatkan
PAD dan kurang memperhatikan keuntungan jangka panjang dan nasional. Hal ini tercermin dari RTRW yang cenderung mendorong
konversi tanah pertanian untuk non-pertanian. 7. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari
peraturan-peraturan yang ada. Selanjutnya, Irawan 2008 menyatakan bahwa konversi lahan pertanian
umumnya merupakan suatu proses bersifat progresif secara kuantitas dan spasial. Hal ini terjadi akibat adanya gejala epidermis menular pada proses konversi
lahan tersebut. Konversi lahan yang terjadi di suatu lokasi cenderung merangsang konversi lahan di sekitarnya. Gejala ini disebabkan oleh dua faktor yang saling
terkait. Pertama, sejalan dengan pembangunan suatu kawasan perumahan atau industri di lokasi lahan yang dikonversi dengan aksesibilitas di lokasi tersebut
semakin baik akibat berkembangnya saranaprasarana transportasi. Peningkatan aksesibilitas selanjutnya memacu permintaan lahan investor lain atau spekulan
tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, meningkatnya harga lahan yang selanjutnya mendorong petani untuk menjual lahannya. Sebagian dana
penjualan tersebut biasanya digunakan untuk membeli lahan dengan harga yang lebih murah yang biasanya makin menjauhi daerah perkotaan.
Konversi lahan sawah di Jawa terus meningkat Ilham, N., Y. Syaukat. dan Friyatno, 2004.Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Tabel 4, dapat
disimpulkan bahwa laju konversi lahan sawah per tahun di Pulau Jawa meningkat lebih dari enam kali lipat pada tahun 2000 dibandingkan tahun 1979.
Tabel 4. Perkembangan Luas Konversi Lahan Sawah Netto di Jawa, 1979
– 2000 Uraian
Konversi Lahan Sawah Netto ha 1979-1984 1985-1990 1991-1996
1997-2000 Total
41 736 37 631
142 626 186 813
Rataan per tahun 6 959
6 272 23 771
46 703 Sumber: BPS, Luas Lahan Menurut Penggunaannya, Tahun 1978-2000
diolah. Lebih lanjut, Irawan 2008 menyatakan bahwa selama tahun 2000-2002, di
Pulau Jawa, konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian terutama dialokasikan untuk pembangunan perumahan dengan pangsa sebesar 74,96,
posisi kedua untuk industri sebesar 12,27, selanjutnya untuk perkantoran sebesar 7,84 dan untuk kegiatan dan sarana publik lainnya sebesar 4,93.
Pada tahun 2003, sebagian besar produksi gabah, yaitu 48,76 juta ton 94,86 diproduksi dari lahan sawah dan hanya 2,64 juta ton5,14 berasal dari
lahan kering. Produksi gabah tersebut dipengaruhi oleh tingkat produktivitas, dalam hal ini ditentukan oleh teknologi dan luas lahan Ilham et al., 2004.
Hasil analisis dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi dapat dihitung dengan asumsi dampak yang bersifat temporer dan asumsi dampak
kumulatif. Bila dihitung berdasarkan asumsi dampak yang bersifat temporer, konversi lahan sawah yang terjadi antara tahun 2000-2002 hanya menyebabkan
kehilangan peluang produksi padi sawah rata-rata sebesar 1,19 juta ton per tahun atau 2,46 dari produksi padi sawah per tahun. Sedangkan jika digunakan asumsi
dampak yang bersifat permanen asumsi ini lebih realistis, maka peluang produksi padi yang hilang tersebut rata-rata 2,41 juta ton per tahun atau 4,97
Irawan, 2008. Volume produksi yang hilang akibat konversi lahan sawah ditentukan oleh
pola tanam yang diterapkan di lahan sawah yang belum dikonversi, produktivitas usahatani masing-masing komoditi dari pola tanam yang diterapkan, dan luas
lahan sawah yang terkonversi. Irawan dan Friyatno 2002 memformulasikan rumus dasar kehilangan produksi akibat konversi pada tahun ke-t di wilayah ke-i
sebagai berikut: Q
ti
= L
ti
. I
ti
. Y
ti
dimana: