Persamaan Ekonometrika Metode Analisis Data 1. Analisis Spasial

ditolak, yang berarti asumsi koefisien intersep dan slope adalah sama tidak berlaku, sehingga metode FEM lebih baik daripada PLS Juanda, B. dan Junaidi, 2012. Untuk mengetahui apakah metode REM lebih baik dibandingkan PLS, dapat digunakan uji Langrange Multiplier LM yang didasarkan pada nilai residual dari model PLS. Hipotesis nol H yang digunakan adalah intersep bukan merupakan peubah random atau stokastik. Adapun nilai statistik LM dihitung berdasarkan formula sebagai berikut: 2 1 1 2 1 1 1 1 2                           T t n i it T t n i e T nT LM ........................................................................ 17 dimana n adalah jumlah individu, T merupakan jumlah periode waktu, dan e it adalah residual metode PLS. Uji LM ini didasarkan pada distribusi chi-square dengan derajat bebas sebesar 1. Jika hasil statistik LM lebih besar dari nilai kritis statistik chi-square, maka hipotesis nol akan ditolak yang berarti bahwa metode REM lebih baik Juanda, B. dan Junaidi, 2012. Selanjutnya, Juanda, B. dan Junaidi 2012 juga menjelaskan bahwa untuk mengetahui apakah model FEM lebih baik daripada REM dapat digunakan uji Hausman. Dengan mengikuti kriteria Wald, nilai statistik Hausman ini akan mengikuti distribusi chi-square sebagai berikut:            GLS GLS K W      ˆ ˆ ˆ , ˆ 1 2 ............................................................. 18 Statistik uji Hausman ini mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas p. Hipotesis nol ditolak jika nilai statistik Hausman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-square. Hal ini berarti bahwa model yang tepat untuk regresi data panel adalah model FEM. Persamaan ekonometrik yang kedua digunakan untuk menduga beberapa faktor terkait dengan transformasi tenaga kerja adalah model regresi OLS dengan data cross-section tahun 2010. Persamaan ekonometrik menggunakan peubah atau variabel dummy, berupa tipologi industri suatu wilayah yang mendominasi terhadap PDRB sektor industri. Jumlah peubah dummy seharusnya disesuaikan dengan jumlah tipologi ini, namun, karena tidak satupun kabupatenkota di Pulau Jawa didominasi oleh industri padat teknologi, maka tipologi industri padat teknologi tidak diperhitungkan dalam persamaan ekonometrika. Tipologi ini digambarkan pada Tabel 7. berikut: Tabel 7. Tipologi Industrialisasi sebagai Variabel Dummy Jenis industri yang mendominasi di KabKota D 1 = D m D 2 = D tk Industri padat modal 1 Industri padat tenaga kerja 1 Industri padat sumber daya alam Adapun persamaan ekonometriknya adalah: IT i = β + β 1 IK i +β 2 ID i + β 3 IP i + β 4 I i Dengan : IT i = Indeks transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke non- pertanian di wilayah ke-i merupakan persentase kesempatan kerja sektor industri TKK industri dibanding kesempatan kerja sektor petanian TKK pertanian . 100 TKK TKK pertanian i industri i x IT i  IK i = Indeks konversi lahan di wilayah ke-i yang merupakan persentase laju konversi lahan per tahun = laju konversi x 100 = 100 ax ID i = Indeks disparitas atau ketimpangan produktivitas relatif antara sektor pertanian dan sektor industri yang merupakan persentase produktivitas relatif sektor industri PR industri terhadap produktivitas relatif sektor pertanian PR pertanian . 100 PR PR pertanian i i industr i x ID i  IP i = Indeks pendidikan setingkat SMUdi wilayah ke-i merupakan perbandingan angkatan tenaga kerja yang lulus pendidikan minimal setingkat SMU dengan total angkatan kerja 100 kerja angkatan total SMU setingkat minimal pendidikan lulus yang kerja tenaga i i x IP i  I i = Jenis industri yang dominan yang menunjukkan jenis industri yang dominan menyumbang terhadap PDRB sektor industri Dengan memasukkan variabel dummy, maka persamaan menjadi IT i = β + β 1 IK i +β 2 ID i + β 3 IP i + β 4 D mi + β 5 D TKi dimana: D m,i = jika yang dominan di wilayah ke-i adalah industri padat modal D TKi = jika yang dominan di wilayah ke-i adalah industri padat tenaga kerja Estimasi model ekonometrika perlu diuji dengan beberapa pengujian seperti pengujian koefisien determinasi R 2 , uji-F dan uji-t statistik. Pengujian koefisien determinasi dilakukan untuk menentukan berapa persen model dapat menjelaskan variabel-variabel bebas yang dipakai, uji-F yang merupakan pengujian secara bersama-sama antara pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel tak bebas, dan uji-t statistik untuk menguji masing-masing variabel bebas Juanda, B., 2009. Koefisien determinasi Goodness of fit merupakan suatu ukuran dalam model regresi yang dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi yang diestimasi. Koefisien ini mencerminkan besarnya variasi dari variabel terikat yang dapat diterangkan oleh variabel bebas. Bila nilai R 2 = 0, maka variabel bebas sama sekali tidak dapat menerangkan variabel terikat. Bila R 2 = 1, maka variasi dari variabel terikat secara keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel bebas sehingga semua titik sampel berada pada garis regresi. Jenis pengujian lain yang dilakukan terhadap model persamaan adalah uji statistik F. Uji statistik F dilakukan untuk menguji pengaruh variabel-variabel bebas secara bersamaan. Di dalam uji statistik F dibandingkan antara nilai F yang dihasilkan atau F hitung dengan F tabel berdasarkan jumlah sample, jumlah derajat bebas db dan taraf nyata α yang digunakan F αdb regresi, db total . Jika F hitung F tabel , maka paling tidak ada satu variabel bebas yang signifikan secara statistik berpengaruh terhadap variabel tak bebas atau variabel terikat. jika F hitung F tabel , maka tidak satupun variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas secara statistik. Selanjutnya, model persamaan juga memperhatikan probabilitas statistik F. Apabila nilai probabilitas statistik F lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan kesalahan tidak melebihi batas taraf nyata. Setelah melakukan uji koefisien secara keseluruhan, maka koefisien regresi dihitung secara individu dengan menggunakan uji-t. Pengujian ini berfungsi untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing terhadap variabel tak bebas signifikan atau tidak. Perhitungan uji-t ini hampir sama dengan uji-F, yaitu dengan membandingkan nilai t yang dihasilkan t hitung dengan t tabel yang sesuai dengan taraf nyata dibagi dua α2 dan jumlah sampel dikurangi jumlah variabel bebasnya n-k. Jika t hitung t α2n-k , maka variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Sebaliknya bila t hitung t α2n-k , maka variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Bila dikaitkan dengan tujuan, maka hubungan antara tujuan, metode analisis dan jenis atau sumber data dapat dilihat pada Tabel 8. berikut. Tabel 8. Matriks Hubungan antara Tujuan, Metode Analisis dan Jenissumber Data Tujuan Metode Analisis Jenissumber Data 1. Mempelajari sebaran laju konversi lahan sawah di Pulau Jawa serta pengaruhnya terhadap transformasi tenaga kerja Analisa sebaran dengan Arc View Laju konversi rata-rata per tahun = IK i = a x100 , dengan a dihitung dari: n L L i ni a log log 10 1    Analisa transformasi tenaga kerja dinyatakan dengan 100 pertanian TKK industri TKK x IT i  Luas lahan berdasarkan penggunaannya di Jawa Tahun 1986-2009BPS Jumlah tenaga kerja sektor pertanian dan sektor industriBPS dan Dinas terkait 2. Mempelajari dinamika produksi padi terkait dengan laju konversi lahan sawah Menggunakan grafik linier dengan menambahkan trend perubahan Luas lahan berdasarkan penggunaannya di Jawa Tahun 1986-2009, luas panen produksiBPS 3. Menganalisis hubungan antara luas lahan sawah dengan PDRB dan jumlah penduduk Menggunakan fungsi persamaan regresi berganda L Kit = β 0tt + β 2 PDRBi it + β 1 PDK it -L it = luas lahan sawah d wilayah i pada tahun ke-t ha -PDRB it = PDRB total di wilayah i pada tahun ke-t milyar rupiah -PDK it = jumlah penduduk di wilayah i pada tahun ke-t orang Luas lahan berdasarkan penggunaannya di Jawa, jumlah penduduk, PDRB BPS 4. Mempelajari dinamika kesempatan kerja di sektor pertanian dan sektor industri Analisa kesempatan kerja suatu sektor dihitung dengan 100 orang kerja angkatan Jumlah orang bekerja yang penduduk Jumlah TKK x  Analisa produktivitas sektor menggunakan rumus: orang kerja tenaga Total Rp output Total    ti ti i TK PL Produktivitas relatifsuatu sektor dinyatakan dengan: total sektor total sektor ti ti ti ti i TK TK PDRB PDRB TK TK PR      100 , tan , x PR PR ID i ian per i industri i  Data PDRB dan jumlah tenaga kerja sektor pertanian dan sektor industriBPS dan Dinas terkait 5. Menganalisis faktor- faktor yang berpengaruh terhadap transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Menggunakan fungsi persamaan regresi berganda: = β + β 1 IK i + β 2 ID i + β 3 IP i + β 4 I i -IT i = indeks transformasi tenaga kerja -IK i = indeks atau laju konversi = Tingkat pendidikan tenaga kerja yang dihitung berdasarkan presentase angkatan kerja yang lulus SMU atau sederajat 100 kerja angkatan sederajat atau SMU lulus minimal TK IP i x    = Tipologiindustriyang outputnya dominan menjadi variabel dummy, yaitu: D mi = 1, dan D TKi = 0 untuk industri padat modal D mi = 0 dan D TKi = 1 untuk industri padat tenaga kerja D mi = 0 dan D TKi = 0 untuk industri padat sumber daya alam Jumlah angkatan kerja dan jumlah angkatan kerja yang lulus SMU BPS dan Dinas terkait Jumlah tenaga kerja sektor pertanian dan sektor industriBPS dan Dinas terkait Data output berbagai jenis industriBPS dan Dinas terkait,

IV. KONVERGENSI DAN FAKTOR DETERMINAN KONVERSI LAHAN SAWAH

4.1. Sebaran Laju Konversi Lahan Sawah di Pulau Jawa

Seperti yang telah disebutkan pada Bab I sebelumnya, Pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki luasan lahan sawah terbesar dan sekaligus mengalami konversi lahan sawah terbesar pula. Berdasarkan data BPS antara Tahun 1986 sampai 2010 secara umum telah terjadi penurunan luasan lahan sawah di Pulau Jawa seluas 206 849 ha atau sekitar 6 dari luas lahan sawah pada tahun 1986. Tabel 9 memperlihatkan perubahan luas lahan sawah di Pulau Jawa setiap empat tahun dalam rentang waktu antara tahun 1986 sampai 2010 berdasarkan data dari kabupatenkota yang ada. Dari data yang ditampilkan pada Tabel 9, terlihat bahwa setiap tahun di Pulau Jawa terjadi penurunan luas lahan sawah. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa konversi lahan sawah lebih besar dari pada pencetakan sawah baru. Konversi ini meliputi alih fungsi lahan sawah untuk kegiatan non-pertanian seperti kegiatan sektor industri ataupun jasa dan alih fungsi untuk kegiatan pertanian selain padi sawah seperti usaha perikanan, peternakan maupun perkebunan dan hortikultura. Pengurangan lahan sawah yang terjadi antara tahun 1994 sampai 1998 adalah yang terbesar dibanding tahun-tahun yang lain. Lonjakan penurunan ini dipengaruhi oleh terjadinya krisis ekonomi yang terjadi sekitar tahun 1997 sampai 1998. Krisis ekonomi mengakibatkan angka pengangguran meningkat dan selanjutnya menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat. Keadaan ini memicu terjadinya konversi lahan sawah. Sebagian masyarakat yang hanya memiliki aset berupa lahan sawah akan menjual lahannya untuk kebutuhan hidupnya kepada pihak-pihak yang berpendapatan tinggi. Tabel 9. Luas Lahan Sawah di Pulau Jawa,1986 - 2010 ha Tahun Luas Lahan Sawah ha Luas Pengurangan Lahan dalam periode 3 tahun ha 1986 3 454 480 1990 3 422 412 32 068 1994 3 398 855 24 557 1998 3 315 789 83 066 2002 3 310 179 5 610 2006 3 266 094 44 085 2010 3 265 489 1 605 Sumber: Luas Lahan Menurut Penggunaannya Tahun 1986 – 2010 BPS Dibandingkan provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa, DKI Jakarta mengalami laju konversi netto tertinggi yang mencapai 7,72 Tabel 10. Dengan laju konversi netto sebesar ini, luas lahan sawah di DKI Jakarta pada tahun 2010 hanya tersisa sekitar 16 dibanding tahun 1986. Posisi kedua dan ketiga masing- masing ditempati oleh Provinsi Jawa Barat dengan besaran 0,74 per tahun dan DIY dengan 0,58 per tahun. Laju konversi lahan sawah netto di Provinsi Jawa Timur terbesar keempat dengan laju 0,46 dan disusul oleh Provinsi Jawa Tengah dengan 0,31 dan terakhir oleh Provinsi Banten dengan 0,13. Laju konversi netto tertinggi terjadi di Provinsi DKI Jakarta seiring dengan pesatnya pembangunan yang diiringi dengan pertumbuhan yang tinggi pada sektor industri dan jasa. Di DKI Jakarta, konversi lahan sawah terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan industri yang umumnya berupa pabrik, jasa yang berupa perkantoran serta pemenuhan perumahan untuk penduduk DKI Jakarta. Di wilayah ini, lahan sawah hanya tersisa di Kota Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Sementara di Jakarta Selatan sejak tahun 2002 tidak tersedia lagi lahan sawah. Tabel 10. Laju Konversi Lahan Sawah Netto per Provinsi di Pulau Jawa antara Tahun 1986 sampai 2010 Provinsi Laju konversi lahan sawah netto rata-rata per tahun DKI Jakarta 7,72 Jawa Barat 0,74 Jawa Tengah 0,31 DIY 0,58 Jawa Timur 0,46 Banten 0,13 Sumber: Luas Lahan Menurut Penggunaannya Tahun 1986 – 2010 BPS Laju konversi netto rata-rata per tahun lahan sawah tingkat kabupatenkota ditampilkan pada Gambar 6. Secara umum, laju persentase konversi netto tertinggi terjadi di wilayah kota sebagaimana yang terlihat pada Tabel 11. Konversi netto tertinggi terjadi di Kota Jakarta Selatan yang mencapai 37,40 per tahun dan konversi netto terendah terjadi di Kota Jakarta Utara sebesar 6,63. Di Kota Jakarta Pusat sejak tahun 1986 sudah tidak terdapat lahan sawah sehingga laju konversi netto bernilai nol. Tabel 11. Wilayah dengan Laju Konversi Netto Tertinggi di Pulau Jawa antara Tahun 1986 - 2010 Wilayah KabupatenKota Laju konversi lahan sawah netto rata-rata per tahun Kota Jakarta Selatan 37,40 Kota Sukabumi 11,59 Kota Pekalongan 11,20 Kota Cirebon 10,03 Kota Jakarta Timur 9,64 Kota Depok 9,08 Kota Salatiga 8,24 Kota Cimahi 7,95 Kota Jakarta Barat 7,72 Kota Cilegon 7,63 Kota Yogyakarta 6,92 Kota Jakarta Utara 6,63 Kota Bogor 6,28 Kota Surabaya 6,26 Sumber: Sumber: Luas Lahan Menurut Penggunaannya Tahun 1986 – 2010 BPS Di Provinsi Jawa Barat, laju konversi netto rata-rata per tahun tertinggi terjadi di Kota Sukabumi, Kota Cirebon dan Kota Bogor dengan kisaran masing- masing 11,59, 10,03 dan 6,28 per tahun. Di Provinsi Jawa Tengah laju konversi netto tertinggi terjadi di Kota Pekalongan dengan besaran 11,2 per tahun dan diikuti oleh Kota Salatiga sebesar 8,24 per tahun. Kota Cilegon yang merupakan salah satu kota industri di Provinsi Banten mengalami laju konversi netto tertinggi di antara wilayah-wilayah di Provinsi Banten lainnya. Sejak menjadi wilayah otonom, Kota Cilegon mengalami konversi lahan sawah sekitar 7,63. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur, laju konversi netto Kota Yogyakarta dan Kota Surabaya sebesar 6.9 dan 6,3. Wilayah- wilayah lain di Jawa Timur mengalami laju konversi lebih kecil dari 6 per tahun. Laju konversi yang relatif tinggi di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten terutama disumbang oleh laju konversi yang tinggi di kawasan Jabodetabek, yang merupakan pusat pemerintahan, industri dan jasa. Sedangkan di Provinsi DIY laju konversi yang relatif tinggi lebih dipengaruhi oleh perkembangan sektor jasa dibanding sektor industri. Laju konversi netto rata-rata per tahun yang sangat tinggi lebih dari 7 dialami oleh kota-kota seperti Kota Jakarta Selatan, Sukabumi, Pekalongan, Cirebon, Jakarta Timur, Depok, Salatiga, Cimahi, Jakarta Barat dan Cilegon. Kesepuluh kota ini merupakan kota yang mengalami pertumbuhan pesat di sektor industri dan jasa. Beberapa kota besar lainnya memiliki laju konversi netto rata- rata per tahun tinggi antara 5 sampai 7 seperti Kota Yogyakarta, Jakarta Utara, Kota Bogor, Kota Surabaya, Kota Tangerang, Kota Bekasi, Kota Surakarta dan Kota Bandung. Kota-kota lainnya yang mengalami konversi sedang dengan persentase laju konversi netto rata-rata per tahun sebesar 3 sampai 5 adalah Kota Malang, Kota Kediri, Kota Batu, Kota Pasuruan dan Kabupaten Tangerang. Dengan demikian, 22 wilayah dari 120 wilayah kabupatenkota yang mengalami laju konversi tertinggi di Pulau Jawa merupakan wilayah kota. Seluruh wilayah kabupaten memiliki tingkat laju konversi lebih kecil dari 4. Bila diamati sebaran spasial pada umumnya wilayah dengan laju konversi netto rata-rata per tahunnya yang sangat tinggi ataupun tinggi, letaknya berdekatan dengan wilayah yang laju konversi netto rata-rata per tahunnya satu tingkat di bawahnya sebagaimana terlihat pada Lampiran 1. Hal ini terlihat pada beberapa kawasan seperti 1 Jabodetabek dan Sukabumi; 2 Bandung, Sumedang, Ciamis dan Kuningan, serta 3 Kabupaten Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Kediri dan Malang. Kawasan-kawasan ini terbentuk sebagai kawasan yang merupakan pusat industri dan jasa.