Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
kemampuan matematika siswa SMP di Indonesia pada tahun 2007 adalah 397, sedangkan pada tahun 2011 adalah 386.
5
Hal ini menunjukan bahwa kemampuan matematika siswa Indonesia masih berada pada level rendah.
Rendahnya prestasi matematika siswa Indonesia dalam survei PISA dan TIMSS sangat mengkhawatirkan. Apabila diamati, salah satu penyebab rendahnya
prestasi belajar siswa Indonesia dalam TIMSS disebabkan perbedaan domain kognitif yang diterapkan dalam proses pembelajaran matematika di Indonesia.
Domain kognitif yang diukur dalam TIMSS, meliputi pengetahuan knowing, penerapan applying dan penalaran reasoning, sedangkan domain kognitif yang
biasanya dikembangkan pada pembelajaran matematika di Indonesia baru sampai pada level pengetahuan dan penerapan. Perbedaan inilah yang menjadi salah satu
penyebab sulitnya siswa Indonesia menjawab soal penalaran yang terdapat pada soal yang diberikan TIMSS.
Berdasarkan hasil survei TIMSS, kemampuan penalaran siswa Indonesia hanya mencapai 17.
6
Keadaan ini terlihat dari sedikitnya siswa yang dapat menyelesaikan soal penalaran. Salah satunya, ketika siswa mengerjakan soal
penalaran pada materi pecahan, seperti berikut : Contoh soal:
1. P dan Q adalah dua bilangan yang terletak pada garis bilangan dibawah ini:
Jika P x Q = N , dimanakan letak N yang ditunjukan pada garis bilangan ?
5
R.Rosnawati, “Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP Indonesia pada TIMSS
2011 ”, Prosiding Seminar Nasonal, Yogyakarta, 18 Mei 2013, h. M-2
6
Ibid.
A B
C D
Berdasarkan hasil pekerjaan peserta didik Indonesia, untuk soal tersebut hanya 10,1 siswa yang dapat menjawab soal dengan tepat.
7
Dari hasil tersebut, dapat diindikasikan bahwa masih banyaknya siswa yang kurang memahami soal
ataupun konsep dari pecahan dan garis bilangan itu sendiri. Siswa masih mengalami kesulitan untuk memperkirakan nilai P dan Q dari garis bilangan tersebut, serta
kurangnya pemahaman konsep siswa dalam menyelesaikan perkalian dua pecahan. Selain itu, rendahnya kemampuan representasi matematis siswa juga merupakan
salah satu faktor penyebab hal tersebut terjadi, karena kemungkinan siswa hanya menebak jawaban dalam menyelesaikan soal. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan
Rosnawati, bahwa salah satu penyebab kekeliruan yang dibuat siswa pada masalah tersebut terjadi dikarenakan pengalaman peserta didik dalam pembelajaran
sebelumnya sangat sedikit menerima berbagai macam representasi persoalan pecahan, khususnya representasi perkalian pecahan.
8
Guru biasanya hanya menjelaskan cara mengitung penjumlahan, pengurangan, perkalian ataupun
pembagian pecahan tanpa mengembangkan kemampuan representasi siswa baik ketika menjelaskan konsep ataupun menyelesaikan soal.
Keadaan yang sama juga terjadi pada saat pra-penelitian disalah satu SMP di Jakarta Selatan pada kelas VIII. Dalam kegiatan pembelajaran guru kurang
memperhatikan pengembangan kemampuan representasi matematis siswa sehingga siswa mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada soal matematika
yang menguji kemampuan representasi Hasil pra-penelitian menunjukkan rendahnya kemampuan representasi matematis siswa. Keadaan tersebut terlihat
dari beberapa indikator representasi matematis yang diujikan, rata-rata kurang dari 33 siswa yang mendapat skor baik.
Apabila diamati, salah satu penyebab rendahnya kemampuan representasi matematis siswa terletak pada faktor pendekatan pembelajaran atau penggunaan
strategi, metode, teknik mengajar yang belum tepat. Selama ini pembelajaran yang sering digunakan guru dikelas adalah strategi ekspositori, dimana pada
7
Ibid., h.M-3.
8
Ibid., h.M-4
pembelajaran tersebut guru lebih aktif dibandingkan dengan siswa. Guru menerangkan materi dengan metode ceramah, kemudian siswa mendengarkan,
mencatat, menjawab pertanyaan dan mengerjakan soal yang diberikan guru. Hal inilah yang menyebabkan siswa sulit untuk mengembangkan kemampuan
representasi mereka. Secara umum, setiap siswa mempunyai cara yang berbeda untuk
mengkonstruksikan pengetahuannya. Untuk itu pembelajaran aktif sangat diperlukan bagi siswa, karena dengan pembelajaran aktif, siswa diberi kesempatan
untuk mencoba berbagai macam representasi agar dapat membangun pemahaman konsep atau pemecahan masalah sesuai dengan pengetahuan mereka. Siswa tidak
lagi hanya mengikuti langkah-langkah guru dalam memahami konsep ataupun menyelesaikan masalah yang ada, tetapi siswa juga dapat membuat representasi
agar mereka lebih mudah memahami suatu materi ataupun dalam menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, perlu diterapkan suatu pendekatan yang dapat
mengaktifkan siswa secara keseluruhan, sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan dirinya, khususnya kemampuan representasi matematis.
Sebagaimana yang dikatakan Sabandar dkk, bahwa untuk meningkatkan kemampuan representasi matematis, bisa dilakukan guru melalui proses penemuan
kembali dengan menggunakan konsep matematisasi horizontal dan vertikal. Konsep matematisasi horizontal berupa pengidentifikasian, pemvisualisasian masalah
melalui sketsa atau gambar yang telah dikenal siswa. Sedangkan, konsep matematisasi vertikal berupa representasi hubungan-hubungan dalam rumus,
perbaikan dan penyesuaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda dan menggeneralisasikan.
9
Berdasarkan penjelasan diatas, salah satu pembelajaran yang sesuai dengan uraian tersebut adalah pendekatan model eliciting activities MEAs. Menurut
Werner , “Model eliciting activities , as their name implies, are problem solving
activities that elicit a model ”.
10
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
9
Jaenudin , “Pengaruh Pendekatan Kontekstual Terhadap Kemampuan Representasi
Matematik Beragam Siswa SMP ”, UPI Bandung, Bandung, 2010, h. 3, tidak diplubikasikan.
10
Werner Blum, et al., Modelling and Aplicationsin Mathematics Education. Australia: Springer, 2007, p.163
MEAs adalah suatu kegiatan menyelesaikan masalah dengan membuat membangun suatu model. Dalam pendekatan MEAs, siswa akan mencari solusi
dari suatu masalah dengan membuat suatu model matematika yang telah beberapa kali diperbaiki. Untuk solusi akhir, siswa tidak hanya mengembangkan model
tetapi juga mengembangkan konsep dan sistem konseptual yang meliputi model tersebut.
Dalam membuat model, siswa memerlukan representasi matematis tentang komponen spesifik dari masalah yang ada dan hubungan diantara komponen-
komponen tersebut. Keadaan ini yang nantinya diharapkan akan memacu siswa untuk membuat berbagai representasi matematis dalam menghasilkan suatu model
penyelesaiaan masalah yang paling efektif dan efisien. Sehubungan dengan itu, maka pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan MEAs dapat
dikaitkan dengan kemampuan representasi matematis. Berdasarkan hal tersebut, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Pendekatan Pembelajaran
Model Eliciting Activities MEAs Terhadap Kemampuan Representasi Matematis Siswa
”.