memilih mengonsumsi makanan yang sehat. Hal ini sesuai dengan hasil widyakarya nasional pangan dan gizi VIII 2004, menyebutkan bahwa
tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi lebih banyak dan mengimplementasikannya dalam gaya
hidup sehari-hari termasuk dalam hal perilaku konsumsi buah dan sayur. Menurut Soekiman 2000 dalam Wulansari 2009, seseorang yang
berpendidikan tinggi umumnya memiliki tingkat ekonomi yang relatif tinggi pula. Dengan tingkat ekonomi yang tinggi, maka kecukupan akan bahan
makanan akan lebih terpenuhi. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah dapat menggalakkan program wajib belajar minimal 9 tahun agar masyarakat
memiliki pendidikan yang tinggi dan dapat meningkatkan status ekonomi mereka sehingga dapat memenuhi kebutuhan akan bahan makanan termasuk
buah dan sayur.
5. Hubungan Pekerjaan dengan Perilaku Konsumsi Buah dan Sayur
Pekerjaan seseorang dianggap turut berperan dalam menentukan perilaku konsumsi buah dan sayur seseorang. Dalam penelitian ini, sebagian
besar remaja termasuk kelompok tidak bekerja yaitu 70,8, sedangkan jumlah remaja yang bekerja hanya 29,2. Lebih besarnya jumlah remaja yang
tidak bekerja, disebabkan karena sebagian besar kegiatan remaja adalah bersekolah 53,7. Adapun jenis pekerjaan terbanyak pada remaja yaitu pada
sektor pertanian 7,6. Hal ini dikarenakan pada remaja yang menjadi sampel dalam Riskesdas lebih banyak yang tinggal di daerah pedesaan.
Berdasarkan analisis bivariat antara pekerjaan dengan perilaku konsumsi buah dan sayur, menunjukkan bahwa jumlah remaja yang perilaku konsumsi
buah dan sayurnya kurang lebih banyak pada remaja yang tidak bekerja. Hal ini berarti bahwa remaja yang tidak bekerja akan cenderung memiliki perilaku
konsumsi buah dan sayur yang kurang dibanding remaja yang bekerja. Berdasarkan hasil analisis secara bivariat yang menghubungkan variabel
pekerjaan dengan perilaku konsumsi buah dan sayur diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan antara pekerjaan dengan perilaku konsumsi buah dan
sayur. Namun, ketika variabel pekerjaan dianalisis secara multivariat, hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan perilaku
konsumsi buah dan sayur. Hal ini disebabkan karena pada uji multivariat terjadi interaksi antar variabel independen, sehingga hubungan variabel
pekerjaan tertutupi oleh variabel lainnya yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, jumlah anggota keluarga, tingkat ekonomi keluarga dan tempat
tinggal. Sehingga dapat diasumsikan bahwa remaja yang bekerja dan tidak termasuk kelompok berisiko dari variabel lainnya, maka hal tersebut akan
memicu remaja untuk mengonsumsi buah dan sayur dalam jumlah yang cukup.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Wulansari 2009, yaitu ditemukan bahwa pekerjaan tidak berhubungan secara signifikan dengan
perilaku konsumsi buah dan sayur individu. Hal ini berarti konsumsi buah dan sayur tidak terlalu dipengaruhi oleh status pekerjaan dan diduga terdapat
faktor lain yang berhubungan dengan perilaku konsumsi buah dan sayur.
Tidak adanya hubungan antara pekerjaan dengan perilaku konsumsi buah dan sayur dapat diasumsikan bahwa seseorang yang bekerja akan
memiliki tingkat kesibukan lebih tinggi sehingga akan berpengaruh terhadap besar-kecilnya perhatian orang tersebut terhadap makanan yang akan
dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto 2002 dalam Bahria 2009, yaitu jika seseorang terlalu sibuk bekerja, seringkali ia lalai dalam
memenuhi kebutuhan gizinya dan lebih memilih mengonsumsi makanan cepat saji
Namun, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Rita 2002, yang menemukan bahwa pekerjaan berpengaruh secara signifikan terhadap
perilaku konsumsi individu, karena jenis pekerjaan akan berpengaruh langsung terhadap jumlah pendapatan yang akan diterima oleh seseorang.
Selain itu, menurut Mukson 1996 dalam Zulaeha 1999, keluarga yang memiliki pendapatan tinggi biasanya mempunyai akses dan daya jangkau
cukup dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan sebaliknya.
6. Hubungan Tingkat Ekonomi Keluarga dengan Perilaku Konsumsi Buah