Perilaku Konsumsi Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Konsumsi

Menurut Notoatmodjo 2003, perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan, misalnya manusia. Perilaku manusia mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup: berjalan, berbicara, bereaksi, mengonsumsi makanan dan lain-lain. Bahkan kegiatan internal internal activity seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah berbagai hal yang dikerjakan oleh organisme, baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku berbeda dengan pengetahuan dan sikap. Pengetahuan dan sikap merupakan bentuk perilaku tertutup covert yang bersifat pasif, sedangkan perilaku atau tindakan merupakan respon terbuka overt yang bersifat aktif dan dapat diamati secara langsung Rahmawati, 2000. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1997, konsumsi adalah suatu kegiatan dari individu untuk memenuhi kebutuhan dirinya, baik berupa barang produksi, bahan makanan dan lain-lain. Dalam penelitian ini, konsumsi lebih dititikberatkan pada bahan makanan, khususnya konsumsi buah dan sayur. Jadi, perilaku konsumsi adalah suatu kegiatan atau aktivitas individu untuk memenuhi kebutuhannya akan bahan makanan agar terpenuhi kecukupan gizi individu tersebut.

B. Buah dan Sayur

Buah dan sayur merupakan kelompok bahan makanan dari bahan nabati tumbuh-tumbuhan. Buah adalah bagian dari tanaman yang strukturnya mengelilingi biji dimana struktur tersebut berasal dari indung telur atau sebagai fundamen bagian dari bunga itu sendiri. Sedangkan sayur adalah bahan makanan yang berasal dari tumbuhan. Bagian tumbuhan yang dapat dibuat sayur antara lain daun sebagian besar sayur adalah daun, batang wortel adalah umbi batang, bunga jantung pisang, buah muda labu, sehingga dapat dikatakan bahwa semua bagian tumbuhan dapat dijadikan bahan makanan sayur Sediaoetomo, 2004. Sebagai Negara tropis, Indonesia sangat kaya akan buah dan sayur. Oleh karena itu, patut disayangkan jika konsumsi buah dan sayur masyarakat masih relatif rendah dibandingkan Negara lain yang bukan penghasil buah dan sayur Astawan, 2008.

1. Penggolongan Buah dan Sayur

a. Penggolongan Buah

Menurut Astawan 2008, berdasarkan ketersediaan di pasar, buah- buahan dapat dibedakan menjadi: 1 Buah bersifat musiman seperti durian, mangga, rambutan dan lain-lain. 2 Buah tidak musiman seperti pisang, nanas, alpukat, papaya, semangka dan lain-lain. Sedangkan berdasarkan prioritas pengembangan, Astawan 2008 membagi buah-buahan menjadi: 1 Buah prioritas nasional yang meliputi jeruk, mangga, rambutan, durian dan pisang. 2 Buah prioritas daerah yang meliputi manggis, duku, leci, lengkeng, salak dan markisa. b. Penggolongan Sayur Menurut Astawan 2008, berdasarkan bagian tanaman yang dapat dimakan, sayuran dibedakan menjadi: 1 Sayuran daun seperti kangkung, sawi, katuk dan bayam. 2 Sayuran bunga seperti brokoli dan kembang kol. 3 Sayuran buah seperti terong, cabe, ketimun dan tomat. 4 Sayuran biji muda seperti asparagus dan rebung. 5 Sayuran akar seperti wortel dan lobak. 6 Sayuran umbi keperti kentang dan bawang. Menurut Supariasa, dkk 2002, sayuran digolongkan menjadi dua kelompok berdasarkan kandungan protein dan karbohidrat, yaitu: 1 Sayuran kelompok A Mengandung sedikit sekali protein dan karbohidrat. Sayuran ini boleh digunakan sekehendak tanpa diperhitungkan banyaknya. Sayuran yang termasuk kelompok ini adalah: baligo, daun bawang, daun kacang panjang, daun koro, daun labu siam, daun waluh, daun lobak, jamur segar, oyong gambas, kangkung, ketimun, tomat, kecipir muda, kol, kembang kol, labu air, lobak, papaya muda, pecay, rebung, sawi, seledri, selada, tauge, tebu terubuk, terong dan cabe hijau besar. 2 Sayuran kelompok B Dalam 1 satuan padanan sayuran kelompok B mengandung 50 kalori, 3 gram protein dan 10 gram karbohidrat. 1 satuan padanan = 100 gram sayuran mentah sayuran ditimbang bersih dan dipotong biasa seperti di rumah tangga = 1 gelas setelah direbus dan ditiriskan sayuran ditakar setelah dimasak dan ditiriskan. Sayuran yang termasuk kelompok ini adalah: bayam, biet, buncis, daun bluntas, daun ketela rambat, daun kecipir, daun leunca, daun lompong, daun mangkokan, daun melinjo, daun pakis, daun singkong, daun papaya, jagung muda, jantung pisang, genjer, kacang panjang, kacang kapri, katuk, kucai, labu siam, labu waluh, nangka muda, pare, tekokak dan wortel.

2. Kandungan Gizi dan Manfaat Buah dan Sayur

Buah dan sayur merupakan sumber serat, vitamin A, vitamin C, vitamin B khususnya asam folat, berbagai mineral seperti magnesium, kalium, kalsium dan Fe, namun tidak mengandung lemak maupun kolesterol. Setiap buah dan sayur mempunyai kandungan vitamin dan mineral yang berbeda. Misalnya belimbing, durian, jambu, jeruk, mangga, melon, papaya, rambutan, sawo dan sirsak merupakan contoh buah yang mengandung vitamin C relatif tinggi dibandingkan buah lainnya. Sedangkan jambu biji, merah garut, mangga matang, pisang raja dan nangka merupakan sumber provitamin A yang sangat tinggi Astawan, 2008. Menurut Sekarindah 2008, kandungan vitamin dan mineral pada buah dan sayur memang berbeda-beda, tidak saja diantara berbagai spesies dan varietas, namun juga di dalam varietas sendiri yang tumbuh pada kondisi lingkungan yang berbeda, iklim, macam tanah dan pupuk, semuanya berpengaruh terhadap kandungan vitamin dan mineral dalam produk buah dan sayur yang dihasilkan. Menurut Khomsan, dkk 2008, buah dan sayur mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan. Ada dua alasan utama yang membuat konsumsi buah dan sayur penting untuk kesehatan, yaitu: a. Buah dan sayur sangat kaya akan kandungan vitamin, mineral dan zat gizi lainnya yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Tanpa mengonsumsi buah dan sayur, maka kebutuhan gizi seperti vitamin C, vitamin A, potassium dan folat kurang terpenuhi. Oleh karena itu, buah dan sayur merupakan sumber makanan yang baik dan menyehatkan. b. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang mengonsumsi tinggi buah dan sayur dapat menurunkan insiden terkena penyakit kronis. Salah satu studi epidemiologi yang mengkaji secara umum terhadap perilaku sekelompok masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat Cina, Jepang dan Korea lebih sedikit terkena kanker dan penyakit jantung koroner dibandingkan masyarakat Eropa dan Amerika. Hal ini disebabkan karena masyarakat Korea, Jepang dan Cina dikenal sangat suka mengonsumsi sayuran dan buah-buahan lebih banyak dari Negara Eropa dan Amerika. Buah-buahan dan sayuran segar juga mengandung enzim aktif yang dapat mempercepat reaksi-reaksi kimia di dalam tubuh. Komponen gizi dan komponen aktif non-nutrisi yang terkandung dalam buah dan sayur berguna sebagai antioksidan untuk menertalkan radikal bebas, antikanker dan menetralkan kolesterol jahat. Selain itu, dalam sayuran dan buah terdapat dua jenis serat yang bermanfaat bagi kesehatan pencernaan dan mikroflora usus, yaitu serat larut air dan tidak larut air. Serat larut air dapat memperbaiki performa mikroflora usus sehingga jumlah bakteri baik dapat tumbuh dengan sempurna. Sedangkan, serat tidak larut air akan menghambat pertumbuhan bakteri jahat sebagai pencetus berbagai macam penyakit Khomsan, dkk, 2008.

3. Dampak Kurang Konsumsi Buah dan Sayur

Beberapa dampak apabila seseorang kurang konsumsi buah dan sayur menurut Ruwaidah 2007, antara lain: a. Meningkatkan Kolesterol Darah Jika tubuh kurang konsumsi buah dan sayur yang kaya akan serat, maka dapat mengakibatkan tubuh kelebihan kolesterol darah, karena kandungan serat dalam buah dan sayur mampu menjerat lemak dalam usus, sehingga mencegah penyerapan lemak oleh tubuh. Dengan demikian, serat membantu mengurangi kadar kolesterol dalam darah. Serat tidak larut lignin dan serat larut pectin, β-glucans mempunyai efek mengikat zat-zat organik seperti asam empedu dan kolesterol sehingga menurunkan jumlah asam lemak di dalam saluran pencernaan. Pengikatan empedu oleh serat juga menyebabkan asam empedu keluar dari siklus enterohepatic, karena asam empedu yang disekresi ke usus tidak dapat diabsorpsi, tetapi terbuang ke dalam feses. Penurunan jumlah asam empedu menyebabkan hepar harus menggunakan kolesterol sebagai bahan untuk membentuk asam empedu. Hal inilah yang menyebabkan serat dapat menurunkan kadar kolesterol Nainggolan dan Adimunca, 2005. Jika konsumsi serat kurang, maka proses tersebut tidak terjadi dan akan menyebabkan kolesterol darah meningkat. b. Gangguan PenglihatanMata Gangguan pada mata dapat diakibatkan karena tubuh kekurangan gizi yang berupa betakaroten. Gangguan mata dapat diatasi dengan banyak mengonsumsi wortel, selada air, dan buah-buahan lainnya Ruwaidah, 2007. Kandungan vitamin A dalam buah dan sayur penting untuk pertumbuhan, penglihatan dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit dan infeksi. Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang. Kecepatan mata beradapatasi setelah terkena cahaya terang berhubungan langsung dengan vitamin A yang tersedia di dalam darah untuk membentuk rodopsin yang membantu proses melihat Almatsier, 2004. c. Menurunkan Kekebalan Tubuh Buah dan sayur sangat kaya dengan kandungan vitamin C yang merupakan antioksidan kuat dan pengikat radikal bebas. Vitamin C juga meningkatkan kerja sistem imunitas sehingga mampu mencegah berbagai penyakit infeksi bahkan dapat menghancurkan sel kanker Silalahi, 2006. Jika tubuh kekurangan asupan buah dan sayur, maka imunitaskekebalan tubuh akan menurun. d. Meningkatkan Risiko Kegemukan Kurang konsumsi buah dan sayur dapat meningkatkan risiko kegemukan dan diabetes pada seseorang WHO, 2003. Buah berperan sebagai sumber vitamin dan mineral yang penting dalam proses pertumbuhan. Buah juga bisa menjadi alternatif cemilan snack yang sehat dibandingkan dengan makanan jajanan lainnya, karena gula yang terdapat dalam buah tidak membuat seseorang menjadi gemuk namun dapat memberikan energi yang cukup Khomsan, dkk, 2009. Sayuran juga merupakan sumber vitamin dan mineral yang sangat bermanfaat untuk pertumbuhan dan perkembangan individu. Seseorang yang mengonsumsi cukup sayuran dengan jenis yang bervariasi akan mendapatkan kecukupan sebagian besar mkineral mikro dan serat yang dapat mencegah terjadinya kegemukan. Selain itu, sayuran juga berperan dalam upaya pencegahan penyakit degeneratif seperti PJK Penyakit Jantung Koroner, kanker, diabetes dan obesitas Khomsan, dkk, 2009. e. Meningkatkan Risiko Kanker Kolon Diet tinggi lemak dan rendah serat buah dan sayur dapat meningkatkan risiko kanker kolon. Penelitian epidemiologis menunjukkan perbedaan insiden kanker kolorektal di Negara maju seperti Amerika, Eropa dan di Negara berkembang seperti Asia dan Afrika. Hal itu dikarenakan perbedaan jenis makanan di Negara maju dan Negara berkembang tersebut, dimana masyarakat di Negara maju lebih banyak mengonsumsi lemak daripada di Negara berkembang Puspitasari, 2006. Serat dapat menekan risiko kanker karena serat makanan diketahui memperlambat penyerapan dan pencernaan karbohidrat, juga membatasi insulin yang dilepas ke pembuluh darah. Terlalu banyak insulin hormon pengatur kadar gula darah akan menghasilkan protein dalam darah yang menambah risiko munculnya kanker, yang disebut insulin growth faktor IGF. Serat dapat melekat pada partikel penyebab kanker lalu membawanya keluar dari dalam tubuh Puspitasari, 2006. f. Meningkatkan Risiko Sembelit Konstipasi Konsumsi serat makanan dari buah dan sayur, khususnya serat tak larut tak dapat dicerna dan tak larut air menghasilkan tinja yang lunak. Sehingga diperlukan kontraksi otot minimal untuk mengeluarkan feses dengan lancar. Sehingga mengurangi konstipasi sulit buang air besar. Diet tinggi serat juga dimaksudkan untuk merangsang gerakan peristaltik usus agar defekasi pembuangan tinja dapat berjalan normal. Kekurangan serat akan menyebabkan tinja mengeras sehingga memerlukan kontraksi otot yang besar untuk mengeluarkannya atau perlu mengejan lebih kuat. Hal inilah yang sering menyebabkan konstipasi. Oleh karena itu, diperlukan konsumsi serat yang cukup khususnya yang berasal dari buah dan sayur Puspitasari, 2006.

4. Kecukupan Konsumsi Buah dan Sayur yang Dianjurkan

Sejak tahun 1990, telah dicanangkan dalam Dietary for Americans bahwa rekomendasi minimal untuk mengonsumsi buah adalah 2 porsihari dan 3 porsihari untuk konsumsi sayur atau setara dengan konsumsi buah dan sayur 5 porsihari. Menurut WHOFAO 2003, yang dimaksud dengan 1 porsi sayur adalah 1 mangkok sayur segar atau ½ mangkok sayur masak dan 1 porsi buah adalah 1 potongan sedang atau 2 potongan kecil buah atau 1 mangkok buah irisan. Konsumsi buah dan sayur dianggap ‘cukup’ apabila asupan buah dan sayur 5 porsi atau lebih per hari. Sedangkan yang dianggap ‘kurang’ apabila asupan buah dan sayur kurang dari 5 porsi sehari. Di Indonesia, konsumsi buah yang dianjurkan yaitu sebanyak 200-300 gram atau 2-3 potong sehari berupa papaya atau buah lain sedangkan porsi sayuran dalam bentuk tercampur seperti sayuran daun, kacang-kacangan dan sayuran berwarna jingga yang dianjurkan sebanyak 150-200 gram atau 1 ½ - 2 mangkok sehari Almatsier, 2003. Konsumsi buah dan sayur harus cukup, tidak boleh kurang ataupun berlebihan sebab jika kekurangan ataupun kelebihan depat menimbulkan efek negatif bagi tubuh. Kekurangan buah dan sayur dapat menyebabkan tubuh kekurangan zat-zat gizi seperti vitamin dan mineral yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan tubuh. Sedangkan kelebihan buah dan sayur dapat berakibat membebani kerja dan fungsi ginjal. Walaupun vitamin dan mineral diperlukan tubuh, tetapi jika ginjal tidak mampu mencerna akibat asupan yang berlebihan dapat menyebabkan seseorang terkena gagal ginjal Khomsan, 2003.

C. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Konsumsi Buah dan Sayur

Menurut Lastariwati dan Ratnaningsih 2006 dalam Dilapanga 2008, menyatakan bahwa perilaku konsumsi makanan dan minuman dipengaruhi oleh 2 faktor utama yaitu : 1. Faktor intrinsik yang terdiri dari: umur, jenis kelamin dan keyakinan. 2. Faktor ekstrinsik yang terdiri dari: tingkat ekonomi, pendidikan, pengalaman, iklan, tempat tinggal, lingkungan sosial dan kebudayaan. Sedangkan menurut Warthington 2000, perilaku konsumsi individu dipengaruhi oleh faktor langsung yaitu gaya hidup. Gaya hidup tersebut dipengaruhi oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari kebutuhan fisiologis tubuh, body image, konsep diri, keyakinankepercayaan individu, pemilihan dan arti makanan, perkembangan psikososial dan kesehatan individu. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari jumlah anggota keluarga, peran orang tua, teman sebaya, sosial budaya, nilainorma, media massa, fast food makanan cepat saji, food fads mode makanan, pengetahuan gizi dan pengalaman individu. Hal ini dapat dilihat pada bagan 2.1 berikut ini. Bagan 2.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Konsumsi Individu Sumber: Warthington 2000 Perilaku konsumsi dan pemilihan makanan pada seseorang sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai interaksi faktor. Beberapa faktor diatas merupakan faktor yang diduga berhubungan dengan perilaku konsumsi buah dan sayur di Indonesia. Penjelasan dari masing-masing variabel tersebut, yaitu: Sosial-ekonomi-politik, ketersediaan makanan, produksi, sistem distribusi Faktor internal: - Kebutuhan fisiologis tubuh - Body imagecitra diri - Konsep diri - Keyakinan dan individu - Pemilihan dan arti makanan - Perkembangan psikososial - kesehatan Faktor eksternal: - Jumlah anggota keluarga - Peran orang tua - Teman sebaya - Sosial budaya - Nilai dan norma - Media massa - Fast foodmakanan cepat saji - Food fadsmode makanan - Pengetahuan gizi - Pengalaman individu Gaya Hidup Perilaku Konsumsi Individu

1. Umur

Menurut Depkes 2008, umur adalah masa hidup responden dalam tahun dengan pembulatan ke bawah atau umur pada waktu ulang tahun yang terakhir. Umur mempunyai peran penting dalam menentukan pemilihan makanan. Pada masa bayi, seseorang tidak mempunyai pilihan terhadap apa yang mereka makan, sedangkan saat dewasa, seseorang mulai mempunyai kontrol terhadap apa yang mereka makan. Proses tersebut sudah dimulai saat masa kanak-kanak, mereka mulai memiliki kesukaan terhadap makanan tertentu. Saat seseorang tumbuh menjadi remaja dan dewasa, pengaruh terhadap kebiasaan makan mereka sangat kompleks Worthington, 2000. Menurut WHO 1971 dalam Ruwaidah 2006, penggolongan umur dikategorikan menjadi 4, yaitu anak-anak 10 tahun, remaja 10-24 tahun, dewasa 25-59 tahun dan lanjut usia 60 tahun. Untuk golongan anak-anak dan remaja, kebutuhan gizinya harus lebih diperhatikan karena masa anak-anak dan remaja merupakan masa pertumbuhan sehingga kecukupan gizinya harus tercukupi agar mencapai pertumbuhan optimal dan sebagai upaya pencegahan timbulnya berbagai penyakit di masa yang akan datang Wulansari, 2009. Namun, kebutuhan gizi untuk kelompok umur dewasa dan lansia juga harus tetap diperhatikan agar tubuh tetap sehat. Kebutuhan remaja terkait konsumsi buah dan sayur sebaiknya tercukupi, karena buah dan sayur sangat penting sebagai sumber vitamin dan mineral serta sebagai penetral kadar kolesterol darah terutama yang berasal dari pangan hewani. Dengan mengonsumsi buah dan sayur, kadar kolesterol dapat terkontrol. Oleh karena itu, semua golongan umur membutuhkan konsumsi buah dan sayur dalam jumlah yang cukup, khususnya remaja. Dalam penelitian Moore 1997, ditemukan bahwa usia remaja lebih sering bertumpu pada makanan fast food yang mempunyai menu terbatas dan sering menekankan pada makanan tinggi kalori, lemak, dan natrium sehingga sedikit sekali mengonsumsi buah dan sayur. Semakin dewasa usia seseorang cenderung mengonsumsi buah dan sayur lebih banyak, terutama pada golongan lanjut usia. Dalam penelitian Rita 2002, ditemukan bahwa umur berpengaruh terhadap kecepatan seseorang untuk menerima dan merespon informasi yang diterima dan merupakan salah satu faktor yang berhubungan preferensikesukaan terhadap konsumsi pangan, termasuk terkait perilaku konsumsi buah dan sayur. Berdasarkan penelitian NHANES dari tahun 2001-2006 dalam Bahria 2009 ditemukan bahwa umur tidak berhubungan secara signifikan dengan perilaku konsumsi buah dan sayur. Dalam penelitian ini diketahui bahwa antara orang Amerika yang berumur ≥40 tahun hanya 42 yang memenuhi rekomendasi minimum mengonsumsi 5 porsi buah dan sayur per hari, sedangkan penduduk umur 40 tahun sebesar 45 yang berperilaku cukup konsumsi buah dan sayur.

2. Jenis Kelamin

Menurut Depkes 2008, jenis kelamin adalah perbedaan seks yang didapat sejak lahir yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang karena pertumbuhan dan perkembangan individu sangat berbeda antara laki-laki dan perempuan. Dalam keluarga biasanya anak laki-laki mendapat prioritas yang lebih tinggi dalam distribusi makanan daripada anak perempuan. Untuk menopang pertumbuhan seseorang, baik perempuan maupun laki-laki membutuhkan energi, protein dan zat-zat gizi lainnya seperti vitamin dan mineral. Laki-laki umumnya lebih aktif dalam berolah raga dan kegiatan fisik serta intensitas tumbuh yang lebih besar. Oleh karena itu membutuhkan energi dan protein lebih banyak, sebaliknya perempuan membutuhkan zat besi lebih banyak untuk mengganti darah yang hilang saat menstruasi Worthington, 2000. Dalam studi di Augusta Georgia ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan konsumsi buah dan sayur Domel, 1996. Sedangkan survei lain yang dilakukan oleh Reynold 1999 pada orang muda American- Indian dan Alaska-Native ditemukan bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap konsumsi buah dan sayur dan diketahui bahwa tingkat konsumsi buah dan sayur pada perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Kemudian pada penelitian Milligan et al 1998 yang dilakukan di Australia menyebutkan bahwa masyarakat yang berjenis kelamin perempuan lebih tinggi 4,1 mengonsumsi 2 buahhari dan sayuran 5 kalihari dibandingkan dengan laki-laki 2,5.

3. Keyakinan, Nilai dan Norma

Pada masyarakat tertentu, terdapat suatu pameo yaitu semakin tinggi tingkat keprihatian seseorang makan akan semakin bahagia dan bertambah tinggi taraf sosial yang dapat dicapainya. Keprihatian ini dapat dicapai dengan “tirakat” yaitu suatu kepercayaan melakukan kegiatan fisik dan mengurangi tidur, makan dan minum atau berpantang melakukan sesuatu Suhardjo, 2006. Selain itu, terdapat pula upacara keagamaan atau kegiatan selamatan yang merupakan bagian dari bentuk keyakinan dan norma di masyarakat, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Dalam penelitian Suhardjo 2006, ditemukan bahwa keyakinan dan norma yang berlaku di masyarakat dapat mempengaruhi perilaku konsumsi masyarakat Suhardjo, 2006.

4. Tingkat Ekonomi Keluarga

Dalam bererapa penelitian, tingkat ekonomi atau pendapatan seringkali didekati dari tingkat pengeluaran rumah tangga. Hal ini dilakukan karena biasanya untuk mendapatkan informasi tentang pendapatan sulit dilakukan karena adanya hambatan dalam wawancara yaitu responden tidak mau mengungkapkan jumlah nominal pendapatan yang diperoleh Bahria, 2000. Marsetyo 2003 mengatakan bahwa pengeluaran uang untuk keperluan rumah tangga harus dibagi-bagi untuk berbagai keperluan seperti keperluan untuk bahan pangan, sewa tingggal sewa atau cicilan rumah, air, penerangan, pendidikan anak, kesehatanpengobatan dan transportasi. Di negara-negara berkembang, penduduk yang berpenghasilan rendah hampir membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk membeli makanan. Pada daerah miskin di India 80 pendapatan yang diperoleh digunakan untuk membeli makanan, sedangkan di negara maju hanya 45 untuk membeli makanan Hidayati, 2004. Tingkat pengeluaran rumah tangga dihitung dengan mengukur pengeluaran rumah-tangga untuk makanan dan non-makanan. Diasumsikan bahwa semakin tinggi proporsi uang yang dikeluarkan untuk makanan, maka semakin rendah daya beli rumah-tangga tersebut untuk kebutuhan lainnya atau dengan kata lain tingkat ekonomi semakin rendah Hidayati, 2004. Di perkotaan, kelompok penduduk termiskin mengeluarkan 66 pengeluaran rumah-tangganya untuk makanan. Sedangkan penduduk terkaya hanya mengeluarkan 44 saja. Kecenderungan serupa juga dijumpai di perdesaan. Secara umum, 69 pengeluaran rumah tangga digunakan untuk makanan Hidayati, 2004. Menurut BPS 2002 dalam Hidayati 2004 menyatakan tingginya proporsi pengeluaran makanan jika proporsi 50 dari pengeluaran total keluarga sedangkan rendahnya proporsi pengeluaran makanan jika jika proporsi ≤50 dari pengeluaran total keluarga. Presentase pengeluaran untuk makanan menurun jika jumlah pendapatan bertambah. Jadi, semakin besar tingkat pengeluaran keluarga untuk makanan, maka semakin rendah tingkat ekonomi keluarga tersebut. Mayoritas masyarakat yang konsumsi makannya kurang optimal tertutama yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah. Karena keluarga dengan pendapatan terbatas, besar kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya sejumlah yang diperlukan tubuh. Setidaknya keanekaragaman bahan makanan kurang terjamin, karena dengan uang terbatas itu tidak akan banyak pilihan Suhardjo, 2006. Dalam penelitian Zenk 2005 ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat ekonomi dan perilaku konsumsi individu, yaitu seseorang yang memiliki pendapatan dan status ekonomi tinggi cenderung akan mengonsumsi buah dan sayur lebih banyak. Pada penelitian MacFarlane 2007 ditemukan bahwa masyarakat yang status ekonominya tinggi selalu tersedia sayuran saat makan malam dan buah di rumah. Kemudian dalam penelitian Utsman 2009, berdasarkan uji statistik ditemukan bahwa tingkat ekonomi berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku konsumsi. Hal ini menunjukkan orang yang memiliki daya beli yang baik maka bisa memenuhi kebutuhannya terhadap bahan makanan.

5. Pekerjaan

Menurut Depkes 2008, pekerjaan adalah jenis kegiatan yang menggunakan waktu terbanyak responden atau yang memberikan penghasilan terbesar. Sedangkan menurut Arikunto 2002 dalam Bahria 2009, pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan seseorang setiap hari dalam kehidupan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pekerjaan berhubungan langsung dengan tingkat pendapatan. Selain itu, pekerjaan juga dapat berpengaruh terhadap besar-kecilnya perhatian seseorang terhadap makanan yang akan dikonsumsinya. Jika seseorang terlalu sibuk bekerja, seringkali ia lalai dalam memenuhi kebutuhan gizinya dan lebih memilih mengonsumsi makanan cepat saji. Jenis pekerjaan yang dilakukan dapat menggambarkan dan mempengaruhi besar kecilnya imbalan yang diperoleh. Keluarga yang memiliki pendapatan tinggi biasanya mempunyai akses dan daya jangkau cukup dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan sebaliknya Mukson, 1996 dalam Zulaeha, 1999. Dalam penelitian Rita 2002, ditemukan bahwa pekerjaan berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku konsumsi individu, karena jenis pekerjaan akan berpengaruh langsung terhadap jumlah pendapatan yang akan diterima oleh seseorang. Namun, dalam penelitian Wulansari 2009, ditemukan bahwa pekerjaan tidak berhubungan secara signifikan dengan perilaku konsumsi buah dan sayur individu. Hal ini berarti konsumsi buah dan sayur tidak terlalu dipengaruhi oleh status pekerjaan, dan diduga terdapat factor lain yang berhubungan dengan perilaku konsumsi buah dan sayur.

6. Pendidikan

Menurut Notoatmodjo 2003, pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecepatan seseorang secara intelektual dan emosional. Pendidikan juga diartikan sebagai suatu usaha sendiri untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Sedangkan menurut Depkes 2008, pendidikan merupakan tingkat pendidikan formal tertinggi yang telah dicapai oleh seseorang. Menurut Azwar 1996 dalam Rita 2002, pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dan dapat mendewasakan seseorang serta berperilaku baik, sehingga dapat memilih dan membuat keputusan dengan lebih tepat, salah satunya yaitu dalam perilaku mengonsumsi buah dan sayur. Pendidikan formal dan keikutsertaan dalam pendidikan non formal sangat penting dalam menentukan status kesehatan. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap kualitas bahan makanan yang dikonsumsi. semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin positif sikap seseorang terhadap gizi makanan sehingga semakin baik pula konsumsi bahan makanan sayur dan buah dalam keluarga Zulaeha, 2006. Dalam penelitian Zenk 2005 dan Roos 2001 ditemukan bahwa pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku konsumsi buah dan sayur, yaitu seseorang yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung akan mengonsumsi buah dan sayur lebih banyak.

7. Pengetahuan Gizi

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Perilaku yang dilakukan berdasarkan pada pengetahuan akan bertahan lebih lama dan kemungkinan menjadi perilaku yang melekat pada seseorang dibandingkan jika tidak berdasarkan pengetahuan Notoatmodjo, 2003. Pengetahuan gizi menjadi landasan dalam menentukan konsumsi pangan individu. Selain itu, pengetahuan gizi dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam menerapkan pengetahuan gizinya dalam memilih maupun mengolah bahan makanan sehingga kebutuhan gizi tercukupi Khomsan, 2009. Penelitian Van Duyn 2001, ditemukan bahwa pengetahuan berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku konsumsi buah dan sayur, yaitu diketahui bahwa pengetahuan gizi dapat meningkatkan 22 konsumsi buah dan sayur.

8. Pengalaman Individu

Dalam perjalanan hidup manusia, terjadi berbagai macam pengalaman, salah satunya adalah pengalaman dalam mengonsumsi makanan. Seseorang tentu memiliki penilaian tersendiri terhadap jenis makanan tertentu, ada yang suka dan tidak sukapantang mengonsumsi makanan tertentu dengan alasan yang bermacam-macam, seperti seseorang tidak mau mengonsumsi makanan tertentu karena berdasarkan pengalaman pribadi bahwa makanan tersebut menimbulkan alergi atau memiliki rasa yang kerang enak dan lain-lain Suhardjo, 2006.

9. IklanMedia Massa

Menurut Fisher dan Diane 2003 dalam Bahria 2009, media bisa berpengaruh positif maupun negatif dalam mempromosikan berbagai macam informasi. Perkembangan teknologi dan media massa juga mempunyai peran dalam mempromosikan pemilihan makanan. Media massa sebagai salah satu sarana komunikasi berpengaruh besar membentuk opini dan kepercaan seseorang. Dalam penyampaian informasi, media massa membawa pesan dan sugesti yang mengarahkan opini seseorang. Suhardjo, 2006. Dalam penelitian Srimaryani 2010, ditemukan bahwa iklanmedia massa tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku konsumsi individu.

10. Tempat Tinggal

Menurut Depkes 2008, tempat tinggal adalah lokasi rumah seseorang yang dibedakan menjadi perkotaan dan pedesaan. Untuk menentukan suatu kelurahan termasuk daerah perkotaan atau pedesaan, digunakan suatu indikator komposit indikator gabungan yang skor atau nilainya didasarkan pada tiga variabel, yaitu: kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas umum BPS, 2007. Adapun range batasan nilai dari masing-masing indikator, yaitu kepadatan penduduk, batasan nilainya antara 1-8, persentase rumah tangga pertanian batasannya antara 1-8 dan akses fasilitas umum batasannya antara 0- 10. Jadi nilai minimum dari skor gabungan ketiga indikator tersebut yaitu 2 dan nilai maksimumnya 26. Jumlah skor dari ketiga indikator tersebut digunakan untuk menentukan suatu kelurahan termasuk daerah perkotaan atau pedesaan. Jika skor gabungan berjumlah 10, maka kelurahan termasuk pedesaan dan jika skor gabungan ≥10, maka kelurahan termasuk perkotaan BPS, 2007. Berdasarkan klasifikasi tersebut, dapat dibagi menjadi skor indikator kepadatan penduduk untuk pedesaan antara 1-3 dan skor untuk perkotaan antara 4-8. Kemudian klasifikasi skor indikator persentase rumah tangga pertanian untuk pedesaan antara 1-3 dan perkotaan antara 4-8. Dan klasifikasi skor akses fasilitas umum untuk pedesaan dengan skor 0 dan untuk perkotaan dengan skor 1 BPS, 2007. Letak tempat tinggal dapat berpengaruh terhadap perilaku konsumsi individu. Sebagai contoh, seorang petani yang tinggal di desa dan dekat dengan areal pertanian akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan makanan segar dan alami, seperti buah dan sayur. Namun, seseorang yang tinggal di daerah perkotaan akan lebih sedikit akses untuk mendapatkan bahan makanan segar tersebut, karena di daerah perkotaan lebih banyak tersedia berbagai makanan cepat saji, walaupun tidak menutup kemungkinan, terdapat penduduk perkotaan yang mengonsumsi buah dan sayur Suhardjo, 2006. Dalam penelitian Sutiah 2006, berdasarkan hasil uji statistik ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tempat tinggal baik di desa maupun di kota terhadap perilaku konsumsi buah dan sayur, yaitu terdapat perbedaan antara tingkat frekuensi konsumsi penduduk yang tinggal di pedesaan dan perkotaan.

11. Lingkungan Sosial dan Budaya

Unsur sosial dan budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang bertentangan dengan prinsip ilmu gizi. Berbagai budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda terhadap pangan atau makanan. Misalnya bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dianggap tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu, sehingga akan berpengaruh terhadap perilaku konsumsi individu tersebut Suhardjo, 2006. Dalam penelitian Sutiah 2006, ditemukan bahwa lingkungan sosial budaya atau suku bangsa berpengaruh terhadap pola konsumsi seseorang.

12. Jumlah Anggota Keluarga

Menurut Depkes 2008, jumlah anggota keluarga adalah banyaknya anggota rumah tangga yang bertempat tinggal di rumah tangga tersebut. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak amat dekat akan menimbulkan masalah Sediaoetama, 2004. Dalam hal ini, jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi pola pengalokasian pangan pada rumah tangga, sehingga semakin besar jumlah anggota keluarga, maka alokasi pangan untuk tiap individu akan semakin berkurang Suhardjo, 2006. Dalam penelitian Pratiwi 2006 dan Wulansari 2009, berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara keluarga kecil dan besar terhadap perilaku konsumsi individu. Namun, berdasarkan penelitian Srimaryani 2010, diketahui bahwa jumlah anggota keluarga dengan perilaku konsumsi individu menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini menunjukkan semakin banyak jumlah anggota keluarga maka akan semakin besar pangan yang dikonsumsi dan pembagian makanan dalam keluarga tersebut akan lebih sedikit dibanding keluarga dengan jumlah sedikit.

13. Peran Orang Tua

Selama masa anak-anak, orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sikap tentang makanan, pemilihan makanan dan pola makan, tetapi ketika sudah menginjak masa remaja mereka menunjukkan kemandirian. Remaja dan orang dewasa lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Oleh karena itu pengaruh keluarga terhadap perilaku makan mulai berkurang Khomsan, 2003. Pada era modern seperti saat ini, orang tua memang telah menjadi manusia sibuk karena urusan di luar rumah tangga. Oleh karena itu, peran oreng tua saat ini sangat penting dalam mendorong kebiasaan makan sehat bagi anak-anaknya Khomsan, 2003. Karena pola kebiasaan makan anak berawal dari keluarga Worthington, 2000.

14. Teman Sebaya

Pengaruh rekan atau kelompok sebaya sangat kuat. Ketika anak mulai sekolah tekanan teman sebaya mulai mempengaruhi pemilihan makanan yang menyebabkan pengabaian terhadap kebutuhan gizi. Remaja mulai peduli terhadap penampilan fisik dan perilaku sosial, serta berusaha untuk mendapatkan penerimaan dari teman sebayanya. Pemilihan makanan menjadi penting supaya mereka diterima oleh teman sebayanya Barker, 2002. Dalam penelitian Savitri 2009, ditemukan bahwa teman sebaya berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku konsumsi individu, yaitu dalam memilih jenis makanan. seseorang akan mengikuti teman sebayanya.

15. Fast FoodMakanan Cepat Saji

Berbagai alasan seseorang memilih makanan cepat sajifast food yaitu karena praktis, rasanya enak, mudah didapat dan tingkat kesibukan yang tinggi sehingga tidak sempat menyiapkan makanan yang sehat dan alami. Padahal, konsumsi makanan tersebut secara terus menerus tanpa diimbangi buah dan sayur dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif, seperti tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, penyakit jantung, stroke, diabetes mellitus, kanker dan kegemukan Sekarindah, 2008. Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi WKNPG VI 1998, makanan-makanan modern seperti fast food, dan makanan jepang telah menjadi bagian dari kebiasaan makanan masyarakat di sejumlah kota besar. Penelitian Verr et al 1999, ditemukan orang yang konsumsi buah dan sayurnya rendah kurang dari 1,5 kalihari serta lebih sering mengonsumsi fast foodmakanan cepat saji berisiko 30 lebih tinggi terkena penyakit jantung atau stroke dibandingkan dengan orang yang mengonsumsi 8 kalihari atau lebih.

16. Food FadsMode Makanan

Menurut KBBI 2007, mode adalah ragam, cara atau bentuk yang terbaru pada suatu waktu tertentu, seperti pakaian, potongan rambut, corak hiasan, jenis makanan dan sebagainya. Mode makanan ini juga berpengaruh terhadap perilaku konsumsi individu, karena biasanya masyarakat senang mencoba hal-hal yang baru, salah satunya adalah melakukan wisata kuliner terhadap jenis makanan baru yang belum pernah dicoba oleh seseorang tersebut. Oleh karena itu, mode makanan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku konsumsi individu Warthington, 2000.

17. Kebutuhan Fisiologis Tubuh

Setiap individu memiliki kebutuhan fisiologis tubuh yang berbeda, hal ini menyebabkan tingkat kebutuhan gizi setiap individu berbeda. Sebagai contoh, kebutuhan fisiologis tubuh ibu hamil, ibu menyusui, anak balita dan orang yang sedang sakit akan berbeda kebutuhan gizinya dengan orang yang sehat. Oleh karena itu, kebutuhan fisiologis tubuh berperan dalam menentukan perilaku konsumsi individu dan pemilihan makanan apa saja yang harus dikonsumsi Suhardjo, 2006.

18. Body ImageCitra Tubuh

Citra tubuh didefinisikan sebagai pandangan seseorang tentang tubuhnya, suatu gambaran mental seseorang yang mencakup pikiran, perpsepsi, perasaaan, emosi, imajinasi, penilaian, sensasi fisik, keadaaan dan perilaku mengenai penampilan dan bentuk tubuhnya dipengaruhi oleh idealisasi pencitraan tubuh di masyarakat dan interaksi sosial seseorang dalam lingkungannya dan dapat mengalami perubahan Rice, 2001 dalam Melliana, 2006. Salah satu contoh yaitu pada wanita, citra tubuh sangat penting sehingga banyak dari mereka yang menunda makan bahkan mengurangi porsi makannya dari yang dianjurkan agar tampak sempurna postur tubuhnya. Namun, hal tersebut dapat menyebabkan masalah kesehatan jika dilakukan secara terus menerus Barker, 2002. Penelitian Handayani 2009, ditemukan bahwa citra tubuh berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku konsumsi individu.

19. Konsep Diri

Konsep diri seseorang dapat memengaruhi besarnya kepuasan citra tubuh yang dirasakan individu. Aspek lain dari konsep diri yang tak kalah penting adalah kepercayaan diri dan harga diri Thomson, 1998 dalam Handayani, 2009. Yayasan peduli proriasis Indonesia 2006 dalam Handayani 2009 menyatakan bahwa konsep diri akan mempengaruhi penilaian terhadap diri sendiri. Bila seseorang menilai diri sendiri posistif, maka seseorang akan memasuki dunia dengan harga diri yang positif dan penuh percaya diri. Bila terjadi distorsi atau perubahan dalam citra tubuh seseorang, maka konsep dirinya pun akan berubah dan akan mempengaruhi perilaku konsumsi individu tersebut. Penelitian Handayani 2009, ditemukan bahwa konsep diri berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku konsumsi individu, yaitu dengan semakin baik konsep diri seseorang, maka akan semakin baik perilaku konsumsi orang tersebut.

20. Pemilihan dan Arti Makanan

Kesukaan terhadap makanan dianggap sebagai faktor penentu dalam mengonsumsi makanan termasuk buah dan sayur. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Van Duyn et al 2001, ditemukan bahwa suka atau tidaknya seseorang terhadap makanan tergantung dari rasa. Karena rasa merupakan suatu faktor penting dalam pemilihan pangan yang meliputi tekstur dan suhu. Kesukaan terhadap makanan mampunyai pengaruh terhadap pemilihan makanan dan arti makanan bagi individu tersebut Suhardjo, 2006. Penelitian Van Duyn et al 2001, ditemukan bahwa kesukaan terhadap makanan berpengaruh positif terhadap perilaku konsumsi individu.

21. Perkembangan Psikososial

Menurut Chaplin 2004, perkembangan psikososial merupakan berbagai kejadian yang berkaitan dengan relasi sosial atau hubungan kemasyarakatan dan mencakup faktor-faktor psikologis dari seseorang. Keadaan psikososial individu akan berpengaruh terhadap perilaku individu tersebut, salah satunya adalah perilaku konsumsi. Seseorang dengan kondisi psikososial yang baik, akan cenderung lebih teratur dalam mengonsumsi dan memilih makanan, demikian pula sebaliknya.

22. Kesehatan Riwayat Penyakit

Definisi sehat menurut WHO 1990 dalam Almatsier 2004 yaitu keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kecacatan. Sedangkan berdasarkan UU no. 23 tahun 1992, kesehatan didefinisikan sebagai keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kondisi kesehatan seseorang akan berpengaruh langsung terhadap perilaku konsumsi individu tersebut. Sebagai contoh, seseorang yang menderita penyakit diabetes mellitus, orang tersebut akan mengurangi konsumsi makanan yang tinggi kandungan gula demi menjaga kesehatan tubuhnya Sekarindah, 2008. Menurut White et al 2004 dalam Bahria 2009, diketahui bahwa kondisi tubuh seseorang yang kurang baik, sedang dalam kondisi sakit atau memiliki keluhan akan kesehatan, akan mendorong seseorang untuk lebih memperhatikan pola konsumsinya, seperti mengurangi makanan yang tinggi lemak, kolesterol, natrium, gula dan memperbanyak asupan bahan makanan alami seperti buah dan sayur. Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh Puspitarani 2006, ditemukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kesehatan individu dengan perilaku konsumsi, yaitu bahwa walaupun seseorang sedang sakit, terkadang tidak terlalu memperhatikan pola konsumsinya.

23. Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan suatu konsep cara hidup dalam masyarakat yang berasal dari berbagai macam interaksi sosial, budaya dan keadaan lingkungan. Gaya hidup dipengaruhi oleh beragam hal yang terjadi di dalam keluarga atau rumah tangga. Dapat dikatakan bahwa keluarga atau rumah tangga merupakan faktor utama dalam pembentukan gaya hidup terkait pola perilaku makan dan juga dalam pembinaan kesehatan keluarga Suhardjo, 2006. Orang dengan gaya hidup modern akan terbiasa mengonsumsi makanan dengan harga yang mahal, sedangkan orang kelas menengah kebawah atau orang miskin di desa tidak sanggup membeli makanan jadi, daging, buah dan sayuran yang mahal, karena dipengaruhi oleh gaya hidup sederhana Suhardjo, 2006. Dalam penelitian Rahmawati 2000, ditemukan bahwa gaya hidup berpengaruh secara signifikan dengan perilaku konsumsi individu.

24. Sosial-Ekonomi-Politik

Sistem sosial-ekonomi-politik dalam suatu Negara merupakan salah satu penyebab yang mendasar yang mempengaruhi perilaku konsumsi di masyarakat. Negara dengan sistem sosial, ekonomi dan politik yang baik, maka jumlah ketersediaan pangan akan tercukupi, namun jika Negara tersebut memiliki masalah dalam sistem sosial, ekonomi dan politik, maka ketersediaan pangan bagi masyarakat akan mengalami gangguan bahkan kekurangan pangan yang dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan Suhardjo, 2006.

25. Ketersediaan Makanan

Dalam mendukung masyarakat untuk mengonsumsi makanan yang sehat, maka diperlukan kecukupan ketersediaan makanan dan dapat diakses semua orang. Berdasarkan studi di Amerika 2006 pada remaja non-hispanic black dan non-hispanic white didapatkan bahwa ketersediaan makanan di rumah tangga tidak berhubungan signifikan dengan konsumsi buah dan sayur pada remaja dan juga berdampak kecil terhadap kecenderungan dalam mengonsumsi buah dan sayur Story, 2002.

26. Produksi

Produksi pangan di Negara berkembang masih tergolong rendah. Rendahnya produksi pangan dapat disebabkan oleh produktivitas lahan yang kurang dan harus ditanggulangi dengan intensifikasi pertanian. Sebab lain yaitu karena petani beralih ke tanaman non pangan atau mengubah lahan pertanian yang ada menjadi lahan untuk industri atau pemukiman. Rendahnya produksi dapat berakibat pada rendahnya ketersediaan pangan bagi penduduk dan mempengaruhi perilaku konsumsi masyarakat Suhardjo, 2006.

27. Sistem Distribusi

Faktor lain yang mempengaruhi perilaku konsumsi individu yaitu adanya sistem distribusi pangan ke masyarakat. Salah satu contoh kasus yaitu tidak tersedianya makanan terjadi karena persediaan di gudang habis dan tidak ada transportasi di sekitarnya atau sistem distribusi mengalami gangguan. Hal inilah yang menyebabkan malnutrisi, karena penduduk kekurangan bahan pangan untuk dikonsumsi. Di UK, meskipun ketersediaan makanan cukup namun pada beberapa area yang terjadi gangguan transportasi atau terbatasnya pilihan di pasar lokal, mengakibatkan beberapa bahan makanan yang dibutuhkan masyarakat seperti buah dan sayuran segar tidak tersedia Barker, 2002 dalam Rahmawati, 2000.

D. Kerangka Teori

Berdasarkan teori dan Lastariwati-Ratnaningsih 2006 dalam Dilapanga 2008 dan Worthington 2000 tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku konsumsi individu, maka peneliti menyusun kerangka teori seperti dapat dilihat pada bagan 2.2 berikut ini. Bagan 2.2 Kerangka Teori Sumber: Modifikasi teori Lastariwati-Ratnaningsih 2006 dalam Dilapanga 2008 dan Worthington 2000 Faktor Internal:

1. Umur

2. Jenis Kelamin

3. Keyakinan 4. Kebutuhan Fisiologis Tubuh 5. Body ImageCitra Diri 6. Konsep Diri 7. Pemilihan dan Arti Makanan 8. Perkembangan Psikososial 9. Kesehatan Riwayat Penyakit Faktor Eksternal: 1. Tingkat Ekonomi Keluarga 2. Pekerjaan 3. Pendidikan 4. Pengetahuan Gizi 5. Pengalaman Individu 6. IklanMedia Massa 7. Tempat Tinggal 8. Lingkungan Sosial Budaya 9. Jumlah Anggota Keluarga 10. Peran Orang Tua 11. Teman Sebaya 12. Nilai dan Norma 13. Fast FoodMakanan Cepat Saji 14. Food FadsMode Makanan Perilaku Konsumsi Buah dan Sayur

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori dari Lastariwati-Ratnaningsih 2006 dalam Dilapanga 2008 dan Warthington 2000, terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku konsumsi individu. Dalam penelitian ini faktor-faktor yang akan diteliti terdiri dari variabel perilaku konsumsi buah dan sayur sebagai variabel dependen dan sebagai variabel independen terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi umur dan jenis kelamin. Sedangkan faktor eksternal meliputi jumlah anggota keluarga, pendidikan, pekerjaan, tingkat ekonomi keluarga dan tempat tinggal. Namun, tidak semua faktor dalam kerangka teori menjadi variabel dalam penelitian ini. Faktor-faktor lain baik internal keyakinan, kebutuhan fisiologis tubuh, body imagecitra diri, konsep diri, pemilihan dan arti makanan, perkembangan psikososial maupun eksternal pengalaman individu, iklanmedia massa, lingkungan sosial budaya, peran orang tua, teman sebaya, nilai dan norma, fast foodmakanan cepat saji, food fadsmode makanan tidak dijadikan variabel dalam penelitian ini dikarenakan tidak tersedianya data tersebut dalam data sekunderhasil Riskesdas 2007 yang digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan variabel kesehatan riwayat penyakit, walaupun terdapat datanya dalam Riskesdas, namun setelah dilakukan analisis, datanya bersifat homogen yaitu mayoritas remaja tidak memiliki riwayat penyakit 99,5, sehingga variabel tersebut dikeluarkan dari penelitian.