7. Hubungan Tempat Tinggal dengan Perilaku Konsumsi Buah dan Sayur
Tempat tinggal dianggap sebagai salah satu faktor yang berhubungan dengan perilaku konsumsi buah dan sayur. Dalam penelitian ini, berdasarkan
lokasi tempat tinggal, sebagian besar remaja bertempat tinggal di daerah pedesaan yaitu 63,1, sedangkan remaja yang tinggal di daerah perkotaan
hanya 36,9. Lebih banyaknya jumlah remaja yang tinggal di daerah pedesaan, karena sebagian besar wilayah Indonesia berdasarkan hasil
Riskesdas memang merupakan daerah pedesaan. Berdasarkan analisis bivariat antara tempat tinggal dengan perilaku
konsumsi buah dan sayur, menunjukkan bahwa jumlah remaja yang perilaku konsumsi buah dan sayurnya kurang lebih banyak pada remaja yang tinggal di
daerah pedesaan. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang tinggal di desa, cenderung menjual hasil panennya ke daerah kota, sehingga penduduk desa
kurang dalam mengonsumsi buah dan sayur Suhardjo, 2006. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan yang
signifikan antara tempat tinggal dengan perilaku konsumsi buah dan sayur. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sutiah 2006, yaitu terdapat
hubungan yang signifikan antara tempat tinggal terhadap perilaku konsumsi buah dan sayur, serta terdapat perbedaan antara tingkat frekuensi konsumsi
penduduk yang tinggal di pedesaan dan perkotaan. Berdasarkan hasil uji multivariat juga menunjukkan bahwa variabel
tempat tinggal merupakan yang paling rendah hubungannya dengan perilaku konsumsi buah setelah dikontrol dengan variabel umur, jenis kelamin,
pendidikan dan tingkat ekonomi. Dikatakan paling rendah karena variabel tempat tinggal memiliki nilai OR yang paling rendah diantara variabel
lainnya. Letak tempat tinggal memang turut mempengaruhi perilaku konsumsi
individu, termasuk dalam hal ketersedian pangan pada daerah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhardjo 2006, yaitu seorang petani yang tinggal di
desa dan dekat dengan areal pertanian akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan makanan segar dan alami, seperti buah dan sayur. Namun, seseorang
yang tinggal di daerah perkotaan akan lebih sedikit akses untuk mendapatkan bahan makanan segar tersebut, karena di daerah perkotaan lebih banyak
tersedia berbagai makanan cepat saji, walaupun tidak menutup kemungkinan, terdapat penduduk perkotaan yang mengonsumsi buah dan sayur secara
cukup. Sedangkan berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh OR = 0,676.
Berdasarkan nilai OR tersebut, tempat tinggal bersifat protektif terhadap perilaku konsumsi buah dan sayur. Hal ini berarti bahwa remaja yang tinggal
di daerah perkotaan akan cenderung memiliki perilaku konsumsi buah dan sayur yang cukup dibandingkan dengan remaja yang tinggal di daerah
pedesaan. Alasan lain yang menyebabkan remaja yang tinggal di daerah perkotaan
akan lebih cukup konsumsi buah dan sayurnya dibandingkan remaja yang tinggal di pedesaan, yaitu karena biasanya para petani di desa menjual hasil
panen buah dan sayurnya ke perkotaan, sehingga persediaan buah dan sayur di
desa tersebut sedikit. Hal ini sesuai dengan pendapat Soehardjo 2006, yaitu walaupun di pedesaaan merupakan sumber produksi buah dan sayur, namun
seringkali para petani justru menjual hasil panen tersebut ke daerah perkotaan, sehingga jumlah persediaan buah dan sayur di pedesaan menjadi sedikit.
Tujuan petani di desa menjual hasil panennya ke daerah perkotaan adalah untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dan cenderung kurang
memperhatikan asupan konsumsi buah dan sayur bagi dirinya dan keluarganya.
Selain itu, menurut Bahria 2009, penduduk di daerah perkotaan akan cenderung memiliki tingkat pendidikan dan ekonomi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk di daerah pedesaan, sehingga daya beli bahan makanan pada penduduk perkotaan akan lebih baik, termasuk dalam perilaku
konsumsi buah dan sayur.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN