Esensi Pembangunan Berkelanjutan Dunia Gagal Terapkan Pembangunan Berkelanjutan

103 para pemimpin bangsa yang dinyatakan dalam hasil-hasil negosiasi internasional, antara lain Deklarasi Rio pada KTT Bumi tahun 1992, Deklarasi Milenium PBB tahun 2000, dan Deklarasi Johannesburg pada KTT Bumi tahun 2002. Kriteria pembangunan berkelanjutan harus mengacu pada empat aspek umum pembangunan yaitu aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan teknologi. Sebuah inisiatif negara-negara selatan dan negara utara dalam sebuah kerja sama aplikasi CDM menghasilkan sebuah kriteria dan indikator untuk menilai kontribusi proyek CDM terhadap pembangunan berkelanjutan. Metode CDM ini melihat pembangunan berkelanjutan dari empat sisi yaitu, sosial, ekonomi, lingkungan dan teknologi dan tercermin dalam indikator-indikator berikut ini http:www.cdm.or.id: Tabel 6 Indikator Pembangunan Berkelanjutan No Indikator Pembangunan Berkelanjutan 1 Kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan lokal 2 Kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan sumber daya alam 3 Kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja 4 Kontribusi terhadap keberlanjutan neraca pembayaran 5 Kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro 6 Efektifitas biaya 7 Kontribusi terhadap kemandirian teknis

1. Esensi Pembangunan Berkelanjutan

Meskipun tercatat adanya beberapa kemajuan dalam isu lingkungan hidup internasional antara lain dengan disetujuinya berbagai konvensi lingkungan hidup internasional, dunia masih memandang bahwa cita-cita yang dicanangkan di Rio de Janeiro-Prinip-prinsip Rio dan Agenda 21-sepuluh tahun yang lalu masih jauh 104 dari harapan. Berbagai capaian, kendala dan upaya untuk mengatasi kendala pelaksanaan Agenda tersebut patut memperoleh telaahan dan kajian yang komprehensif, tanpa perlu merenegosiasikan Agenda 21. Untuk tujuan ini, Majelis Umum PBB pada tahun 1999, berdasarkan Resolusi No. 551999, sepakat untuk mengadakan sebuah konferensi tingkat tinggi KTT yang diberi nama World Summit on Sustainable Development WSSD guna mengkaji secara menyeluruh pelaksanaan Agenda 21 dalam sepuluh tahun terakhir, sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992.

2. Dunia Gagal Terapkan Pembangunan Berkelanjutan

Tahun 1992 lalu, KTT Bumi Earth Summit di gelar di Rio Jeneiro. Hasil KTT Bumi tersebut merekomendasikan negara-negara di dunia, untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan. Kini 20 tahun setelahnya, tak ada satupun negara di dunia yang terbukti bisa menerapkan model pembangunan berkelanjutan. Asumsi kegagalan tersebut, bukan tanpa bukti. Di Indonesia saja, program pembangunan berkelanjutan yang berlandas pada ekonomi, sosial dan lingkungan, seperti melangkah tersendat. Semenjak akhirnya Kementerian Lingkungan Hidup KLH diresmikan, paska Emil Salim menghadiri KTT Bumi tersebut, hingga kini kualitas lingkungan Indonesia tetap tak dapat dikatakan membaik. Salah satu yang paling fatal, merupakan tragedi deforestasi hutan-hutan di Indonesia, yang kemudian disebut sebagai salah satu penyumbang terbesar masalah lingkungan dunia saat ini, perubahan iklim. 105 Kegagalan tersebut juga diperkuat dalam pertemuan negara-negara dunia mengenai pembangunan berkelanjutan di Solo, tahun 2011 lalu. Saat itu, Sha Zukang yang kini menjadi Direktur Eksekutif Konferensi Rio +20 menyatakan hingga kini tak ada satupun negara di dunia yang mampu menerapkan dan melakukan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut. Maka pantas bila sekarang ini dikatakan, kalau negara-negara dunia gagal dalam menjalankan program pembangunan berkelanjutan. Kecenderungan gagal pembangunanan berkelanjutan diawali ketika penyelenggaraan negara baik pusat maupun daerah melakukan pembiaran terjadinya kekurangpahaman manusia Indonesia terhadap hubungan timbal balik antara air, sungai dan lahan. Pembiaran pemanfaatan tata guna lahan yang masuk jalur hindrologis seperti alih fungsi hutan dan bantaran sungai. Tata guna lahan merupakan bagian dari aktivitas manusia, secara umum berhubungan dengan pembangunan infrastruktur seperti pemotongan lereng yang merubah kelerengan, hal ini juga akan mengubah aliran air permukaan dan muka air tanah. Sejauh ini penyelenggara negara menunjukkan sikap inkonsistensi terhadap PP No. 38 tahun 2011 tentang sungai. Sempadan sungai berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan. Maksudnya agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu. Bila ruang penyangga sungai terjarah, ketika banjir ruang kegiatan manusia terkena dampak. Pada solusi ini, penyelenggara negara bisa mengambil peran penting sesuai kewenangannya. Namun penyelenggara negara terkesan tidak sungguh-sungguh mengatasinya, 106 padahal penyelenggara negara memiliki kekuatan institusi, kekuatan anggaran dan kekuatan implementansi. Selain itu, peyelenggara negara mendisfungsikan dirinya sendiri ketika secara eksplisit UU No. 24 tahun 2007 menyebutkan penanggulangan bencana banjir dimulai dari penetapan kebijakan pembangunan dengan pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan infrastruktur dan tata bangunan. Dalam konteks mitigasi, kebijakan ini sebagai rangkaian upaya meminimalkan risiko bencana banjir. Namun penerbitan IMB dan izin pelaksanaan bangunan dalam jarak sempadan sungai menambah rentetan panjang bukti disfungsi dan lemahnya implementasi dari penyelengara negara. Secara empiris, penyelengara negara masih mengabaikan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam Pasal 23, ayat 5 dipahami bila terjadi bencana dan suatu kawasan yang terjadi bencana banjir, peruntukan lahan dapat berubah fungsi. Konsekuensi dari perubahan adalah bahwa zona yang terdampak bahaya banjir beralih fungsi dari fungsi pemukiman menjadi fungsi lindung, atau dapat dikatakan tidak boleh untuk dihuni. Pada kondisi yang demikian rencana tata ruang wilayah RTRW dapat ditinjau kembali dan penyelenggara negara bertanggungjawab penuh terhadap pemukim sekaligus mata penghidupan mereka. Penyelenggara negara juga belum menepati janjinya sebagaimana UU No. 32 tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jelas sekali disebutkan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan 107 manusia serta makhluk hidup lain. Faktanya, peyelenggara negara masih dominan memberikan ruang kepada manusia yang menjanjikan ruang pertumbuhan ekonomi atau aspek produktif daripada ruang ekologis. Beberapa UU yang disebutkan itu dapat menjadi konsesus dan komitmen kuat penyelenggara negara. Penyelenggara negara sebenarnya tidak dapat melakukan satu hal saja. Apapun yang dilakukan oleh negara akan memiliki percabangan ke seluruh aspek kehidupan rakyatnya. Oleh karenanya segala sesuatu yang berkelanjutan sustainability dalam pengertian bebas dari hubungan-hubungan eksploitasi pembangunan. Bila penyelenggara negara tidak menjalankan fungsi dan maksud dibuatnya beberapa UU di atas, maka penyelenggara negara gagal karena bisa saja peristiwa banjir lannya hanya tinggal menunggu waktu.Sulung Prasetyo, 2012

I. Kemiskinan

1. Teori Kemiskinan