107
manusia serta makhluk hidup lain. Faktanya, peyelenggara negara masih dominan memberikan ruang kepada manusia yang menjanjikan ruang pertumbuhan
ekonomi atau aspek produktif daripada ruang ekologis. Beberapa UU yang disebutkan itu dapat menjadi konsesus dan komitmen
kuat penyelenggara negara. Penyelenggara negara sebenarnya tidak dapat melakukan satu hal saja. Apapun yang dilakukan oleh negara akan memiliki
percabangan ke seluruh aspek kehidupan rakyatnya. Oleh karenanya segala sesuatu yang berkelanjutan sustainability dalam pengertian bebas dari
hubungan-hubungan eksploitasi pembangunan. Bila penyelenggara negara tidak menjalankan fungsi dan maksud dibuatnya beberapa UU di atas, maka
penyelenggara negara gagal karena bisa saja peristiwa banjir lannya hanya tinggal menunggu waktu.Sulung Prasetyo, 2012
I. Kemiskinan
1. Teori Kemiskinan
Kemiskinan memiliki dimensi ekonomi, sosial-budaya dan politik. Dimensi kemiskinan
yang bersifat
ekonomi memandang
kemiskinan sebagai
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan material manusia seperti pangan, sandang, papan dan sebagainya. Dimensi ini diukur dengan nilai uang, meskipun
harganya selalu berubah tergantung pada tingkat inflasi yang terjadi. Dimensi sosial dan budaya memandang kemiskinan sebagai pelembagaan dan pelestarian
nilai-nilai apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan dan sebagainya. Sedangkan dimensi politik melihat kemiskinan sebagai ketidakmampuan masyarakat dalam
108
mengakses proses-proses politik karena tidak ada lembaga yang mewakili kepentingan mereka menyebabkan terhambatnya sebagian kelompok masyarakat
dalam memperjuangkan aspirasinya. Dimensi kemiskinan berimplikasi pada upaya untuk mendefinisikan kemiskinan, termasuk ukuran-ukuran yang
digunakan Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial telah mendefinisikan
kemiskinan sebagai “Kemiskinan
memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin
kehidupan berkesinambungan, kelaparan dan kekurangan gizi, rendahnya tingkat kesehatan, keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-
layanan pokok lainnya, kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat, kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai,
lingkungan yang tidak aman, serta diskriminasi dan keterasingan sosial. Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam pengambilan
keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya.”
Secara umum kemiskinan dipandang sebagai kondisi dimana seseorang atau suatu keluarga berada dalam keadaan kekurangan dan atau ketidaklayakan hidup
menurut standar-standar tertentu, ketidak atau kekurangmampuan fisik manusia, ketiadaan atau kekurangan akses dalam memperoleh pelayanan minimal dalam
berbagai bidang kehidupan, serta sulit atau kurang memperoleh akses dalam proses-proses pengambilan kebijakan.
Bank Dunia menetapkan ukuran garis kemiskinan untuk Indonesia berdasarkan pendapatan perkapita. Penduduk yang pendapatan perkapitanya
109
kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan perkapita nasional termasuk dalam kategori miskin. Secara umum Bank Dunia menetapkan garis batas kemiskinan
sebesar US 1 perhari bagi negara-negara berkembang dan US 2 bagi negara- negara maju. Ukuran dari Sayogyo 1993 memberikan batas garis kemiskinan
untuk masyarakat pedesaan setara dengan 20 kg beras perkapita perbulan dan bagi masyarakat perkotaan sama dengan 30 kg beras perkapita per bulan. Sebelum
menetapkan ukuran beras perkapita perbulan sebagaimana disebutkan di atas, ukuran yang digunakan Sayogyo untuk kategori penduduk miskin adalah
pengeluaran perkapita per tahun kurang dari 320 kg beras untuk penduduk pedesaan dan 480 kg beras untuk penduduk perkotaan. Sedangkan pengeluaran
setara atau kurang dari 180 kg beras bagi penduduk pedesaan dan 270 kg beras bagi penduduk perkotaan dijadikan batas bagi kelompok penduduk paling miskin..
Batasan Menurut Badan Pusat statistik menetapkan garis kemiskinan berdasarkan tingkat kecukupan konsumsi kalori yaitu 2.100 kalori per kapita per
hari. Suatu keluarga digolongkan sangat miskin jika pendapatannya hanya mampu memenuhi kebutuhan minimum kalori yang ditetapkan, sedangkan bila
pendapatannya selain mampu mencukupi kebutuhan kalorinya juga mampu memenuhi kebutuhan pokok lainnya seperti perumahan, air, sandang, dan
pendidikan digolongkan sebagai keluarga miskin. Sementara Sam F. Poli menyatakan bahwa batas garis kemiskinan di Indonesia bagi masyarakat pedesaan
adalah sama dengan 27 kg ekuivalen beras perkapita per bulan dan untuk masyarakat perkotaan sama dengan 40 kg beras perkapita perbulan. Ukuran Sam
F. Poli ini lebih tinggi dari ukuran yang diusulkan oleh Sayogyo. Berdasarkan
110
kerangka teori tersebut, maka dalam rancangan kajian ini teori kemiskinan yang digunakan adalah ukuran Sayogyo dan Bank Dunia yang dipakai sebagai standar
kemiskinan Kota Semarang Perda No 4 tahun 2008 tentang Penanggulangan Kemiskinan. Dalam konteks perubahan paradigma baru dari sistem sentralisasi
kebijakan dan desentralisasi dalam kerangka implementasi Undang-Undang No 32 tahun 2004, maka strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan
pro growth, pro poor kemiskinan, pro jobs lapangan pekerjaan dan pro environment
pro lingkungan adalah sebagai berikut: 1 Memperkuat, memperbaiki dan menciptakan kapasitas kelembagaan produksi, pendapatan dan
pengeluaran, 2 Meningkatkatkan dan melibatkan peran masyarakat miskin dalam perencanaan dan implementasi pembangunan, 3 Mendistribusikan hasil-hasil
pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah daerah dan 4 Meningkatkan pembangunan yang bertumpu pada perwujudan
kemampuan manusia capacity building yang ditumbuhkembangkan oleh masyarakat melalui strategi pemberdayaan masyarakat miskin.
2. Kemiskinan Kultural dan Struktural