1
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini dipaparkan latar belakang, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
definisi operasional variabel penelitian.
A. Latar Belakang Masalah
Situasi sosial dan kultur masyarakat kita dewasa ini semakin mengkhawatirkan. Hancurnya nilai-nilai moral, merebaknya ketidakadilan,
dan ketidakjujuran, tipisnya rasa bela rasa, solidaritas, dan fenomena kemunduran yang lain telah terjadi dalam lembaga pendidikan kita. Hal ini
mewajibkan kita untuk mempertanyakan, sejauh mana lembaga pendidikan kita telah mampu menjawab dan tanggap terhadap berbagai macam persoalan
dalam masyarakat kita.
Dalam konteks pendidikan di tanah air, kemerosotan nilai-nilai moral telah menjadi semacam lampu merah yang mendesak semua pihak, lembaga
pendidikan, orang tua, negara, dan lembaga masyarakat lain untuk segera memandang pentingnya sebuah sinergi bagi pengembangan pendidikan
karakter Harsanto, 2009:55. Banyak bukti menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah ternyata membantu menciptakan kultur
sekolah menjadi lebih baik Koesoema, 2007:132. Para siswa menjadi lebih aman dan nyaman, serta lebih mampu berkonsentrasi dalam belajar sehingga
prestasi mereka meningkat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dewasa ini, Kementerian Pendidikan Nasional menerapkan kembali pendidikan pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa
sesungguhnya telah secara eksplisit dipaparkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal tersebut jelas bahwa pendidikan sebaiknya tidak hanya menghasilkan generasi yang cerdas
secara akademik, namun juga berakhlak mulia. Oleh karena itu, pemantapan pendidikan karakter secara komprehensif menjadi sangat penting dan
mendasar untuk diimplementasikan di sekolah. Pentingnya pendidikan karakter secara komprehensif diberikan kepada
peserta didik sedini mungkin, sebab pendidikan tersebut mencakup ranah afeksi, kognisi, dan psikomotor. Para peserta didik harapannya mampu
mewujudnyatakan tujuan pendidikan nasional di Indonesia. Secara umum tujuan-tujuan pendidikan di Indonesia, baik tujuan
sekolah, perguruan tinggi, maupun tujuan nasional mencakup ketiga ranah perkembangan manusia, seperti tertulis dalam teori-teori pendidikan, yaitu
perkembangan afeksi, kognisi dan psikomotor Pidarta, 2009: 15. Sejauh ini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan masih banyak yang berorientasikan terhadap tingkat kognitif dan psikomotorik siswa, padahal
sangat penting untuk melihat perkembangan siswa juga dari segi afektif. Pendidikan komprehensif merupakan pendidikan yang mengembangkan
seluruh aspek dalam diri peserta didik di lembaga pendidikan tanpa ada yang diabaikan, dan menciptakan lingkungan yang menopang perkembangan
peserta didik. Lingkungan pendidikan yang menopang perkembamgan peserta didik dapat berupa sekolah, keluarga, komunitas, masyarakat, berbagai
macam media informasi yang mempengaruhi pola pikir, sikap, bertindak peserta didik, dan lain sebagainya. Pendidikan yang komprehensif berada
pada tataran praktis Santoadi, 2010: 39-40. Tujuan pendidikan di Indonesia mencakup afeksi, kognisi, dan
psikomotor hendaknya dikembangkan secara berimbang, optimal, dan integratif. Berimbang artinya ketiga ranah tersebut di atas dilakukan dengan
intensitas yang sama, yang proporsional, dan tidak berat sebelah. Optimal maksudnya adalah setiap ranah itu dilayani perkembangannya sesuai dengan
besar potensi masing-masing siswa. Integratif menunjukkan perkembangan ketiga ranah itu dikaitkan satu dengan yang lain menjadi kebulatan, sehingga
setiap pribadi tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang berkarakter demi kemajuan bangsa Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan
perkembangan individu seutuhnya. Proses perkembangan yang bebas sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing akan melahirkan manusia
Indonesia seutuhnya yang beragam diwarnai oleh sila-sila Pancasila dan berkarakter.
Pendidikan karakter begitu penting diterapkan dalam dunia pendidikan karena karakter menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Karakter
menentukan pikiran, perasaan, dan kehendak sesorang. Karakter merupakan sifat atau karakteristik dari seseorang yang sangat menonjol, sehingga
merupakan trade mark orang tersebut. Orang berkarakter berarti memiliki integritas moral yang tinggi. Orang yang mempunyai integritas adalah orang
yang mampu mempunyai komitmen dan menjalankan nilai-nilai yang diyakininya secara konsekuen dan konsisten. Menurut Chandra 2000:83,
karakter merupakan sebagai “kualitas pribadi, yang cenderung menentukan
kualitas hubungan seseorang dengan orang lain dan hubungannya dengan lingkungan tempat ia berada”. Salah satu karakter yang menentukan kualitas
hubungan manusia dengan sesamanya adalah berbela rasa. Kata “bela rasa” zaman sekarang makin sering terdengar di telinga kita,
terutama berkaitan dengan situasi sosial di mana banyak orang mengalami masalah kehidupan, musibah, bencana alam, dan sebagainya. Kata “bela rasa”
perlahan-lahan mulai menjadi pilihan terhadap k ata “belas kasihan”, yang
lebih populer dan lebih sering digunakan orang dalam komunikasi sehari-hari, maupun dalam artikel, buku, majalah, koran, dan media cetak lainnya. Kata
“bela rasa” atau dalam bahasa Inggris compassion, secara etimologi terdiri dari: passion
berasal dari kata Latin yang berarti “merasakan”, dan awalan com
yang berarti “bersama”. Jadi, “bela rasa” berarti merasakan bersama- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sama secara mendalam, dan secara umum dapat diartikan merasakan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain.
Ungka pan “belas kasihan” mendudukkan seseorang pada posisi yang
lebih rendah dan ada perasaan berdosa atau bersalah di dalamnya. Bagi Borg 1994:53, “bela rasa” jelas berbeda dengan “belas kasihan” mercy, pity.
Ungkapan “belas kasihan” mendudukkan seseorang pada posisi yang lebih rendah dan ada perasaan berdosa atau bersalah di dalamnya. Sedangkan bela
rasa compassion merupakan bentuk jamak yang berarti “rahim”. Seorang
ibu merasa berbela rasa dengan anaknya yang lahir dari rahimnya sendiri. Seorang kakak berbela rasa dengan adiknya yang lahir dari rahim yang sama.
Di dalam dunia pendidikan, bela rasabelas kasih compassion sangat diperlukan supaya kita ikut merasakan bersama-sama secara mendalam apa
yang sedang dirasakan orang lain. Hal tersebut bukanlah perkara mudah, terlebih lagi jika yang sedang dihadapi adalah berbagai perasaan negatif
seperti sedih, marah, kecewa, dan lain-lain. Ketika menghadapi itu, kita cenderung menghindar dan bersikap acuh. Singkatnya, ketidakpedulian
terhadap sesama berawal dari ketidakpedulian kita terhadap perasaan mereka. Bela rasa compassion adalah sikap hati yang timbul dari karya Roh di dalam
diri, yang memampukan kita turut merasakan dan selalu ingin berbuat sesuatu terhadap penderitaan dan kesulitan yang dialami sesama. Hati yang berbela
rasa compassion
membutuhkan kerelaan
untuk berkorban
dan mewujudnyatakan dalam tindakan. Tindakan yang muncul tidaklah harus
berupa hal yang spektakuler dan wah, namun dapat dirasakan melalui tindakan sederhana, hangat dan bersahabat.
Karakter bela rasa di Sekolah Menengah Pertama khususnya di SMP Stella Duce 2 Yogyakarta semakin mendesak diterapkan karena mengingat
berbagai macam perilaku non-edukatif kini telah merasuki lembaga pendidikan seperti fenomena kekerasan, ketidakpedulian, keegoisan,
kesewenang-wenangan yang terjadi di sekolah. Hal tersebut berawal dari wawancara dan diskusi yang dilakukan oleh peneliti bersama dengan Suster
Yesina Y Sumarni, CB., yang mengatakan bahwa bela rasa compassion yang merupakan bagian dari nilai keutamaan Tarakanita yaitu Cc5
compassion, celebration, competence, conviction, creativity, dan community di sekolah khususnya di yayasan Tarakanita masih sangat perlu ditingkatkan.
Dalam hal ini peneliti tidak memperoleh data terkait Cc5 yang ada di sekolah tersebut, artinya data pendidikan karakter terutama karakter bela rasa yang
diterapkan di sekolah tersebut peneliti belum mendapatkannya. Sekolah yang masih perlu terus menerus membangun kebiasaan berbela rasa adalah SMP
Stella Duce 2 Yogyakarta menurut Suster Yesina Y Sumarni, CB. Sehingga, peneliti dianjurkan untuk meneliti karakter bela rasa compassion SMP
Stella Duce 2 Yogyakarta, melalui penelitian di SMP ini pihak Tarakanita ke depannya dapat meningkatkan karakter bela rasa di sekolah-sekolah yang
berada di bawah naungan Tarakanita. Kemudian peneliti juga memperoleh informasi terkait masih kurangnya
karakter bela rasa compassion di SMP Stella Duce 2 Yogyakarta dari guru PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bimbingan dan Konseling BK yang berada di sekolah tersebut yakni Fr.
Romana Pipiet Cintia Sanjaya. dan beberapa guru yang lain saat peneliti berkunjung ke sekolah tersebut. Nara sumber mengatakan bahwa di SMP
tersebut masih kurang sekali karakter bela rasanya, para siswa yang ada di sekolah tersebut masih sering berkelahi, saling membully, bersikap masa
bodoh dengan temannya misal: masalah meminjamkan alat tulis siswa- siswa masih belum memliki rasa bela rasa kepada sesamanya. Diterapkannya
karakter bela rasa ini diharapkan siswa dapat mewujudkan kepedulian dan solidaritas terhadap yang lemah, miskin, dan tersingkir. Kemudian, mereka
dapat ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh orang lain, bijaksana, mencintai sesama dengan tulus hati, semangat, murah hati, dan melayani
sesama dengan setulus hati. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan pihak sekolah diperoleh
beberapa hal penting berkaitan dengan pendidikan karakter di sekolah ini. Program pengembangan karakter bela rasa compassion di SMP Stella Duce
2 Yogyakarta yang diberikan kepada para siswa lebih menekankan pada ranah kognitif pengetahuan dan belum sampai pada ranah afektif dan
perilaku. Pelaksanaan pendidikan karakter di SMP itu lebih sering menggunakan pendekatan ceramah. Pendidikan Karakter Taraknita PKT
yang dilaksanakan secara terjadwal atau rutin, namun masih terdapat karakter yang kurang terbentuk dalam diri siswa yakni karakter bela rasa compassion
Hal tersebut diduga sebagai salah satu faktor yang menjadikan pengaplikasian pendidikan karakter kepada siswa belum sampai pada ranah
afektif dan perilaku. Peneliti berpendapat pendekatan Experiential Learning, lebih sesuai untuk pengembangan karakter para siswa yang ada di SMP
tersebut karena pendekatan ini mengarah kepada pengalaman langsung terkait karakter bela rasa compassion, sehingga dapat sampai mengena pada semua
ranah yakni ranah kogntif, afektif, dan perilaku dalam diri setiap siswa. Experiential learning
atau pembelajaran berbasis pengalaman pada dasarnya merupakan student centered learning atau pembelajaran berpusat
pada siswa atau pembelajar. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan ceramah yang berpusat pada pembimbing. Dalam hal ini, pembelajarlah yang
harus aktif melakukan atau mengalami aktivitas atau peristiwa tertentu, mengolah, memaknai, dan menafsirkan pengalaman belajarnya itu dengan
bantuan orang lain khususnya sesama pembelajar, dan berusaha menerapkan hasil pembelajarannya itu dalam menghadapi berbagai tugas di luar
lingkungan pembelajaran, yaitu dalam kehidupan nyata sehari-hari. Untuk itu, ada beberapa jenis aktivitas atau kegiatan inti yang lazim dipraktekkan pada
berbagai tahap proses belajar dalam siklus pembelajaran experiential, khususnya refleksi dan sharing Reed Koliba dalam Supratiknya, 2011.
Pendekatan Experiential Learning memiliki kelebihan yakni dapat meningkatkan semangat dan gairah belajar, membantu terciptanya suasana
belajar yang kondusif, memunculkan kegembiraan dalam proses belajar, mendorong dan mengembangkan proses berpikir kreatif, dan mendorong
siswa untuk melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda. Dari kelebihan yang ada pada pendekatan Experiential Learning tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pendekatan Experiential Learning akan efektif meningkatkan karakter bela rasa compassion apabila diberikan kepada
siswa dengan memperhatikan materi yang akan diberikan, persiapan, strategi yang akan
digunakan dan alokasi waktu yang disediakan. Usaha-usaha yang dilakukan oleh guru BK dan guru-guru mata
pelajaran lainnya di SMP tersebut tidak kurang-kurang, para guru sudah menggunakan berbagai cara supaya para siswa memiliki serta paham akan
karakter bela rasa compassion, sehingga para siswa dapat mewujudnyatakan karakter bela rasa tersebut melalui tindakan di lingkungannya begitu menurut
keterangan guru BK di SMP tersebut. Dalam praktiknya karakter bela rasa di sekolah tersebut masih perlu sekali untuk ditingkatkan bahkan dikembangkan
supaya para siswa memiliki pribadi yang berkarakter terutama karakter bela rasa. Berdasarkan penjelasan guru BK dan guru-guru lainnya peneliti
mencoba akan melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan experiential learning
di sekolah tersebut. Melalui metode belajar dari pengalaman ini, harapannya para siswa dapat lebih memahami karakter bela
rasa dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini dilakukan pada saat peneliti melakukan bimbingan klasikal di dalam kelas.
Peneliti menggunakan pendekatan experiential learning ini dari sisi Bimbingan dan Konseling di mana peneliti mencoba metode lain yang belum
pernah guru-guru di SMP tersebut lakukan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Berdasar keadaan dan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik dan
tergerak hati untuk mengangkat judul “EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS LAYANAN BIMBINGAN
KLASIKAL KOLABORATIF
DENGAN PENDEKATAN
EXPERIENTIAL LEARNING
UNTUK MENINGKATKAN
KARAKTER BELA RASA COMPASSION PADA SISWA KELAS VII SMP STELLA DUCE 2 YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 20142015”
dalam penelitian ini.
B. Identifikasi Masalah