Efektivitas implementasi pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning untuk meningkatkan karakter bela rasa (Compassion) : studi pra eksperimen pada siswa kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakart

(1)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS LAYANAN BIMBINGAN KLASIKAL KOLABORATIF

DENGAN PENDEKATAN EXPERIENTIAL LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER BELA RASA (COMPASSION) (Studi Pra Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta

Tahun Ajaran 2014/2015)

Yohanes Purnomo Edi Universitas Sanata Dharma

2016

Tujuan penelitian ini: (1) Mengetahui gambaran tingkat karakter Bela Rasa (Compassion) siswa kelas VII SMP Stella Duce 2 Tahun Ajaran 2014/2015Yogyakarta sebelum dan sesudah mendapatkan pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning; (2) Mengetahui efektivitas pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning dalam meningkatkan karakter Bela Rasa (Compassion) siswa kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan pra-eksperimen One-Group Pretest-Posttest Design. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuesioner Karakter Bela Rasa (Compassion) yang disusun oleh peneliti. Koefisien reliabilitas penelitian ini dianalisa menggunakan teknik Test-retest hasilnya senilai 0,689 dan termasuk kategori cukup. Subjek penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VII Sekar Jagad SMP Stella Duce 2 Yogyakarta berjumlah 28 orang. Teknik analisa data yang digunakan adalah kategorisasi distribusi normal dan uji Two Related Sample Test (Wilcoxon).

Temuan penelitian menunjukkan: tingkat karakter bela rasa (compassion) siswa kelas VII Sekar Jagad SMP Stella Duce 2 Yogyakarta sebelum dan sesudah mendapatkan layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning secara umum baik. Namun demikian, masih terdapat siswa yang memiliki karakter bela rasa (compassion) pada kategori sedang. Tidak terdapat peningkatan karakter bela rasa (compassion) siswa secara signifikan senilai 0,352, (Sig 2 tailed) sebesar (0,352) > (0,05). Dengan demikian, implementasi layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning tidak secara efektif meningkatkan karakter bela rasa (compassion) siswa.

Kata kunci: bimbingan klasikal kolaboratif, experiential learning, karakter bela rasa (compassion)


(2)

ABSTRACT

THE EFFECTIVENESS OF THE IMPLEMENTATION OF COLLABORATIVE CLASS GUIDANCE SERVICE-BASED CHARACTER EDUCATION USING

EXPERIENTIAL LEARNING APPROACH TO DEVELOP A SENSE OF COMPASSION

(Preliminary Study on the seventh grade students in SMP Stella Duce 2 Yogyakarta Academic Year 2014 / 2015 )

Yohanes Purnomo Edi Sanata Dharma University

2016

The purposes of this research are: (1) To know the description of the sense of compassion among the seventh grade students of SMP Stella Duce 2 Yogyakarta, academic year 2014/2015, before and after the implementation of the collaborative class guidance service-based character education using an experiential learning approach; (2) To explore the effectiveness of the collaborative class guidance service-based character education using an experiential learning approach to develop the seventh grade students’ sense of compassion in SMP Stella Duce 2 Yogyakarta academic year 2014/2015.

This research is a quantitative research using a pre-experiment One-Group Pretest-Posttest Design design. The instrument used to collect data was a questionnaire to explore students’ sense of compassion which was designed by the researcher. The reliability coefficient of this research was analysed using a Test-retest technique and the result was 0,689 and categorized as sufficient. The subjects of this research were 28 seventh grade students of Sekar Jagad Class in SMP Stella Duce 2 Yogyakarta. The data analysis technique was the categorization of normal distribution and the Two Related Sample Test (Wilcoxon).

The finding of the research shows that the seventh grade students’ sense of compassion before and after the implementation of the collaborative class guidance service-based character education using an experiential learning approach is generally good. However, some students have a medium sense of compassion. There was no significant development in the students’ sense of compassion, at the value of 0,352, (sig 2 tailed) as much as (0,352) > (0.05). Therefore, the implementation of the collaborative class guidance service using an experiential learning approach does not effectively increase students’ sense compassion. Keywords: bimbingan klasikal kolaboratif, experiential learning, karakter bela rasa (compassion)


(3)

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS LAYANAN BIMBINGAN KLASIKAL KOLABORATIF

DENGAN PENDEKATAN EXPERIENTIAL LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER BELA RASA (COMPASSION) (Studi Pra Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta

Tahun Ajaran 2014/2015)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Yohanes Purnomo Edi 121114019

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

ii

SKRIPSI

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS LAYANAN BIMBINGAN KLASIKAL KOLABORATIF

DENGAN PENDEKATAN EXPERIENTIAL LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER BELA RASA (COMPASSION) (Studi Pra Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta

Tahun Ajaran 2014/2015)

Oleh:

Yohanes Purnomo Edi NIM: 121114019

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing


(5)

iii

SKRIPSI

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS LAYANAN BIMBINGAN KLASIKAL KOLABORATIF

DENGAN PENDEKATAN EXPERIENTIAL LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER BELA RASA (COMPASSION) (Studi Pra Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta

Tahun Ajaran 2014/2015)

Dipersiapkan dan disusun oleh: Yohanes Purnomo Edi

NIM: 121114019

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 16 Maret 2016

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji:

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. Gendon Barus, M.Si. Sekretaris : Juster Donal Sinaga, M.Pd. Anggota I : Dr. Gendon Barus, M.Si. Anggota II : Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si. Anggota III : Juster Donal Sinaga, M.Pd.

Yogyakarta, 16 Maret 2016

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Dekan


(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Hidup adalah Perjuangan!!

Aja Dumeh, Eling, Lan Waspada

(SEMAR)

Lebih Baik Melakukan Sesuatu dengan Tidak Sempurna Dibanding

Tidak Melakukan Apapun dengan Sempurna


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini Yohan persembahkan bagi....

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria

Sang teladan yang senantiasa menjadi pedoman, pegangan, sumber kekuatan,

dan ketenangan dalam setiap alur indah yang Yohan jalani selama ini.

Yayasan Tarakanita

Yang telah membantu dalam hal financial sehingga Yohan dapat kuliah hingga

selesai.

Para dosen dan staf Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata

Dharma

Semua orang terkasih yang telah memberikan seluruh kasih sayang yang tulus,

perhatian, dan cintanya dalam mendampingi dan memotivasi hingga sekarang.

Orang tua terscinta,

Bapak Macarius Sumadiarto dan Wahyuni Imbar Yulianingsih

Kakak-kakak tersayang,

Andreas Bagus Prasojo dan Yohana Indah Susanti

Adik tersayang,

Fransisca Frida Tania

Seluruh keluarga,

Alm. Bapak Sarwo Dadi Ngudiono, Budhe Sumilah, Budhe Munjiah, dan

segenap keluarga


(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 16 Maret 2016 Penulis

Yohanes Purnomo Edi NIM: 121114019


(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Yohanes Purnomo Edi

Nomor Mahasiswa : 121114019

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul:

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS LAYANAN BIMBINGAN KLASIKAL KOLABORATIF DENGAN

PENDEKATAN EXPERIENTIAL LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER BELA RASA (COMPASSION)

(Studi Pra Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 16 Maret 2016 Yang menyatakan


(10)

viii

ABSTRAK

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS LAYANAN BIMBINGAN KLASIKAL KOLABORATIF

DENGAN PENDEKATAN EXPERIENTIAL LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER BELA RASA (COMPASSION) (Studi Pra Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta

Tahun Ajaran 2014/2015)

Yohanes Purnomo Edi Universitas Sanata Dharma

2016

Tujuan penelitian ini: (1) Mengetahui gambaran tingkat karakter Bela Rasa (Compassion) siswa kelas VII SMP Stella Duce 2 Tahun Ajaran 2014/2015Yogyakarta sebelum dan sesudah mendapatkan pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning; (2) Mengetahui efektivitas pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning dalam meningkatkan karakter Bela Rasa (Compassion) siswa kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan pra-eksperimen One-Group Pretest-Posttest Design. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuesioner Karakter Bela Rasa (Compassion) yang disusun oleh peneliti. Koefisien reliabilitas penelitian ini dianalisa menggunakan teknik Test-retest hasilnya senilai 0,689 dan termasuk kategori cukup. Subjek penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VII Sekar Jagad SMP Stella Duce 2 Yogyakarta berjumlah 28 orang. Teknik analisa data yang digunakan adalah kategorisasi distribusi normal dan uji Two Related Sample Test (Wilcoxon).

Temuan penelitian menunjukkan: tingkat karakter bela rasa (compassion) siswa kelas VII Sekar Jagad SMP Stella Duce 2 Yogyakarta sebelum dan sesudah mendapatkan layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning secara umum baik. Namun demikian, masih terdapat siswa yang memiliki karakter bela rasa (compassion) pada kategori sedang. Tidak terdapat peningkatan karakter bela rasa (compassion) siswa secara signifikan senilai 0,352, (Sig 2 tailed) sebesar (0,352) > (0,05). Dengan demikian, implementasi layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning tidak secara efektif meningkatkan karakter bela rasa (compassion) siswa.

Kata kunci: bimbingan klasikal kolaboratif, experiential learning, karakter bela rasa (compassion)


(11)

ix

ABSTRACT

THE EFFECTIVENESS OF THE IMPLEMENTATION OF COLLABORATIVE CLASS GUIDANCE SERVICE-BASED CHARACTER EDUCATION USING

EXPERIENTIAL LEARNING APPROACH TO DEVELOP A SENSE OF COMPASSION

(Preliminary Study on the seventh grade students in SMP Stella Duce 2 Yogyakarta Academic Year 2014 / 2015 )

Yohanes Purnomo Edi Sanata Dharma University

2016

The purposes of this research are: (1) To know the description of the sense of compassion among the seventh grade students of SMP Stella Duce 2 Yogyakarta, academic year 2014/2015, before and after the implementation of the collaborative class guidance service-based character education using an experiential learning approach; (2) To explore the effectiveness of the collaborative class guidance service-based character education using an experiential learning approach to develop the seventh grade students’ sense of compassion in SMP Stella Duce 2 Yogyakarta academic year 2014/2015.

This research is a quantitative research using a pre-experiment One-Group Pretest-Posttest Design design. The instrument used to collect data was a questionnaire to explore students’ sense of compassion which was designed by the researcher. The reliability coefficient of this research was analysed using a Test-retest technique and the result was 0,689 and categorized as sufficient. The subjects of this research were 28 seventh grade students of Sekar Jagad Class in SMP Stella Duce 2 Yogyakarta. The data analysis technique was the categorization of normal distribution and the Two Related Sample Test (Wilcoxon).

The finding of the research shows that the seventh grade students’ sense of

compassion before and after the implementation of the collaborative class guidance service-based character education using an experiential learning approach is generally good. However, some students have a medium sense of compassion. There was no significant development in the students’ sense of compassion, at the value of 0,352, (sig 2 tailed) as much as (0,352) > (0.05). Therefore, the implementation of the collaborative class guidance service using an experiential learning approach does not effectively increase students’ sense compassion.

Keywords: bimbingan klasikal kolaboratif, experiential learning, karakter bela rasa (compassion)


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga, penulisan tugas akhir dengan judul “Efektivitas Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis Layanan Bimbingan Klasikal Kolaboratif dengan pendekatan Experiential Learning untuk Meningkatkan Karakter Bela Rasa (Compassion) (Studi Pra Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015) dapat terselesaikan dengan baik dan lancar.

Selama penulisan tugas akhir ini, penulis menyadari bahwa banyak pihak yang ikut terlibat guna membimbing, mendampingi, dan mendukung setiap proses yang penulis jalani. Oleh karenanya, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

2. Bapak Dr. Gendon Barus, M.Si. selaku ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling.

3. Bapak Juster Donal Sinaga, M.Pd. selaku Wakil Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling.

4. Ibu Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu mendampingi dengan penuh kesabaran, telaten, selalu memberikan saran, motivasi, petunjuk kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Segenap Bapak/Ibu dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling atas

bimbingan dan pendampingan selama penulis menempuh studi.

6. Mas Moko atas pelayanan yang diberikan dengan ramah dan sabar selama penulis menempuh studi di Program Studi Bimbingan dan Konseling. 7. Yayasan Tarakanita yang telah membantu dalam hal financial sehingga


(13)

xi

8. Orang tua Yohanes Purnomo Edi, yakni Bapak Macarius Sumadiarto dan Ibu Wahyuni Imbar Yulianingsih atas seluruh doa, dukungan, pendampingan, serta penguatan yang diberikan kepada penulis selama ini. 9. Kakak-kakak Yohan, yakni Mas Andreas Bagus Prasojo dan Mbak

Yohana Indah Susanti atas kasih sayang, perhatian, dukungan, doa, semangat, dan keceriaan yang telah diberikan kepada penulis selama ini. 10. Adik Yohan, yakni Frasnsisca Frida Tania atas semangat, doa,

kebersamaan, dukungan, dan keceriaan yang telah diberikan kepada penulis.

11. Budhe Sumilah, Budhe Munjiah, Pakdhe Wakijo, Budhe Yati, dan seluruh keluarga besar atas seluruh doa dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

12. Seluruh kakak, teman, dan adik dari angkatan 2010, 2011, 2012, 2013, 2014, dan 2015 atas seluruh doa, dukungan, semangat, pengalaman, dan kebersamaan yang diberikan kepada penulis selama ini.

13. Teman dekat dan sahabat terkasih atas doa, dukungan, semangat dan kebersamaan yang diberikan selama ini.

14. Seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu dalam proses pembuatan hingga penyelesaian tugas akhir ini.


(14)

xii

15. Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan yang penulis lakukan selama proses pembuatan tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis minta maaf kepada semua pihak yang telah dirugikan atas keasalahan dan kekurangan tersebut. Penulis juga sadar bahwa peneitian ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis berharap mendapatkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak guna pembenahan, penajaman, dan perkembangan penelitian yang lebih baik. Akhir kata, atas perhatian dan kesempatan yang diberikan, penulis ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 16 Maret 2016 Penulis


(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Batasan Masalah ... 11

D. Rumusan Masalah ... 12

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoritis ... 13

2. Manfaat Praktis ... 13

G. Definisi Operasional Variabel ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 16

A. Hakikat Pendidikan Karakter ... 16


(16)

xiv

2. Pengertian Pendidikan Karakter ... 17

3. Tujuan Pendidikan Karakter ... 18

4. Prinsip-prinsip Pendidikan Karakter ... 20

5. Nilai-nilai Keutamaan Karakter di Tarakanita ... 21

6. Proses Pembentukan Nilai Karakter ... 30

B. Hakikat Karakter Bela Rasa (compassion) ... 33

1. Pengertian Bela Rasa (compassion) ... 33

2. Karakteristik Karakter Bela Rasa (compassion) ... 34

C. Hakikat Pendekatan Experiential Learning ... 35

1. Pengertian Pendekatan Experiential Learning ... 35

2. Prinsip Experiential Learning . ... 36

3. Kelebihan dan kekurangan Pendekatan Experiential Learning ... 37

4. Aktivitas Inti dalam Pembelajaran Experiential ... 37

D. Hakikat Layanan Bimbingan Klasikal Kolaboratif ... 39

1. Pengertian Bimbingan Klasikal ... 39

2. Tujuan Bimbingan Klasikal . ... 40

3. Bidang Bimbingan Klasikal ... 41

4. Bimbingan Klasikal Kolaboratif ... 42

E. Hakikat Bimbingan Klasikal Kolaboratif dengan Pendekatan Experiential Learning ... 43

F. Hakikat Remaja sebagai Peserta Didik SMP ... 51

1. Pengertian Peserta Didik SMP ... 51

2. Karakteristik Peserta Didik SMP. ... 52

3. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja sebagai Pelajar ... 52

4. Kebutuhan-kebutuhan Remaja sebagai Peserta Didik ... 53

G. Kerangka Berpikir ... 57

H. Hipotesis Tindakan ... 59

BAB III METODE PENELITIAN ... 60

A. Jenis Penelitian ... 60


(17)

xv

C. Subjek Penelitian ... 63

D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 64

E. Validitas Reliabilitas, dan Uji Normalitas ... 66

1. Validitas ... 66

2. Reliabilitas ... 66

3. Uji Normalitas. ... 69

F. Teknik Analisis Data ... 70

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73

A. Hasil Penelitian ... 73

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Keterbatasan Penelitian ... 88

C. Saran ... 88 DAFTAR PUSTAKA


(18)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Desain Penelitian One Group Pretest Posttest Design ... 61

Tabel 3.2 Kisi-kisi Kuesioner Karakter Bela Rasa (compassion) ... 65

Tabel 3.3 Kriteria Guilford ... 68

Tabel 3.4 Hasil Uji Normalitas ... 69

Tabel 3.5 Kategorisasi Normal Tingkat Karakter Bela Rasa (compassion) ... 71

Tabel 3.6 Kategorisasi Normal Tingkat karakter Bela Rasa (compassion) Siswa/i kelasVII Sekar Jagad SMP Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015 ... 72

Tabel 4.1 Kategorisasi Tingkat karakter bela rasa (compassion) siswa kelas VII Sekar Jagad SMP Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015 sebelum dan sesudah mendapatkan Layanan Bimbingan Klasikal Kolaboratif dengan Pendekatan Experiantial Learning ... 73


(19)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Koherensi Karakter dalam Konteks Totalitas Proses Psikososial ... 32 Gambar 2.2 Fase Pendekatan Experiential Learning Kolb ... 47 Gambar 2.3 Proses Pendidikan Karakter Berbasis Layanan Bimbingan Klasikal

Kolaboratif dengan Pendekatan Experiential Learning ... 50 Gambar 3.1 Efektivitas layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan

pendekatan experiential learning ... 62 Gambar 4.1 Tingkat karakter bela rasa (compassion) siswa kelas VII Sekar Jagad

SMP Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015 sebelum dan sesudah mendapatkan Layanan Bimbingan Klasikal Kolaboratif dengan Pendekatan Experiential Learning ... 74


(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Uji Normalitas ... 96

Lampiran 2. Hasil Uji Two Related Sample Test (Wilcoxon) ... 97

Lampiran 3. Kuesioner Karakter Bela Rasa (Compassion) ... 98

Lampiran 4. Tabulasi Data Penelitian Pretest... 104

Lampiran 5. Tabulasi Data Penelitian Posttest ... 106

Lampiran 6. Hasil Reliabilitas... 108


(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dipaparkan latar belakang, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional variabel penelitian.

A. Latar Belakang Masalah

Situasi sosial dan kultur masyarakat kita dewasa ini semakin mengkhawatirkan. Hancurnya nilai-nilai moral, merebaknya ketidakadilan, dan ketidakjujuran, tipisnya rasa bela rasa, solidaritas, dan fenomena kemunduran yang lain telah terjadi dalam lembaga pendidikan kita. Hal ini mewajibkan kita untuk mempertanyakan, sejauh mana lembaga pendidikan kita telah mampu menjawab dan tanggap terhadap berbagai macam persoalan dalam masyarakat kita.

Dalam konteks pendidikan di tanah air, kemerosotan nilai-nilai moral telah menjadi semacam lampu merah yang mendesak semua pihak, lembaga pendidikan, orang tua, negara, dan lembaga masyarakat lain untuk segera memandang pentingnya sebuah sinergi bagi pengembangan pendidikan karakter (Harsanto, 2009:55). Banyak bukti menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah ternyata membantu menciptakan kultur sekolah menjadi lebih baik (Koesoema, 2007:132). Para siswa menjadi lebih aman dan nyaman, serta lebih mampu berkonsentrasi dalam belajar sehingga prestasi mereka meningkat.


(22)

Dewasa ini, Kementerian Pendidikan Nasional menerapkan kembali pendidikan pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa sesungguhnya telah secara eksplisit dipaparkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal tersebut jelas bahwa pendidikan sebaiknya tidak hanya menghasilkan generasi yang cerdas secara akademik, namun juga berakhlak mulia. Oleh karena itu, pemantapan pendidikan karakter secara komprehensif menjadi sangat penting dan mendasar untuk diimplementasikan di sekolah.

Pentingnya pendidikan karakter secara komprehensif diberikan kepada peserta didik sedini mungkin, sebab pendidikan tersebut mencakup ranah afeksi, kognisi, dan psikomotor. Para peserta didik harapannya mampu mewujudnyatakan tujuan pendidikan nasional di Indonesia.

Secara umum tujuan-tujuan pendidikan di Indonesia, baik tujuan sekolah, perguruan tinggi, maupun tujuan nasional mencakup ketiga ranah perkembangan manusia, seperti tertulis dalam teori-teori pendidikan, yaitu perkembangan afeksi, kognisi dan psikomotor (Pidarta, 2009: 15). Sejauh ini


(23)

seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan masih banyak yang berorientasikan terhadap tingkat kognitif dan psikomotorik siswa, padahal sangat penting untuk melihat perkembangan siswa juga dari segi afektif. Pendidikan komprehensif merupakan pendidikan yang mengembangkan seluruh aspek dalam diri peserta didik di lembaga pendidikan tanpa ada yang diabaikan, dan menciptakan lingkungan yang menopang perkembangan peserta didik. Lingkungan pendidikan yang menopang perkembamgan peserta didik dapat berupa sekolah, keluarga, komunitas, masyarakat, berbagai macam media informasi yang mempengaruhi pola pikir, sikap, bertindak peserta didik, dan lain sebagainya. Pendidikan yang komprehensif berada pada tataran praktis (Santoadi, 2010: 39-40).

Tujuan pendidikan di Indonesia mencakup afeksi, kognisi, dan psikomotor hendaknya dikembangkan secara berimbang, optimal, dan integratif. Berimbang artinya ketiga ranah tersebut di atas dilakukan dengan intensitas yang sama, yang proporsional, dan tidak berat sebelah. Optimal maksudnya adalah setiap ranah itu dilayani perkembangannya sesuai dengan besar potensi masing-masing siswa. Integratif menunjukkan perkembangan ketiga ranah itu dikaitkan satu dengan yang lain menjadi kebulatan, sehingga setiap pribadi tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang berkarakter demi kemajuan bangsa Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan perkembangan individu seutuhnya. Proses perkembangan yang bebas sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing akan melahirkan manusia


(24)

Indonesia seutuhnya yang beragam diwarnai oleh sila-sila Pancasila dan berkarakter.

Pendidikan karakter begitu penting diterapkan dalam dunia pendidikan karena karakter menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Karakter menentukan pikiran, perasaan, dan kehendak sesorang. Karakter merupakan sifat atau karakteristik dari seseorang yang sangat menonjol, sehingga merupakan trade mark orang tersebut. Orang berkarakter berarti memiliki integritas moral yang tinggi. Orang yang mempunyai integritas adalah orang yang mampu mempunyai komitmen dan menjalankan nilai-nilai yang diyakininya secara konsekuen dan konsisten. Menurut Chandra (2000:83), karakter merupakan sebagai “kualitas pribadi, yang cenderung menentukan kualitas hubungan seseorang dengan orang lain dan hubungannya dengan

lingkungan tempat ia berada”. Salah satu karakter yang menentukan kualitas hubungan manusia dengan sesamanya adalah berbela rasa.

Kata “bela rasa” zaman sekarang makin sering terdengar di telinga kita, terutama berkaitan dengan situasi sosial di mana banyak orang mengalami

masalah kehidupan, musibah, bencana alam, dan sebagainya. Kata “bela rasa”

perlahan-lahan mulai menjadi pilihan terhadap kata “belas kasihan”, yang lebih populer dan lebih sering digunakan orang dalam komunikasi sehari-hari, maupun dalam artikel, buku, majalah, koran, dan media cetak lainnya. Kata

“bela rasa” atau dalam bahasa Inggris compassion, secara etimologi terdiri dari: passion berasal dari kata Latin yang berarti “merasakan”, dan awalan com yang berarti “bersama”. Jadi, “bela rasa” berarti merasakan bersama


(25)

-sama secara mendalam, dan secara umum dapat diartikan merasakan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain.

Ungkapan “belas kasihan” mendudukkan seseorang pada posisi yang lebih rendah dan ada perasaan berdosa atau bersalah di dalamnya. Bagi Borg

(1994:53), “bela rasa” jelas berbeda dengan “belas kasihan” (mercy, pity).

Ungkapan “belas kasihan” mendudukkan seseorang pada posisi yang lebih rendah dan ada perasaan berdosa atau bersalah di dalamnya. Sedangkan bela rasa (compassion) merupakan bentuk jamak yang berarti “rahim”. Seorang ibu merasa berbela rasa dengan anaknya yang lahir dari rahimnya sendiri. Seorang kakak berbela rasa dengan adiknya yang lahir dari rahim yang sama.

Di dalam dunia pendidikan, bela rasa/belas kasih (compassion) sangat diperlukan supaya kita ikut merasakan bersama-sama secara mendalam apa yang sedang dirasakan orang lain. Hal tersebut bukanlah perkara mudah, terlebih lagi jika yang sedang dihadapi adalah berbagai perasaan negatif seperti sedih, marah, kecewa, dan lain-lain. Ketika menghadapi itu, kita cenderung menghindar dan bersikap acuh. Singkatnya, ketidakpedulian terhadap sesama berawal dari ketidakpedulian kita terhadap perasaan mereka. Bela rasa (compassion) adalah sikap hati yang timbul dari karya Roh di dalam diri, yang memampukan kita turut merasakan dan selalu ingin berbuat sesuatu terhadap penderitaan dan kesulitan yang dialami sesama. Hati yang berbela rasa (compassion) membutuhkan kerelaan untuk berkorban dan mewujudnyatakan dalam tindakan. Tindakan yang muncul tidaklah harus


(26)

berupa hal yang spektakuler dan 'wah', namun dapat dirasakan melalui tindakan sederhana, hangat dan bersahabat.

Karakter bela rasa di Sekolah Menengah Pertama khususnya di SMP Stella Duce 2 Yogyakarta semakin mendesak diterapkan karena mengingat berbagai macam perilaku non-edukatif kini telah merasuki lembaga pendidikan seperti fenomena kekerasan, ketidakpedulian, keegoisan, kesewenang-wenangan yang terjadi di sekolah. Hal tersebut berawal dari wawancara dan diskusi yang dilakukan oleh peneliti bersama dengan Suster Yesina Y Sumarni, CB., yang mengatakan bahwa bela rasa (compassion) yang merupakan bagian dari nilai keutamaan Tarakanita yaitu Cc5 (compassion, celebration, competence, conviction, creativity, dan community) di sekolah khususnya di yayasan Tarakanita masih sangat perlu ditingkatkan. Dalam hal ini peneliti tidak memperoleh data terkait Cc5 yang ada di sekolah tersebut, artinya data pendidikan karakter terutama karakter bela rasa yang diterapkan di sekolah tersebut peneliti belum mendapatkannya. Sekolah yang masih perlu terus menerus membangun kebiasaan berbela rasa adalah SMP Stella Duce 2 Yogyakarta menurut Suster Yesina Y Sumarni, CB. Sehingga, peneliti dianjurkan untuk meneliti karakter bela rasa (compassion) SMP Stella Duce 2 Yogyakarta, melalui penelitian di SMP ini pihak Tarakanita ke depannya dapat meningkatkan karakter bela rasa di sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Tarakanita.

Kemudian peneliti juga memperoleh informasi terkait masih kurangnya karakter bela rasa (compassion) di SMP Stella Duce 2 Yogyakarta dari guru


(27)

Bimbingan dan Konseling (BK) yang berada di sekolah tersebut yakni Fr. Romana Pipiet Cintia Sanjaya. dan beberapa guru yang lain saat peneliti berkunjung ke sekolah tersebut. Nara sumber mengatakan bahwa di SMP tersebut masih kurang sekali karakter bela rasanya, para siswa yang ada di sekolah tersebut masih sering berkelahi, saling membully, bersikap masa bodoh dengan temannya (misal: masalah meminjamkan alat tulis) siswa-siswa masih belum memliki rasa bela rasa kepada sesamanya. Diterapkannya karakter bela rasa ini diharapkan siswa dapat mewujudkan kepedulian dan solidaritas terhadap yang lemah, miskin, dan tersingkir. Kemudian, mereka dapat ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh orang lain, bijaksana, mencintai sesama dengan tulus hati, semangat, murah hati, dan melayani sesama dengan setulus hati.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan pihak sekolah diperoleh beberapa hal penting berkaitan dengan pendidikan karakter di sekolah ini. Program pengembangan karakter bela rasa (compassion) di SMP Stella Duce 2 Yogyakarta yang diberikan kepada para siswa lebih menekankan pada ranah kognitif (pengetahuan) dan belum sampai pada ranah afektif dan perilaku. Pelaksanaan pendidikan karakter di SMP itu lebih sering menggunakan pendekatan ceramah. Pendidikan Karakter Taraknita (PKT) yang dilaksanakan secara terjadwal atau rutin, namun masih terdapat karakter yang kurang terbentuk dalam diri siswa yakni karakter bela rasa (compassion


(28)

Hal tersebut diduga sebagai salah satu faktor yang menjadikan pengaplikasian pendidikan karakter kepada siswa belum sampai pada ranah afektif dan perilaku. Peneliti berpendapat pendekatan Experiential Learning, lebih sesuai untuk pengembangan karakter para siswa yang ada di SMP tersebut karena pendekatan ini mengarah kepada pengalaman langsung terkait karakter bela rasa (compassion), sehingga dapat sampai mengena pada semua ranah yakni ranah kogntif, afektif, dan perilaku dalam diri setiap siswa.

Experiential learning atau pembelajaran berbasis pengalaman pada dasarnya merupakan student centered learning atau pembelajaran berpusat pada siswa atau pembelajar. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan ceramah yang berpusat pada pembimbing. Dalam hal ini, pembelajarlah yang harus aktif melakukan atau mengalami aktivitas atau peristiwa tertentu, mengolah, memaknai, dan menafsirkan pengalaman belajarnya itu dengan bantuan orang lain khususnya sesama pembelajar, dan berusaha menerapkan hasil pembelajarannya itu dalam menghadapi berbagai tugas di luar lingkungan pembelajaran, yaitu dalam kehidupan nyata sehari-hari. Untuk itu, ada beberapa jenis aktivitas atau kegiatan inti yang lazim dipraktekkan pada berbagai tahap proses belajar dalam siklus pembelajaran experiential, khususnya refleksi dan sharing (Reed & Koliba dalam Supratiknya, 2011).

Pendekatan Experiential Learning memiliki kelebihan yakni dapat meningkatkan semangat dan gairah belajar, membantu terciptanya suasana belajar yang kondusif, memunculkan kegembiraan dalam proses belajar, mendorong dan mengembangkan proses berpikir kreatif, dan mendorong


(29)

siswa untuk melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda. Dari kelebihan yang ada pada pendekatan Experiential Learning tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan Experiential Learning akan efektif meningkatkan karakter bela rasa (compassion) apabila diberikan kepada siswa dengan memperhatikan materi yang akan diberikan, persiapan, strategi yang akan digunakan dan alokasi waktu yang disediakan.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh guru BK dan guru-guru mata pelajaran lainnya di SMP tersebut tidak kurang-kurang, para guru sudah menggunakan berbagai cara supaya para siswa memiliki serta paham akan karakter bela rasa (compassion), sehingga para siswa dapat mewujudnyatakan karakter bela rasa tersebut melalui tindakan di lingkungannya begitu menurut keterangan guru BK di SMP tersebut. Dalam praktiknya karakter bela rasa di sekolah tersebut masih perlu sekali untuk ditingkatkan bahkan dikembangkan supaya para siswa memiliki pribadi yang berkarakter terutama karakter bela rasa. Berdasarkan penjelasan guru BK dan guru-guru lainnya peneliti mencoba akan melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan experiential learning di sekolah tersebut. Melalui metode belajar dari pengalaman ini, harapannya para siswa dapat lebih memahami karakter bela rasa dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini dilakukan pada saat peneliti melakukan bimbingan klasikal di dalam kelas. Peneliti menggunakan pendekatan experiential learning ini dari sisi Bimbingan dan Konseling di mana peneliti mencoba metode lain yang belum pernah guru-guru di SMP tersebut lakukan.


(30)

Berdasar keadaan dan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik dan

tergerak hati untuk mengangkat judul “EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS LAYANAN BIMBINGAN

KLASIKAL KOLABORATIF DENGAN PENDEKATAN

EXPERIENTIAL LEARNING UNTUK MENINGKATKAN

KARAKTER BELA RASA (COMPASSION) PADA SISWA KELAS VII SMP STELLA DUCE 2 YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2014/2015” dalam penelitian ini.

B. Identifikasi Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas terkait dengan peningkatan karakter bela rasa (compassion) di SMP diidentifikasikan berbagai masalah sebagai berikut:

1. Tujuan pendidikan nasional terkait pendidikan karakter belum terealisasi dengan baik karena belum sampai pada pengembangan potensi siswa dalam dunia pendidikan sekarang ini.

2. Kurangnya pemahaman peserta didik terkait karakter bela rasa (compassion) di dunia pendidikan.

3. Belum ada penelitian yang menunjukkan peningkatan karakter terkait karakter bela rasa (compassion) di SMP Stella Duce 2 Yogyakarta.

4. Karakter bela rasa (compassion) di sekolah, khususnya di SMP Stella Duce 2 Yogyakarta masih belum sampai pada ranah afeksi maupun pekerti.


(31)

5. Penerapan Pendidikan Karakter Tarakanita (PKT) Cc5 (Compassion, celebration, competence, conviction, creativity, community) terutama karakter bela rasa (compassion) di SMP Stella Duce 2 Yogyakarta belum menunjukkan perubahan/peningkatan karakter bela rasa (compassion) atau dengan kata lain belum maksimal.

6. Kurangnya solidaritas di antara teman, ketidakpedulian terhadap sesama maupun lingkungan, sering terjadinya kekerasan antar siswa dan saling membully di SMP.

C. Batasan Masalah

Pada penelitian ini, fokus kajian diarahkan pada karakter bela rasa (compassion) di sekolah, khususnya di SMP Stella Duce 2 Yogyakarta. Pendidikan karakter belum sampai ranah afeksi maupun pekerti, penerapan Pendidikan Karakter Tarakanita (PKT) Cc5 (Compassion, celebration, competence, conviction, creativity, community) terutama karakter bela rasa (compassion) di SMP Stella Duce 2 Yogyakarta belum menunjukkan hasil perubahan karakter atau dengan kata lain belum maksimal, dan belum ada penelitian yang menunjukkan peningkatan karakter terkait bela rasa (compassion) di SMP Stella Duce 2 Yogyakarta. Maka peneliti fokus pada “Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis Layanan Bimbingan Klasikal Kolaboratif dengan Pendekatan Experiential Learning untuk Meningkatkan Karakter Bela Rasa (Compassion) pada Siswa Kelas VII di SMP Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015”


(32)

D. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana gambaran tingkat karakter Bela Rasa (Compassion) siswa kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta sebelum dan sesudah mendapatkan layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan Experiential Learning?

2. Seberapa efektif layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan Experiential Learning untuk meningkatkan karakter Bela Rasa (Compassion) siswa kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini, yaitu:

1. Mengetahui gambaran tingkat karakter Bela Rasa (Compassion) siswa kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta sebelum dan sesudah mendapatkan layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning.

2. Mengetahui efektivitas layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning untuk meningkatkan karakter Bela Rasa (Compassion) siswa kelas VII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap muncul beberapa manfaat sebagai berikut:


(33)

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan pengembangan penelitian dalam bidang kajian yang sama, khususnya mengenai penanaman karakter bela rasa (compassion) melalui bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi kepala sekolah dan para guru

Hasil penelitian ini menjadi acuan atau tolak ukur keberhasilan pendidikan karakter bela rasa (compassion) yang diterapkan di sekolah. Di sisi lain, hasil penelitian ini juga dapat membantu kepala sekolah dan para guru dalam menentukan strategi-strategi dalam menanamkan karakter bela rasa (compassion) di sekolah yang kemudian dapat meningkatkan dan mengembangkan karakter bela rasa (compassion) dalam diri setiap siswa.

b. Bagi siswa kelas VII

Para siswa kelas VII dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk melihat keberhasilan pendidikan karakter bela rasa (compassion) yang selama ini diberikan kepada diri siswa. Di sisi lain, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang baik terhadap para siswa mengenai manfaat, pengetahuan, dan bimbingan bagi pengolahan diri siswa terkait karakter bela rasa (compassion) melalui bimbingan klasikal. Hal tersebut diharapkan dapat memotivasi para siswa untuk


(34)

berkembang lebih optimal dan utuh serta menjadi pribadi yang terbentuk dengan baik karakternya.

c. Bagi peneliti

Peneliti dapat mengetahui penerapan pendidikan karakter bela rasa (compassion) dan memberikan pengalaman serta keterampilan baru untuk lebih kreatif melalui bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning di SMP Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015. Selain itu, peneliti dapat memberikan usulan cara menanamkan karakter yang sampai mengena pada ranah afeksi dan konasi para siswa.

d. Bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini bagi peneliti lain untuk mengembangkan penelitian terkait karakter bela rasa (compassion) sehingga penelitian menjadi lebih mendalam.

G. Definisi Operasional Variabel

Adapun definisi operasional variabel dalam penelitian, yaitu:

1. Karakter bela rasa (compassion) adalah salah satu kualitas pribadi seseorang yang disatukan dan dipanggil dalam pelayanan untuk dapat berkomitmen sebagai orang yang dapat mencintai dengan setulus hati dan mewujudkan kepedulian dan solidaritas, membuat kebijakan yang mendukung keberpihakan, mencintai dengan tulus, turut serta merasakan penderitaan orang lain dengan sikap empati dan keramahan, melayani


(35)

sesama yang ada di lingkungan sekitar, mengembangkan sikap murah hati, dan melayani dengan semangat kepada mereka yang lemah, tersingkir,

miskin, dan menderita demi “keselamatan” individu-individu yang dilayani dengan berdasar rahmat dan cinta Allah.

2. Bimbingan klasikal adalah layanan bimbingan dan konseling yang diberikan oleh guru Bimbingan dan Konseling (Guru BK) atau konselor sekolah kepada sejumlah peserta didik dalam satuan kelas yang dilaksanakan di dalam kelas.

3. Experiential learning merupakan sebuah pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman, di mana para pembelajar membangun pengetahuan, keterampilan, dan nilai dari pengalaman langsung.


(36)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini dipaparkan hakikat pendidikan karakter, hakikat karakter bela rasa (compassion), hakikat pendekatan experiential learning, hakikat layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning, dan hakikat remaja sebagai pelajar SMP.

A. Hakikat Pendidikan Karakter 1. Pengertian Karakter

Menurut Lickona (dalam Wibowo, 2012:32), karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral. Sifat alami itu dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya.

Menurut Suyanto (2010), karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Menurut Kemendiknas (dalam Wibowo 2012: 37), karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan


(37)

digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi dari berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak, yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.

2. Pengertian Pendidikan Karakter

Sunaryo berpendapat bahwa pendidikan karakter menyangkut bakat (potensi dasar alami), harkat (derajat melalui penguasaan ilmu dan teknologi), dan martabat (harga diri melalui etika dan moral) (Kurniawan, 2013:30). Sementar menurut Raharjo pendidikan karakter adalah suatu proses pendidikan yang holistik yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan (Kurniawan, 2013:30).

Lickona (Samani, M. & Haryanto, 2013:44) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan bertindak dengan landasan inti nilai-nilai etis. Pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang


(38)

mengembangkan nilai-nilai karakter peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakkter dalam diri, yang dapat diterapkan dalam kehidupan sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, dan kreatif (Zubaedi, 2012: 17-18).

Pendidikan karakter adalah sebuah peluang bagi pemyempurnaan diri manusia. Dengan kata lain pendidikan karakter sebagai usaha manusia untuk menjadikan dirinya sebagai manusia berkeutamaan. Berdasarkan beberapa pendapat yang dikembangkan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya terencana untuk menjadikan seseorang (peserta didik) untuk memahami, peduli, dan bertindak dengan berlandasakan nilai-nilai karakter dalam diri dan norma yang berlaku dalam lingkungan sekitar sehingga akhirnya membentuk manusia yang dapat berperilaku sebagai pribadi yang utuh.

3. Tujuan Pendidikan Karakter

Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010), pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi, serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari


(39)

Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, serta masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut dimata masyarakat luas. Secara khusus tujuan pendidikan karakter adalah untuk:

a. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi karakter bangsa yang religius.

b. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai karakter dan karakter bangsa.

c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.

d. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan.

e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan serta rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).


(40)

4. Prinsip-prinsip Pendidikan Karakter

Kementerian Pendidikan Karakter Nasional (2010) menyatakan bahwa pendidikan karakter harus didasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter; b. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup

pemikiran, perasaan, dan perilaku;

c. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter;

d. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian;

e. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang baik;

f. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses;

g. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada siswa;

h. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama;

i. Ada pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter;

j. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter;


(41)

k. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter,dan menifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa. 5. Nilai-nilai Keutamaan Pendidikan Karakter di Tarakanita

Keutamaan (bahasa latin: virtus) merupakan penggabungan antara nilai dan budi pekerti. Keutamaan adalah moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata sebagai manusia yang bertanggung jawab. Manusia yang sadar dalam proses untuk menjadi manusia yang lebih bermutu, manusia yang menggunakan kebebasannya memilih sesuatu yang baik. Jadi, keutamaan mencakup sikap dan perilaku dalam hubungan dengan Tuhan, diri sendri, orang lain, masyarakat dan alam. Nilai keutamaan ini yang dimaksud dengan pendidikan karakter.

Berdasarkan pemahaman di atasa dan mengacu semangat pendiri, Tarakanita mau ikut terlibat dengan pembentukan manusia utuh yaitu manusia yang berakarakter atau berkeutamaan dengan nilai Cc5 (Compassion, celebration, competence, conviction, creativity, community), KPKC (Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Penciptaan), serta Kedisiplinan dan Kejujuran. Cc5 (Compassion, celebration, competence, conviction, creativity, community) akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Compassion

Kata compassion berasal dari bahasa latin “compassio-onis” yang artinya belas kasih, hal ikut merasakan; bela sungkawa. Compassio berarti juga ikut merasakan beban penderitaan orang lain, bersama-sama memikul beban penderitaan namun bangkit mengatasi


(42)

penderitaan itu bersama-sama pula. Compassion lebih dari sekedar mempunyai kepekaan hati (empati) dan merasakan penderitaan orang lain (simpati), tetapi merupakan sebuah kebajikan di mana kapasitas emosional empati dan simpati terhadap penderitaan orang lain dianggap sebagai bagian dari cinta itu sendiri serta merupakan landasan keterkaitan sosial yang lebih besar dan humanistis, dasar prinsip-prinsip tertinggi dalam berperilaku sebagai pribadi yang utuh.

Dalam compassion ada aspek belas kasih dalam dimensi kuantitatif seperti belas kasih yan individu sebagai “kedalaman atau

kekuatan”. Compassion lebih kuat dari empati, tetapi turut merasakan yang menimbulkan keinginan aktif untuk meringankan penderitaan orang lain dengan mencari penyebab penderitaan itu, berusaha mengatasi bersama penyebab tersebut. Belas kasih mempunyai arti turut menderita bersama-sama orang lain. Karakter compassion yang perlu dibangun adalah sikap peduli, solider dan rela berbagi.

Compassion merupakan nilai spriritual yang dihidupi oleh Bunda Elisabeth Gruyters pendiri Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus karena mengalami dan merasakan kasih Allah yang berbelarasa tanpa syarat. Perwujudan nilai ini tampak dalam seluruh kehidupan dan karya Bunda Elisabeth Gruyters yang senantiasa mengutamakan keselamatan manusia (Gruyters dalam Luisa, 2012:16-17). Compassion dapat diwujudkan melalui sikap, peduli, solider, dan rela berbagi dengan mereka yang lemah, miskin,


(43)

menderita (jasmani-rohani) dan tersisih tanpa membeda-bedakan, sebagai sesama ciptaan Allah, seperti: mengunjungi orang sakit, membantu orang yang mengalami kesulitan dan penderitaan, menghargai keberbedaan di lingkungan sekitarnya, mendengarkan dengan hati orang yang sedang bercbicara, dan ikut terlibat secara aktif kegiatan peduli kemanusiaan.

b. Celebration

Secara harafiah celebration berarti perayaan khusus dalam menandai suatu peristiwa kehidupan. Sebagai orang beriman seseorang dapat memaknai setiap peristiwa kehidupan sebagai ungkapan syukur. Dalam berbagai situasi hidup kita Tuhan hadir dan menyatakan diri-Nya yang kadang sulit kita pahami dan terima. Kita dapat merasakan kehadiran-Nya dan menemukan arti atau makna yang tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa hidup, jika kita memiliki iman akan Allah. Berkat iman, kita mampu mengakui Allah yang adalah Kasih dan senantiasa memenuhi kebutuhan kita. Oleh karena itu, kita harus selalu bersyukur dan tidak perlu khawatir akan hidup kita.

Celebration merupakan nilai spiritualitas yang dihidupi oleh Bunda Elisabeth Gruyters yang menaruh harapan yang kuat kepada Allah (Gruyters dalam Luisa, 2012:18) dan berdoa terus-menerus serta melibatkan campur tangan Allah dalam hidupnya (Gruyters dalam Luisa, 2012:18). Nilai celebration dapat dicapai dengan sikap rendah


(44)

hati mensyukuri hidup yang diselenggarakan oleh Tuhan dan selalu berpengharapan serta mengandalkan campur tangan Tuhan dalam seluruh hidupnya. Nilai celebration yang perlu dibangun adalah kegembiraan menghadapi realitas, berpikir positif, dan optimis.

Jadi, celebration adalah suatu sikap kerendahan hati bahwa segala peristiwa kehidupan tidak pernah lepas dari campur tangan Tuhan, seperti: mengucap syukur saat mendapat kesuksesan, tabah dan tetap penuh pengharapan ketika mengalami kegagalan, mengandalkan penyelenggaraan ilahi namun tetap disertai usaha keras untuk mencapai keberhasilan, merayakan keberhasilan tanpa berlebihan dan tetap mengingat saudara-saudaranya yang menderita. c. Competence

Kata competence adalah bahasa Inggris yang diserap dari Bahasa Latin competens-entis, yang berarti berkuasa, berwenang, cakap dan sanggup. Jadi, yang dimaksud dengan nilai competence adalah suatu kesanggupan dan usaha tak kenal lelah untuk memiliki kecakapan, kecerdasan (kompetensi) sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Kecakapan dan kecerdasan yang dikejar ini bukan hanya merupakan penguasaan seperangkat pengetahuan, melainkan juga sikap, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh peserta didik. Dengan mengacu pada dua dari empat pilar prinsip pendidikan UNESCO, maka nilai competence,


(45)

menyiapkan peserta didik untuk learning to know; learning to do, namun tidak hanya itu, juga leaning how to learn.

Competence merupakan nilai spiritualitas yang diperjuangkan Bunda Elisabeth Gruyters sebagai tanggapan atas munculnya teror, penindasan, kekerasan, pembunuhan, dan wabah penyakit. Peristiwa-peristiwa di atas dipandang sebagai ancaman terhadap harkat dan martabat manusia. Bunda Elisabeth menangkap keprihatinan tersebut dan berupaya untuk melindungi dan membela harkat dan martabat manusia, khususnya anak-anak miskin dan terlantar dengan tujuan membangun dasar baik dalam batin mereka, memberikan pelajaran agama Kristen, menjahit, berdoa, serta memberikan dorongan kearah semangat hidup yang suci (Gruyters dalam Luisa, 2012:18-19). Pendidikan yang diperjuangkan Bunda Elisabeth mencakup aspek kecerdasan spiritual, rasional, emosional, sosial, dan daya juang. Nilai competence yang perlu dibangun adalah kemandirian belajar, dan sikap ilmiah.

Maka peserta didik diharapkan mampu; menerapkan pengetahuan dan kemampuan di dalam kehidupan, memiliki kemandirian belajar (self regulated learner & continuous learning); dan memiliki sikap ilmiah (Curiosity, Objectiveness, Open-mindedness, Willingness to Suspend Judgment, Tentativeness).


(46)

d. Conviction

Conviction berarti pendirian, keyakinan. Orang yang memiliki nilai conviction adalah orang yang belajar untuk menghayati prinsip-prinsip kehidupan dengan keteguhan, dan berusaha untuk melaksanakan secara konsisten segala aspek kehidupan. Dengan nilai ini, orang berusaha mengisi kehidupan berdasarkan keyakinan-keyakinan sebagai suatu kebenaran, dan bertahan dengan kesabaran untuk mewujudkan dalam kehidupan. Dasar untuk memenangkan keutamaan ini para peserta didik belajar untuk lebih mempertimbangkan rasio dan akal ketimbang emosi dan perasaan. Prinsip rasio yang ditanamkan bukan prinsip senang tidak senang. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip pendidikan UNESCO yaitu learning to be. Pendidikan hendaknya menjadikan peserta didik terbentuk menjadi dirinya sendiri yang memiliki keteguhan prinsip dalam kehidupan.

Conviction merupakan nilai spiritualitas yang diperjuangkan oleh Bunda Elisabeth Gruyters ketika ia berupaya dan berjuang merawat dan mendidik anak-anak miskin yang jumlahnya semakin bertambah. Meskipun dukungan dari masyarakat sekitar terhadap upayanya sangat sedikit, Bunda Elisabeth tidak menyerah. Dengan kesabaran dan susah payah ia terus bekerja keras karena memilki keinginan yang besar untuk maju (Gruyters dalam Luisa, 2012:19-20), serta kesanggupan untuk menderita dan berdiam diri, penuh kesabaran


(47)

dan kegembiraan, serta keberanian yang tangguh (Gruyters dalam Luisa, 2012:19-20). Karena memiliki keyakinan bahwa Allah menyertai dia, Bunda Elisabeth berani memilih jalan salib yang sempit sebagai risiko dalam melayani Allah.

Conviction berarti memiliki daya juang dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan hidup. Nilai conviction bisa nampak pada; ketahanan individu dalam menanggung kesulitan dan penderitaan, mampu bergembira dan optimis di setiap waktu, mampu menahan rasa tidak sabar, mengeluh, atau amarah, setia terhadap tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya tanpa mengeluh, mengerjakan dengan sungguh-sungguh apa yang sedang dihadapi, bersikap ugahari (sederhana) yaitu kemampuan untuk mengaktualisasiskan dan memuaskan dorongan-dorongan keinginan dalam diri serta tuntutan insting/perasaan secara seimbang melalui cara-cara yang tepat, tahu batas, misal tahu batas ketika makan, saat tidur, waktu istirahat, bekerja dengan penuh kegembiraan, tahu kapan berbicara, dan tahu kapan harus diam (bene stat in medio).

e. Creativity

Creativity adalah kemampuan seseorang untuk berdaya cipta. Kemampuan berdaya cipta dapat bersifat inovatif (in-novus) yaitu kemampuan memasukkan hal-hal yang baru dan eksploratif yaitu penjelajahan alam pikir untuk menambah pengetahuan sebanyak mungkin. Dari dimensi pengetahuan bahwa nilai creativity


(48)

memungkinkan orang tidak puas dengan apa yang telah diketahui, berusaha terus mengembangkan apa yang dimiliki secara optimal (profesionalisme). Dari dimensi kehidupan lebih luas bahwa orang selalu mencari jalan keluar terhadap kesulitan-kesulitan hidup, tidak puas dengan kualitas kehidupan yang telah dicapai, tetapi terus mencari dan berusaha mencapai kesempurnaan.

Creativity merupakan nilai spiritualitas yang diperjuangkan oleh Bunda Elisabeth yang memandang bahwa hidup akan menjadi indah jika manusia mengembangkan daya kreatifnya. Manusia selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup dan harus menemukan jalan keluar. Bakat dan kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia harus dikembangkan secara benar, bijaksana, dan bermakna bagi pengembangan manusia, pelayanan terhadap sesama beserta seluruh alam semesta sebagai ungkapan syukur atas anugerah Tuhan. Dalam diri Bunda Elisabeth nilai kreativitas tampak dalam upayanya yang tekun, pantang menyerah, dan konsisten untuk mengabdikan diri pada Tuhan dengan tulus ikhlas dan sempurna (Gruyters dalam Luisa, 2012:21).

Peserta didik memiliki nilai creativity apabila melakukan antara lain: (1) mampu menciptakan/menemukan hal-hal baru yang bermanfaat; (2) mampu mengeksplorasi; (3) berani untuk mencoba dan menghadapi kegagalan; (4) terus belajar dengan tekun; (4) memanfaatkan waktu untuk berkreativitas.


(49)

f. Community

Community berasal dari bahasa Latin communitas-atis berarti persekutuan, persaudaraan, perkumpulan. Jadi, yang dimaksud dengan keutamaan community adalah semangat untuk membangun persaudaraan sejati, kesetaraan, keberbedaan bukan menjadi pemecah belah melainkan saling memperkaya satu sama lain. Manusia selain sebagai makhluk individu juga merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia perlu menjalin relasi yang seimbang, bukan hanya dengan sesama melainkan juga dengan lingkungan dan alam sekitar. Melalui relasi itu, perjumpaan dengan Allah dialami secara bersama melalui satu sama lain. Keseimbangan relasi merupakan tanggung jawab bersama yang dapat terwujud melalui semangat saling berbagi dan membangun persaudaraan sejati.

Sekolah Tarakanita mempunyai tugas dalam menciptakan lingkungan paguyuban yang dijiwai semangat kebebasan dan cinta kasih injili serta membantu tunas muda mengembangkan pribadi dan seluruh potensinya. Oleh karena itu, sekolah katholik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) merupakan komunitas iman; (2) tidak memecah belah, tidak memperuncing perbedaan; (3) terbuka terhadap semua orang; (4) berpusat pada Yesus Kristus; Prinsip Injil sebagai norma pendidikan; (5) membangun manusia seutuhnya.

Community merupakan nilai spiritualitas yang dihidupi oleh Bunda Elisabeth Gruyters sejak awal mendirikan biara dengan


(50)

menerima anak-anak miskin, memberikan dasar baik dalam hati mereka (EG dalam Luisa, 2012:22). Melayani anak-anak panti asuhan agar mengalami keselamatan (EG dalam Luisa, 2012:22) dan melayani orang orang-orang yang dalam penderitaan bagi para penderita di Rumah Sakit Calvarieberg (EG dalam Luisa, 2012:22). Dengan semakin bertambahnya kehadiran anak-anak miskin ini Bunda Elisabeth merasakan betapa besar karya Allah dalam seluruh hidup dan karyanya. Nilai community yang perlu dibangun adalah perhatian, penghargaan, dikungan, ramah, sopan, lemah lembut, penerimaan, persahabatan, keterbukaan, nyaman dan aman, keterlibatan, musyawarah, rekonsiliasi.

6. Proses Pembentukan Nilai Karakter

Menurut Wibowo (2011), perilaku seseorang yang berkarakter pada hakikatnya merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.

Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokan dalam: Olah hati, (Spiritual and emotional developmental), Olah Pikir (Intellectual developmental), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and Kinestetic developmental), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity developmental).


(51)

Keempat proses psikososial (olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa dan karsa) tersebut secara holistik dan koheren memiliki sidang keterkaitan dan saling melengkapi yang bermuara pada pembentukan karakter yang menjadi perwujudan nilai-nilai luhur. Secara diagramatik, koherensi keempat proses psikososial tersebut dapat digambarkan diagram Ven di bawah ini.


(52)

Gambar 2.1 Koherensi Karakter dalam Konteks Totalitas Proses Psikososial

Masing-masing proses psikososial (olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan karsa) secara konseptual dapat diperlakukan sebagai suatu klaster atau gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai. Keempat proses psikologis tersebut, satu dengan yang lainnya saling terkait dan saling memperkuat. Karena itu setiap karakter, seperti juga sikap, selalu bersifat multipleks atau berdimensi jamak.

Pengelompokan nilai tersebut sangat berguna untuk kepentingan perencanaan. Dalam proses intervensi (pembelajaran, pemodelan, dan penguatan) dan proses habituasi (pensuasanaan, pembiasaan, dan penguatan) dan pada akhirnya menjadi karakter, keempat kluster nilai


(53)

luhur tersebut akan terintegrasi melalui proses internalisasi dan personalisasi pada diri masing-masing individu.

B. Hakikat Karakter Bela Rasa (Compassion) 1. Pengertian Bela Rasa (Compassion)

Kata compassion (bela rasa) berasal dari bahasa Latin

“compassionis” yang artinya belas kasih, hal ikut merasakan; bela

sungkawa. Compassio berarti juga turut merasakan beban penderitaan orang lain, bersama-sama memikul beban penderitaan namun bangkit mengatasi penderitaan itu bersama-sama pula. Compassion lebih dari sekedar mempunyai kepekaan hati (empati) dan merasakan penderitaan orang lain (simpati), tetapi merupakan sebuah kebajikan di mana kapasitas emosional empati dan simpati terhadap penderitaan orang lain dianggap sebagai bagian dari cinta itu sendiri serta merupakan landasan keterkaitan sosial yang lebih besar dan humanis, dasar prinsip tertinggi dalam berperilaku sebagai pribadi yang utuh (Luisa, 2012:16-17).

Di dalam compassion ada aspek belas kasih dalam dimensi kuantitatif seperti belas kasih yang individu sebagai “kedalaman atau

kekuatan”. Compassion lebih kuat dari empati tetapi turut merasakan yang menimbulkan keinginan aktif untuk meringankan penderitaan orang lain dengan mencari penyebab penderitaan itu, berusaha mengatasi bersama penyebab tersebut. Belas kasih mempunyai arti turut menderita


(54)

bersama-sama orang lain. Nilai compassion yang perlu dibangun adalah sikap peduli, solider, dan rela berbagi (Luisa, 2012:16-17).

Compassion dapat diwujudkan melalui sikap peduli, solider, dan rela berbagi dengan mereka yang lemah, miskin, menderita (jasmani-rohani) dan tersisih tanpa membeda-bedakan, sebagai sesama ciptaan Allah. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa bela rasa (compassion) merupakan menanggungkan sesuatu bersama orang lain, cinta kasih tanpa syarat berlandaskan kasih Tuhan, melayani dengan semangat, mencintai dengan tulus, mengembangkan sikap murah hati demi

“keselamatan” orang-orang yang dilayani (Luisa, 2012:16-17). 2. Karakteristik Karakter Bela Rasa (Compassion)

Sebagai pribadi-pribadi yang disatukan dan dipanggil dalam pelayanan pendidikan, komitmen kita sebagai orang yang mencintai dengan setulus hati dan berbela rasa menurut Surani, dkk (2008), tampak dalam:

a. Mewujudkan kepedulian dan solidaritas dengan mereka yang lemah, miskin, dan menderita, baik jasmani maupun rohani seperti teladan Bunda Elisabeth.

b. Membuat kebijakan yang mendukung keberpihakan terhadap yang miskin lemah dan tersisih.

c. Mencintai dengan tulus melampaui batas-batas suku, agama, ras, budaya, status sosial tanpa diskriminasi.


(55)

d. Turut serta merasakan penderitaan orang lain dengan sikap empati dan keramahan (rela berkorban, siap sedia, murah hati, penuh perhatian, tenggang rasa, dan terbuka untuk berdialog).

e. Melayani demi “keselamatan” anak-anak yang dilayani.

f. Mengembangkan sikap murah hati di antara para “pelayan

pendidikan” maupun peserta didik.

g. Melayani dengan semangat “demi cinta Allah aku akan menolong mereka yang berkesesakan hidup, maka aku akan cukup kaya dengan

rahmat dan cinta Allah”.

C. Hakikat Pendekatan Experiential Learning 1. Pengertian Pendekatan Experiential Learning

Salah satu pendekatan pelaksanaan program bimbingan adalah experiential learning. Konsep experiential learning pertama kali dicetuskan oleh Kolb (1984). Kolb mengatakan: “experiential learning: experience as the source of learning and development” dalam pernyataan tersebut, terkandung makna pengalaman nyata peserta didik. Peserta didik berperan secara aktif mengeksplorasi, dan membuat catatan tentang peristiwa yang terjadi. Experiential learning adalah suatu model proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalamannya secara langsung dengan menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong


(56)

pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran.

Experiential learning adalah suatu proses siswa mengkonstruksi atau menyusun pengetahuan keterampilan dan nilai dari pengalaman langsung. Dengan kata lain experiential learning merupakan model pembelajaran yang memperhatikan atau menitik beratkan pada pengalaman yang akan dialami siswa. Siswa`terlibat langsung dalam proses belajar dan siswa mengkonstruksi sendiri pengalaman-pengalaman yang didapat sehingga menjadi suatu pengetahuan. Pengalaman yang dialami secara langsung oleh siswa dalam prose belajar akan mengalami perubahan, guna meningkatkan efektifitas hasil belajar.

2. Prinsip Pendekatan Experiential Learning

Experiential Learning adalah suatu proses siswa mengkonstruksi atau menyusun pengetahuan keterampilan dan nilai dari pengalaman langsung. Adapun prinsip dasar Experiential Learning adalah sebagai berikut:

a. Tahapan pengalaman nyata. b. Tahapan observasi refleksi. c. Tahapan konseptualisasi. d. Tahap implementasi.


(57)

3. Kelebihan dan kekurangan Pendekatan Experiential Learning

Pendekatan Experiential Learning memiliki kelebihan yakni dapat meningkatkan semangat dan gairah belajar, membantu terciptanya suasana belajar yang kondusif, memunculkan kegembiraan dalam proses belajar, mendorong dan mengembangkan proses berpikir kreatif, dan mendorong siswa untuk melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda. Selain beberapa kelebihan yang telah disebutkan, terdapat pula kekurangan dari pendekatan Experiential Learning yakni dibutuhkannya alokasi waktu yang relatif lama dalam proses pembelajaran (Sinaga, 2013).

Dari kelebihan dan kekurangan yang ada pada pendekatan Experiential Learning tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan Experiential Learning dapat efektif apabila diberikan kepada peserta didik dengan memperhatikan materi yang akan diberikan, persiapan, strategi yang akan digunakan dan alokasi waktu yang disediakan. Dengan begitu pembelajaran dengan pendekatan Experiential Learning dapat efektif diberikan kepada peserta didik, sehingga tercapailah tujuan dari pendekatan Experiential Learning yakni; Mengubah struktur kognitif siswa, Mengubah sikap siswa, Memperluas keterampilan-keterampilan siswa yang telah ada.

4. Aktivitas Inti dalam Pembelajaran Experiential

Experiential learning atau pembelajaran berbasis pengalaman pada dasarnya merupakan student centered learning atau pembelajaran berpusat pada siswa atau pembelajar. Pembelajarlah yang harus aktif melakukan


(58)

atau mengalami aktivitas atau peristiwa tertentu, mengolah, memaknai, dan menafsirkan pengalaman belajarnya itu dengan bantuan orang lain khususnya sesama pembelajar, dan berusaha menerapkan hasil pembelajarannya itu dalam menghadapi berbagai tugas di luar lingkungan pembelajaran, yaitu dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Untuk itu, ada beberapa jenis aktivitas atau kegiatan inti yang lazim dipraktekkan pada berbagai tahap proses belajar dalam siklus pembelajaran experiential, khususnya refleksi dan sharing.

a. Refleksi

Hakikat refleksi adalah memantulkan atau lebih tepat menghadirkan kembali dalam batin kita aneka pengalaman yang sudah terjadi, untuk menemukan makna dan nilainya yang lebih dalam. Maka, ada yang menyatakann bahwa refleksi selalu bertujuan mendidik, dalam arti berperan sebagai sejenis jembatan yang menghubungkan pengalaman pribadi dan belajar. Refleksi yang benar membantu kita mencapai insight atau pencerahan, yaitu menangkap pengertian dan nilai-nilai hidup semakin mendalam serta menolong munculnya ketetapan hati untuk bertindak mewujudkan pengertian dan nilai hidup yang semakin mendalam itu dalam kehidupan kita sehari-hari (Reed & Koliba dalam Supratiknya, 2011).

b. Sharing

Sharing adalah membagikan pikiran dan atau perasaan yang muncul sebagai hasil refleksi, kepada orang lain dalam kegiatan belajar


(59)

bersama. Dalam sharing bersama atau saling berbagi hasil refleksi, masing-masing peserta saling medengarkan, saling membantu menangkap makna dan nilai yang semakin mendalam dari berabagi penglaman hidupnya, serta saling meneguhkan. Agar berlangsung secara lancar dan efektif, kegiatan refleksi dan sharing dalam kelompok perlu difasilitasi oleh seorang fasilitator melalui pertanyaan-pertanyaan dalam apa yang disebut lingkaran refleksi (Reed & Koliba dalam Supratiknya, 2011).

D. Hakikat Layanan Bimbingan Klasikal Kolaboratif 1. Pengertian Bimbingan Klasikal

Bimbingan klasikal dilaksanakan dengan mengadakan sejumlah kegiatan bimbingan dengan topik-topik bimbingan yang relevan dan sejalan dengan kebutuhan siswa. Pada dasarnya bimbingan klasikal merupakan bentuk dan sarana pelayanan bimbingan yang diberikan konselor di dalam kelas dengan menyajikan materi yang telah disiapkan sebelumnya untuk menunjang perkembangan optimal masing-masing siswa, yang diharapkan dapat mengambil manfaat dari pengalaman pendidikan bagi dirinya sendiri (Winkel dan Hastuti, 2004). Bimbingan klasikal merupakan layanan bimbingan kelompok yang diberikan dalam suasana kelompok kelas di sekolah.

Bimbingan klasikal (Makhrifah & Wiryo Nuryono, 2014:1) merupakan suatu layanan bimbingan dan konseling yang diberikan kepada peserta didik oleh guru bimbingan dan konseling (Guru BK) atau konselor


(60)

kepada sejumlah peserta didik dalam satuan kelas yang dilaksanakan di dalam kelas. Bimbingan klasikal (Dirjen Pendidikan Dasar, 2014:19) merupakan format kegiatan bimbingan dan konseling yang melayani sejumlah peserta didik dalam rombongan belajar satu kelas.

Kebutuhan dan masalah yang bersifat umum, dihadapi oleh seluruh atau sebagian besar peserta didik, dan tidak terlalu bersifat pribadi, dapat dibantu dengan layanan bantuan secara klasikal atau kelompok besar. Layanan klasikal atau kelompok besar biasanya bersifat informatif, sehingga dapat segera diberikan oleh konselor atau guru BK (Sukmadinata, 2007:116 & 118). Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian layanan bimbingan klasikal adalah kegiatan bimbingan yang diberikan untuk membantu siswa yang memiliki kebutuhan serta masalah yang bersifat umum, dihadapi oleh seluruh atau sebagian besar siswa dalam satuan kelas.

2. Tujuan Bimbingan Klasikal

Tujuan layanan bimbingan ialah supaya sesama manusia mengatur kehidupan sendiri, menjamin perkembangan dirinya sendiri seoptimal mungkin, memikul tanggung jawab sepenuhnya atas arah hidupnya sendiri, menggunakan kebebasannya sebagai manusia secara dewasa dengan berpedoman pada cita-cita yang mewujudkan semua potensi yang baik padanya, dan menyelesaikan semua tugas yang dihadapi dalam kehidupan ini secara memuaskan (Winkel, 2004:31). Layanan bimbingan mempunyai tujuan supaya orang yang dilayani menjadi mampu mengatur


(1)

http://youtube.com/watch?v=AC6TcL1nECc

Sinopsis

Sebuah film pendek yang menggambarkan pencemaran yang ada di bumi kita tercinta ini. Ada berbagai pencemaran yang disebabkan karena ketidakpedulian manusia dengan diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Ada berbagai pencemaran, ada pencemaran tanah, air, dan udara. Sudah saatnya kita peduli terhadap bumi kita dengan diawali dari peduli dengan diri kita.

Menjaga Kebersihan Diri dan Lingkungan

https://www.google.co.id/search?q=peduli+terhadap+diri+dan+lingkungan

Kebersihan merupakan keadaan bebas dari kotoran, termasuk di antaranya, debu, sampah, dan bau.

Kebersihan diri

Suatu upaya untuk memelihara kebersihan tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kebersihan diri terdiri dari:

1. Kebersihan rambut dan kulit kepala 2. Kebersihan mata, telinga, dan hidung 3. Kebersihan gigi dan mulut

4. Kebersihan badan

5. Kebersihan kuku tangan dan kaki. 6. Kebersihan pakaian

Cara menjaga kebersihan diri dapat dilakukan dengan mandi, gosok gigi, cuci tangan, keramas, membersihkan kuku, dan lain-lain.

Kebersihan Lingkungan

Suatu upaya untuk memelihara kebersihan di sekitar tempat tinggal kita.

Kebersihan lingkungan dapat

dilakukan dengan cara melap jendela, menyapu, mengepel lantai, mencuci peralatan makan, membersihkan tempat tidur, membersihkan kamar mandi, membuang sampah pada tempatnya, dan lain-lain.


(2)

Manfaat menjaga kebersihan

SUNGAI BERSIH, BANJIR PUN PERGI

https://www.google.co.id/search?q=kisah+peduli+lingkungan

Andi, Antok, dan Eko adalah tiga orang siswa SD Negeri Pamulang 4 yang telah berteman sejak mereka TK. Ketiga siswa tersebut sangat gemar membersihkan lingkungan sekolah. Tidak heran bila bapak/ibu guru menjadikan mereka sebagai tauladan bagi siswa yang lain. Suatu hari di bulan September, mereka sedang bermain-main di sungai selepas pulang sekolah. Mereka memang gemar mencari ikan untuk kemudian digoreng dan dijadikan lauk makan siang. Ukuran sungai yang tidak begitu besar membuat mereka mudah berjalan dari ujung ke ujung bagian sungai. Mereka menjumpai banyak sekali sampah di pinggir sungai. Mulai dari plastik, botol-botol, dan lain-lain. Setelah kelelahan dan beristirahat di pinggir sungai, Andi pun berkata kepada Antok dan Eko tentang sampah yang banyak mereka jumpai di pinggir sungai. Mereka pun sepakat bahwa sampah yang menumpuk di sungai bisa mengakibatkan banjir saat musim hujan nanti.

Manfaat yang kita dapatkan jika kita dapat menjaga kebersihan diri dan lingkungan adalah sebagai berikut.

1. Menghindarkan kita dari penyakit dan meningkatkan kesehatan.

2. Kita menjadi lebih nyaman dengan diri kita dan kerasan dengan lingkungan di sekitar tempat tinggal kita.

3. Kita tetap berpenampilan menarik dan tidak dijauhi oleh orang lain. 4. Terhindar dari bencana alam misalnya banjir.


(3)

guru. Mereka menemui Bapak Ahmad, Wali Kelas mereka. Antok menceritakan tentang banyaknya sampah yang ada di sungai, cerita Antok pun ditimpali dan dilengkapi oleh Andi dan Eko. Mereka memberikan usul kepada Wali Kelas mereka untuk mengadakan acara bersih sungai pada saat acara bersih-bersih sekolah yang rutin dilakukan setiap hari Jum'at minggu ke-2 setiap bulannya. Usulan mereka pun ditanggapi dengan positif oleh Wali Kelas.

Akhirnya tibalah hari di mana acara bersih-bersih sungai itu dilaksanakan. Pada pagi hari, Kepala Sekolah memberikan arahan kepada semua siswa tentang pentingnya sebuah sungai yang bersih. Kepala Sekolah juga meminta kepada semua siswa untuk membersihkan sungai dengan sungguh-sungguh dan tak lupa Kepala Sekolah menyampaikan hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama acara bersih-bersih sungai berlangsung. Selesai acara pengarahan, dengan berbondong-bondong dan didampingi oleh Wali Kelas, para siswa menuju ke sungai yang lokasinya tidak jauh dari sekolahan. Sesampainya di tepi sungai, Wali Kelas membagi siswa kedalam beberapa kelompok di mana setiap kelompok terdiri dari 5 orang dan ada 1 orang siswa yang menjadi ketua serta koordinator kelompok. Acara bersih-bersih sungai berlangsung selama 2 jam.

Setelah acara bersih-bersih sungai selesai, tampak beberapa gundukan sampah yang berhasil dikumpulkan oleh para siswa. Sampah-sampah tersebut kemudian diangkut oleh truk milik Dinas Pekerjaan Umum yang memang sengaja didatangkan untuk mengangkut sampah sungai. Sungai pun kini tampak sangat bersih. Wali Kelas menjelaskan tentang arti pentingnya kebersihan sungai agar masyarakat di sekitar terbebas dari banjir saat musim hujan datang. Oleh karena itu, kita harus selalu mnjaga kebersihan lingkungan sekitar kita termasuk kebersihan sungai agar terhindar dari bahaya banjir.


(4)

Bacalah cerita di bawah ini dengan teliti!

Di bawah ini ada beberapa pertanyaan refleksi (guru pembimbing boleh memilih beberapa pertanyaan yang sesuai diantara daftar berikut)

NO KETERANGAN PERTANYAAN REFLEKSI

1. Permainan

Setelah bermain dinamika jawablah pertanyaan berikut ini!

1. Dala per ai a Patroli Sampah :

a. Adakah yang tidak melakukan patroli?

b. Bagaimana sikapmu ketika temanmu tidak melakukan patroli sampah sedangkan kamu sangat rajin?

c. Apa yang membuatmu melakukan patroli sampah dengan baik? Apa alasanmu?

2. Pelajaran berharga apa yang dapat kamu petik dari permainan tersebut?

3. Alasan apa yang menjadikanmu semangat dalam mengumpulkan sampah?

4. Apa yang akan kamu lakukan setelah mengikuti kegiatan tersebut?

2. Video

Setelah menonton video kebersihan diri, jawablah pertanyaan di

bawah ini!

1. Setelah menonton video mengenai kebersihan diri, hal apa yang kamu pikirkan mengenai video tersebut?

2. Hal apa yang dapat kamu petik/terapkan dalam kehidupanmu setelah menonton video tersebut?

3. Menurut pendapatmu, apa saja cara yang dapat kamu lakukan untuk menjaga kebersihan diri?

Setelah menonton video kebersihan lingkungan, jawablah


(5)

1. Apa yang kamu pikirkan setelah menonton video tersebut? 2. Bagaimana perasaanmu ketika ada orang yang tidak menjaga

lingkungan dengan baik? Apa dampaknya?

3. Apa manfaat yang kamu dapat setelah menonton video tersebut?

3. Kisah Inspiratif

Setelah membaca cerita di atas, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!

1. Menurut pendapatmu, apa usahamu supaya lingkunganmu tidak terkotori?

2. Menurut pendapatmu jika ada orang yang mengotori lingkungan di sekitar tempat tinggalmu bagaimana? Berikan alasanmu!

3. Setelah membaca dan mencermati cerita, manfaat apa yang kamu dapatkan?


(6)

PERNYATAAN HASIL BELAJAR

Setelah saya mengikuti kegiatan bimbingan hari ini e ge ai Ke ersiha Diri da

Li gku ga , saya menjadi tahu bahwa:

___________________________________________________________________________ ___________________________________________________________________________

NIATKU

Setelah saya mengikuti bimbingan pada hari ini e ge ai Ke ersiha Diri da Li gku ga saya berniat untuk:

___________________________________________________________________________ ___________________________________________________________________________

Cintailah Lingkunganmu Seperti Kamu

Mencintai Dirimu Sendiri-Anonim

G.

PESAN MORAL


Dokumen yang terkait

Implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan islam

0 6 113

Pengaruh pendekatan contextual teaching and learning (CTL) melalui metode eksperimen terhadap hasil belajar siswa : quasi eksperimen di SMP Negeri 6 kota Tangerang Selatan

0 4 182

Pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa : studi eksperimen di SMP Muhammadiyah 19 Sawangan Depok

0 8 134

Penggunaan metode guided discovery learning untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa pada pokok bahasan bangun ruang sisi lengkung: studi quasi eksperimen di SMP Paramarta

6 16 69

Pengaruh pembelajaran matematika dengan pendekatan problem centered learning terhadap hasil belajar matematika siswa : quasi eksperimen di SMP Pgri 1 ciputat

1 8 160

Pembelajaran dengan metode diskoveri terbimbing dalam meningkatkan hasil belajar kimia siswa pada pokok bahasan asam basa : studi eksperimen di SMP Islamiyah Ciputat

0 3 180

Pengembangan CAI-kontekstual untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematik dan karakter mahasiswa

0 1 12

Efektivitas manajemen pendidikan karakter dalam upaya meningkatkan prestasi akademik siswa di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Yogyakarta tahun ajaran 2014/2015

0 0 9

1 BAB I PENDAHULUAN - Manajemen kolaboratif guru bidang studi dan guru bimbingan konseling dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan siswa pada SMA Muhammadiyah Kasongan - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 16

Manajemen kolaboratif guru bidang studi dan guru bimbingan konseling dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan siswa pada SMA Muhammadiyah Kasongan - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 54