kurang optimal terlebih di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini berdasarkan penelitian tim Antimicrobial Resistent in Indonesia AMRIN di dua
rumah sakit pendidikan di Indonesia dengan hasil peresepan yang tergolong tepat hanya sebesar 21.
Berdasarkan penelusuran pustaka, penelitian mengenai evaluasi peresepan peresepan antibiotika pada pasien leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati
Bantul belum pernah dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan studi retrospektif yaitu dengan melihat data yang sudah ada dan kemudian dilakukan evaluasi
terhadap data tersebut serta menggunakan metode Gyssens yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi peresepan antibiotika pada pasien
leptospirosis seperti ketepatan indikasi, pemilihan berdasarkan efektifitas, spektrum, durasi pemakaian, toksisitas, dosis, interval, harga, cara dan waktu
pemberian. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi informasi terkait
ketepatan peresepan antibiotika yang diterima oleh pasien leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul serta dapat digunakan khususnya oleh dokter,
apoteker dan perawat dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terkait peresepan antibiotika.
1. Rumusan masalah
Beberapa permasalahan yang memerlukan jawaban sehubungan dengan penelitian ini adalah :
a. Seperti apakah profil pasien dengan penyakit leptospirosis di RSUD
Panembahan Senopati Bantul? b.
Seperti apakah profil peresepan antibiotika pada pasien leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul?
c. Seperti apakah ketepatan peresepan antibiotika pada pasien leptospirosis di
RSUD Panembahan Senopati Bantul yang dievaluasi dengan metode Gyssens?
2. Keaslian penelitian
Beberapa penelitian yang berhubungan dengan evaluasi ketepatan peresepan antibiotika pada pasien dengan leptospirosis yang pernah
dilakukan antara lain : a.
Evaluasi Penggunaan Kriteria Diagnosis Leptospirosis WHO SEARO 2009 pada Pasien Leptospirosis di RSUP dr Kariadi Semarang yang
dilakukan oleh Andani 2014. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kriteria diagnosis leptospirosis WHO SEARO 2009 memudahkan klinisi
untuk menegakkan diagnosis leptospirosis pada kasus demam akut yang teridentifikasi berdasarkan gambaran klinis, riwayat terpejan, dan hasil
laboratorium. b.
Kondisi Lingkungan Pemukiman yang Tidak Sehat Berisiko Terhadap Kejadian Leptospirosis Studi Kasus di Kota Semarang yang dilakukan
oleh Ramadhani dan Yunianto 2010 dengan hasil yang menunjukkan bahwa lingkungan pemukiman berupa rumah tidak sehat dan keberadaan
tikus di dalam dan sekitar lingkungan secara statistik berhubungan dengan kejadian leptospirosis.
c. Kajian Literatur Rasionalitas Peresepan Antibiotika Berdasarkan Kriteria
Gyssens pada Pasien Pediatrik Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Juli 2013 yang dilakukan oleh Prabawa 2014
dengan hasil yang menunjukkan bahwa 52 penggunaan antibiotika secara rasional dengan sefotaksim sebagai antibiotika yang paling banyak
digunakan. d.
Kajian Literatur Rasionalitas Peresepan Antibiotika Berdasarkan Kriteria Gyssens pada Pasien Pediatrik Rawat Inap Puskesmas Mlati II Kabupaten
Sleman Periode Januari - Juli 2013 yang dilakukan oleh Dewi 2014 dengan hasil yang menunjukkan bahwa 63,9 penggunaan antibiotika
secara rasional dengan kotrimoksazol sebagai antibiotika yang paling banyak digunakan.
Sejauh penelusuran yang peneliti lakukan, penelitian mengenai evaluasi peresepan antibiotika pada pasien dengan leptospirosis belum
pernah dilakukan sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada subyek yang diteliti, tempat penelitian, dan waktu
pelaksanaan. Persamaan dengan penelitian terdahulu terletak pada topik dan metode penelitianyaitu leptospirosis dan metode Gyssens.
3. Manfaat penelitian