utama,  keluhan,  tanggal  rawat,  pemeriksaan  fisik,  status  pulang,  hasil laboratorium  serta  terapi  farmakologis  yang  diberikan  kepada  pasien.
Informasi  mengenai  terapi  farmakologis  meliputi  nama  obat,  dosis pemberian, frekuensi pemberian, lama pemberian dan cara pemberian.
4. Analisis data
Data  yang  diperoleh  dianalisis  secara  deskriptif  dan  disajikan dalam bentuk diagram dan tabel.
H. Tata Cara Analisis Hasil
1. Karakteristik pasien
a. Distribusi  pasien  berdasarkan  jenis  kelamin  dibagi  menjadi  2
kelompok,  yaitu laki-laki  dan perempuan, dengan menghitung jumlah kasus  pada  setiap  kelompok  jenis  kelamin  per  jumlah  keseluruhan
kasus yang dianalisis dikali 100. b.
Distribusi  pasien  berdasarkan  usia  dibagi  menjadi  9  kelompok berdasarkan  Depkes  RI,  yaitu  balita  0-5  tahun,  kanak-kanak  5-11
tahun, remaja awal 12-16 tahun, remaja akhir 17-25 tahun, dewasa awal  26-35  tahun,  dewasa  akhir  36-45  tahun,  lansia  awal  46-
55tahun,  lansia  akhir  56-65  tahun,  dan  manula  65  tahun  ke  atas, dengan  menghitung  jumlah  kasus  pada  setiap  kelompok  usia  per
jumlah keseluruhan kasus yang dianalisis dikali 100.
2. Profil peresepan antibiotika
Persentase  jenis  antibiotika  yang  diberikan  pada  pengobatan leptospirosis  diperoleh  dengan  menghitung  jumlah  kasus  yang
mendapatkan jenis antibiotika tertentu per jumlah keseluruhan kasus yang dianalisis dikali 100.
3. Evaluasi ketepatan peresepan
Evaluasi  ketepatan  peresepan  dilakukan  dengan  menggunakan metode  Gyssens  dimana  dilakukan  analisa  secara  deskriptif  dengan
menguraikan  data-data  yang  ada  pada  rekam  medis.  Data  yang  diperoleh diperiksa kelengkapannya dan dipastikan tidak ada kekeliruan pemasukan
data lalu dievaluasi sesuai dengan alur Gyssens. Proses  evaluasi  peresepan  antibiotika  dengan  metode  Gyssens  seperti
berikut : a.
Bila data tidak lengkap berhenti di kategori VI. Data  tidak  lengkap  terjadi  saat  data  rekam  medis  tanpa  anamnesa,
diagnosis atau adanya halaman rekam medis  yang hilang. Antibiotika yang lolos kategori VI dilanjutkan dengan evaluasi pada kategori V
b. Bila tidak ada indikasi penggunaan antibiotika berhenti di kategori V.
Tidak adanya indikasi penggunaan antibiotika terjadi saat pasien tidak menunjukkan  tanda-tanda  terinfeksi  bakteri.  Adanya  infeksi  bakteri
dapat  dilihat  dari  gejala,  tanda  vital  pasien,  hasil  pemeriksaan laboratorium  ataupun  hasil  kultur  bakteri.  Antibiotika  yang  lolos
kategori V dilanjutkan dengan evaluasi kategori IV.
c. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif berhenti di kategori
IVA. Adanya antibiotika lain yang lebih efektif terjadi saat pasien diberikan
antibiotika yang bukan merupakan terapi pengobatan. Pada penelitian ini, adanya antibiotika lain yang lebih efektif ditetapkan dengan acuan
Departemen Kesehatan
RI 2014,
Philippine Society
for Microbiology  and  Infectious  Diseases  2010  dan  WHO  2003.
Antibiotika  yang  lolos  kategori  IVA  dilanjutkan  dengan  evaluasi kategori IVB.
d. Bila  ada  pilihan  antibiotika  lain  yang  kurang  toksik,  berhenti  di
kategori IVB. Adanya  antibiotika  lain  yang  kurang  toksik  terjadi  ketika  antibiotika
tersebut  memiliki  interaksi  dengan  obat  lain  yang  digunakan  oleh pasien atau kontraindikasi dengan kondisi pasien. Pada penelitian ini,
adanya  antibiotika  lain  yang  kurang  toksik  ditetapkan  dengan  acuan Lacy,  et  al  2011.  Antibiotika  yang  lolos  kategori  IVB  dilanjutkan
dengan evaluasi kategori IVC. e.
Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah berhenti di kategori IVC.
Adanya  antibiotika  lain  yang  lebih  murah,  contohnya  pasien  diberi antibiotika  dengan  merek  paten,  meskipun  tersedia  yang  generik.
Antibiotika  yang  lolos  kategori  IVC  dilanjutkan  dengan  evaluasi kategori IVD.
f. Bila  ada  pilihan  antibiotika  lain  dengan  spektrum  yang  lebih  sempit
berhenti di kategori IVD. Ada antibiotika lain yang memiliki spektrum lebih sempit terjadi saat
sudah  diketahui  bakteri  penyebab  penyakit,  namun  antibiotika  yang diberikan bukan antibiotika yang spesifik. Pada penelitian ini, adanya
antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit ditetapkan dengan acuan  Departemen  Kesehatan  RI  2014,  Philippine  Society  for
Microbiology  and  Infectious  Diseases  2010  dan  WHO  2003. Antibiotika  yang  lolos  kategori  IVD  dilanjutkan  dengan  evaluasi
kategori IIIA. g.
Bila durasi pemberian antibiotika terlalu panjang berhenti di kategori IIIA.
Durasi  pemberian  antibiotika  yang  terlalu  panjang  dapat  diartikan sebagai  pemberian  antibiotika  yang  melebihi  durasi  yang  seharusnya
diberikan.  Pada  penelitian  ini,  pemberian  antibiotik  yang  lebih  lama ditetapkan  dengan  acuan  Philippine  Society  for  Microbiology  and
Infectious  Diseases  2010.  Antibiotika  yang  lolos  kategori  IIIA dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIIB.
h. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu singkat berhenti di kategori
IIIB. Durasi  pemberian  antibiotika  yang  terlalu  singkat  dapat  diartikan
sebagai  pemberian  antibiotika  yang  kurang  dari  durasi  yang seharusnya diberikan. Pada penelitian ini, pemberian antibiotika yang
terlalu  singkat  ditetapkan  dengan  acuan  Philippine  Society  for Microbiology  and  Infectious  Diseases  2010.  Antibiotika  yang  lolos
kategori IIIB dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIA. i.
Bila dosis pemberian antibiotika tidak tepat berhenti di kategori IIA. Dosis pemberian antibiotika yang tidak tepat dapat terjadi ketika dosis
yang  diberikan  terlalu  tinggi  maupun  terlalu  rendah.  Pada  penelitian ini, dosis yang tidak tepat ditetapkan dengan acuan Philippine Society
for  Microbiology  and  Infectious  Diseases  2010.    Antibiotika  yang lolos kategori IIA dilanjutkan dengan evaluasi IIB.
j. Bila interval pemberian antibiotika tidak tepat berhenti di kategori IIB.
Interval  pemberian  antibiotika  yang  tidak  tepat  dapat  terjadi  ketika interval  yang  diberikan  kurang  ataupun  berlebih.  Pada  penelitian  ini,
interval  yang  tidak  tepat  ditetapkan  dengan  acuan  Philippine  Society for  Microbiology  and  Infectious  Diseases  2010.    Antibiotika  yang
lolos kategori IIB dilanjutkan dengan evaluasi IIC. k.
Bila rute pemberian antibiotika tidak tepat berhenti di kategori IIC. Rute  pemberian  antibiotika  tidak  tepat  terjadi  ketika  pasien  yang
masih  memungkinkan  diberikan  antibiotika  secara  oral  namun diberikan  antibiotika  secara  intravena.  Pada  penelitian  ini,  rute
pemberian  yang  tidak  tepat  ditetapkan  dengan  acuan  Philippine Society for  Microbiology and Infectious  Diseases  2010. Antibiotika
yang lolos kategori IIC dilanjutkan dengan evaluasi kategori I. l.
Bila waktu pemberian antibiotika tidak tepat berhenti di kategori I
Waktu pemberian antibiotika dievaluasi berdasarkan waktu pemberian setiap harinya. Pada penelitian ini, adanya antibiotika yang tidak tepat
waktu  pemberian  ditetapkan  dengan  acuan  Philippine  Society  for Microbiology  and  Infectious  Diseases  2010.  Antibiotika  yang  lolos
kategori I dilanjutkan dengan evaluasi kategori 0. m.
Bila  antibiotika  tidak  masuk  dalam  kategori  I-VI  maka  antibiotika tersebut merupakan kategori 0.
I. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu : 1.
Dengan menggunakan data yang bersifat retrospektif, terdapat kendala dalam  hal  kelengkapan  dan  kesulitan  dalam  pembacaan  rekam  medis
yang disebabkan oleh tulisan yang kurang jelas. 2.
Data  yang  digunakan  juga  merupakan  data  rekam  medis,  sehingga tidak dapat dilakukan konfirmasi dengan dokter penulis resep, perawat
maupun apoteker setempat. 3.
Metode  yang  digunakan  untuk  evaluasi  yaitu  metode  Gyssens  tidak selalu dapat diselaraskan dengan kondisi yang dialami pasien baik dari
diagnosis awal sampai dengan outcome terapi pasien. Sangat sulit bila hanya  berpatokan  dari  teoritis  metode  ini  berdasarkan  buku-buku
pegangan tanpa mengetahui kondisi sebenarnya yang dialami pasien.
29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN