Hadiah buat Sutiyoso Analisis Karikatur Megawati dalam Buku Dari Presiden Ke Presiden

11. Hadiah buat Sutiyoso

Gambar 11 Caption: Hadiah buat Sutiyoso Cukup Sudah, Bang Yos WAJAH pria bebaju safari cokelat itu sedikit tegang. Dua orang ajudan menyorongkan amplop tebal kecokelatan. Isinya berupa formulir dan seabrek dokumen persyaratan untuk jadi orang nomor satu di Ibu Kota. Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta yang pensiunan jenderal bintang tiga itu, lalu menyerahkannya kepada panitia. Ia memang berniat maju sebagai kandidat eksekutif puncak di Jakarta untuk kedua kalinya. Panitia ketularan rikuh. Mungkin karena waktunya mepet, beberapa saat lagi pada Jumat sore pekan lalu itu pendaftaran ditutup. Sugeng Supriyatna, petugas piket pendaftaran yang menerima bendel Bang Yos- panggilan buat Sutiyoso-tampak grogi. ”Jangan tegang, Pak,” teriak puluhan wartawan dan juru foto yang mengerumuni mereka di Gedung DPR DKI di kawasan Kebon Sirih. Sutiyoso, 58 tahun, bersama 70-an orang bakal calon lainnya, akhirnya terdaftar pada panitia pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI periode 2002-2007. Prinsip pantang menyerah agaknya jadi pegangan hidup Sutiyoso. Meski ditentang, dikritik, bahkan dihujat kanan-kiri, gubernur yang mulai memerintah di masa senja kekuasaan Presiden Soeharto Oktober 1997 itu tetap maju mencalonkan diri. Ia tak peduli dengan desakan mundur dari seteru-seterunya. ”Dukungan masyarakat kepada saya masih cukup kuat,” katanya kepada Dimas Adityo dari Tempo News Room lihat Bu Mega Merestui Semua Orang. Jika restu Mega sudah bulat, di atas kertas Sutiyoso bisa saja terpilih kembali. Fraksi PDI Perjuangan mendominasi kursi parlemen DKI, yang berjumlah 84 orang itu. Apalagi ditambah suara dari PPP. Merekalah yang akan menentukan kursi gubernur lewat pemungutan suara. Kecuali jika dua bos besar itu berubah pikiran. Toh, modal penting sudah di tangan: laporan pertanggungjawaban Sutiyoso-disampaikan saban tahun dan biasa disingkat LPJ- yang terakhir, Maret lalu, akhirnya diterima dewan, meski dengan catatan di sana- sini. Contoh paling gres adalah yang menyangkut penanganan banjir. Sutiyoso dianggap gagal dalam mengantisipasi banjir besar akhir Januari silam, yang nyaris menenggelamkan Jakarta. Kekhilafan itu ternyata berlanjut. Pelaksanaan proyek pascabanjir tidak jelas. Anggaran rehabilitasi rumah-rumah warga miskin, yang rata-rata Rp 2,5 juta per rumah, masih disunat Rp 200 ribu. Pemotongan itu, menurut petugas di lapangan, untuk biaya administrasi. Sutiyoso mengaku tak tahu-menahu soal pemotongan tersebut. Selain ”daftar dosa” versi Kebon Sirih, kritik juga berhamburan dari masyarakat. Hal itu muncul di media massa ataupun melalui demonstrasi. Setiap kali Sutiyoso memberikan laporan pertanggungjawaban, misalnya, gedung dewan selalu dipenuhi para demonstran, yang terdiri dari masyarakat, mahasiswa, dan aktivis LSM yang memprotes kinerja Sutiyoso. Bahkan, pada acara penyampaian laporan 2002, para demonstran sampai masuk ke ruang sidang. Pengaturan tata ruang juga banyak dikritik. Marco Kusumawijaya, ahli tata ruang, menyayangkan pelbagai keputusan bos Ibu Kota itu yang ternyata tak sesuai dengan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Contohnya adalah Rencana Tata Ruang Wilayah 2002-2010, yang menggantikan Rencana Umum Tata Ruang RUTR 1985-2005. Menurut Marco, konsep terakhir itu hanya pembenaran dari pelanggaran yang sudah terjadi pada RUTR. ”Dari situ tampak porsi ruangan publik, kawasan hijau untuk rakyat, berkurang drastis, ” katanya. Ibarat kata pepatah: biarpun anjing menggonggong, kafilah terus berlalu. Bang Yos jalan terus. Ihwal penyerbuan kantor PDI di jalan Diponegoro pada 1996 lalu, saat ia menjadi Pangdam Jaya, juga enteng ditepis. ”Semua itu ada mekanisme hukumnya, ” kata Yos. Padahal, ironisnya, partai teraniaya inilah yang kemudian menjadi cikal bakal PDI Perjuangan. Pada pemilu terakhir, Partai Banteng sukses memerahkan Jakarta dan memasang mayoritas kursi parlemen Ibu Kota. Pendek kata, Sutiyoso merasa telah melakukan banyak perbaikan. Dalam pemaparan di ketiga LPJ-nya, ia mengungkapkan bahwa dirinya telah melakukan pemberantasan KKN, pembenahan BUMD, dan pembenahan yang lainnya. ”Kami sudah melakukan apa yang disarankan oleh anggota dewan, ” tuturnya. Itulah repotnya kalau dewan jadi ukuran. Semuanya memang terpulang pada kalkulasi jumlah kursi. Bukan pada suara rakyat yang marah, yang tak bisa mencoblos langsung gubernurnya. 11 Bina Bektiati, Dimas Adityo Tempo News Room Sign: - Gambar seorang perempuan gendut, berkacamata dan membawa kantong belanja - Gambar anak kecil laki-laki membawa mahkota bertuliskan Gubernur DKI - Gambar balon dialog diatas kepala anak kecil bertuliskan ”cihuuuuy... makasih oleh –olehnya ya.. mama” Interpretasi: Pada gambar terlihat seorang perempuan gemuk berkacamata dan membawa kantung-kantung belanja. Dia adalah Megawati. Sedangkan seorang anak kecil yang duduk membawa sebuah mahkota bertuliskan Gubernur DKI adalah Sutiyoso. Mega membawa dua kantong untuk pribadinya sedang sutiyoso mendapatkan satu buah kantung dari Mega. Hal itu membuktikan bahwa Mega mendapat keuntungan lebih dalam membantu Sutiyoso menjadi Gubernur DKI. Sutiyoso terlihat begitu senang dan gembira mendapatkan sebuah kantung yang di dalamnya sebuah mahkota. Mahkota merupakan simbol kekuasaan tertinggi dalam kerajaan. Sutiyoso dipercaya oleh Mega untuk menjadi Gubernur DKI. 11 http:majalah.tempointeraktif.comidarsip20020624NASmbm.20020624.NAS1203 62.id.html Diakses Pada 24 Desember 2010 Pukul 10:14 Tabel 11 Histories Menjadi Gubernur DKI Sign - Sutiyoso membawa mahkota Gubernur DKI - Mega membawa kantong belanja Interpretasi Megawati dalam usahanya menjadikan Sutiyoso Gubernur DKI mendapat keuntungan lebih.

12. TKI yang terbengkalai