10. enimang Sutiyoso banyak hati yang terluka
Gambar 10
Caption: Menimang Sutiyoso banyak hati yang terluka Pemilihan Gubernur
Tentara di Kandang Banteng Jakarta, 4 Juli 2002 00:06
Kali ini, Presiden Megawati Soekarnoputri mengambil langkah politik berani. Ia terang-terangan menjagokan Letnan Jenderal purnawirawan Sutiyoso
untuk menduduki kursi Gubernur DKI Jakarta periode lima tahun mendatang. Padahal, Sutiyoso --terlepas dari kelebihannya-- ditengarai punya dosa politik.
Mantan Panglima Kodam Jaya ini sering dipautkan dengan kasus 27 Juli 1996. Dukungan Mega terhadap Sutiyoso, yang dinilai berpengalaman
menangani berbagai konflik sosial di Ibu Kota, ditafsirkan banyak orang sebagai bagian dari deal politik dengan militer untuk menopang stabilitas politik dan
ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum, Megawati berjalan mesra dengan tentara sejak masih menjadi wakil presiden.
Dalam urusan ini, kabarnya, Megawati berada di kubu TNI-AD. Akhirnya, Gus Dur mengalah, menyetujui pengangkatan Endriartono sebagai KSAD. Di luar
itu, Megawati sebagai wakil presiden juga mem-back up TNI dalam soal penanganan kasus Papua.
Bukan itu saja. Mega juga yang mengambil sikap serius di Maluku: penerapan darurat sipil, beleid yang diinginkan para petinggi TNI. Setelah
menjadi presiden, Megawati merestui Mabes TNI melakuan perluasan Kodam XVII Pattimura, untuk memulihkan kemanan di Ambon. Panglima Kodam
Pattimura, yang dulunya dijabat jenderal bintang satu, ditingkatkan menjadi jenderal bintang dua.
Lebih dari itu, Mega rajin mengunjungi barak-barak militer, sejak masih menjadi wakil presiden. Akhir September 2000, misalnya, Mega berkunjung ke
markas baret merah Komando Pasukan Khusus, Cijantung, Jakarta Timur. Selang sebulan, ia ikut menyaksikan latihan tempur prajurit Komando Cadangan Strategis
Angkatan Darat Kostrad di Cipatat, Bandung, Jawa Barat. Para peneliti ini menilai, pemerintahan Megawati tidak punya kontrol
terhadap militer. Mega membiarkan TNI mendesain dan melaksanakan sendiri reformasi serta kebijakan-kebijakan dalam bidang pertahanan. Pemerintahan
Megawati cenderung lepas tangan terhadap reformasi TNI, kata Rizal Sukma pula.
Malah, belakangan ini Presiden Mega tampaknya makin dekat dengan para jenderal TNI. Lebih dari itu, Megawati juga punya perhatian terhadap kehidupan
tentara dan Polri. Akhir Februari lalu, Presiden Megawati mengunjungi beberapa asrama TNI dan Polri yang tersebar di pelbagai tempat di Jakarta.
Kedekatan Presiden Mega dengan tentara, menurut penilaian Hajriyanto Y. Thohari, sekadar untuk menjaga stabilitas politik. Bukan dalam rangka
mengamankan posisi Presiden Megawati agar lestari hingga 2004. Karena adanya perubahan UUD 1945 yang sekarang sudah berlaku, kedudukan Presiden
Mega sangat kuat, kata anggota DPR dari Partai Golkar itu. Hariyanto menilai dukungan Megawati terhadap Sutiyoso menjadi calon
Gubernur DKI Jakarta sebagai bentuk deal politik Mega dengan tentara. Pencalonan itu diarahkan untuk memperalat Sutiyoso di masa yang akan datang,
katanya.
Posisi Sutiyoso saat ini dinilai lemah, akibat adanya penolakan publik yang cukup tinggi. Dalam kondisi tidak fit, Sutiyoso justru didukung presiden.
Nanti pada saatnya, Sutiyoso mau diperintah apa saja, dalam rangka balas budi, ujar Hajriyanto.
Dalam kasus ini, menurut Hajriyanto, Megawati melihat Sutiyoso mewakili mainstrem militer. Dengan mendukung Sutioyoso, hubungan Mega
dengan kalangan militer makin solid. Persoalannya, apakah Sutiyoso mewakili mainstream militer?
Atas dasar itu, Afan Gaffar menduga, pilihan Megawati kepada Sutiyoso karena kepentingan pribadi Mega. Sutiyoso dianggap mampu memobilisasi
dukungan dan dana, kata guru besar ilmu politik UGM ini. Pencalonan Sutiyoso yang tentara itu juga menunjukkan bahwa dari dalam PDI Perjuangan tidak ada
calon yang memadai. Afan menilai, Megawati terlampau berani menjagokan Sutiyoso, yang
dianggap tak populer di tingkat massa akar rumput partai banteng. Walau demikian, tindakan Mega tidak akan menjadi persoalan dalam tubuh partai.
Hal senada diungkapkan Hajriyanto, yang berpendapat bahwa pencalonan Sutiyoso tidak akan merugikan massa depan PDI Perjuangan. Alasannya,
kemenangan PDI Perjuangan di Jakarta pada pemilu lalu sangat tipis. Akan berdampak luas kalau Megawati mengambil langkah di daerah lain. Sebab, dalam
waktu dekat, akan ada pemilihan gubernur di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di tiga daerah ini, PDI Perjuangan menang telak. Kalau di situ ada
tindakan politik yang sama, menurut Hajriyanto, maka yang terjadi di Jakarta akan berulang, dan menasional.
10
[Heddy Lugito, Rohmat Haryadi, dan Sawariyanto Yogyakarta] [Laporan Khusus, GATRA Nomor 33 Beredar 01 Juli 2002]
10
http:www.gatra.com2002-07-08versi_cetak.php?id=18696, Diakses Pada 4 Desember 2010 Pukul 09:25
Sign: -
Gambar seorang perempuan berkacamata, memiliki tahi lalat di dagu kanan menggendong anak
- Gambar anak kecil laki-laki wajah panjang dan mata sipit membawa
ketapel -
Gambar anak kecil laki-laki kepala botak dan benjol, mengeluarkan air mata dan memakai kaos bertuliskan 27 Juli
Interpretasi:
Pada gambar diatas terlihat seorang ibu sedang menimang seorang anak laki-laki, seorang ibu tersebut adalah Megawati sedangkan anak laki-laki tersebut
yaitu Sutiyoso. Namun terlihat seorang anak kecil yang sedang menagis dengan kepala benjol, memakai kaos bertuliskan 27 juli dan memanggil ibunya. Anak
tersebut adalah korban dari kasus 27 juli tentang peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia PDI di Jl Diponegoro 58 Jakarta
Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi Ketua Umum versi Kongres PDI di
Medan serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI. Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan
Diponegoro, Salemba, Kramat. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: 5 orang meninggal dunia, 149 orang sipil maupun aparat luka-luka,
136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.
Korban tersebut merasa hatinya terluka karena saat itu Sutiyoso bersetatus tersangka pada tanggal 27 juli 1996. Namun Mega tetap mendukung Sutiyoso
menjadi Gubernur DKI. Dengan kacamata hitamnya Mega belum tentu menimang
Sutiyoso dengan ikhlas, mungkin saja Mega mempunyai pikiran yang berbeda terhadap Sutiyoso.
Tabel 10
Histories Tragedi 27 juli
Sign - Mega menggendong Sutiyoso
- anak kecil menangis dan kepala benjol Interpretasi
Mega mendukung Sutiyoso menjadi Gubernur DKI, dilain
pihak banyak
yang tidak
sependapat dikarenakan tragedy 27 Juli dimana Sutiyoso menjadi
tersangkanya.
11. Hadiah buat Sutiyoso