4. Indonesia masih bergolak, investor kabur
Gambar 4
Caption: Indonesia masih bergolak, investor kabur
Letter of Intent IMF
Tahun Penuh Derita Belum Berlalu
Tahun depan rasanya masih akan menjadi masa penuh derita bagi rakyat Indonesia. Soalnya, kendati sudah empat tahun berkubang dalam krisis,
pemerintah bakal tetap menjalankan kebijakan ekonomi superketat. Bahkan lebih ketat daripada tahun ini. Hal itu tertera dalam naskah letter of intent LoI terbaru
dengan Dana Moneter Internasional IMF, yang pekan lalu telah selesai dibahas dan langsung dikirim ke Washington untuk dimintakan persetujuan dari para bos
IMF. Bila mereka oke, Indonesia akan kembali mendapat kucuran dana US 360 juta yang akan ditaruh di Bank Indonesia untuk memperkuat cadangan devisa.
Kendati jumlah butirnya kian banyak?dari 35 butir dalam LoI III menjadi 47 butir dalam LoI IV?resep IMF masih tak beringsut dari pakem lama: memperkuat
kinerja makro-ekonomi dan menjaga stabilitas keuangan. Caranya? Dengan
menerapkan sejumlah kebijakan moneter dan fiskal yang ketat, serta melakukan perbaikan dalam pelaksanaan desentralisasi dan reformasi sektor keuangan.
Tujuan kebijakan seperti itu bisa ditebak: untuk melakukan penghematan habis-habisan dan menggenjot penerimaan secara besar-besaran. Maka, jangan
heran bila subsidi minyak bakal terus-menerus dikurangi, sehingga tahun depan harga minyak rata-rata akan naik 30 persen. Di sisi lain, rakyat akan dibebani
berbagai pungutan dan kenaikan tarif pajak. Bila melihat kondisi keuangan negara yang kembang-kempis, langkah perbaikan yang disarankan IMF sebetulnya ibarat
jamu: pahit tapi mungkin menyehatkan. Siapa yang tak setuju bila sektor perbankan segera dibenahi? Kalau perbankan sudah sehat, kasus seperti
penutupan Unibank tak bakal terjadi lagi. Dan, Menteri Keuangan Boediono pun berani menjamin, Tahun depan tak ada lagi bank yang harus dilikuidasi.
Demikian pula semua orang tahu, restrukturisasi utang perusahaan, penjualan aset di BPPN, dan privatisasi badan usaha milik negara BUMN perlu
segera dilakukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Apalagi penerimaan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN dan BUMN tak hanya
digunakan untuk menambal defisit anggaran. Sekitar 40 persen penerimaan akan disisihkan untuk mengurangi stok utang pemerintah, ujar Boediono. Tahun depan
pemerintah memang berencana menarik sebagian obligasi, baik di perbankan maupun di Bank Indonesia. Siapa pula yang tak sepakat bahwa pelaksanaan
desentralisasi perlu diperbaiki? Sudah jadi rahasia umum, sekarang banyak peraturan daerah perda yang menghambat pergerakan modal, barang, dan jasa
dari satu daerah ke daerah lain. Akibatnya, banyak pengusaha dan investor menyatakan jera melakukan usaha di daerah tersebut. Maka, sudah sewajarnya
bila pemerintah pusat turun tangan menertibkan perda yang menghambat kegiatan ekonomi.
Secara garis besar Menkeu Boediono menyebut perda yang harus dicabut itu ada empat kelompok. Masing-masing adalah perda tentang pajak atas komoditi
barang dan jasa; perda tentang retribusi pemanfaatan fasilitas umum; perda tentang retribusi yang bersifat pajak dan merintangi lalu lintas barang, modal,
jasa, atau manusia; perda tentang retribusi yang dikaitkan dengan fungsi perizinan
dan sumbangan pihak ketiga. Nah, rekomendasi Menkeu Boediono itu langsung ditanggapi oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno.
Untuk menuntaskan perseteruan lama antara pemerintah dan bank sentral soal dana bantuan likuiditas Bank Indonesia BLBI sejumlah Rp 144,5 triliun,
pemerintah akan mengundang konsultan independen. Soalnya, selama ini kedua pihak tak kunjung mencapai kata sepakat, berapa bagian yang menjadi tanggung
jawabnya masing-masing. Anjuran IMF untuk tetap mempertahankan kebijakan uang ketat untuk
mengekang inflasi?dengan mempertahankan suku bunga tinggi dan membatasi jumlah uang beredar?patut dipertanyakan. Di masa lalu, kebijakan itu terbukti
membuat ekonomi Indonesia berputar dalam lingkaran setan. Soalnya, suku bunga tinggi membuat sektor riil tak mampu bergerak. Pada gilirannya, bila usahanya
macet, kemampuan para pengusaha membayar cicilan utang pun tersendat. Akhirnya bank kembali terjangkit virus kredit macet, dan pemerintah harus
kembali memberi injeksi modal. Begitu terus-menerus. Belum lagi beban tambahan yang harus ditanggung pemerintah setiap kali terjadi kenaikan suku
bunga. Menurut hitungan, bila terjadi kenaikan suku bunga 1 persen, pemerintah harus mengeluarkan tambahan Rp 2,5 triliun di anggaran untuk membayar bunga
obligasinya. Di negara yang ekonominya masih lesu seperti Indonesia, pajak mestinya
justru diturunkan untuk merangsang orang membiakkan uangnya. Kalau yang terjadi sebaliknya, pengusaha akan lari ke tempat lain yang sistem pajak dan iklim
usahanya lebih bersahabat. Lalu, mengapa pemerintah masih tetap nrimo saja pada rekomendasi IMF? Jawabannya konon terletak pada upaya mempertahankan
kepercayaan. Kita butuh dipercaya oleh IMF agar seluruh dunia yang lain juga mempercayai kita. Dengan adanya kepercayaan dunia internasional, upaya
memulihkan perekonomian pun diharapkan menjadi lebih mudah. Masalahnya, setelah empat tahun, investor asing tampaknya tetap enggan datang ke Indonesia.
Di pasar modal, perdagangan saham kini sebagian besar justru dilakukan oleh pemain lokal. Perusahaan sekuritas asing malah menutup atau mengurangi
kegiatan usahanya.
Kata seorang pengusaha, Kalau kita dipercaya, kita bisa mendapat penjadwalan utang dengan mudah. Ibaratnya minta haircut pun diberi. Minta
jangka waktu pembayaran utang diperpanjang juga diberi. Minta mengubah utang menjadi modal pun dikasih. Nah, Indonesia pun kini sedang tersangkut utang US
74 miliar kepada negara-negara kreditor yang tergabung dalam Klub Paris, yang nota bene juga anggota IMF. Kita lihat saja, apakah para kreditor itu mau
memberi keringanan?sebagai tanda kepercayaan?dalam membayar utang atau tidak. Bila ternyata tak ada keringanan, barangkali hubungan dengan IMF
memang betul-betul harus dipertimbangkan kembali
4
. Sign:
- Gambar perempuan memakai daster merah, berkacamata, ada tahi lalat
dibawah bibir -
Gambar dua orang laki yang keduanya membawa koper hitam, berdasi merah, hidung mancung dan dagu lancip
- Gambar lelaki yang pertama berpakaian jas biru tua, kemeja putih, sepatu
vantopel, berambut pirang -
Gambar lelaki yang kedua berpakaian biru muda, celana ungu, dan rambut piran
- Gambar balon dialog diatas kepala laki-laki kemeja biru muda bertuliskan
”waaah... Anaknya bandel-bandel ya.. bu?” -
Gambar sekelompok anak-anak sedang bertingkah polah. Interpretasi:
Pada gambar diatas terlihat seorang ibu memakai daster berwarna merah, memakai kacamata terlihat pusing melihat tingkah pola anak-anaknya. Seorang
ibu tersebut adalah Mega, sedangkan anak-anak kecil tersebut adalah rakyat Indonesia.
Telihat dua orang berambut pirang, hidung mancung dan berkulit merah merona. Dua laki-laki tersebut adalah seorang WNA Warga Negara Asing.
4
http:majalah.tempointeraktif.comidarsip20011126EBmbm.20011126.EB85572.id. html, Diakses Pada 2 Desember 2010 Pukul 10:11
Mega merasa pusing melihat rakyat dan pemerintahannya yang sulit diatur dan hanya membuat ulah terhadap negeri ini. Banyaknya hutang terhadap negara-
negara kreditor yang tergabung dalam Klub Paris, yang nota bene juga anggota IMF. Banyaknya hutang dan apa yang terjadi di Indonesia maka tidak heran
sebagian investor memilih lari ke tempat lain yang sistem pajak dan sistem usahanya lebih bersahabat dan rakyatnya.
Representasi diatas sedikit tidak sesuai dengan gambar. Dalam representasi dijelaskan Indonesia dalam keadaan krisis ekonomi dan memiliki
banyak hutang, sedangkan pada gambar Mega terlihat pusing dan bingung melihat keadaan pemerintahannya yang semerawut sehingga membuat para investor
melarikan diri.
Tabel 4
Histories Para investor kabur
Sign - Mega memegang kepala
- Anak kecil nakal - Dua orang asing
Interpretasi Para investor kabur melihat tingkah pola rakyatnya
yang tidak bias diatur. Begitu pun Mega melihat tingkah pola rakyatnya sampai pusing memikirkannya.
5. Terganggu dengan lembaga swadaya masyarakat