73
a. Keterampilan Berkomunikasi
Seorang katekis harus mampu berkomunikasi dengan umat, dalam pengalaman tertentu, dalam situasi tertentu yang dilatarbelakangi kebudayaan
tertentu. Katekis juga perlu dapat mengungkapkan diri, berbicara dan mendengarkan umat, hal ini menunjukan bahwa ia juga terbuka dengan umat.
Dengan keterampilan berkomunikasi yang baik tentunya akan sangat mudah bagi katekis dalam mengumpulkan, menyatukan, dan mengarahkan umat pada suatu
tindakan nyata. Selain itu juga mampu menciptakan suasana yang memudahkan umat untuk mengungkapkan diri, berdialog dan mendengarkan pengalaman orang
lain sehingga diantara umat sendiri tidak ada saling curiga satu sama lain Lalu, 2005: 8.
b. Keterampilan Berefleksi
Suatu pertemuan pendalaman iman hendaknya menjadi sebuah komunikasi iman yakni kesaksian iman. Katekis diharapkan mampu memberikan kesaksian
akan pengalaman imannya, karena kesaksian yang diungkapkan menjadi bahan untuk direfleksikan dan sekaligus menjadi peneguh atas apa yang ia katakan
kepada umat. Maka untuk bisa berefleksi dibutuhkan keterampilan berefleksi, keterampilan berefleksi adalah kemampuan untuk menentukan nilai-nilai
manusiawi dalam pengalaman hidup sehari-hari, menemukan nilai-nilai Kristiani dalam Kitab Suci, ajaran Gereja, dan Tradisi Kristiani, serta memadukan nilai-
nilai Kristiani dengan nilai-nilai manusiawi dalam pengalaman hidup sehari-hari Lalu, 2005: 8. Dalam melatih keterampilan berefleksi katekis perlu
melakukannya setiap hari sebagai suatu bentuk tanggungjawab atas panggilan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
yang sudah mereka jalani dan mereka terima oleh karena rahmat Allah. Sebagai pewarta sabda ia juga merenungkan dan merefleksikan sabda yang ia wartakan di
dalam hidupnya. Dari sabda yang ia wartakan dan renungkan, ia juga bersaksi atas sabda dan imannya karena dengan kesaksiannya itu dapat menjadi teladan dan
contoh bagi kehidupan orang-orang lain. Buah dari pewartaan, permenungan, dan kesaksian ia wujudnyatakan dalam tingkah laku dan perbuatan di dalam
kehidupan sehari-harinya.
2. Memberi Sumbangan Pengetahuan tentang Katekese
Katekis adalah seorang pewarta dan saksi iman maka ia harus memiliki pengetahuan yang memadai seputar tugasnya, yaitu pengetahuan tentang katekese,
pengetahuan tentang metode katekese, pengetahuan terhadap situasi atau keadaan umat dan pengetahuan yang menyangkut konteks. Kesemua pengetahuan tersebut
harus dikuasai secara benar dan tepat. Tanpa pengetahuan-pengetahuan tersebut katekis tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan bahkan bisa gagal.
Dalam hal ini mata Kuliah PPL PAK Paroki memberikan sumbangan pengetahuan.
a. Pengetahuan tentang Katekese
Pengetahuan tentang katekese yang harus dimiliki oleh katekis meliputi: pengetahuan akan Kitab Suci, Kristologi, dan Eklesiologi. Pertama, pengetahuan
akan Kitab Suci; katekis harus memiliki pengetahuan yang tepat tentang Kitab Suci sebagai Kitab yang berisi Firman Allah yang ditujukan kepada manusia.
75
Kedua, Kristologi; apa yang diwartakan oleh katekis adalah Yesus sendiri, maka terlebih dahulu katekis harus mengenal, mendalami secara pribadi dan menjadikan
Yesus sebagai pola hidup Lalu, 2005: 118-119 Ketiga, Eklesiologi Gereja; katekis harus mampu mengartikan Gereja
secara benar dan tepat, yaitu Gereja sebagai umat Allah. Communio dan tanda keselamatan yang nyata hadir di tengah-tengah dunia. Keempat adalah Ajaran
Sosial Gereja ASG; katekis harus mengetahui dan memahami apa yang menjadi ajaran Gereja, khususnya keberpihakan Gereja terhadap kaum lemah, miskin,
tersingkir, dan difabel KLMTD. Selain itu juga pengetahuan lain yang harus diketahui dan dikuasai katekis adalah Sakramentologi, Mariologi, liturgi dan lain-
lain Lalu, 2005: 119. Mengingat umat zaman ini semakin pintar, kritis, dan serba ingin tahu maka kesemua pengetahuan tersebuat harus dikuasai dan dipahami
secara benar oleh katekis.
b. Pengetahuan tentang Metode Katekese
Metode merupakan cara atau prosedur untuk melaksanakan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan secara efektif. Berbicara mengenai metode katekese,
tentunya katekis harus mengetahui metode dalam sebuah katekese. Pengetahuan ini harus dipelajari berdasarkan uraian-uraian yang sudah ada tau pun berdasarkan
pengembangan metode secara pribadi. Katekis harus memiliki pengetahuan semacam ini. Dengan kemampuannya mengolah sebuah metode katekese tentunya
akan dengan mudah ia menganalisis situasi, menyusun rencana tindak lanjut dan berkreasi dalam mengolah katekese itu sendiri Lalu, 2005: 119-120.
76
c. Pengetahuan tentang SituasiKeadaan Umat
Katekis ketika menjalankan sebuah pertemuan katekese ia juga perlu memperhatikan situasi atau keadaan umat. Situasi atau keadaan yang dimaksud di
sini adalah keadaan pribadi seseorang dan latar belakang umat. Selain itu juga katekis diharapkan mampu mengenali psikologi dan konteks peserta Lalu, 2005:
120. Dengan demikian iman umat akan semakin mengakar, tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan bermasyarakat dan juga di dalam kehidupan
menggereja.
d. Pengetahuan Menyangkut Konteks
Katekis juga perlu memiliki pengetahuan yang menyangkut konteks. Konteks yang dimaksud di sini adalah situasi atau keadaan yang sedang terjadi di
dalam dunia faktual yang bersifat nasional. Misanya saja kejadian-kejadian yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri: bencana alam, kerusuhan, dan lain-
lain Lalu, 2005: 120. Kejadian yang terjadi dalam dunia faktual dapat membantu, mendukung dan menjadi sumber inspirasi yang mendukung dalam
pewartaan katekis di tengah-tengah umat yang sedang mengalami perubahan zaman dan serba ingin tahu akan situasi yang sedang terjadi.
77
3. Memberi Sumbangan Katekese Umat Model Shared Christian Praxis
SCP
Shared Christian Praxis SCP bermula dari kebutuhan para katekis untuk menentukan suatu pendekatan berkatekese yang handal dan efektif, artinya suatu
pendekatan yang mempunyai dasar teologis yang kuat, menggunakan model pendidikan yang “progresif”, dan memiliki keprihatinan pelayanan pastoral yang
aktual. Groome 1997: 1, mengatakan bahwa: Shared Christian Praxis SCP menekankan proses berkatekse yang
bersifat dialogis-partisipastif
supaya dapat
mendorong peserta,
berdasarkan komunikasi antar “tradisi” dan visi hidup mereka dengan “tradisi” dan visi kristiani, sehingga baik secara pribadi maupun bersama
mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan demi makin terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia.
Model ini bermula dari pengalaman hidup peserta yang selanjutnya
direfleksikan secara kristis supaya ditemuka maknanya yang kemudian dikonfrontasikan dengan pengalman hidup iman kristiani supaya muncul
pemahaman, sikap, dan kesadaran baru yang memberi motivasi pada keterlibatan baru pula. Dengan kata lain sejak awal orientasi pendekatan ini adalah praksis,
maka pendekatan ini juga disebut sebagai model praksis Groome, 1997: 1.
a. Pengertian Shared Christian Praxis SCP
Katekese dengan model Shared Christian Praxis SCP ini pertama kali diperkenalkan oleh Thomas H. Groome, seorang ahli katekese melalui bukunya
yang berjudul Shared Christian Praxis SCP: Suatu Model Berkatekese, berusaha mencari pendekatan katekese yang handal dan efektif untuk menjawab kebutuhan
para katekis dalam membantu umat demi perkembangan iman mereka, yaitu suatu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI