1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat pesat mulai mengubah tatanan dunia menuju arah globalisasi di berbagai bidang kehidupan.
Kualitas sumber daya manusia harus disiapkan untuk menghadapi era globalisasi tersebut. Sehingga, upaya peningkatan mutu pendidikan menjadi sebuah prioritas
dalam program pendidikan nasional saat ini. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan yaitu dengan menetapkan
sebuah standar nasional pendidikan. Hal ini sesuai dengan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 4 yang menyebutkan bahwa Standar
Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat. Peningkatan mutu pendidikan dilakukan pada semua jalur pendidikan yaitu
jalur pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 11 menyatakan bahwa
pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 19, pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar SD dan
2 Madrasah Ibtidaiyah MI atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah
Menengah Pertama SMP dan Madrasah Tsanawiyah MTs, atau bentuk lain yang sederajat. Untuk itu peningkatan mutu pendidikan pada jenjang pendidikan
dasar sangatlah penting mengingat jenjang pendidikan dasar melandasi jenjang pendidikan berikutnya.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, maka perlu adanya peningkatan mutu penyelenggaraan proses pembelajaran. Guru perlu mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses belajar siswa, termasuk memahami model atau strategi pembelajaran yang efektif maupun media
pembelajaran yang sesuai agar dapat membantu siswa belajar secara optimal. Penerapan model pembelajaran dan penggunaan media yang sesuai dapat
meningkatkan keaktifan siswa dalam proses belajar. Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 37 ayat 1 menyebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan,
bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilankejuruan, dan muatan
lokal. Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang masuk dalam kurikulum
pendidikan dasar bertujuan untuk melatih kemampuan berpikir dan logika dalam bentuk latihan pemecahan masalah Hawa, 2007: 4.
Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan KTSP untuk siswa kelas IV pada mata pelajaran matematika terdapat standar kompetensi penggunaan pecahan
dalam pemecahan masalah, dengan salah satu kompetensi dasarnya yaitu
3 menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan. Pusat Pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan Badan Pusat Penelitian dan Pengembangan dalam Heruman 2012: 43, menyatakan bahwa pecahan merupakan salah satu
topik yang sulit untuk diajarkan. Akan tetapi, materi pecahan tetap harus dibelajarkan di sekolah dasar mengingat materi ini dibutuhkan oleh siswa dalam
kehidupan sehari-hari. Permasalahan matematika yang berkaitan dengan kehidupan nyata
biasanya dituangkan melalui soal-soal berbentuk cerita Raharjo, 2009: 1, dalam
pembelajaran biasanya dikenal dengan soal cerita. Siswa sekolah dasar sering bermasalah dalam menyelesaikan soal cerita. Menurut Raharjo 2009: 1,
berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi ME Pusat Pengembangan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan PPPPTK Matematika pada
tahun 2007 dan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Guru PPPG Matematika tahun-tahun sebelumnya menunjukkan lebih dari 50 guru
menyatakan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita.
Sebagian besar siswa SD mengalami kesulitan dalam memahami maksud atau isi dari sebuah soal cerita yang disajikan. Ketika siswa sudah salah
memahami maksud soal, maka hasil pekerjaannya menjadi tidak sesuai dengan harapan. Semakin sering hal ini terjadi, menjadikan siswa mudah putus asa dalam
mengerjakan soal cerita. Menurut Bobrow 2010: 135, soal cerita dalam metematika seringkali membuat siswa menjadi khawatir dan takut. Jika keadaan
ini terus berlanjut akan semakin membuat matematika menjadi mata pelajaran
4 yang kurang menyenangkan sehingga membuat siswa tidak memiliki motivasi dan
hasil belajar matematika pada materi menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan cenderung rendah.
Motivasi merupakan salah satu faktor yang turut menentukan keberhasilan pembelajaran Mulyasa, 2010: 264. Siswa akan melakukan suatu proses belajar
dengan sungguh-sungguh jika ia mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar. Tanpa motivasi belajar, siswa tidak dapat belajar. Apabila motivasi siswa itu
rendah, umumnya diasumsikan bahwa hasil belajar siswa tersebut juga akan rendah. Oleh karena itu, dalam pembelajaran di kelas guru perlu menerapkan
model pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga hasil belajar siswa memuaskan.
Pada saat guru melaksanakan pembelajaran di kelas, guru tentunya mengetahui segala permasalahan dan karakteristik kelasnya, terutama yang
berkaitan dengan keadaan dan kondisi siswa. Dengan demikian, guru dapat menentukan model pembelajaran yang tepat untuk diterapkan dalam proses
pembelajaran di kelas. Melalui penerapan model pembelajaran yang efektif akan tercipta situasi belajar yang menyenangkan sehingga motivasi dan hasil belajar
siswa akan lebih optimal. Pada kenyataannya pembelajaran matematika di SD masih menerapkan
model pembelajaran konvensional. Padahal dalam pembelajaran konvensional yang biasanya hanya diisi dengan ceramah guru dan tugas kurang melibatkan
siswa dan kurang sesuai dengan konsep pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan PAKEM. Dalam model pembelajaran konvensional,
5 pembelajaran lebih berpusat pada guru teacher centered, siswa cenderung pasif,
tidak berani bertanya dan mengemukakan pendapat saat pembelajaran berlangsung. Pola interaksi cenderung masih satu arah yaitu dari guru kepada
siswa dan tidak ada interaksi antar siswa. Kegiatan siswa hanyalah mendengarkan penjelasan guru dengan seksama, mata menghadap ke papan tulis, belajar hanya
dari guru atau bahan ajar, bekerja sendiri, dan lebih banyak diam. Hal ini menjadikan motivasi dan hasil belajar siswa rendah. Untuk itu, guru perlu
menggunakan model pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran pemecahan masalah pada materi pecahan.
Salah satu inovasi model pembelajaran dalam matematika yaitu model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu
model pembelajaran yang sesuai dengan teori belajar dari Vygotsky yaitu belajar dalam kelompok. Silberman 2011: 30 juga menjelaskan bahwa dengan belajar
secara berkelompok siswa SD memperoleh rasa aman. “Ketika siswa belajar bersama teman, mereka mendapat dukungan
emosional dan intelektual yang memungkinkan mereka melampaui ambang pengetahuan mereka. Mengelompokkan siswa dan
memberi mereka tugas untuk dikerjakan bersama merupakan cara yang baik untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka. Siswa
menjadi cenderung lebih terlibat dalam aktivitas belajar karena mereka mengerjakan secara bersama-sama”.
Dalam pembelajaran kooperatif terdapat tipe Cooperative Integrated Reading and Composition CIRC. Model pembelajaran ini pada mulanya
merupakan sebuah program yang komprehensif atau luas dan lengkap untuk pengajaran membaca, menulis, dan seni berbahasa pada kelas yang lebih tinggi di
sekolah dasar Slavin, 2005: 200. Tujuan utama dari model pembelajaran CIRC
6 adalah menggunakan tim-tim kooperatif untuk membantu siswa dalam memahami
bacaan yang dapat diaplikasikan secara luas. Para siswa bekerja berpasangan untuk mengidentifikasi unsur-unsur dalam bacaan tersebut, membuat penjelasan
terhadap prediksi mengenai bagaimana masalah-masalah akan diatasi dan merangkum unsur-unsur utama dari bacaan satu sama lain Slavin, 2005: 203.
Kelompok dalam model pembelajaran CIRC terdiri dari siswa yang heterogen. Siswa menerima poin berdasarkan kinerja individual mereka dalam
kegiatan kuis. Poin-poin inilah yang nantinya akan membentuk skor tim Slavin, 2005: 205. Siswa tidak diperkenankan mengerjakan kuis sampai teman satu
timnya menyatakan bahwa mereka sudah siap. Penghargaan untuk tim dan sertifikat akan diberikan kepada tim berdasarkan kinerja rata-rata dari semua
anggota tim dalam semua kegiatan Slavin, 2005: 17. Berdasarkan karakteristik model pembelajaran CIRC di atas, model
pembelajaran ini dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Model pembelajaran ini dapat mengatasi kesulitan
siswa dalam memahami maksud atau isi dari soal cerita. Dalam pembelajaran ini, siswa ditempatkan dalam kelompok kecil yang heterogen. Siswa diberikan suatu
soal cerita kemudian siswa bersama-sama saling membaca soal cerita, membuat prediksi atau menafsirkan atas isi soal cerita, termasuk menuliskan apa yang
diketahui, apa yang ditanyakan, dan memisalkan apa yang ditanyakan dengan variabel tertentu. Siswa bersama-sama membuat ikhtisar atau rencana
penyelesaian soal cerita dan menuliskan penyelesaiannya secara urut. Sebelum siswa menyerahkan hasil pekerjaannya kepada guru, siswa bersama-sama saling
7 merevisi atau mengedit hasil pekerjaannya jika ada yang perlu direvisi. Ketua
kelompok harus dapat menetapkan bahwa setiap anggota telah memahami dan dapat mengerjakan soal cerita yang diberikan guru sebelum para siswa
mengerjakan kuis yang diberikan guru pada akhir pembelajaran. Penerapan model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition untuk pembelajaran pemecahan masalah didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang memiliki kesamaan latar belakang yang dilakukan
oleh Inayah 2007 dan Sutrisno 2010. Kedua penelitian tersebut menerapkan model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition dalam
pembelajaran matematika. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition dapat
meningkatkan rata-rata nilai matematika siswa. Permasalahan tersebut di atas juga dijumpai dalam pembelajaran
matematika di SD Negeri Langgen. Hasil wawancara dengan Ujiati, guru kelas IV SD Negeri Langgen, untuk mencapai kompetensi dasar menyelesaikan masalah
yang berkaitan dengan pecahan terdapat dua kendala. Pertama, banyak siswa mengalami kesulitan pada materi pecahan, terutama saat harus menjumlahkan dan
mengurangkan pecahan dengan penyebut yang berbeda. Kedua, siswa sulit untuk memahami maksud atau isi dari soal cerita yang diberikan.
Berdasarkan permasalahan dalam penelitian ini dan didukung data hasil penelitian sebelumnya, maka kajian dalam penelitian ini yaitu tentang keefektifan
pembelajaran pemecahan masalah pada materi pecahan dengan menerapkan model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition. Peneliti
8 mengambil judul penelitian yaitu “Keefektifan Model Pembelajaran Cooperative
Integrated Reading and Composition terhadap Motivasi dan Hasil Belajar Pecahan pada Siswa Kelas IV di Sekolah Dasar Negeri Langgen Kabupaten
Tegal”.
1.2 Identifikasi Masalah