Latar Belakang Evaluasi pelaksanaan program buku bicara (talking book) di yayasan mitra netra Lebak Bulus Jakarta Selatan
Keramat, Mitra Netra kemudian melanjutkan perjalanan hidupnya ke Lenteng Agung, meminjam sebuah rumah yang sedang dalam proses dijual. Tentu ini
bukan situasi yang menenangkan hati, sama seperti sebelumnya, karena Yayasan ini harus siap setiap saat meninggalkan rumah tersebut tatkala sang
pemilik baru akan menghuni rumah itu. Hanya kurang lebih satu tahun bermukim di Lenteng Agung, Yayasan
ini mendapatkan pinjaman tempat di salah satu ruangan milik Yayasan Pamentas di kawasan Lebak Bulus Jakarta Selatan. Hal ini terjadi karena
prestasi Mitra Netra dalam memproduksi bahan-bahan konferensi Disable People International DPI dalam huruf Braille untuk peserta tunanetra, yang
kala itu diselenggarakan di Jakarta. Atas prestasi ini, ketua panitia konferensi yang juga ketua Yayasan Pamentas mengijinkan Mitra Netra menempati salah
satu ruangan berukuran 7 x 5 di lingkungan Yayasan ini. Pada periode inilah kegiatan Mitra Netra mulai tumbuh dan berkembang. Produksi buku bicara
mulai dilengkapi dengan studio rekaman kedap suara, meski dalam bentuk yang sederhana. Tidak hanya itu, buku Braille pun mulai diproduksi karena
telah memiliki mesin Braille embosser meski masih dalam skala yang kecil yaitu 40 karakter per detik dan hanya mampu mencetak satu sisi single sided
printing. Karena makin banyaknya kegiatan serta penyebaran tunanetra yang
dilayani yaitu hampir di lima penjuru Jakarta, menempati satu ruangan di Yayasan Pamentas saja tidak cukup. Pak Sidarta Ilyas, yang berprofesi sebagai
dokter kemudian mengupayakan penambahan fasilitas ruangan kantor.
Melalui pertemanan dengan DR. Sujudi yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan RI, Mitra Netra kemudian mendapatkan pinjaman ruangan
di Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan yang berada di jalan Percetakan Negara Jakarta Pusat. Ruangan berukuran 35 meter persegi
ini kemudian dimanfaatkan untuk kantor sekretariat dan layanan pendidikan bagi siswa tunanetra untuk wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta
Utara. Dari sisi manajemen, organisasi sudah memiliki dua kantor secara
terpisah yang mana di saat kondisi organisasi masih relatif muda dan belum mapan ini bukanlah hal yang mudah. Kondisi ini akan memperpanjang waktu
koordinasi, dan dari sisi biaya ini tentu tidak efisien. Akan tetapi, dari sisi pelaksanaan layanan, keberadaan kantor Mitra Netra di Jakarta Pusat sangat
memudahkan tunanetra yang berada di sekitarnya untuk mengakses layanan Mitra Netra meski tidak semuanya, sehingga tidak perlu datang ke pusat
layanan yang ada di Jakarta Selatan. Kala itu Mitra Netra dapat dikatakan tidak punya pilihan. Dalam kondisi terus tumbuh di satu sisi dan keterbatasan
fasilitas yang dimiliki di sisi lain, kabar gembira datang dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang pada waktu itu dijabat oleh Wardiman.
Setelah bertemu dengan para pengurus dan mengetahui peran Mitra Netra dalam melayani tunanetra, Pak Menteri memutuskan untuk memberikan
pinjaman kantor kepada Yayasan ini, dan tempat yang dipilih adalah di lingkungan sekolah luar biasa SLB untuk tunanetra di jalan Pertanian Raya
Lebak Bulus Jakarta Selatan. Keputusan itu adalah, bahwa Mitra Netra
diperbolehkan menggunakan
kantor tersebut
selama Yayasan
ini membutuhkannya.
Kantor dua lantai berukuran 200 meter persegi kemudian dibangun di bagian belakang sekolah untuk tunanetra di Jakarta Selatan tersebut. Hanya
ada yang berbeda dari apa yang telah diputuskan sang Menteri dan yang telah diinformasikan kepada Mitra Netra. Setelah melalui proses disposisi, perintah
Menteri dikerjakan oleh eselon yang ada di tingkatan lebih bawah. Dan di level inilah keputusan itu diubah. Ruangan kantor dua lantai yang oleh
Menteri sedianya boleh dimanfaatkan selama Mitra Netra membutuhkannya, diubah menjadi hanya dipinjamkan dalam waktu tiga tahun. Setelah ruangan
kantor yang dipinjamkan itu usai dibangun, kegiatan layanan Mitra Netra yang berada di Yayasan Pamentas lalu dipindahkan ke kantor baru tersebut.
Sedangkan kantor sekretariat yang berada di jalan Percetakan Negara tetap dipertahankan.
Sepanjang periode berada di lingkungan SLB ini upaya untuk memiliki kantor sendiri terus dilakukan. Tapi belum memberikan hasil. Dan Karena
tidak memiliki alternatif lain, memasuki tahun ketiga masa peminjaman kantor tersebut.
Mitra Netra
menyampaikan permohonan
perpanjangan penggunaannya kepada instansi yang memiliki aset tersebut. Akan tetapi
bukan persetujuan yang diterima, melainkan pemberitahuan untuk segera pindah karena gedung yang sebenarnya secara fisik sudah tidak lagi
memenuhi syarat untuk menampung sarana dan fasilitas yang Mitra Netra miliki ini akan dimanfaatkan untuk keperluan lain. Dan kondisi ini membuat
Mitra Netra memiliki alasan kuat untuk membuat salah satu partnernya yaitu
Foundation Dark Light Blind Care DLBC dari Belanda, yang sejak
tahun 1999 membiayai program produksi dan distribusi buku Braille serta buku bicara, akhirnya menyetujui permintaan Yayasan ini untuk membelikan
kantor baru dan menjadikan kantor itu milik Mitra Netra sendiri. Ibarat pepatah mengatakan “ Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudi an “. Itulah yang Mitra
Netra alami. Selalu dihadapkan dalam kondisi terdesak yang mana harus berpindah-pindah dari kantor-kantor yang sifatnya hanya pinjaman itu telah
membuat Mitra Netra sejak tahun 2002 dapat terus bertahan dan terus mengembangkan eksistensinya hingga kini sampai di tempat yang sudah
menjadi hak milik Mitra Netra sendiri yaitu tepatnya di jalan Gunung Balong II nomor 58, Lebak Bulus III Jakarta Selatan.