16
Pertama berdasarkan bentuk, tampaklah adanya kesepakatan, bahwa novel diwujudkan dalam bentuk karangan prosa, dan tidak menutup kemungkinan unsur
puitik masuk di dalamnya sepanjang unsur tersebut menyangkut bahasanya. Kedua dilihat dari segi jenisnya, novel lebih cenderung menampilkan jenis narasi,
karena dalam novel lebih mengutamakan unsur ‘penceritaan’ dalam menggambarkan perilaku para pelaku ceritanya. Ketiga, isi novel pada dasarnya
mengetengahkan gambaran hidup dan kehidupan lahir batin tokohnya dalam mengarungi ‘dunianya’, ‘masyarakatnya’. Keempat, oleh sebab unsur utama dari
novel adalah cerita atau kisah, maka sudah jelas, bahwa novel berkesan fiktif, khayalan. Dan terakhir, sebagai suatu karya, novel memiliki struktur, dan struktur
yang utama adalah plot, penokohan, dan peristiwa. Struktur itu tersusun secara kronologis.
2. Unsur –unsur Novel
Novel merupakan karya fiksi yang terdiri dari unsur-unsur pendukungnya. Unsur-unsur tersebut membentuk suatu kesatuan yang utuh dan lengkap. Adapun
unsur-unsur tersebut adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur, penokohan, latar, sudut pandang, amanat, gaya, suasana, dan unsur
ekstrinsik terdiri dari biografi, psikologi, pandangan masyrakat, dan gaya hidup suatu bangsa.
Kaitanya dengan penggunaan teknik memotong dan merekatkan, penulis merasa yang hendak menunjang pembelajaran menulis resensi novel hanyalah
unsur intrinsiknya saja, berikut uraian mengenai unsur intrinsik.
a. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik menurut Nurgiantoro adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya sastra itu hadir. Unsur intrinsik
terdiri dari tema, alurplot, penokohan, latar, gaya, suasana, sudut pandang dan amanat.
Untuk lebih jelasnya, unsur intrinsik akan dipaparkan lebih lanjut di bawah ini.
1 Tema Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam buku Apresiasi
Kesusastraan menyatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang
17
dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan sesuatu kepada pembaca. Sesuatu yang mau dikatakan itu bisa suatu masalah
kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini, atau komentar terhadap kehidupan ini. Kejadian dan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide
pengarang tersebut. Sebuah cerita novel harus mengatakan sesuatu, yaitu pendapat pengarang tentang hidup ini, sehingga orang lain dapat mengerti
hidup ini lebih baik. Tema adalah gagasan pertama atau pikiran pokok. Tema suatu karya
sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh setiap pembaca yang cermat sebagai akibat dari membaca karya sastra tersebut. Tema biasanya
merupakan komentar mengenai kehidupan.
18
Tema juga dapat diartikan sebagai suatu perumusan dari topik yang akan dijadikan landasan pembicaraan
dan tujuan yang akan dicapai melalui topik tersebut.
19
Tema pada sebuah cerita baru dapat diketahui setelah pembaca mengetahui isi keseluruhan cerita. Pembaca harus mampu menafsirkan terlebih
dahulu unsur-unsur intrinsik lainnya, karena tidaklah mudah menemukan tema suatu cerita.
Tema biasanya tidak dicantumkan secara eksplisit oleh pengarang. Sumardjo dan Saini K.M, menyatakan bahwa di dalam cerpen yang berhasil,
tema justru tersamar dalam sebuah elemen. Pengarang memakai dialog para tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian, latar cerita untuk
mempertegas atau menyamarkan isi temanya. Pengarang biasanya menyatakan tema secara sembunyi-sembunyi dalam suatu potongan dialog tokohnya, atau
dalam suatu adegan cerita. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide cerita
yang merupakan dasar pengembangan sebuah cerita dan menjiwai seluruh bagian cerita itu.
2 Alur Pada setiap peristiwa yang terjadi selalu memiliki permulaan,
pertengahan, dan kemudian sampailah pada sebuah akhir peristiwa, begitu pula
18
Henry Guntur Tarigan, Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa, 1994, hlm. 167.
19
Gorys Keraf, Komposisi, Flores: Nusa Indah,1994, hlm.108.
18
dengan cerita fiksi dan novel. Dalam sebuah cerita, peristiwa yang terjadi itu disebut sebagai alur. Alur biasanya diidentikkan dengan jalan cerita, padahal
alur tidak sama dengan jalan cerita. Perbedaan antara alur dan jalan cerita plot ialah, bahwa penekanan alur terletak pada adanya hubungan sebab-akibat
kausal, sedangkan jalan ceritaplot, tidak.
20
Banyak ahli bahasa yang mengemukakan pengertian alur. Abdul Rozak Zaidan dalam Kamus Istilah Sastra menyatakan bahwa alur merupakan unsur
struktur yang berwujud jalinan peristiwa di dalam karya sastra, yang memperlihatkan kepaduan koherensi tertentu yang diwujudkan antara lain
oleh hubungan sebab-akibat, tokoh, tema, atau ketiganya .
21
Alur merupakan sebuah interrelasi fungsional antara unsur-unsur dalam suatu cerita yang timbul dari tindak-tanduk, karakter, suasana hati pikiran
dan sudut pandang, serta ditandai oleh klimaks-klimaks dalam rangkaian tindak-tanduk itu, yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam
keseluruhan cerita.
22
Inti alur adalah konflik, namun sebuah konflik dalam cerita tidak dipaparkan begitu saja, plot itu harus ada dasarnya. Maka dari itu, alur sering
dikupas menjadi elemen-elemen berikut. a Pengenalan.
b Timbulnya konflik. c Konflik memuncak.
d Klimaks. e Pemecahan masalah.
Lebih lanjut, Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita, konflik digambarkan sebagai pertarungan antara protagonis dan
antagonis. Protagonis adalah pelaku utama cerita, sedangkan antagonis adalah
2 0
Maman S. Mahayana, 9 Jawaban Sastra Indonesia, Jakarta: Bening Publishing, 2005, hlm. 153.
21
Abdul Rozak Zaidan, dkk, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Balai Pustaka,2007, hlm. 26.
2 2
Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm.147
19
tokoh lawan protagonis. Tokoh-tokoh tersebut bertemu dan terjadilah perbenturan yang membangun cerita.
Berdasarkan kriteria urutan waktu, alur dibagi menjadi 2 bagian, yaitu plot lurus dan plot sorot balik. Sebuah novel dikatakan memiliki plot lurus jika
peristiwa-peristiwa yang diceritakan bersifat kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa berikutnya. Situasi dimulai dari tahap awal, tengah,
sampai tahap akhir. Sedangkan, novel dikatakan memiliki plot sorot balik flashback, jika urutan kejadian ceritanya tidak bersifat kronologis, cerita
tidak dimulai dari awal, melainkan dari tahap tengah, atau mungkin dari tahap akhir, baru kemudian ke awal cerita.
Berdasarkan padat atau tidaknya cerita, plot dibagi menjadi 2, yaitu plot rapat dan plot longgar Sebuah cerita dikatakan memiliki plot rapat jika
hubungan antara peristiwa dijalani secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus- menerus mengikutinya. Sedangkan, cerita dikatakan
memiliki plot longgar jika hubungan antara peristiwa tidak terlalu erat, artinya peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain diselipi dengan peristiwa
tambahan. 3 Penokohan
Setiap novel tentu memiliki tokoh yang sengaja diciptakan untuk mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan sengaja diciptakan untuk
mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan segala perwatakan dan berbagai jati dirinya disebut sebagai penokohan.
Tokoh cerita merupakan orang yang ditampilkan dalam suatu karya sastra naratif, atau drama yang oleh pembacanya ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Istilah penokohan oleh Sudjiman diartikan sebagai penciptaan cerita di dalam karya sastra. Tokoh tersebut diciptakan oleh pengarang secara
meyakinkan sehingga pembaca merasa seolah-olah berhadapan dengan manusia sebenarnya.
20
Tarigan mengungkapkan bahwa yang dimaksud tokoh atau karakterisasi adalah proses yang dipergunakan oleh seorang pengarang untuk menciptakan
tokoh-tokoh fiksinya. Sedangkan untuk melukiskan tokoh dalam cerita bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a Melukiskan bentuk lahir dari pelakon. b Melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikirannya.
c Melukiskan bagaimanaa reaksi pelakon itu terhadap kejadian-kejadian. d Pengarang langsung menganalisis watak pelakon.
e Pengarang melukiskan keadaan sekitar pelakon, misalnya dengan melukiskan keadaan kamar pelakon biasanya keadaan kamar seseorang
mencerminkan wataknya. f Pengarang melukiskan bagaimanaa pandangan-pandangan pelakon lain
dalam suatu cerita terhadap pelakon utama itu. g Mempergunakan pelakon-pelakon lain yang memperbincangkan keadaan
pelakon utama.
23
Kualitas sebuah cerita atau novel banyak ditentukan oleh kepandaian pengarang dalam menghidupkan watak para tokohnya. Jika watak tokohnya
lemah, maka menjadi lemahlah keseluruhan cerita. Oleh karena itu, watak atau karakter tokoh di dalam sebuah novel harus digambarkan oleh pengarang
secara tersirat, sehingga dapat ditangkap oleh pembaca. Jadi, dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan
adalah seseorang yang berperan dalam sebuah cerita dan mengalami peristiwa- peristiwa yang terdapat dalam cerita itu, dengan memiliki watak atau karakter
sendiri, terutama dalam menghadapi suatu masalah atau kejadian yang dialaminya.
4 Latar Latar merupakan gambaran waktu dan tempat terjadinya lakuan di
dalam karya sastra.
24
Nurgiantoro, dengan mengutip pendapat Abrams,
23
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1985, hlm. 133.
2 4
Abdul Rozak Zaidan, dkk, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Balai Pustaka,2007, hlm. 118.
21
mendefinisikan ‘latar sebagai landasan tumpu menyarankan pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa
yang diceritakan’. Sumardjo dan Saini K.M. mengemukakan bahwa latar dalam sebuah novel bukan hanya menunjukan tempat dan waktu terjadinya
suatu peristiwa, melainkan juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam debunya, pemikiran rakyatnya, kegiatan mereka, gaya hidup
mereka dan sebagainya. Lebih lanjut Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita
yang baik, latar harus benar-benar mutlak menggarap tema dan karakter cerita, sehingga dari latar wilayah tertentu akan menghasilkan perwatakan tokoh
tertentu pula. Andaikata sebuah novel latarnya dapat diganti dengan tempat mana saja tanpa mengubah atau mempengaruhi watak tokoh-tokoh dan tema
novelnya, maka latar yang demikian kurang integral. Kedudukan latar dalam novel sangat penting karena dapat memberikan
kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah- olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca merasa dipermudah
mengoperasikan daya imajinasinya, di samping memungkinkan berperan secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca pun
dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah menemukan
dalam cerita itu sesuatu yang menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan
perwatakannya ke dalam novel. 5 Sudut Pandang Point of view
Sudut pandang, yaitu tempat atau titik dari mana seorang melihat objek deskripsinya. Sudut pandang dalam suatu cerita menyatakan bagaimana fungsi
seorang pengisah narator dalam cerita, apakah ia mengambil bagian langsung dalam seluruh rangkaian kejadian yaitu sebagai participant, atau
22
sebagai pengamat observer terhadap obyek dari seluruh aksi atau tindak- tanduk dalam cerita.
25
Sudut merupakan gaya pengarang dalam bercerita. Dalam hal ini, pencerita tidaklah sama dengan pengarang. Pencerita adalah tokoh yang
menyampaikan cerita yang dapat dilakukan melalui pencerita orang pertama aku atau orang ketiga dia. Oleh karena itu pencerita bisa dibedakan
berdasarkan siapa penceritanya. Jika orang pertama, disebutlah pencerita akuan first person narrator dan jika orang ketiga, disebutlah pencerita diaan
third person narrator.
26
Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995 menyatakan bahwa sudut pandang bersarang pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara
atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sasaran untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan sebuah strategi atau teknik yang sengaja
dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan
hidup dan tafsirnya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh atau kacamata tokoh tersebut.
Sudut pandang pada dasarnya merupakan visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Dalam
hal ini, harus dibedakan dengan pandangan pengarang sebagai pribadi, sebab sebuah karya sebenarnya merupakan pandangan pengarang terhadap
kehidupannya. Suara pribadi pengarang jelas akan masuk ke dalam karyanya dan ini lazim disebut gaya pengarang. Sedangkan sudut pandang menyangkut
teknis bercerita, yaitu soal bagaimanaa pandangan pribadi pengarang akan bisa diungkapkan sebaik-baiknya.
Hal senada diungkapkan oleh Booth dalam Nurgiyantoro, 1995 yang mengatakan bahwa sudut pandang bagaimanaapun merupakan sesuatu yang
25
Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm.190.
2 6
Maman S. Mahayana, 9 Jawaban Sastra Indonesia, Jakarta: Bening Publishing, 2005, hlm. 157
23
menyarankan pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih besar daripada sudut pandang itu sendiri. Sudut pandang merupakan
teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan
pembaca. Dengan teknik yang dipilihnya itu, diharapkan pembaca dapat menerima dan menghayati gagasan pengarang.
Sudut pandang menurut Sumardjo dan Saini dibagi menjadi empat macam, yaitu:
a Omniscient Point of View Sudut Penglihatan yang Berkuasa Di sini, pengarang bertindak sebagai pencipta segala. Ia bisa
menciptakan apa saja yang ia perlukan untuk melengkapi ceritanya, sehingga memperoleh efek cerita yang diinginkannya.
b Objective Point View Dalam teknik ini, pengarang bekerja seperti dalam teknik
Omniscient, hanya pengarang tidak memberi komentar apapun. Pembaca hanya disuguhi “pandangan mata”. Pengarang hanya menceritakan apa
yang terjadi, seperti menonton pementasan sandiwara. Pengarang sama sekali tidak masuk ke dalam pikiran para pelaku.
c Point of View Orang Pertama Gaya ini bercerita dengan sudut pandang “aku”. Jadi, seperti orang
yang sedang menceritakan pengalamnnya sendiri. Dengan teknik ini, pembaca diajak ke pusat kejadian, melihat dan merasakan melalui mata
dan kesadaran orang yang langsung bersangkutan. d Point of View Peninjau
Dalam teknik ini pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh kejadiancerita kita lalui bersama tokoh ini. Tokoh ini
bisa bercerita tentang pendapatnya atau perasaannya sendiri, tetapi kepada tokoh lain ia hanya bisa memberitahukan kepada kita seperti apa yang ia
lihat saja. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
sudut pandang adalah kedudukan pengarang di dalam sebuah cerita yang
24
dikarangnya. Pusat pengisahannya adalah penentuan dari sisi mana pengarang meninjau para tokoh dalam ceritanya.
6 Amanat Dalam membuat cerita, setiap pengarang pasti ingin menyampaikan
amanat kepada pembacanya. Seperti halnya tema, amanat biasanya disampaikan pengarang secara implisit tersirat. Maka dari itulah pembaca
harus mampu menemukan amanat dari karya sastra yang dibacanya. Panuti Sudjiman mengatakan bahwa amanat yang terdapat dalam sebuah
karya sastra bisa secara implisit maupun eksplisit. Dikatakan implisit jika jalan keluar atau jalan moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang
cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, dan larangan yang berkenaan dengan gagasan
yang mendasari cerita itu yang disampaikan pada bagian tengah atau akhir cerita. Amanat biasanya berupa ajaran moral yang berhubungan dengan sifat-
sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Pembaca akan dapat menangkap amanat yang terdapat dalam novel jika
mampu menghayati novel tersebut dengan sungguh-sungguh. 7 GayaStyle
Setiap pengarang pasti memiliki ciri khas tersendiri dalam mengungkapkan ceritanya dan tergambar pada hasil karyanya. Artinya, cara
bagaimanaa seorang pengarang memilih tema, persoalan dan menceritakannya dalam sebuah karya sastra, tentunya setiap pengarang memiliki gaya bercerita
yang berbeda dengan pengarang lainnya. Gaya tersebut biasanya dipengaruhi oleh latar belakang pengarang itu sendiri, misalnya latar belakang pendidikan,
latar belakang profesi, atau latar belakang lingkungan tempat ia tinggal. Gaya dalam sebuah karya sastra juga biasanya ada hubungannya dengan penggunaan
bahasa. Hal ini ditegaskan oleh pendapat Aminuddin dalam Hendrayati, 1990 bahwa gaya mengandung pengertian cara seseorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis, serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya
intelektual dan emosi pembaca. Penggunaan media bahasa meliputi penggunaan kalimat, penggunaan kata, penggunaan bentuk bahasa figuratif,
dialog dan sebagainya.
25
Abdul Rozak Zaidan memaparkan beberapa pengertian gaya yang diungkapkan dalam Kamus Istilah Sastra sebagai berikut:
a Cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata. b Cara khas dalam penyusunan dan penyampaian pikiran dan perasaan
dalam bentuk tulisan dan lisan. c Ciri-ciri suatu kelompok karya sastra berdasarkan bentuk perbuatannya
ekspresinya dan bukan kandungan isinya. Gaya terutama ditentukan oleh diksi dan struktur kalimat.
Kesimpulannya, gaya adalah ciri khas setiap pengarang dalam menyajikan karyanya, di mana antara pengarang yang satu dengan pengarang
yang lainnya tidak memiliki gaya yang sama persis. Mempelajari gaya bercerita pengarang akan membantu kita untuk lebih memahami pribadi yang
kreatif daripada membaca biografinya yang ditulis oleh orang lain. Yang pasti, gaya karangan yang diciptakan mencerminkan jiwa pengarangnya.
8 Suasana Dalam suatu peristiwa tertentu, pasti ada suasana yang mewarnainya.
Misalnya, sedih, gembira, mengharukan, memancing emosi kemarahan, dan ekspresi jiwa lainnya. Dengan gambaran suasana yang naratif dan emotif
inilah keasikan dari pembaca akan timbul. Demikian halnya dengan unsur- unsur intrinsik lainnya, unsur suasana akan menjadi lebih baik apabila
didukung oleh unsur-unsur intrinsik lainnya seperti tokoh, latar, tema, dan sebagainya.
Abdul Rozak Zaidan dalam Kamus Istilah Sastra, mengemukakan bahwa “Suasana adalah suasana hati yang ditimbulkan oleh latar dan cakapan.”
Sedangkan, Harianto G.P. mengemukakan bahwa “Suasana adalah hawa udara atau kesadaran sesuatu di suatu lingkungan, keadaan suatu peristiwa,
atau keadaan perasaan yang ada dalam suatu peristiwa.” Sebenarnya untuk menjelaskan suasana memang agak sulit, walaupun bisa
dilihat dan dirasakan. Namun yang jelas, suasana merupakan warna dasar cerita itu atau merupakan pesona sebuah cerita.
26
d Teknik Memotong dan Merekatkan Cutting-Gluing dalam Resensi
1. Pengertian Teknik memotong dan merekatkan Cutting-Gluing