Syarat-syarat Pernyataan Pailit Pengaturan Hukum Mengenai Kepailitan

b. Jangka waktu proses pendaftaran, pemeriksaan dan penjatuhan putusan pada tingkat Pengadilan Niaga diatur secara tegas yaitu 30 hari. c. Jangka waktu kasasi di Mahkamah Agung maksimal 30 hari untuk memutuskan permohonan upaya hukum khusus Peninjauan Kembali. 97

2. Syarat-syarat Pernyataan Pailit

Syarat pernyataan pailit pertama kali dimuat dalam Pasal 1 butir 1 Faillissements verordening FV yang menyatakan bahwa setiap berutang yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik atas pelaporan sendiri, baik atas permintaan seorang atau lebih para berpiutangnya, dinyatakan dalam keadaan pailit. Dari rumusan di atas, FV hanya mencantumkan satu syarat bagi dikabulkannya permohonan pernyataan pailit, yaitu debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya. Perumusan syarat ini menimbulkan kesulitan, terutama dari segi pembuktian kondisi debitur berhenti membayar. Prasyarat ini juga mengundang perdebatan di dalam permohonan pailit oleh pakar hukum kepailitan mengenai jumlah utang debitur untuk dapat dipailitkan. Hal- hal inilah yang kemudian menimbulkan kesulitan dalam pemeriksaan permohonan pailit. Kelemahan tersebut kemudian berusaha dikoreksi dalam ketentuan UUK dengan memberikan suatu kondisi prasyarat yang lebih jelas. 98 97 http:www.bappenas.go.idindex.php 2652007 98 Arya Suyudi, et.al., Kepailitan di Negeri Pailit Jakarta: PSHK, 2004, hal. 120 Universitas Sumatera Utara Prasyarat dikabulkannya suatu permohonan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang dikaitkan dengan Pasal 6 ayat 3 UUKepailitan dan PKPUyang menegaskan Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1, syarat pailit setidaknya ada dua yakni, pertama debitur mempunyai dua orang atau lebih kreditur. Ini berarti kalau debitur mempunyai seorang kreditur saja, maka tidak dapat menggunakan ketentuan kepailitan, kedua debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu atau dapat ditagih. Ketentuan pertama yang mensyaratkan debitur harus mempunyai lebih dari seorang kreditur selaras dengan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata yang menentukan pembagian secara teratur semua harta pailit kepada para krediturnya, yang dilakukan berdasarkan prinsip pari passu pro rata parte. 99 Dalam hal ini yang dipersyaratkan bukan berapa besar piutang yang mesti ditagih oleh seorang kreditur dari debitur yang bersangkutan, melainkan berapa banyak orang yang menjadi kreditur dari debitur yang bersangkutan. Disyaratkan bahwa debitur minimal mempunyai utang kepada dua orang kreditur. 100 Adapun persyaratan kedua, yakni debitur dalam keadaan berhenti membayar atau tidak membayar utang, ketentuan undang-undang tidak merinci dan memberi penjelasan lebih lanjut. Dengan sendirinya, ukuran atau kriteria debitur yang berhenti 99 Pari passu artinya dengan gaya yang sama; pro rata artinya pembagian yang adil. Lihat lebih lanjut I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hal. 432 dan 458 100 Rahmadi Usman, Op.cit., hal. 15 Universitas Sumatera Utara membayar atau tidak membayar utang tersebut diserahkan kepada doktrin dan hakim. Dengan demikian maka, pernyataan pailit dapat dimohonkan oleh seorang debitur, salah seorang atau lebih kreditur, atau juga oleh Jaksa Penuntut Umum 101 untuk kepentingan Umum. Kemudian, jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 8 ayat 4 UU Kepailitan dan PKPU, permohonan pailit harus dikabulkan apabila ada fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit, sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 angka 1 telah terpenuhi. Pembuktian secara sederhana ini lazim disebut sebagai pembuktian secara sumir. 102 Bila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur, pembuktian 103 mengenai hak kreditur untuk menagih juga dilakukan secara sederhana. Dengan demikian, proses pemeriksaan permohonan kepailitan cukup dilakukan secara sederhana tanpa harus mengikuti atau terikat prosedur dan sistem pembuktian yang diatur di dalam KUH Acara Perdata. Oleh karena pemeriksaan permohonan kepailitan bersifat sederhana, sikap aktif dari hakim amatlah diharapkan. Hakim diharapkan sedapat mungkin bisa mendengarkan kedua belah pihak debitur dan kreditur secara seksama di muka persidangan serta berusaha mendamaikan keduanya. Dengan sikap seperti ini, 101 Tentang hal ini dapat dilihat PP No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum yang disahkan tanggal 20 Maret 2000. 102 Rahmadi Usman, Op.cit., hal. 16 103 Pada dasarnya esensi pembuktian adalah untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak yang berperkara, meliputi kejadian atau peristiwa serta suatu hak yang didalilkan oleh para pihak dan menjadi objek perselisihan. Pasal 163 HIR menyatakan, barangsiapa yang menyatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Lihat Arya Suyudi, et.al., Op.cit., hal. 147 Universitas Sumatera Utara jatuhnya putusan kepailitan pun dapat dihindari, ini akan menguntungkan kedua pihak, sebab sesungguhnya putusan kepailitan kurang dapat dipertanggungjawab-kan dan berlarut-larut. 104 Pasal 8 ayat 4 UU Kepailitan dan PKPU mensyaratkan pembuktian sederhana dalam menentukan dikabulkan atau tidaknya suatu permohonan kepailitan. Namun, UU tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai bagaimana pembuktian sederhana dilakukan dalam memeriksa permohonan pailit, kecuali menyatakan bahwa pembuktian sederhana adalah pembuktian sumir pada umumnya. Seandainya kata ’sederhana’ merupakan lawan dari kata ’tidak sederhana’ maka UU Kepailitan dan PKPU tidak menjawab sejauhmana batasan pembuktian sederhana itu. Hal ini membuka ruang diskresi yang lebar bagi para hakim dalam menafsirkan pengertian pembuktian sederhana dalam penyelesaian perkara pailit. Oleh karena waktu yang sempit, seringkali terjadi penolakan permohonan perkara pailit oleh Majelis Hakim dengan alasan perkara tersebut tidak dapat dibuktikan secara sederhana. 105 Mahkamah Agung berusaha memberikan batasan Pembuktian Sederhana pada Rakernas yang diadakan September 2002. Komisi yang membahas permasalahan kepailitan berpendapat bahwa pemeriksaan perkara permohonan tidak mengenal 104 Ibid. 105 Arya Suyudi, Op.cit., hal. 148 Universitas Sumatera Utara adanya eksepsi, jawaban, replik, duplik, dan kesimpulan, seperti yang berlaku dalam perkara gugatan contentiosa yang bersifat partai. 106 Pada dasarnya, jenis penyelesaian perkara kepailitan adalah permohonan, dan pemeriksaannya bersifat sepihak. Seperti layaknya pemeriksaan permohonan, Majelis Hakim hanya bertugas memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan untuk dikabulkannya suatu permohonan dengan melakukan cross check dengan si pemohon atau pihak terkait. Bila ada bukti yang cukup dan otentik untuk menyatakan pailit, maka permohonan pernyataan pailit dapat dikabulkan. Dari ketentuan yang tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 jo. Pasal 8 ayat 4 UUKepailitan dan PKPU, maka prasyarat dikabulkannya suatu permohonan pailit adalah apabila; 1 terdapat minimal dua kreditur; 2 terdapat minimal satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dan 3 kedua hal di atas dapat dibuktikan secara sederhana.

3. Tahap Kepailitan