Kendala Internal KENDALA YANG DIHADAPI BANK DALAM PENYELESAIAN

BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI BANK DALAM PENYELESAIAN

KREDIT MELALUI HUKUM KEPAILITAN Kendala yang dihadapi bank dalam upaya penyelesaian kredit macet melalui hukum kepailitan dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu kendala internal, yakni kendala yang berasal dari institusi bank sendiri, dan kendala eksternal, yakni kendala yang berasal dari institusi bank, yang dalam hal ini berasal dari pengadilan. Kendala internal dan eksternal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

A. Kendala Internal

Kendala yang dimaksud di sini adalah kondisi internal bank yang kesulitan menerapkan hukum kepailitan dalam penyelesaian kredit macet. Bank yang mengalami masalah berat, dan akhirnya menjadi bank yang tidak sehat, biasanya dimulai dengan terjadinya mismatch, yakni ketidakcocokan dalam pengelolaan dana di sisi pasiva dan aktivanya. Maturity profile dari dana nasabah pemilik rekening pada sisi pasiva biasanya dapat diperhitungkan. 127 Berdasarkan perhitungan ini, bank akan menempatkannya pada sisi aktiva, misalnya fasilitas kredit yang jangka waktu atau jatuh temponya tertentu. Bila fasilitas kredit tersebut mengalami non performing, dalam arti nasabah kredit tidak bisa memenuhi kewajibannya tepat waktu, maka bank akan mengalami kesulitan mencari dana pengganti untuk dibayarkan kepada para deposan. 127 Gunarto Suhardi, Op[. Cit, hal.161 Universitas Sumatera Utara Setiap bank pasti menghadapi persoalan kredit bermasalah. Bank tanpa kredit bermasalah merupakan hal yang aneh kecuali bagi bank-bank baru tentunya. 128 Setiap kredit bermasalah, pada intinya adalah risiko yang terkandung dalam setiap pemberian kredit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bank tidak mungkin terhindar dari kredit bermasalah. Kredit yang bermasalah merupakan penyebab kesulitan terhadap bank itu sendiri, yaitu berupa kesulitan yang menyangkut tingkat kesehatan bank. Karenanya, bank wajib menghindarkan diri dari kredit bermasalah. 129 Dalam kebijakan penanganan kredit bermasalah, hal-hal yang harus diperhatikan antara lain adalah: administrasi kredit, kredit yang perlu mendapat perhatian khusus, perlakuan terhadap kerdit yang tunggakan bunganya dikapitalisasi kredit plafondering, prosedur penyelesaian kredit bermasalah, prosedur penghapusbukuan kredit macet, dan tata cara pelaporan kredit macet, serta tata cara penyelesaian barang agunan kredit yang telah dikuasai bank yang diperoleh dari hasil penyelesaian kredit. Dari kebijakan ini, yang paling penting adalah pelaksana dan institusinya itu sendiri. Diharapkan dari institusinya, antara lain: 1. Bank tidak membiarkan atau bahkan menutup-nutupi adanya kredit bermasalah; 2. Bank harus mendeteksi secara dini adanya kerdit bermasalah atau diduga akan menjadi kerdit bermasalah; 3. Penanganan kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit macet juga harus dilakukan secara dini dan sesegera mungkin; 128 Muhammad Djumhana, Op.cit, hal. 426 129 Ibid. Universitas Sumatera Utara 4. Bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara menambah plafond kredit atau tunggakan-tunggakan bunga dan mengkapitalisasi tunggakan bunga tersebut atau lazim dikenal dengan praktek plafondering; 5. Bank tidak boleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit bermasalah, khususnya untuk kredit macet kepada pihak-pihak yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu. Bank dalam kaitannya dengan ketentuan kepailitan dapat bertindak sebagai berikut: 1 debitur dalam kepailitan; dan 2 kreditur dalam kepailitan. 130 Dalam posisinya sebagai debitur dalam kepailitan, telah umum dipahami bahwa bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha. Undang-Undang Perbankan mengatur mengenai langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka mempertahankan menyelamatkan bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat. Beberapa langkah yang diambil adalah sebagai berikut; 131 1. Pemegang saham menambah modal; 2. Pemegang saham mengganti Dewan Komisaris danatau Direksi bank 3. Bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya; 4. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; 5. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambilalih seluruh kewajiban; 130 Sis Abadi S, “Hukum Kepailitan Ditinjau dari Aspek Perbankan”, dalam Rudy A. Lontoh, et.al., ed., Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Bandung: Alumni, 2001, hal. 420 131 Ibid. Universitas Sumatera Utara 6. Menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain; 7. Meminta bank menjual sebagian harta dan kewajiban bank kepada bank lain; 8. Meminta bank menjual sebagian harta bank kepada bank atau pihak lain. 132 Apabila tindakan-tindakan tersebut belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank danatau menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan Direksi Bank untuk segera menyelenggarakan RUPS untuk membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi. Jika Direksi bank tidak menyelenggarakan RUPS maka Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 2 ayat 3 UU Kepailitan dan PKPU menegaskan, dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Penjelasan pasal tersebut menyatakan, yang dimaksud dengan bank adalah bank sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai 132 Lihat Pasal 37 UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996. Universitas Sumatera Utara pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan suatu langkah untuk menghindari adanya ketidaksesuaian dangan Undang-Undang Perbankan. Namun demikian, walaupun ketentuan kepailitan sudah disempurnakan, apabila prosedur pembubaran dan pemberesan bank akan dilakukan melalui kepailitan, menurut catatan Sis Abadi, masih terdapat kendala- kendala sebagai berikut: 133 1. Diperlukan Kurator yang mempunyai keahlian khusus di bidang perbankan; 2. Kreditur menjadi Kreditur Kukuren kecuali pemegang hak agunan kebendaan, sehingga kedudukan Kreditur lainnya jelas; 3. Kedudukan nasabah tidak diutamakan; 4. Belum adanya pengaturan mengenai prosedur pengajuan permohonan kepailitan melalui Bank Indonesia ataupun pengaturan lainnya seperti apakah Bank Indonesia berkewajiban melakukan seleksi atas bank-bank yang dimintakan pailit oleh pihak ketiga atau hanya sekadar menyalurkan perkara-perkara tersebut langsung kepada Pengadilan Niaga; 5. Memerlukan biaya yang cukup besar. Dalam posisinya sebagai kreditur dalam kepailitan, patut dipahami bahwa sebagai kreditur, bank memegang hak tanggungan dapat langsung mengeksekusi jaminan kebendaan tersebut dengan jalan menggunakan langsung janji atau kuasa 133 Ibid., hal. 423 Universitas Sumatera Utara untuk menjual objek yang dibebani hak tanggungan. 134 Demikian juga bila bank memegang hak gadai, bank dapat langsung menjual objek jaminan tersebut. Berdasarkan alasan ketidakmampuan debitur untuk membayar, bank sebagai kreditur dapat pula memintakan pailit bagi debiturnya. Apabila debitur dinyatakan pailit, maka terdapat beberapa ketentuan yang sangat berpengaruh bagi bank sebagai kreditur pemegang hak tanggungan, hak gadai dan hak agunan kebendaan lainnya. Dalam pemberian kredit pada umumnya bank akan membebankan hak agunan atas kebendaan yang dijadikan jaminan kredit tersebut. bagi bank kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. 135 Dengan demikian bank kreditur pemegang hak tanggungan, hak gadai dan hak agunan lain menjadi kreditur separatis, yaitu kreditur yang tidak terkena akibat kepailitan sehingga tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debiturnya telah dinyatakan pailit. Namun demikian, terhadap hak tersebut berlaku prosedur sebagai berikut: a. Penangguhan Pelaksanaan Esekusi Undang-undang Kepailitan menetapkan bahwa hak eksekusi kreditur dan hak pihak ketiga untuk menunut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 sembilan puluh hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Dengan demikian dalam jangka 134 Lihat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. 135 Lihat Pasal 55 UUK dan PKPU Universitas Sumatera Utara waktu tersebut terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan para kreditur tidak dapat mengeksekusi atau menjual lelang objek yang dibebani hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan lainnya baik berdasarkan kuasa ataupun janji untuk menjual sendiri objek yang dibebani hak tanggungan atau berdasarkan sertifikat hak tanggungan. b. Pengangkatan Penangguhan atau Perubahan Syarat-syarat Penangguhan Kreditur atau pihak ketiga yang ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengangkat penangguhan pelaksanaan eksekusi atau mengubah syarat-syarat penangguhan pelaksanaan eksekusi. Jika kurator menolak permohonan untuk mengangkat penangguhan eksekusi, yang diajukan oleh kreditur atau pihak ketiga yang berkepentingan, maka kreditur atau pihak ketiga yang berkepentingan tersebut dapat mengajukan permohonan kepada hakim pengawas agar melakukan peninjauan kembali penolakan kurator. 136 c. Hak Kreditur hanya Berlaku Sampai dengan 2 dua Bulan Sejak Dimulainya Keadaan Insolvensi Kreditur pemegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya harus melaksanakan haknya dalam jangka waktu paling lambat 2 dua bulan terhitung sejak dimulainya keadaan insolvensi. Setelah lewat jangka waktu tersebut kurator harus menuntut diserahkannya yang menjadi agunan untuk 136 Lebih lanjut tentang Hakim Pengawas, lihat Pasal 57 UU Kepailitan Universitas Sumatera Utara selanjutnya dijual tanpa mengurangi hak pemegang hak tersebut untuk memperoleh penjualan agunan tersebut. d. Pembebasan Barang Agunan Setiap waktu kurator dapat membebaskan barang yang menjadi agunan dengan membayar kepada kreditur yang bersangkutan jumlah yang terkecil antara harga pasar barang agunan dan jumlah utang yang dijamin dengan barang agunan tersebut. Dalam hal debitur memberikan corporate guarantee danatau personal guarantee sebagai jaminan dan kemudian debitur dinyatakan pailit, bank berkedudukan sebagai kreditur konkuren dan aset yang didaftarkan dalam corporate guarantee danatau personal guarantee dimasukkan dalam boedel pailit. Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelas sekali pihak bank tidak mudah menggunakan hukum kepailitan dalam penyelesaian kredit macet. Secara internal, pihak bank mesti menyadari bahwa pengajuan permohonan kepailitan terhadap debitur harus mampu membuktikan adanya kreditur lain yang juga mengalami non performing. Tentu saja, secara internal bank sebagai pemohon kepailitan yang juga kreditur I mesti mendapatkan banyak informasi tentang hal itu. Jika persyaratan ini tidak dipenuhi, maka dipastikan permohonan pengajuan kepailitan tidak dapat dikabulkan. Kendala lainnya adalah penyiapan sumber daya bank yang tidak kecil. Pengeluaran anggaran untuk mengajukan permohonan kepailitan harus diikuti dengan penyiapan anggaran yang tidak kecil. Kecuali waktu yang sangat panjang, bank harus menyiapkan penasihat hukum yang memiliki izin praktik. Dalam kasus permohonan kasasi dan peninjauan kembali atas perkara Bank Lippo, Tbk sebelumnya, Universitas Sumatera Utara menunjukkan sulitnya pihak bank memenuhi persyaratan tersebut. Setelah upaya menggunakan hukum kepailitan dilakukan, ternyata persyaratan formal menjadi kendala yang signifikan. Hemat penulis, kendala internal ini sekalipun bersifat sederhana, namun demikian memberikan implikasi yuridis yang signifikan. Pihak bank acapkali menunda keinginannya menggunakan hukum kepailitan dalam penyelesaian kredit macet dikarenakan ketidaksiapan unsur-unsur pendukung dalam pengajuan permohonan kepailitan.

B. Kendala Eksternal