BAB III MEKANISME PENYELESAIAN KREDIT MACET
MELALUI HUKUM KEPAILITAN
A. Pengaturan Hukum Mengenai Kepailitan
1. Pengertian Pailit
Kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Istilah kepailitan berasal dari kata pailit. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, istilah pailit berarti jatuh;
bangkrut dan jatuh miskin.
83
Dalam bahasa Belanda disebut dengan failliet, yang artinya pemogokan atau kemacetan pembayaran.
84
Bahasa Perancis menggunakan istilah le faili artinya orang yang mogok atau berhenti membayar.
85
Dalam bahasa Inggris, to fail artinya gagal. Adapun di negara-negara yang berbahasa Inggris, lebih
dikenal istilah bankrupt dan bankruptcy.
86
Menurut Black’s Law Dictionary, istilah bankrupt berarti intebted beyond the means of payment berutang melebihi pembayaran.
87
Dalam pengertian operasional, disebutkan sebagai a person who cannot meet current financial obligations; an
insolvent person.
88
Sedangkan kebangkrutan bankruptcy adalah a statutory procedure by which a usu. Insolvent debtor obtains financial relief and undergoes a
83
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1996, hal. 715
84
Lihat A. Broers, Engels Woordenboek Batavia: Bij J.B., hal. 230
85
Rahmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 11
86
Ibid.
87
Bryan A. Garner ed., Black’s Law Dictionary, eight edition St. Paul: West Publishing and Co., 2004, hal. 156
88
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
judicially supervised reorganization or liquidation of the debtor’s assets for the benefit of creditors.
89
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa Bryan A. Garner menegaskan pengertian pailit sebagai ketidakmampuan untuk membayar atas utang-utang yang
telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan, baik yang
dilakukan secara suka rela oleh debitur sendiri ataupun atas permintaan pihak ketiga di luar debitur.
Menurut FV Staatsblad 1905 Nomor 217 Jo. Staatblad Nomor 348 yang dimaksud dengan pailit adalah setiap berutang debitur yang ada dalam keadaan
berhenti membayar baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berutang kreditur dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit.
Perundang-undangan Indonesia tidak memberikan arti otentik tentang pailit atau kepailitan. Namun dalam Pasal 1 butir 1 UU Kepailitan dinyatakan bahwa
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.
Pernyataan pailit ini harus melalui proses pemeriksaan di pengadilan setelah memenuhi persyaratan di dalam pengajuan permohonannya.
Selanjutnya ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Kewajiban Utang disebut UU K dan
89
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
PKPU menyatakan bahwa ”kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagai diatur dalam Undang-Undang ini”. Untuk syarat dinyatakan pailit pada prinsipnya sama dengan UUK hanya pengaturannya
terdapat pada Pasal 2 ayat 1 dalam UUK dan PKPU. Sejalan dengan pengertian tersebut Munir Fuady mengatakan: kepailitan atau
bangkrut itu adalah suatu sitaaan umum atas seluruh harta debitur agar dicapainya perdamaian antara para kreditur atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil
diantara kreditur.
90
Dari beberapa perngertian diatas terlihat saling melengkapi dan dapat disimpulkan bahwa kepailitan adalah suatu proses hukum yang berlangsung secara
sederhana untuk menyatakan suatu subjek hukum dalam keadaan pailit, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU. Jadi pengertian tersebut
bertujuan agar hasil penjualan semua harta kekayaan debitur dapat dibagi-bagi secara adil antara krediturnya dengan mengingat pemegang hak istimewa.
Dalam hal permohonan pailit diajukan oleh bank, maka bank berkedudukan sebagai kreditur separatis, sebab biasanya bank dalam memberikan kredit selalu
menyertakan jaminan sebagai syarat pemberian kredit kepada debitur untuk menjamin penyelesaian kredit apabila terjadi kredit bermasalah atau kredit macet.
Dalam hukum kepailtan, kreditur yang dapat digolongkan sebagai kreditur separatis karena piutangnya dijamin dengan security right in rem adalah kreditur
pemegang hak yang terdiri dari:
90
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, Bandung, Citra Aditya, 2000, hal.8
Universitas Sumatera Utara
a. Hipotik yang diatur dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan b.
Gadai yang diatur dalam pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata c.
Fidusia yang diatur dalam apsal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jamina Fidusia
d. Kreditur yang memiliki hak retensi atas suatu barang dalam pasal 65 Undang-
undang Kepailitan. Dengan demikian, bank berkedudukan sebagai kreditur pemegang hak hipotik,
hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya dalam perjanjian kredit dengan debitur, merupakan kreditur separatis yang diistimewakan
pembayarannya. Kedudukan bank selaku kreditur separatis tersebut dipisahkan dari kreditur
lainnya, dan objek jaminannya juga dipisahkan dari harta pailit. Bank dapat menjual dan mengambil sendiri hasil dari penjualan jaminan, bahkan jika diperkirakan hasil
penjualan atas jaminan utang itu tidak dapat menutupi seluruh utangnya, maka bank dapat memintakan agar terhadap kekurangan tersebut, bank diperhitungkan sebagai
kreditur konkuren. Sebaliknya apabila hasil dari penjualan jaminan utang melebihi utang-utangnya, maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada debitur.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi perlunya pengaturan hukum kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yakni pertama, untuk
menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur. Kedua, untuk menghindari adanya
kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara
Universitas Sumatera Utara
menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan hak debitur atau para kreditur lainnya. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan
oleh salah seorang kreditur atau oleh debitur sendiri. Berdasarkan rumusan Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU, jelaslah bahwa
kepailitan atau pailit adalah suatu keadaan di mana seorang debitur tidak mampu melunasi utang-utangnya pada saat jatuh tempo. Pernyataan pailit ini tidak serta merta
terjadi begitu saja ketika utang jatuh tempo, tetapi harus didahului dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri secara suka rela maupun atas permintaan
seorang kreditur atau lebih. Oleh sebab itu, selama seorang debitur belum dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka selama itu pula yang bersangkutan masih dianggap
mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100
tahun lalu yakni sejak tahun 1906, sejak berlakunya Verordening op het Faillissement en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia sebagaimana dimuat dalam
Staatsblad 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad 1906 Nomor 348 Faillissements- verordening.
91
Menurut Imran Nating, dalam tahun 1960-an, 1970-an secara relatif masih banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh
Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Negeri.
92
91
Staatsblad ini efektif berlaku sejak 1 November 1906.
92
Lihat kembali http:www.solusihukum.comartikelartikel36.php. 19 Mei 2004 Daerah hukum Pengadilan Niaga tersebut di atas, berdasarkan Keputusan Presiden R.I. Nomor: 97 Tahun 1999,
adalah sebagai berikut: 1 Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang Makassar, meliputi wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Selawesi Utara,
Maluku dan Propinsi Irian Jaya; 2 Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya, meliputi wilayah Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa
Universitas Sumatera Utara
Sejak krisis moneter tahun 1997 melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan
proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.
Fenomena ini memberikan pengaruh signifikan bagi iklim perekonomian dan investasi di Indonesia.
Sekalipun dipahami bahwa fenomena tersebut muncul sebagai akibat politik secara nasional dan global, namun penyelesaian kasus tersebut menyisakan
problematika penegakan hukum tersendiri. Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-
Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Tanggal 9 September
1998 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135.
93
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905
Nomor 217 jouncto Staatsblad tahun 1906 Nomor 308, tetapi sekadar mengubah dan menambah. Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Tenggara Barat, dan Propinsi Nusa Tenggara Timur; 3 Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang, meliputi wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta; 4 Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, meliputi wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung dan Propinsi Kalimantan Barat; 5 Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Medan, meliputi wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
93
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Undang No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka Peraturan
Kepailitan Faillissements Verordening Stb. 1905 Nomor 217 juncto Stb. 1906 Nomor 348 yang praktis sejak puluhan tahun sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup
kembali.
94
Sejak itu, pengajuan permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan pengadilan
mengenai perkara kepailitan. Sebab Undang-Undang Kepailitan diharapkan menjadi sarana efektif yang dapat digunakan secara cepat sebagai landasan penyelesaian
utang-piutang. Sistem yang dipergunakan dalam perubahan UU Kepailitan dan PKPU adalah
tidak melakukan perubahan secara total, tetapi hanya mengubah pasal-pasal tertentu yang perlu diubah dan menambah berbagai ketentuan baru ke dalam undang-undang
yang sudah ada. Pokok-pokok penyempurnaan tersebut meliputi antara lain:
95
Pertama, penyempurnaan di sekitar syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan. Termasuk di dalamnya, pemberian kerangka waktu yang pasti
bagi pengambilan putusan pernyataan pailit. Kedua, penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan
tentang tindakan sementara yang dapat diambil oleh pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya oleh kreditur atas kekayaan debitur sebelum adanya
putusan pernyataan pailit.
94
Kartini Muljadi, “Perubahan pada Faillessmentverordening dan Perpu Nomor 1 tahun 1998 jo. UU Nomor 4 tahun 1998 tentang penetapan Perpu Nomor 1 tahun 1998 tentang perubahan atas UU
tentang kepalilitan menjadi UU”, makalah dalam Seminar Perkembangan Hukum Bisnis di Indonesia. Jakarta 25 Juli 2003
95
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 hal 5-9
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, peneguhan fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan pemberian jasa-jasa tersebut di samping institusi yang selama ini telah dikenal, yaitu
Balai Harta Peninggalan. Keempat, penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan.
Dalam UU Kepailitan dan PKPU dikatakan bahwa untuk setiap putusan pernyataan pailit, upaya hukum yang dapat diajukan hanyalah kasasi ke Mahkamah
Agung. Kelima, dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan berbagai
kepentingan secara adil, dalam rangka penyempurnaan ini juga ditegaskan adanya mekanisme penangguhan pelaksanaan hak kreditur dengan hak preferens, yang
memegang hak tanggungan, hipotik, gadai atau agunan lainnya. Keenam, penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU sebagaimana diatur dalam Bab Ketiga UU Kepailitan dan PKPU.
Ketujuh, penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga ini disebut dengan
Pengadilan Niaga, dengan hakim-hakim yang juga akan bertugas secara khusus.
96
Kekhususan Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan adalah: a.
Pengadilan ini tidak mengenal banding, sehingga jika ada pihak yang merasa tidak puas dapat mengajukan upaya hukum dengan cara kasasi ke Mahkamah
agung.
96
Lihat lebih lanjut http:www.solusihukum.comartikel36.php 1952004
Universitas Sumatera Utara
b. Jangka waktu proses pendaftaran, pemeriksaan dan penjatuhan putusan pada
tingkat Pengadilan Niaga diatur secara tegas yaitu 30 hari. c.
Jangka waktu kasasi di Mahkamah Agung maksimal 30 hari untuk memutuskan permohonan upaya hukum khusus Peninjauan Kembali.
97
2. Syarat-syarat Pernyataan Pailit