Hirarki AHP disusun dalam empat level yang memperlihatkan proses penetapan prioritas yang dimulai dari goal pada level satu yaitu pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan kebersihan lingkungan berkelanjutan, khususnya sampah di kota Bandar Lampung. Level dua adalah aktor sebagai stakeholders
yang terdiri atas pemerintah kota, swasta, masyarakat, perguruan tinggi, dan LSM. Level tiga adalah kriteria yang terdiri atas dukungan kebijakan pemerintah kota,
sarana dan prasarana pengelolaan sampah, sistem pembuangan dan pengolahan sampah, organisasi dan kelembagaan pengelolaan sampah. Level empat adalah
alternatif yang terdiri atas implementasi kebijakan dan penegakan hukum, peningkatan sarana dan prasarana pengelolaan sampah, pengolahan dengan teknik
sanitary landfill, pola kemitraan antara pemerintah kota, pihak swasta, dan masyarakat.
Hasil AHP dengan pakar setelah dilakukan uji Bootstrap dengan lima kali pengulangan. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mencari nilai simpangan
baku Standar Deviasi pakar per level. Berdasarkan hasil nilai simpangan baku pakar, menunjukkan bahwa nilainya berada dibawah 0,05. Jika nilai simpangan
baku 0,05, berarti data valid dan tingkat inconsistency pakar dapat diterima Lampiran 14.
6.3.2. Analisis data penilaian tingkat kepentingan stakeholders dalam
pengelolaan kebersihan lingkungan berkelanjutan
Hasil analisis data dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process AHP dan diolah dengan program expert choice 2000 penilaian tingkat kepentingan
masing-masing kelompok stakeholders sebagai aktor yang berkepentingan dalam pengelolaan kebersihan lingkungan berkelanjutan di kota Bandar Lampung dapat
dilihat pada Gambar 18.
Keterangan : Pemkot : Pemerintah Kota
Masy : Masyarakat
SWT : Swasta
PT : Perguruan
Tinggi LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
Gambar 18 Stakeholders yang berkepentingan
dalam
pengelolaan kebersihan lingkungan berkelanjutan kota Bandar Lampung
Analisis pendapat pakar dengan menggunakan metode AHP memerlihatkan bahwa stakeholders sebagai aktor yang paling berkepentingan terhadap penentuan
alternatif kebijakan pengelolaan kebersihan lingkungan di kota Bandar Lampung adalah pemerintah kota dengan bobot nilai 0,436. Stakeholders yang paling
berkepentingan kedua adalah masyarakat dengan bobot nilai 0,233. Stakeholders ketiga adalah pihak swasta dengan bobot nilai 0,145. Stakeholders keempat adalah
perguruan tinggi dengan bobot nilai 0,110. Stakeholders kelima yang berkepentingan adalah LSM dengan bobot nilai 0,076.
Hasil pembobotan tingkat kepentingan stakeholders menunjukkan bahwa pemerintah kota memiliki tingkat kepentingan yang paling tinggi terhadap
alternatif kebijakan pengelolaan kebersihan lingkungan di kota Bandar Lampung. Hal tersebut disebabkan pemerintah kota mempunyai peran dan kewenangan
sebagai pembuat kebijakan dan program kebersihan lingkungan dengan mengacu kepada UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Sebagai stakeholders, masyarakat mempunyai peran yang sangat strategis dalam pengelolaan sampah. Dalam hal ini, masyarakat sangat penting untuk
diberdayakan agar mampu melakukan berbagai upaya penanganan pengelolaan sampah sehingga mempunyia nilai tambah dan bermanfaat. Hal ini sejalan
dengan bunyi Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Bab XI Pasal 70 menyatakan bahwa: 1
masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, 2 peran
masyarakat dapat berupa: a pengawasan sosial, b pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan, danatau c penyampaian informasi danatau laporan,
3 peran masyarakat dilakukan untuk: a meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, b meningkatkan kemandirian,
keberdayaan masyarakat, dan kemitraan, c menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat, d menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan
masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial, dan e mengembangkan dan menjaga budaya serta kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan.
Kebersihan lingkungan sebagai program bersama, dapat dikaitkan dengan kegiatan gotongroyong bahasa Lampung: Sakai Sambayan, kerjabakti dalam
bentuk rekreasi bersih, fun, dan berkolaborasi dengan lembaga legislatif sehingga peran masyarakat semakin meluas. Dengan demikian akan memperkuat social
cohessiveness and community building. Menumbuhkembangkan rasa memiliki bersama dalam masyarakat akan mendorong keinginan bersama mengatasi
masalah sampah sebagai ancaman threats terhadap lingkungan. Stakeholders lainnya yang berkepentingan adalah pihak swasta. Hasil
penelitian menunjukkan pihak swasta mempunyai peran terhadap pengelolaan kebersihan lingkungan. Tanggung jawab sosial swasta diantaranya dapat
memberikan implikasi positif terhadap perbaikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan pembangunan melalui Coorporative
Social Responsibility CSR, dan memperkuat investasi dunia usaha sehingga dapat meningkatkan dan menguatkan jaringan kemitraan serta kerjasama antara
pemerintah, swasta, dan kelompok masyarakat lainnya. Hasil penelitian ini
didukung juga oleh pernyataan Santosa 2001 yang mengemukakan bahwa kebijakan dunia usaha di bidang lingkungan hidup dapat diidentifikasikan dalam
berbagai fase, yaitu fase reaktif, menerima, konstruktif dan fase proaktif, untuk mendorong dunia usaha memiliki proaktivisme terhadap lingkungan dengan
pendekatan pemberian tekanan, sangat dipengaruhi oleh berbagai stakeholders eksternal dalam mewujudkan tekanan.
Sebagai Stakeholders, perguruan tinggi juga mempunyai kepentingan
dalam pengelolaan kebersihan lingkungan. Perguruan tinggi memiliki kewajiban dalam menerapkan tanggungjawab Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu, pendidikan,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan sumberdaya yang dimiliki, perguruan tinggi dapat memberikan inovasi-inovasi baru dalam bentuk teknologi
pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan kebersihan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Demikian juga halnya dengan stakeholders lainnya, yaitu lembaga swadaya masyarakat LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Tingkat
kepentingan LSM adalah dalam hal melakukan pemantauan dan pengawasan di lapangan tentang efektifitas penerapan ketentuan hukum yang berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan, bersama perguruan tinggi melakukan pelatihan sebagai upaya penyadaran pada masyarakat terhadap kualitas dan pemeliharaan
lingkungan, kondisi sosial ekonomi masyarakat dan yang tidak kalah pentingnya adalah hak class actions serta legal standing yang dapat ditempuh. Hak hukum
dari LSM sebagai penunjang pengelolaan lingkungan hidup dijamin secara tegas berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 pasal 92 1 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan tanggungjawab perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Koordinasi dan kerjasama pada pengelolaan sampah sangat diperlukan mengingat setiap anggota dari suatu komunitas pengelola sampah mempunyai
peran yang berbeda. Namun demikian, selain adanya koordinasi dan kerjasama yang harmonis Bulle 1990, Wilson et al 2001, hal lain yang juga diperlukan
agar semuanya berhasil adalah melakukan kampanye dalam pengelolaan kebersihan lingkungan. Untuk mencapai keberhasilan kampanye tersebut
diperlukan kemahiran dalam mengkombinasikan berbagai cara kampanye dan sosialisasi agar dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat atau
kelompok target serta seluruh stakeholders terhadap isu manajemen persampahan.
6.3.3. Analisis data