3 Kemajuan teknologi: Kemajuan teknologi akan menambah kuantitas maupun
kualitas sampah karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam serta cara pengepakan dan produk manufaktur yang semakin beragam pula.
2.4.1. Sistem pengelolaan sampah
Menurut Daniel et al 1985 menyatakan pengelolaan sampah semakin berkembang sejalan dengan perkembangan jenis sampah yang akan dikelola.
Beberapa cara pengelolaan akhir sampah yang dilakukan masyarakat adalah sebagai berikut.
1 Penimbunan. Sampah yang telah dikumpulkan pada penampungan sementara
diangkut kesuatu area tempat pembuangan akhir TPA, kemudian sampah tersebut ditimbun dan diratakan. Penimbunan sampah seperti ini
menimbulkan bau busuk, tempat berkembangnya bibit penyakit, serta dapat mengakibatkan terganggunya kualitas air tanah.
2 Pengomposan. Sampah-sampah organik diolah dengan cara pengomposan.
Ada beberapa keuntungan dari sistem pengomposan antara lain, pupuk yang dihasilkan bersifat ekologistidak merusak lingkungan, masyarakat dapat
membuat sendiri, serta tidak memerlukan peralatan dan instalasi yang mahal PPS IPB 2003.
3 Pembakaran sampah. Pembakaran dapat dilakukan pada tempat pembuangan
sampah sementara, atau pembakaran dilakukan dengan insenerator. Proses insenerator ini mampu mereduksi limbah hingga 90 persen, meskipun panas
yang ditimbulkannya dapat digunakan sebagai sumber energi, namun penggunaannya dapat menimbulkan pencemaran udara tersendiri.
4 Penghancuran. Sampah yang telah dikumpulkan dipotong-potong menjadi
ukuran kecil-kecil sehingga volumenya bertambah kecil, penghancuran yang demikian akan membantu proses pembusukan.
5 Pemanfaatan ulang. Sampah-sampah yang telah dikumpulkan dipilih sesuai
dengan bahan pembuatnya seperti kertas, kaca, plastik, besi, karton, aluminium, dan dijual untuk dimanfaatkan kembali
6 Dumping. Pengelolaan sampah secara dumping dengan menumpuk sampah
pada suatu area, pengelolaan yang demikian akan menimbulkan penurunan
estetika lingkungan. Jenis dumping yang lain dan sering dilakukan masyarakat dalam mengelola sampah adalah dumping in water dimana
sampah dibuang ke dalam badan air misalnya, sungai, laut, dan saluran air lainnya Naria 1996
Menurut Daniel et al 1985 menyatakan masalah yang sering muncul dalam penanganan sampah kota adalah masalah biaya operasional yang tinggi dan
semakin sulitnya ruang yang pantas untuk pembuangan. Sebagai akibat biaya operasional yang tinggi, sebagian besar kota-kota di Indonesia hanya mampu
mengumpulkan dan membuang 60 persen dari seluruh produksi sampahnya. Dari sebesar 60 persen ini, sebagian besar ditangani dan dibuang dengan cara yang
tidak saniter, boros, dan mencemari. Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia
merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70 persen dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat tidak
membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin
dengan sumbernya. Selama ini pengelolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan
dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sampah bersifat terpusat. Sebagai contoh, seluruh sampah dari kota Jakarta harus dibuang di Tempat Pembuangan
Akhir di daerah Bantar Gebang Bekasi. Jika dihitung berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara
sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan mengelola dan mengolah sampah di tingkat lingkungan terkecil, seperti Lingkungan atau Rukun Tetangga
RT, dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat diturunkandikurangi.
Pengelolaan dan pengolahan sampah yang tidak terpusat, yang menyebar di setiap kelurahan atau satuan lingkungan dapat memberikan nilai tambah, antara
lain: 1 mengurangi biaya transportasi angkutan sampah, 2 pencemaran akibat air sampah dan bau tidak sedap dapat ditekan serendah mungkin, 3 meratanya
kegiatan ekonomi yang dihasilkan dari pemanfaatan sampah, dan 4 bentuk daur ulang dapat disesuaikan dengan potensi lingkungan sekitar. Berikut ini, estimasi
total timbulan sampah berdasarkan sebagian kota besar dan jenis sampah yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Estimasi total timbulan sampah berdasarkan jenisnya kota metropolitan besar 26 kota dengan total penduduk 40,1 Juta
No Jenis sampah Jumlah
juta tontahun Persentase
1 Sampah dapur
22,4 58
2 Sampah plastik
5,4 14
3 Sampah kertas
3,6 9
4 Sampah lainnya
2,3 6
5 Sampah kayu
1,4 4
6 Sampah kaca
0,7 2
7 Sampah karetkulit
0,7 2
8 Sampah kain
0,7 2
9 Sampah metal
0,7 2
10 Sampah pasir
0,5 1
Total 38,5
100 Sumber: Kantor Negara Lingkungan Hidup 2008
Berdasarkan sumber sampah dan jumlahnya, diperoleh data pada 5 lima tahun terakhir besaran sampah di kota-kota Indonesia Kantor Negara Lingkungan
Hidup 2008 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Sumber sampah dan jumlah juta tontahun
No Sumber Sampah
Jumlah juta tontahun 1
Permukiman 16,7
2 Pasar
7,7 3
Jalan 3,5
4 Fasilitas Umum
3,4 5
Perkantoran 3,1
6 Industri
2,3 7
Lainnya 1,8
Sumber: Kantor Negara Lingkungan Hidup 2008 Jumlah penduduk terlayani mencapai 130 juta jiwa atau sebesar 56 persen
dari total penduduk Indonesia, sedangkan pelayanan antardaerahkota berbeda. Contoh wilayah Pulau Jawa sudah rata-rata mencapai 59 persen, sedangkan
Sumatera baru sekitar 48 persen. Tidak semua sampah dapat diangkut ke
TPSTPA, sehingga ditemukan berbagai sistem penanganan sampah dilakukan oleh masyarakat .Sistem penanganan sampah setelah sampah dikumpulkan
masyarakat dari permukiman dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Sistem penanganan sampah di Indonesia
No. Penanganan Sampah
Jumlah tontahun
1 Sampah diangkut ke TPSTPA
11,6 2
Sampah di timbun 1,6
3 Sampah dibuat kompos
1,2 4
Sampah dibakar 0,8
5 Sampah di buang ke sungai
0,6 6
Lain-lain 1,1
Sumber : Kantor Negara Lingkungan Hidup 2008 Sistem pengelolaan sampah yang sedang berjalan sampai saat ini, ternyata
masih belum mampu menangani persampahan kota. Beberapa permasalahan yang timbul dalam sistem penanganan sampah sekarang ini Sidik et al 1985 yakni
sebagai berikut. 1 Dari segi pengumpulan sampah dirasa kurang efisien karena mulai dari
sumber sampah sampai ke tempat pembuangan akhir, sampah belum dipilah- pilah sehingga kalaupun akan diterapkan teknologi lanjutan berupa
komposting maupun daur ulang perlu tenaga untuk pemilahan menurut jenisnya sesuai dengan yang dibutuhkan, dan hal ini akan memerlukan dana
maupun menyita waktu. 2 Pembuangan akhir ke TPA dapat menimbulkan masalah, diantaranya:
a. memerlukan lahan yang besar bagi tempat pembuangan akhir TPA sehingga hanya cocok bagi kota yang masih mempunyai banyak lahan
yang tidak terpakai. Apalagi bila kota menjadi semakin bertambah, jumlah penduduknya maka sampah akan menjadi semakin bertambah, baik jumlah
maupun jenisnya. Hal tersebut akan semakin bertambah juga luasan lahan bagi TPA. Apabila instalasi incenerator yang ada tidak dapat diimbangi
jumlah sampah yang masuk. b. jumlah timbunan semakin lama semakin meningkat. Dikhawatirkan akan
timbul berbagai masalah sosial dan lingkungan,
c. diantaranya 1 dapat menjadi lahan yang subur bagi pembiakan jenis-jenis bakteri serta bibit penyakit lain, 2 dapat menimbulkan bau tidak sedap
yang dapat tercium dari puluhan bahkan ratusan meter, dan 3 dapat mengurangi nilai estetika dan keindahan lingkungan.
d. biaya operasional sangat tinggi bagi pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan lebih lanjut. Apalagi bila letak TPA jauh dan bukan di wilayah
otonomi e. pembuangan sistem open dumping dapat menimbulkan beberapa
dampak negatif terhadap lingkungan. Pada penimbunan dengan sistem anaerobik landfill akan timbul leachate di dalam lapisan timbunan
dan akan merembes ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Leachate ini sangat merusak dan dapat menimbulkan bau yang tidak enak, selain itu
dapat menjadi tempat pembiakan bibit penyakit, seperti lalat, dan tikus f. pembuangan dengan cara sanitary landfill, walaupun dapat mencegah
timbulnya bau penyakit dan lainnya, tetapi masih memungkinkan muncul masalah lain, yakni timbulnya gas yang dapat menyebabkan pencemaran
udara. Gas-gas yang mungkin dihasilkan adalah : methan, H
2
S, NH
3
dan lainnya. Gas H2S dan NH3 walaupun jumlahnya sedikit, namun dapat
menyebabkan bau yang tidak enak sehingga dapat merusak sistem pernafasan tanaman dan membuat tanaman kekurangan gas oksigen dan
akhirnya mati. Pada proses penimbunan, sebaiknya sampah diolah terlebih dahulu dengan cara dihancurkan dengan tujuan untuk memperkecil volume
sampah agar memudahkan pemanfaatan sampah. Untuk melakukan ini tentu perlu tambahan pekerjaan yang berujung pada tambahan dana.
3 Penggunaan incinerator dalam pengolahan sampah memiliki beberapa kelemahan, di antaranya:
a. menghasilkan abu 15 dan gas yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Selain itu, gas yang dihasilkan dari proses pembakaran dengan
menggunakan incinerator dapat mengandung gas pencemar
berupa NOx., SOx dan lain yang dapat mengganggu kesehatan manusia;
b. dapat menimbulkan air kotor saat proses pendinginan gas maupun proses pembersihan incinerator dari abu maupun kerak. Kualitas air kotor dari
instalasi ini menyebabkan COD meningkat dan pH menurun; c. memerlukan biaya yang besar dalam menjalankan incinerator. Untuk
menangani sampah 800 tonhari memerlukan investasi Rp. 60 milyar, sedangkan dari hasil penjualan listrik yang dihasilkanhanya Rp. 2,24
milyartahun; d. butuh keahlian tertentu dalam penggunan alat ini. Sebagai contoh pada
penanganan sampah di Surabaya, teknologi ini sudah digunakan sejak tahun 1990, namun tanpa didukung dengan kualitas sumberdaya manusia
yang memahami filosofi alat ini, akibatnya pada tahun kedua terjadi kerusakan. Hal ini tentu menambah beban dalam perolehan dana bagi
perbaikannya. Belum lagi sampah yang akan menumpuk dengan tidak berfungsinya alat ini.
e. penggunaan incinerator ini tidak dapat berdiri sendiri dalam pemusnahan sampah, tetapi masih memerlukan landfill guna membuang sisa
pembakaran; 4 Belum maksimalnya usaha pemasaran bagi kompos yang dihasilkan dari
proses pengomposan sampah kota; 5 Belum maksimalnya upaya sistem daur ulang menjadi barang-barang yang
bernilai ekonomi tinggi; 6 Sulitnya mendapatkan tambahan biaya bagi peningkatan kesejahteraan
petugas yang terlibat dalam penanganan sampah. Hal ini tentu akan berakibat pada kegairahan kerja yang rendah dari para pengelola sampah.
2.4.2. Kebijakan pengelolaan sampah di perkotaan