Faktor eksternal Analisis Data

128 tingkah laku anak yang tidak sesuai dengan harapan orang tua di dalam rumah tangga dapat mengakibatkan timbulnya kemarahan orang tua.

5.3.2 Faktor eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri anak yang mempengaruhi terjadinya kekerasan pada anak, dalam hal ini faktor dari keluarga orangtua yang meliputi: a. Faktor ekonomi Faktor ekonomi sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan suatu rumah tangga. Sebagian besar kekerasan pada anak yang terjadi dalam rumah tangga keluarga dapat dipicu oleh kondisi ekonomi. Kemiskinan serta tekanan hidup atau tekanan ekonomi yang semakin meningkat memberi sumbangan besar terhadap terjadinya tindak kekerasan pada anak. Problematika finansial keluarga yang memprihatinkan atau kondisi keterbatasan ekonomi dapat menciptakan masalah dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang dapat mempengaruhi jiwa dan tekanan orangtua yang sering kali dilampiaskan terhadap anak-anak Fatimah, dalam Suyanto, 2010: 33. Richard J Gelles dalam Huraerah, 2007: 53-54 juga menyatakan adanya stres yang berasal dari situasi tertentu misalnya orang tua terkena PHK Pemutusan Hubungan Kerja, pengangguran serta pindah lingkungan semakin memperparah kondisi itu. Adanya tekanan ekonomi, bagi orang tua yang tidak kuat untuk menghadapi kondisi itu akan menjadikan orang tua semakin sensitif sehingga menjadi mudah marah, anak sebagai pihak yang terlemah dalam keluarga menjadi sasaran dan pelampiasan kemarahan. Seperti yang diungkapkan Ibu R ibu kandung Informan I, HSS: 129 Saat ini suami saya pengangguran, dia tidak memiliki pekerjaan tetap, kadang kerja serabutan juga. Untuk kebutuhan sehari-hari saja, upah yang saya terima masih kurang nak, apalagi untuk sekolah anak jugakan perlu biaya yang besar.Kondisi itu membuat suami saya melakukan apa saja agar dia bisa memperoleh uang supaya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, salah satunya dengan harta warisan yang telah dijanjikan ibu mertua saya kepadanya. Tetapi syarat yang harus dipenuhinya yaitu dia harus bisa mengajak ibu dan anak-anak untuk memeluk agama yang sama dengan dia. Dia pun jadi terusmemaksa, bahkan mengancam ibu dan anak-anak dengan kata-kata yang kasar agar mengikuti kehendaknya. Jadi hasil wawancara dengan Ibu R diatas dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh Ibu R adalah masalah keuangan. Karena suaminya hanya tamatan SMP, sehingga keahlian yang dimiliki juga terbatas, yang kemudian berdampak pada pekerjaan dan penghasilan yang diterima. Ketiadaan pekerjaan dan penghasilan yang dimiliki oleh suaminya dikarenakan tidak adanya pekerjaan serta himpitan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup yang kian mendesak, memaksa suaminya untuk segera memperoleh uang dengan cara yang praktis yaitu melalui harta warisan yang telah dijanjikan kepadanya. Sehingga, ia pun akan melakukan apa saja untuk dapat memiliki harta tersebut termasuk dengan memaksa dan mengancam anak dan isterinya dengan perkataan- perkataan kasar agar mengikuti kehendaknya.Perbuatan suaminya yang mengintimidasi dan suka mengancam anak-anak agar menurut sesuai kehendaknya menyebabkan anak-anak mengalami kekerasan secara psikis. Kondisi itu mengakibatkan anak-anaknya menjadi takut, cemas dan tidak betah lagi berada dirumah. 130 Hampir sama dengan Informan I, keterbatasan ekonomi juga mengakibatkan anak dari informan III, AL menjadi korban kekerasan seksual. Seperti yang diungkapkan Ibu W ibu kandung Informan III, AL : Suami saya yang sekarang sedang menganggur tidak ada kerjanya, dia pernah mencoba beberapa pekerjaan, tetapi tidak ada yang dijalaninya dengan serius. Karena itu juga, saat dia bisa menjemput AL dari sekolahnya, saya tidak pernah curiga. Saya mengira itu karena dia perhatian dan sayang sama anak. Tetapi bukannya dibawa pulang ke rumah, dia malah membawa AL ke hotel. Kurang ajar dia itu, masa saya sudah dikawininya, anakku pun digarapnya juga. Jadi hasil wawancara dengan Ibu W diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi suaminya yang tidak memiliki pekerjaan atau pengangguran mengakibatkan suaminya memiliki lebih banyak waktu dan sering berada di rumah. Sedangkan ibu W harus kerja untuk mencari nafkah agar dapat memenuhi kebutuhan sehari- hari, hingga menyebabkannya jarang berada di rumah. Sehingga, saat suaminya dapat menjemput anaknya dari setelah pulang sekolah, ibu W tidak pernah curiga bahwa suaminya akan merusak masa depan anaknya dengan membawa anaknya pergi ke Hotel. Perbuatan suaminya menyebabkan anak Ibu W mengalami kekerasan secara seksual incest. Menurut Richard J Gelles dalam Huraerah, 2007: 54-55, adanya stres yang ditimbulkan dari situasi sosial tertentu misalnya kondisi pengangguran yang dialami oleh orangtua serta keluarga yang sering bertengkar dapat meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Begitu juga yang dialami oleh Informan V, keterbatasan ekonomi juga mengakibatkan anak dari Informan V, yaitu GHN menjadi korban kekerasan fisik. 131 Seperti yang diungkapkan Ibu SM ibu kandung Informan V, GHN : Saya pernah bertengkar dengan suami karena uang belanja sehari-hari. Saya pernah minta ditambahin uang belanja sama bapak, sekarangkkan taulah harga barang-barang juga mahal. Dia cuma memberi enam ratus ribu rupiah untuk membayar biaya makan, listrik, air serta biaya sekolah anak. Tapi saya tidak pernah direspon sama dia, kami terlibat pertengkaran hebat karena itu. Saya malah di dibentak dan hampir dipukul. Anak saya GHN melerai kami waktu itu, memang si GHN juga mencoba melawannya tapi suami saya mengambil ikat pinggangnya dan memukul GHN. Jadi hasil wawancara dengan Ibu SM diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi ekonomi yang pas-pasan yang dialami keluarga mereka menjadi penghambat terutama dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin melambung tinggi dan juga dalam menyekolahkan anaknya. Pada sebuah keluarga yang setiap hari pusing memikirkan desakan kebutuhan hidup, tentunya keadaan ini akan menyulut tumbuhnya sikap temperamental seperti halnya yang dialami oleh suami ibu SM. Tempramen merupakan gaya perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi tanggapan atau respons Santrock, 2009. Sikap termpramen yang tidak terkontrol mengakibatkan anak sering menjadi pelampiasan emosi orang tuanya. b. Faktor pola asuh orangtua Kekerasan pada anak juga berkorelasi dengan pola pengasuhan orang tuacara orang tua dalam mendidik dan berinteraksi dengan anak. Setiap keluarga mempunyai spesifikasi dalam mendidik. Ada keluarga yang cara mendidik anak secara diktator militer otoriter di mana anak mutlak harus mentaati segala aturan 132 dan batasan dan apabila anak tidak memenuhi tuntutan orang tua, anak akan diancam dan dihukum. Ada yang demokratis di mana keinginan dan pendapat anak juga dihargai dan diterima oleh orang tua. Tetapi ada juga keluarga yang acuh tak acuh dengan pendapat setiap anggota keluarga Gunarsa, 2003: 132. Setiap pola asuh yang diterapkan oleh orang tua di ruang lingkup keluarga terutama dalam menegakkan disiplin atau memberi hukuman pada saat anak melakukan kesalahan seringkali tidak tepat, bahkan hanya akan berdampak pada munculnya kekerasan pada anak. Anak sangat mudah dan sering menjadi korban dari terjadinya tindak kekerasan sesungguhnya juga dikarenakan ekspresi dari hubungan antara anak dan orang tua yang bersifat asimetris dan tidak egaliter, yang pada akhirnya melahirkan sikap orang dewasa yang otoriter Suyanto, 2010 : 74. Menurut Hurlock 2004, ciri-ciri pola asuh orangtua yang otoriter meliputi; anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua, pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat, hampir tidak pernah memberi pujian, sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tua, serta pengendalian tingkah laku melalui kontrol eksternal. Menurut Davis dalam Verawati, 2013, tindakan kekerasan muncul jika seorang dewasa menyalahgunakan kekuasaannya atau otoritasnya terhadap anak atau memanfaatkan kepercayaan dan rasa hormat anak untuk melibatkannya dalam aktivitas kekerasan tersebut. Terlihat dari Informan I dan V, orangtua pengasuh memiliki sifat yang tegas dalam mengasuh anaknya. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kekuasaan dan otoritas ayah, mengakibatkan 2 dari 5 informan anak mendapatkan kekerasan dan mengalami trauma. Kondisi trauma traumatics biasanya berawal dari 133 keadaan stres yang mendalam dan berlanjut yang tidak dapat diatasi sendiri oleh individu yang mengalaminya.Trauma sebagai pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan dan meninggalkan bekas yang mendalam pada jiwa seseorang yang mengalaminya. Trauma adalah setiap luka, kesakitan atau shock yang terjadi pada fisik dan mental individu yang berakibat timbulnya gangguan serius Sarwono, 2006. Seperti yang diungkapkan HSS Informan I: Bapak tidak membolehkan aku pulang ke rumah lewat jam 9 malam, kalau sudah seperti itu ya harus dilakukan. Setiap keinginan bapak juga harus diikuti sama semuanya. Bapak pun akan memaksa dan mengancam supaya keinginannya itu dilakukan. Bapak selalu memaksa dan mengancam aku, adek dan mamak untuk masuk ke agama yang sama dengannya. Aku jadi takut sama bapak. Bapak juga tidak pernah mau mengerti dan mendengar pendapat anak-anaknya. Sama bapak tidak boleh kompromi. Aku kurang suka dengan sikap bapak.Aku juga takut. Orang tua yang sangat otoriter, tidak memberikan peluang anaknya untuk berekspresi bahkan seringkali memaksakan kehendak pada anak tanpa melihat kemampuan anak dengan situasi, kebutuhan dan karakter anak. Sikap memaksakan menjadi pola kebiasaan dan peraturan tanpa memberikan ruang untuk pembaharuan dan fleksibelitas yang dapat memicu ketegangan diantara orang tua dengan anak Sarwono, 2006. Hal senada juga diungkapkan oleh GHN Informan V: Bapak itu orangnya keras. Dia selalu mewajibkan aku sudah harus berada di rumah jam 10 malam. Kalau aku tidak mengikuti itu, dia bisa marah habis-habisan sama ku. Aku pernah kemalaman pulang dan sampai 134 di rumah jam setengah sebelas malam, dia langsung memukul ku pakai gagang sapu. Kadang aku kurang suka kalau diatur seperti itu. Aku sudah besar dan tahu apa yang baik untukku. Orang tua yang bertindak sebagai orang tua yang cenderung otoriter, maka atmosfer yang terbentuk dalam keluarga tempat seorang anak pertama kali belajar hidup juga adalah sebuah atmosfer otoritarianisme dan hal ini menjadi kebiasaan sehari-hari sang anak. Keluarga otoriter dapat dikatakan merupakan agen utama yang mencipta sosok individu otoriter yang cenderung melakukan kekerasan Kusumadewi, dalam Yuniartiningtyas, 2013:3. c. Faktor masalah keluarga Hal ini lebih mengacu pada situasi keluarga khususnya hubungan orangtua yang kurang harmonis. Ruang keluarga yang dihiasi oleh suasana pertengkaran, perselisihan dam permusuhan adalah sumber terjadinya kekerasan terutama kekerasan fisik dan yang paling terkena sasaran kekerasannya adalah anak Huraerah,2007:69. Menurut Richard J Gelles dalam Huraerah, 2007: 55, salah satu struktur keluarga tertentu yang memiliki risiko untuk melakukan tindakan kekerasan pada anak yaitu keluarga yang sering bertengkar. Keluarga-keluarga yang sering bertengkar secara kronis atau istri yang diperlakukan salah mempunyai tingkat tindakan kekerasan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan keluarga yang tanpa mempunyai masalah. Hal ini dialami oleh semua orang tua dari informan I, II, III, IV dan V yang menyatakan tidak ada keharmonisan dalam keluarga serta suasana rumah sering ribut dan gaduh. Perbedaan pendapat terhadap suatu pokok persoalan keluarga 135 menimbulkan pertengkaran. Antara suami dan istri sering terjadi percekcokan dan perselisihan yang terus menerus berlangsung, sehingga dalam perselisihan tersebut seringkali menyebabkan salah satu pihak menjadi marah, sering menyakiti dan memukul pihak lainnya. Akibatnya anaklah yang sering menjadi korban dari pertengkaran orang tuanya. Irwanto menyatakan bahwa anak-anaklah acap kali menjadi titik rawan dalam keluarga untuk menerima perlakuan sewenang-wenang dan salah Irwanto, dalam Suyanto, 2010 : 198. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu R ibu kandung informan I, HSS : Saya dan suami sering berbeda pendapat, kadang soal keuangan, juga bisa karena masalah anak-anak. Dan kalau sudah berantam biasanya kami saling diam dan itupun bertahan cuma sehari. Apalagi meski hati ini masih kesal, tapi kalau bapak minta dibuatkan sarapan pagi-pagi, tetap ibu harus buatkan juga. Ibu dan keluarga tidak pernah pergi jalan-jalan sama, kalau ibadah sama juga paling hanya ibu dan anak-anak saja, suami saya beda agama dengan saya. Bahkan karena perbedaan agama ini juga yang buat kami berantam, sampai saya meninggalkan rumah. Suami saya selalu memaksa dan mengancam kami untuk mengikuti agamanya. Anak-anak jadi takut dan tidak betah di rumah karena selalu diancam. Jadi hasil wawancara dengan Ibu R diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga Ibu R tidak harmonis, hal itu ditandai dengan adanya perbedaan pendapat diantara suami dan isteri yang menyebabkan mereka sering terlibat dalam pertengkaran. Perbedaan itu terutama terkait masalah ekonomi dan kondisi anak-anak. Selain itu adanya perbedaan akan keyakinan yang dianut oleh masing- masing anggota keluarga mengakibatkan anak-anak harus mengalami kekerasan secara psikis. 136 Seperti juga penuturan Bapak ER ayah kandung Informan II, IR : Istri saya tidak suka dengan pekerjaan saya yang selalu sibuk sehingga katanya tidak pernah ada waktu dengan anak-anak. Padahal saya selalu berusaha memenuhi apa yang diinginkan anak-anak. Biasanya saya memang selalu pulang malam dari kantor, memang juga sering ke luar kota juga, tetapi itupun karena ada proyek dari kantor. Karena masalah itu juga, kami jadi sering ribut dan saling tidak berkomunikasi. Dia curigaan sama saya, menuduh saya punya cewek lagi di luar sana. Dan setiap kami berantamselalu saat ada anak-anak di rumah. Saya paling tidak suka dengan sikap isteri saya yang selalu menunjukkan pisau ke saya setiap bertengkar terutama dihadapan anak-anak. Anak-anak kan pasti jadi takut. Saya kesal saja kenapa istri saya bisa berpikir seperti itu dan tidak percaya sama saya. Padahal saya selalu memberi kabar.Kami sekeluarga jarang rekreasi serta ibadah bersama. Dari hasil wawancara dengan Bapak ER diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga Bapak ER bukan termasuk keluarga yang harmonis. Berbeda dengan informan I yang mengalami pertengkaran dikarenakan adanya masalah ekonomi dan keyakinan. Informan II sering terlibat pertengkaran dikarenakan terdapat salah satu pihak yang tidak menyukai pekerjaan dan tidak adanya sikap saling mempercayai dengan pihak lainnya. Hal tersebut memicu pertengkaran diantara Bapak ER dan isteri yang memang sering terjadi terutama dihadapan anak-anak mereka. Anak-anak yang menyaksikan kedua orangtuanya terlibat pertengakaran dengan menggunakan benda tajam pisau menjadi takut, sedih dan bingung akan sikap kedua orang tuanya. Hal tersebut mengakibatkan anak-anak mengalami 137 kekerasan secara psikis.Hal senada juga diungkapkan oleh Ibu W ibu kandung informan III, AL: Kami sering ribut, biasanya masalah uang, kadang hal sepele juga diributkan sama suami saya. Karena hal seperti itu, hubungan kami sering tidak baik. Kami dan anak-anak juga tidak pernah jalan-jalan ke tempat wisata dan melakukan ibadah sama-sama seperti orang lain. Saya sekarang masih kesal kalau mengingat tentang suami. Kurang ajar dia itu, aku sudah dikawininya dan sekarang anakku pun digarapnya juga. Jadi hasil wawancara dengan Ibu W diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga Ibu W merupakan keluarga yang tidak harmonis, hal itu diakrenakan sering terjadi perbedaan pendapat diantara suami dan isteri terutama diakibatkan oleh masalah keuangan. Masalah keuangan juga yang mengakibatkan informan III jarang melakukan rekreasi serta ibadah bersama-sama. Seperti yang juga diungkapkan oleh Ibu R ibu kandung informan IV, RHP : Sebelum dia pergi meninggalkan kami sampai hari ini, kami memang sudah bertengkar. Selama tiga hari tidak ada berkomunikasi. Selama ini, saya sudah bersabar dengan sikapnya yang suka marah bahkan saya juga selalu terima kalo dia selalu pulang kemalaman bahkan jarang pulang. Tetapi waktu kami bertengkar terakhir itu, dia menyalahkan dan memarahi saya dengan bahasa-bahasa kotor hanya karena saya menanyakan kenapa pulang hingga tengah malam lagi. Dia marah dan bentak saya. Setelah itu, dia malah pergi dari rumah dan sampai sekarang tidak pernah ada kabar darinya. Padahal anak-anak masih perlu biaya darinya untuk sekolah dan kebutuhan lainnyaā€¯. 138 Dari hasil wawancara dengan Ibu R diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga ini juga bukan termasuk keluarga yang harmonis. Perbedaan pendapat yang dialami oleh kedua orangtua RHP mengakibatkan mereka sering bertengkar. Dampak dari pertengkaran yang terjadi mengakibatkan suaminya tidak pernah pulang ke rumah dan anak tidak pernah diberikan nafkah dan biaya pendidikan. Rusmil dalam Huraerah, 2007: 66 menyatakan apabila orang tua tidak memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan fisik, psikis ataupun emosi, tidak memberikan perhatian dan sarana untuk berkembang sesuai dengan tugas perkembangannya juga merupakan suatu tindakan penelantaran. Dalam hal ini, anak-anak Ibu R tidak diberikan biaya pendidikan anak, kesehatan dan tidak dipenuhi kebutuhan lainnya sehingga mengalami penelantaran. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Hurlock 2004 menyatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang. Keluarga Ibu R juga mengalami disfungsi keluarga. Menurut Komnas Perlindungan Anak 2006, disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua yang tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Seorang ayah seharusnya berperan sebagai pemimpin keluarga, pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, serta peran ibu sebagai sosok pengasuh dan pendidik anak. Suami dari Ibu R kini tidak menjalankan peran tersebut dengan baik. Setelah suaminya meninggalkan mereka, Ibu R kemudian menggantikan peran suaminya sebagai pencari nafkah untuk terus dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 139 Selain itu kondisi keluarga yang sering bertengkar, keluarga-keluarga yang dimana baik suami atau istri mendominasi dalam membuat suatu keputusan penting seperti berapa banyak uang yang dibelanjakan untuk makan dan perumahan, dimana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau dimabil juga mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggungjawab atas keputusan-keputusan tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Ibu SM ibu kandung informan V, GHN : Perbedaan pendapat diantara kami sering terjadi, hal itu biasanya karena masalah uang belanja yang diberinya terlalu sedikit padahal harga barang-barang semakin mahal, trus karena kebiasaannya yang suka marah dan minum-minum. Terutama dengan kebiasaannya yang suka minum- minum hingga mabuk itu, membuat saya tidak pernah suka dengan sikapnya. Karena masalah itu biasanya kami akan bertengkar. Kalau sudah berantam, kami jadi saling diam, bahkan karena mabuk juga dia pernah mukul saya. Dan kepala anak saya pun bocor karena di lemparnya pakai asbak kaca juga waktu dia mabuk. Sikapnya yang kasar membuat anak saya sering disiksanya. Jadihasil wawancara dengan Ibu SM diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga ini juga bukan termasuk keluarga yang harmonis. Perbedaan pendapat yang dialami oleh Ibu SM beserta suaminya mengakibatkan mereka sering bertengkar. Perbedaan itu terutama terkait masalah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari yang dinilai masih tidak cukup. Serta sikap suami yang selalu mengkonsumsi dan terpengaruh minuman keras yang mengakibatkan terjadinya kekerasan pada anak dikarenakan proses berfikir orangtua terganggu. 140 Menurut Ismail dalam Suyanto, 2010: 35, salah satu penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak dipengaruhi oleh sikap orangtua, salah satunya yaitu orang tua peminum alkohol. Orangtua yang telah kecanduan minuman keras atau minuman beralkohol meski tidak bermaksud untuk melakukan tindak kekerasan pada anak-anaknya, tetapi karena pengaruh minuman tersebut justru hal sebaliknya akan terjadi. Karena tidak sadar mereka tidak jarang melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anak. Kondisi kecanduan minuman keras memberikan konsekuensi terhadap kehidupan keluarga yang semakin buruk Fontana dalam Suyanto,2010:39. Menurut penelitian Chaffin, Kelleher dan Hollenberg 1996, pecandu obat terlarang atau peminum alkohol dilaporkan menjadi faktor yang paling umum dianggap menjadi penyebab penyiksaan dan pengabaian terhadap anak-anak serta melakukan pengasuhan dengan cara yang tidak benar atau keliru. Apalagi kalau sudah pada taraf ketergantungan, mudah sekali kehilangan akal sehat. Kalau sudah kehilangan akal sehat, apapun bisa terjadi, misalnya memukul istri dan anak, menghabiskan jatah uang operasional keluarga, mengeluarkan kata-kata kasar dan menyakitkan, menghancurkan benda-benda yang bernilai maknanya bagi anak. d. Faktor pendidikan Kekerasan terhadap anak dapat disebabkan karena rendahnya pendidikan atau pengetahuan yang dimiliki orangtua yang mengakibatkan banyak orangtua cenderung berpikiran sempit, tidak memiliki wawasan serta pengetahuan terutama dalam kuranganya pengetahuan bagaimana menjadi orang tua yangbaik sehingga 141 masih dijumpai orang tua yang memperlakukan anak secara salah Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 35. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata pendidikan orang tua dari informan masih tergolong rendah dan kurang memiliki pengetahuan bagaimana memperlakukan anak dengan baik sehingga masih mendidik anak dengan cara- cara yang kasar. Seperti penuturan Ibu R ibu kandung Informan I, HSS: Saya hanya lulusan SD, sedangkan suami ibu hanya lulusan SMP. Ibu tidak pernah mendengar tentang dampak kekarasan pada anak Seperti penuturan Ibu W ibu kandung Informan III, AL : Suami hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama SMP begitu juga dengan saya. Saya tidak pernah membaca dampak jika anak diperlakukan dengan kasar Seperti penuturan Ibu SM ibu kandung Informan V, GHN : Ibu hanya lulusan SMP sedangkan suami hanya lulusan SMA. Saya pernah mendengar dampak kekerasan yang dilakukan kepada anak, tetapi suami saya mungkin tidak Orang tua yang mempunyai harapan-harapan yang tidak realistis terhadap perilaku anak berperan memperbesar tindakan kekerasan pada anak. Serta kurangnya pengetahuan orang tua tentang pendidikan anak dan minimnya pengetahuan agama orang tua melatarbelakangi kekerasan pada anak Soetjiningsih, 2002. Tetapi yang paling memperihatinkan adalah banyaknya orang tua yang terdidik, mempunyai kedudukan terhormat, memiliki kecerdasan hebat, juga melakukan penganiayaan psikis terhadap anak-anak mereka. Situasi ini tentu 142 sangat memprihatinkan karena mereka sadar akan dampak perbuatan mereka, namun tidak peduli terhadap dampak tersebut. Ketidakpedulian mendorong melakukan kekerasan psiskis terhadap anak-anak mereka sendiri Surbakti, 2008: 196. Seperti penuturan Bapak ER ayah kandung Informan II, IR Saya lulusan sarjana, sedangkan istri saya tamatan Diploma. Saya mengetahui dan pernah membaca tentang dampak perlakuan kasar yang diberikan kepada anak. Tetapi isteri saya mungkin kurang mengerti tentang itu sehingga ia masih memperlihatkan sikap kasar dihadapan anak- anaknya. e. Faktor permasalahan jiwa atau psikologis orang tua Orangtua yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anak pada umumnya memilki problem psikologis. Gangguan mental pada orang tua bisa juga memegang peran sebagai penyebab timbulnya penganiayaan dan penelantaran anak. Beberapa karakteristik orang tua yang potensial melakukan tindak kekerasan kepada anak-anak adalah orang tua yang agresif dan impulsif, orang tua tunggal, terjadinya gangguan dalam perkawinan seperti perceraian, keluarga yang memiliki banyak anak, orang tua yang kecanduan obat atau alkohol serta orang tua yang kurang berpendidikan Basoeki, dalam Suyanto,2010 : 33. Seperti yang diungkapkan Informan V GHN : Bapak suka minum-minuman keras, hampir setiap malam dia keluar minum-minum sama kawannya di kedai dekat rumah kami. Mamak pernah minta dia untuk jangan setiap malam minum-minum lagi. Tapi mamak dibentak dan hampir dipukul. Mereka pun jadi berantam. Aku yang coba 143 melerai mereka, jadi dipukulnya juga pakai ikat pinggangnya. Kalau dia sudah minum, dia selalu mabuk pulang ke rumah. Orang tua yang menjadi penguna narkoba dan pecandu minuman alkohol seringkali tidak menyadari ada yang salah di dalam dirinya, tidak dapat berpikir dan bertindak secara wajar, saat berhadapan dengan anak sehingga pada akhirnya hanya bersikap kasar terhadap anak.

5.4 Keterbatasan Penelitian

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 22 137

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 10

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 13

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 32

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak 2.1.1 Pengertian anak - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

0 0 15

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA(Studi Kasus di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara- KPAID SUMUT) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Ilmu Sosia

0 0 13