88 wawancara dengan informan serta narasi penulis tentang data-data tersebut diteliti,
ditelaah, maka selanjutnya adalah mengadakan kategorisasi perbandingan- perbandingan sebelum akhirnya menarik kesimpulan.
Informan yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 11 orang, dengan komposisi 1 orang informan tambahan pangkal, 5 orang informan kunci dan 5
orang informan utama. Informan tambahan berperan sebagai penghubung antara peneliti dengan informan kunci dan informan utama sekaligus sebagai sumber
informasi mengenai kronologis kejadian dan data-data anak korban kekerasan dalam keluarga. Pada informan kunci dan informan utama dilakukan wawancara mendalam
untuk memperoleh data mengenai faktor-faktor terjadinya kekerasan pada anak dalam keluarga.
Informan tambahan dalam penelitian ini adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara KPAID Sumut yaitu Bapak Muslim
Harahap, S.H.,M.H. Informan kunci dalam penelitian ini adalah lima orang anak korban kekerasan dalam keluarga yang pernah didampingi oleh KPAID Sumut.
Dalam tahapan analisis ini informasi mengenai informan kunci dan informan utama disamarkan demi kepentingan perlindungan anak korban kekerasan dalam keluarga.
Informan utama dalam penelitian ini adalah HSS, IR, AL, RHP dan GHN. Ibu R yang merupakan ibu kandung HSS, Bapak ER yang merupakan ayah kandung IR,
Ibu W yang juga merupakan ibu kandung AL, Ibu R yang merupakan ibu kandung dari RHP, serta Ibu SM yang merupakan ibu kandung dari GHN adalah informan
utama dalam penelitian ini.
5.2 Hasil temuan
5.2.1 Informan I
89 Nama
:H S S Jenis kelamin
:Perempuan Umur
:14 Tahun Agama
: Islam Anak ke
: 2 dari 3 bersaudara Pendidikan
: Kelas VII SMP Alamat
: Jl. Ayahanda gg sendok No. 35 Kec. Medan Petisah
Korban :Kekerasan psikis
HSS merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara. HSS saat ini berusia 14 tahun. Jika dilihat dari bentuk fisiknya, HSS memiliki mata yang sedikit sayu,
dengan rambut hitam lurus tergerai dan warna kulit coklat. Kala itu HSS bersama R, Ibu kandungnya dan adik perempuannya HYS berusia 5 tahun sedang berada di
RUPA Ruman Perlindungan Anak KPAID Sumut. HYS terlihat lebih cerewet dan bijak daripada kakaknya yang memiliki sifat yang sedikit agak pendiam. Saat peneliti
mencoba untuk mendekati HSS dengan mengajak berkenalan, awalnya HSS sedikit malu, namun setelah peneliti berhasil berkenalan dengannya, ternyata dia anak yang
baik dan mau diajak berkomunikasi. Berdasarkan kronologisnya, HSS lahir dari pasangan Ibu R dan Bapak HS
yang telah menikah selama 21 tahun. HSS merupakan pelajar tidak aktif siswa kelas VII di salah satu sekolah swasta di Kota Medan. Ia mengalami kekerasan secara
psikis, dimana pelakunya adalah ayah kandungnya sendiri yang berumur 43 tahun. Bapaknya HSS tidak memiliki pekerjaan, sementara ibunya hanya mengurus rumah
tangga.
90 Pada saat peneliti ingin mengajak HSS berkomunikasi untuk menanyakan
kehidupan tentang keluarga baik ayah dan ibunya, HSS tampak sedikit terkejut dan enggan. Peneliti melihat wajah HSS yang penuh dengan ketegangan. Peneliti
kemudian meyakinkan HSS dengan memberikan rasa nyaman padanya. Lalu dengan berjalannya waktu saat pembicaraan, HSS sudah lebih rileks dan menurutnya tidak
ada hal-hal yang menekannya sehingga ia mulai terbuka untuk mau membicarakan terkait seputar hal-hal yang peneliti tanyakan.
HSS termasuk anak yang rajin, ia menyatakan bahwa setiap pagi ia selalu bangun tepat waktu pada pukul lima pagi atas kehendaknya sendiri. Sebelum ia
berangkat ke sekolah, ia akan terlebih dahulu membantu ibunya memasak sarapan bagi mereka. Dia juga anak yang sopan, selalu berpamitan dan meminta izin pada
orangtuanya dengan mencium tangan ibunya ketika akan berangkat ke sekolah atau saat ingin pergi meninggalkan rumah. Begitu juga pada saat pulang sekolah
dikarenakan ia tidak mengikuti bimbingan atau les tambahan, HSS akan berusaha selalu pulang kerumah tepat waktu.
HSS juga menyatakan adakalanya ia akan merasa bosan dan tidak betah dirumah terutama saat mengingat sikap bapaknya yang suka marah-marah pada
semua anggota keluarga. Dia akan memilih untuk bermain dengan teman-teman yang berada disekitar tempat tinggalnya saat merasa bosan dirumah. HSS juga menuturkan
bahwa ia selalu mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru di rumah. Dia sangat menyukai sekolah dan teman-temannya. Ketika temannya ingin mengajaknya
bermain atau bepergian meninggalkan rumah, maka terlebih dulu ia akan kembali meminta izin dari orangtuanya. Dia akan mengikuti keinginan orangtuanya seperti
halnya apabila orangtua melarangnya untuk bermain dengan temannya, maka ia akan mendengar dan mengikuti kehendak orangtuanya.
91 Adapun aktivitas yang biasa dilakukannya di rumah dalam meringankan
pekerjaan orangtuanya seperti menyapu dan mencuci piring. HSS menyatakan ibunya akan memarahinya jika ia tidak melakukan tugas tersebut. Di rumah,
bapaknya juga menetapkan suatu aturan jam malam yang tidak mengizinkan HSS dan saudara yang lainnya pulang lewat pukul sembilan setiap malam. Menurut HSS,
peraturan tersebut sulit untuk ditaati olehnya karena hal itu seperti hanya membatasi waktu bermain dengan teman-temannya.
Saat peneliti ingin menanyakan tentang kebersamaannya dengan HS bapak kandungnya, HSS kelihatan tidak bersemangat. HSS menyatakan hubungan
interaksinya dengan bapaknya tidak baik. HSS jarang berbicara dengan ayahnya. Dia menyatakan tidak merindukan sosok HS dalam kehidupannya sebagai bapak
kandungnya. Hal tersebut dilakukan karena HSS masih trauma dengan apa yang diterimanya saat bersama bapaknya.
HSS juga menuturkan bahwa ia tidak suka dengan sikap bapaknya yang suka membentak dan berbicara kasar kepadanya, ibu serta adiknya. Baginya, HS
merupakan sosok ayah yang suka memaksakan kehendak tanpa mempertimbangkan perasaan anggota keluarga lainnya.
“Aku takut sama bapak. Pernah waktu itu aku tidak mengikuti kehendaknya, bapak bentak aku, bapak kalau bicara juga kasar. Dia itu
kalau keinginannya harus diikuti tapi gak pernah ngerti sama perasaan orang lain. Kayak bapak nyuruh aku, mamak dan adek harus sama seperti
dia pindah agama ke Kristen. Mana mau aku, kami dari kecil udah diajarkan agama Islam kak”
Setelah peneliti selesai berbicara dengan HSS, kemudian peneliti mendekati Ibu R yang merupakan Ibu kandung dari HSS. Ibu R bekerja sebagai tukang cuci
buruh cuci pada satu keluarga di dekat rumahnya, sepulang mencuci ibu R juga bekerja membantu di sebuah rumah makan. Penghasilan ibunya hanya sedikit yang
92 di dapat dari hasil jerih payahnya bekerja mungkin sekitar Rp 900.000 perbulan. Ibu
R berusaha untuk selalu bersyukur atas penghasilan yang didapatnya. Sementara suaminya HS tidak memiliki pekerjaan. Ibu R hanya mengecap pendidikan sampai
Sekolah Dasar SD dan suaminya tamatan Sekolah Menengah Pertama SMP. Ibu R memiliki 3 anak, anak laki-laki pertama yaitu HSS berusia 18 tahun dan saat ini
sedang berada di penjara karena penyalahgunaan narkoba, anak kedua perempuan yaitu HSS, sedangkan anak perempuan yang ketiga yaitu HYS berusia 5 tahun dan
belum bersekolah. Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu R, yang menyatakan bahwa
kondisi keluarga mereka memang mengalami kesulitan ekonomi. Adanya keterbatasan ekonomi dalam keluarga menjadi penghambat dalam pemenuhan
kebutuhan rumah tangga mereka sehari-hari. Bahkan untuk menyekolahkan anak- anak terutama dalam hal pembayaran uang sekolah anak-anaknya saja masih terasa
sulit bagi ibu R. Ibu R dan suaminya pernah membahas permasalahan yang sedang mereka alami tersebut, namun mereka selalu bertengkar saat membicarakan hal
tersebut. Ibu R bahkan pernah meminjam uang tetangganya untuk melunasi dua bulan pembayaran uang sekolah anaknya. Begitu juga apabila anak-anaknya sedang
dalam keadaan sakit, Ibu R hanya akan memberikan obat dari warung sekitar tempat tinggal mereka jika sakit yang dialami anggota keluarganya tidak terlalu serius. Ibu R
juga menyatakan bahwa mereka tidak memiliki tabungan. Penghasilan orangtua yang pas-pasan, membuat HSS memutuskan untuk bekerja juga sebagai penjaga toko
setelah pulang dari sekolah. Ibu R mendidik HSS dan saudaranya yang lain dengan memberi kebebasan
pada anak-anaknya untuk berbuat apa saja terutama dalam hal pemilihan aktivitas di rumah. HSS diberi kebebasan oleh ibunya untuk melakukan aktivitas seperti mencuci
93 piring, dan menyapu rumah. Kesibukan ibunya sebagai tulang punggung keluarga,
membuat HSS dituntut menjadi anak yang mandiri. Ibunya sudah percaya pada HSS untuk mengatur aktivitas-aktivitasnya sendiri. HSS dianggap sudah dewasa dan
harus dapat mengerti apa yang menjadi tanggungjawabnya. Ibu R juga mengajarkan agar anak-anaknya bersikap sopan terutama kepada
orang yang lebih tua dari usia anaknya. Apabila HSS lalai dalam melakukan tugas- tugasnya, sang ibu tidak memberikan hukuman secara fisik seperti memukulnya
dengan benda-benda tumpul tetapi Ibu R hanya memarahi anaknya dengan harapan agar HSS dapat merubah perilakunya menjadi lebih baik lagi. Ibu R juga menyatakan
jika anaknya sulit diatur biasanya ibu akan memarahi anaknya. Pada saat peneliti menanyakan tentang dampak perlakuan kasar pada anak, ibu R mengaku tidak
pernah mendengar tentang hal itu. Hubungan ibu R dan para tetangganya terjalin biasa saja. Ibu dan suaminya
menyatakan tidak memiliki hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungannya meski mereka tidak pernah mengikuti kegiatan yang dilakukan di lingkungan sekitar
rumahnya. Sementara suaminya merupakan sosok ayah yang kaku dan tidak mendorong anak-anaknya untuk dapat menyatakan pendapatnya. Anak-anak harus
mematuhi setiap peraturan yang dibuat olehnya. Suaminya juga menerapkan tentang aturan jam malam di rumah yang mewajibkan semua anaknya termasuk HSS tidak
diperbolehkan pulang ke rumah lewat pukul sembilan malam. Sikapnya yang terlalu memaksakan kehendak, mengakibatkan HSS tidak menyukai perilaku ayahnya.
Apabila telah membuat suatu keputusan maka ayahnya tidak boleh dibantah dan keputusan itu harus dilaksanakan oleh semua anggota keluarga lainnya.
Saat peneliti ingin menanyakan tentang kondisi keluarganya, Ibu R terlihat termenung. Menurut pengakuan ibu R, kondisi keluarganya tidak harmonis, diantara
94 dirinya dan suami sering terjadi perbedaan pendapat baik tentang masalah keuangan
hingga masalah anak-anak. Adapun dampak dari perbedaan pendapat tersebut membuat mereka saling tidak bertegur sapa satu dengan lainnya. Biasanya hal
tersebut dapat bertahan dalam waktu yang tidak tentu. Penghasilan yang rendah juga membuat keluarga mereka jarang melakukan rekreasi secara bersama-sama. Begitu
juga untuk melakukan ibadah secara bersama, hal itu hanyalah utopis yang tidak pernah akan terwujud. Perbedaan keyakinan yang dipeluk oleh orangtuanya
membuat anak-anak dan orangtua tidak pernah melaksanakan ibadah secara bersama. Dampak terburuk dari semua masalah perbedaan tersebut adalah ibu R
beserta anaknya harus pergi meninggalkan kos yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka. Sejak tanggal 3 Desember 2014, mereka tinggal sementara di rumah
aman milik KPAID Sumut. Hal tersebut dikarenakan ibu R sudah tidak dapat bertahan dengan sikap suaminya yang suka mengintimidasi dan mengancam dirinya
beserta anak-anak yang harus mengikuti kehendaknya yang sudah tidak dapat ditolerir oleh ibu dan HSS. Tampak jelas dari ekspresi wajah Ibu R yang masih kesal
dan sorot matanya yang terlihat sendu ketika mengingat dan menceritakan kembali bagaimana perlakuan HS selama tinggal bersama-sama dengan anggota keluarga
lainnya. Menurut penuturan ibu R, kehendak suaminya yang memaksa dan
mengancam mereka untuk pindah agama semata-mata agar suaminya mendapatkan harta warisan dari ibu mertuanya. Mengingat keadaan bapak HSS yang tidak
memiliki pekerjaan mengakibatkan ia akan melakukan apa saja untuk dapat memperoleh uang termasuk melalui harta warisan yang telah dijanjikan. Demi
mendapatkan hal tersebut, ia akan melakukan apa saja termasuk juga dengan cara memaksa dan mengintimidasi anak-anak. Berikut penuturan Ibu R:
95 “Kalau dia bisa mengajak kami semua masuk Kristen sama kayak dia,
dia nanti dapat warisan dari almarhum ibunya,mertua saya,seperti itu kata mertuaku dulu sama dia, tapi kami gak mau nak. Dia terus mengancam
kami untuk masuk ke agamanya biar sama-sama dia terutama anak-anak. Dia itu kalaubicara kasar, kata-kata kotor terus diucapkan sama kami.
Anak-anak jadi gak betah dan merasa terancam, terutama anak saya yang paling kecil jadi selalu takut sama dia bahkan si HSS inipunsudah tidak
suka lagi lihat bapaknya. Ibu tidak kuat kalau lihat anak-anak yang selalu ketakutan gitu. Itu makanyakami semua lari dari tempat kos-kosan kami.”
Kondisi tersebut membuat anak-anak menjadi takut, cemas dan tidak betah jika berada dirumah. Adanya ancaman dan sikap yang selalu mengintimidasi dari
ayahnya membuat HSS hingga mengalami kekerasan secara psikis.
5.2.1 Informan II