113 anak-anak masih perlu biaya darinya untuk sekolah dan kebutuhan
lainnya”
5.2.4 Informan V
Nama :G H N
Jenis kelamin :Laki-laki
Umur :17 Tahun
Agama : Kristen
Anak ke : 1 dari 1 bersaudara
Pendidikan : Kelas 2 SMA
Alamat : Dusun II gg persatuan, Desa Ujung Serdang
Tanjung Morawa Korban
:Kekerasan fisik
GHN merupakan seorang anak tunggal. Ia saat ini berusia 17 tahun. Jika dilihat dari bentuk fisiknya, GHN memiliki tubuh yang kurus dan tinggi, rambutnya
sedikit tebal dan lurus serta berkulit agak gelap. Pada awalnya peneliti melihat GHN sepertinya merupakan anak sangat emosional. Terlihat dari mimik wajah yang datar
dan cenderung tidak ada ekspresi, sorot matanya sedikit menantang. Peneliti mencoba untuk mendekati GHN dengan mengajak berkenalan, GHN tampak terkejut
dan diam. Setelah peneliti berhasil berkenalan dengannya, ternyata dia merupakan anak yang baik.
Berdasarkan kronologisnya, GHN lahir dari pasangan Ibu SM dan Bapak MPN. GHN merupakan pelajar aktif siswa kelas IX di salah satu sekolah negeri di
Kota Medan. Ia mengalami kekerasan fisik, dimana pelakunya adalah ayah kandungnya sendiri yang berumur 57 tahun. Bapaknya bekerja sebagai sopir mobil
114 angkutan kota dengan penghasilan sekitar Rp 1.500.000 per bulan, sedangkan ibunya
hanya mengurus rumah tangga. Pada saat peneliti ingin mengajak AL berkomunikasi tentang keadaan
kehidupan keluarganya, GHN tampak resah. Peneliti melihat wajah AL berubah penuh dengan ketegangan. Peneliti kemudian meyakinkan AL dengan memberikan
rasa nyaman padanya. Lalu dengan berjalannya waktu saat pembicaraan, AL sudah lebih rileks dan menurutnya tidak ada hal-hal yang menekannya sehingga ia mulai
terbuka untuk mau membicarakan terkait seputar hal-hal yang peneliti tanyakan. GHN mulai terbuka saat menceritakan mengenai aktivitasnya sehari-hari
kepada peneliti, ia menyatakan bahwa ia terbiasa bangun pada pukul lima setiap pagi atas keinginannya. Sebelum berangkat ke sekolah, ia akan membersihkan mobil
angkutan milik ayahnya, setelah itu memberi makan beberapa ternak ayam milik mereka. GHN menuturkan akan berpamitan dan meminta izin pada orangtuanya
ketika akan berangkat ke sekolah atau saat ingin pergi meninggalkan rumah. GHN juga akan berusaha untuk pulang kerumah tepat waktu jika sedang tidak ada les yang
diikutinya. Adapun pekerjaan yang dilakukannya di rumah seperti memberi makan ternak ayam serta membersihkan mobil ayahnya.
GHN menyatakan adakalanya ia akan merasa bosan dan tidak betah dirumah. Mengingat statusnya sebagai seorang anak tunggal yang sering merasa
kesepian dan tidak memiliki teman untuk diajak berbicara. Hal tersebut membuat dirinya lebih suka berkumpul dengan teman-temannya. GHN juga anak yang suka
bercanda, hal itu dapat penulis rasakan saat peneliti menanyakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan sekolahnya. Dia menyatakan dengan tersenyum lebar bahwa
dia bukanlah anak yang rajin, dia sering mencontek tugas temannya apabila ia tidak
115 mengerti tugas tersebut dan saat dirinya merasa benar-benar tidak memiliki gairah
belajar dalam pelajaran tersebut. GHN menyatakan pernah melanggar aturan jam pulang malam yang
ditetapkan oleh bapaknya di rumah, dirinya pernah pulang kemalaman lewat dari pukul 10 malam sehingga hal tersebut memicu kemarahan bapaknya. Reaksi yang
diberikan oleh bapaknya atas sikap GHN yang telah melanggar aturan yaitu dengan memarahi serta memukulnya menggunakan gagang sapu. GHN mengaku kurang
menyukai aturan yang dibuat ayahnya. Menurutnya, ia sudah mengerti apa yang baik untuknya sehingga peraturan seperti itu terlalu mengekangnya.
Pada saat peneliti ingin menanyakan tentang kedekatannya dengan kedua orangtuanya, GHN terlihat tidak bersemangat. Dia menyatakan interaksinya dengan
ibunya sangat baik, tetapi tidak dengan bapaknya. Mereka jarang berkomunikasi bersama dikarenakan kesibukan ayahnya yang harus mencari nafkah. Dia juga
kecewa dengan kebiasaan buruk bapaknya yang suka keluar malam serta minum- minum hingga mabuk. GHN juga menyatakan bahwa bapaknya memiliki sifat
pemarah dan kasar. Ia sudah sering menjadi sasaran peluapan emosi sang ayah. GHN terlihat
sangat emosional saat mencoba mengingat setiap perlakuan kasar ayahnya. Ia menyatakan bahwa ayahnya pernah menyabetnya dengan sabuk atau ikat pinggang
dan juga berbicara kasar kepadanya hanya dikarenakan saat itu ia mencoba melerai bapak dan ibunya pada waktu terjadi pertengkaran di rumah. Tidak hanya itu,
kejadian yang membuatnya semakin kecewa pada bapaknya yaitu ia juga pernah dilempar asbak sehingga kepalanya mengalami pendarahan. Ia juga terlihat sangat
tersinggung saat mengingat ibunya sendiri sering diperlakukan kasar oleh bapaknya. Perlakuan kasar yang dilakukan bapaknya sangat membekas dan meninggalkan
116 trauma serta kesedihan pada GHN. GHN menyatakan ia merupakan orang yang sulit
mengontrol emosi dan paling tidak suka dibentak orang lain. Akan tetapi dia tidak berdaya saat menghadapi sikap ayahnya. Berikut penuturan GHN:
“Waktu itu, tapi aku lupa ya harinya, kejadiannya malam-malam. Bapak pulang kerumah sekitar jam 12 gitulah, dia sudah mabuk. Gak tahu kenapa,
dia marah-marah, dibantingnya barang-barang dirumah. Mamak yang waktu itu belum tidur mencoba mendekat dan bertanya. Tapi mamak malah
didorongnya. Aku kesal dan langsung emosi disitu. Aku marah dan bentak dia. Tapi dia malah ngambil asbak kaca, lalu dilemparnya ke kepalaku. Aku
kesal kali sama bapak, tapi aku juga gak pernah kuat melawannya. Aku takut”
Setelah peneliti selesai berbicara dengan GHN, kemudian peneliti mendekati Ibu SM yang merupakan Ibu kandung dari GHN. Ibu SM hanyalah
seorang ibu rumah tangga. Tetapi dalam mengisi waktu luangnya ibu SM juga menerima pekerjaan untuk membuat payet-payet pada pakaian. Penghasilan ibu SM
hanya sedikit yang di dapat dari hasil kerja sampingannya tersebut mungkin sekitar Rp 320.000, tetapi pekerjaan itu tidak menentu terkadang hanya tiga kali setiap
bulannya ibu SM melakukan hal tersebut. Ibu SM hanya diberikan biaya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari suaminya sebesar Rp 700.000 setiap bulan.
Sementara suaminya MPN bekerja sebagai seorang supir mobil dengan penghasilan sekitar Rp 1.500.000. Ibu SM hanya lulusan SMP sedangkan ayahnya lulusan SMA.
Ibu SM hanya memiliki seorang anak laki-laki yaitu GHN. Ibu SM menyatakan bahwa mereka masih kekurangan dengan penghasilan
suaminya. Penghasilan yang diterima oleh Ibu SM dari suaminya setiap bulannya sekitar Rp 700.000. Adanya keterbatasan ekonomi keluarga menjadi penghambat
terutama dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin melambung tinggi, selain itu dalam menyekolahkan anaknya terutama dalam memenuhi perlengkapan sekolah
anak seperti pembayaran uang sekolah serta buku-buku pelajaran masih sangat sulit
117 dipenuhi. Keterbatasan juga membuat Ibu SM hanya dapat membeli obat-obatan dari
warung dan memberikannya kepada anaknya apabila sedang dalam kondisi sakit. Keluarga Ibu SM juga tidak memiliki tabungan.
Ibu SM memberi kebebasan pada anaknya untuk melakukan aktivitas apa saja di rumah seperti menyapu rumah serta memberi makan ternak ayam. Ibunya
sudah percaya pada GHN untuk mengatur aktivitas-aktivitasnya sendiri. GHN dianggap sudah dewasa dan harus dapat mengerti apa yang menjadi
tanggungjawabnya seperti harus melaksanakan pekerjaan di rumah serta harus rajin mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Apabila GHN lalai dalam melakukan tugas
rumahnya ataupun perilakunya sulit diatur, sang ibu hanya akan memarahi anaknya saja. Ibu SM mengajarkan pada anaknya untuk selalu bersikap jujur dan sopan pada
orang lain. Sementara itu, MPN dalam mendidik GHN, termasuk orang yang kaku. Bapaknya menerapkan beberapa perintah serta aturan yang harus dilaksanakan oleh
anaknya. Bapaknya akan memarahi serta memukul anaknya apabila terlihat lalai melaksanakan tugas-tugas rumahnya. Bapaknya GHN juga menegaskan tentang
aturan jam pulang malam pada anaknya yaitu GHN tidak boleh pulang lewat dari pukul 10 malam.
Menurut pengakuan ibu SM, hubungannya dengan suaminya MPN dinilai kurang harmonis. Mereka sering terlibat dalam perbedaan pendapat baik dalam hal
uang belanja sehari-hari serta kebiasaan suaminya yang suka minum serta mabuk- mabukan yang sangat tidak disukainya. Ibu SM pernah membahas masalah kebiasaan
buruk suaminya tetapi hanya menghasilkan pertengkaran diantara mereka. Adanya interaksi yang tidak terjalin dengan baik, membuat mereka pernah saling tidak
bertegur sapa satu dengan lainnya. Mereka juga tidak pernah berekreasi dikarena masing-masing anggota keluarga sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Selain
118 itu, mereka juga tidak pernah beribadah secara bersama-sama. Hal tersebut juga
membuat Ibu SM terlihat sedih dan terkadang merasa iri dengan tetangga-tetangga sekitarnya yang dapat mengikuti ibadah bersama-sama dengan anak dan suaminya.
Hubungan ibu SM dan para tetangga terjalin baik. Ibu SM selalu berusaha untuk terlibat dalam kegiatan lingkungannya terutama kegiatan kerohanian yang
terdapat di lingkungannya. Berbeda dengannya, sikap suaminya yang tidak terlalu peduli mengakibatkannya jarang berinteraksi dengan tetangga dan jarang terlibat
dalam kegiatan di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Ibu SM terlihat sedih dan matanya tampak berkaca-kaca kala itu, saat
menyatakan kini dia trauma dan tidak ingin hidup serumah dengan suaminya. Suaminya adalah seorang peminum dan penjudi, yang kerjanya setiap malam mabuk
dan berjudi. Uang yang didapatnya selalu habis untuk membeli minuman keras dan berjudi. Saat suaminya sedang dalam keadaan mabuk dan tidak sadar, dirinya suka
marah-marah setelah pulang ke rumah. Sikap suaminya yang kasar, pemarah, tempramen serta suka mabuk-mabukkan membuatnya takut. Bahkan dampak
terburuk dari sikap suaminya mengakibatkan GHN harus menderita luka dibeberapa bagian tubuhnya. GHN menjadi korban dari perlakuan kasar oleh ayah kandungnya.
Berikut penuturan Ibu SM: “Punggung si GHN pernah dipukulnya pakai ikat pinggang sampai
memar, kepalanya juga kena lempar asbak hingga berdarah. Kami sudah tidak tahan serumah sama dia. Dia itu suka minum dan pulang kerumah
terus mabuk dan marah-marah. Kami pun sering ribut gara-gara itu, kadang saya malu sama tetangga dekat rumah. Pernah dia pulang kerumah
malam-malam, dibantingnya semua barang-barang sampai rusak.. Ibu sama anak sudah seringlah dikasari sama dia. Kami takut sama sikap dia
itu.”
5.2.5 Informan VI