Kontrak Sosial Baru Sistem Adat

bersama komunitas adat tertentu Syarif 2002. Lembaga adat dikatakan kuat apabila ia memeliki beberapa syarat yaitu : 1. Memiliki tujuan 2. Memiliki struktuk 3. Memiliki aturan kearifan yang akan dijalankan 4. Diterima dimasyarakat 5. Mendapat pengakuan dari berbagai pihak. Empat ratus tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 913 H atau 1570 M kehidupan di Gampong sudah dibina dan ditata oleh para leluhur dan generasi saat itu. Sesuai perjalanan sejarah, tugas tersebut sekarang berada pada generasi penerus, untuk mulai menata kembali kehidupan sosial di Gampong sesuai dengan adat Aceh. Pada masa dahulu, peradaban Aceh mencapai punjak kejayaannya justru ketika Ureung Aceh baca orang Aceh menjadikan adat dan hukum sebagai dasar dari kehidupan sehari-hari. Selain itu, makmur dan tertibnya sebuah Gampong sangat tergantung kepada pemimpin Gampong yaitu Keuchik dan Teungku Meunasah serta lembaga Tuha Peut, sebagai pemberi pertimbangan dalam setiap putusan Gampong. Oleh karena itu, sangat wajar bagi Ureung Aceh menggunakan peluang dan kesempatan yang sudah terbuka lebar untuk mengembalikan marwahnya, guna mengatur rumah tangga gampongnya sendiri Syarif 2005.

2.2.1 Kontrak Sosial Baru

Dalam hubungan denngan penguatan lembaga adat, untuk lembaga tertentu mukim perlu juga dibangun dan disepakati kontrak sosial baru, dalam rangka merekontruksi hubungan timbal balik antara mukim dengan gampong dan antara gampong-gampong dalam sebuah mukim. Kontrak sosial adalah sebuah kesepakatan yang disepakati dan disetujui bersama oleh sebuah komunitas. Ada beberapa alasan kenapa diperlukan adanya kontrak sosial baru ini Backman et al 2001. Pertama, pada saat ini sebagian mukim yang ada di Aceh, telah berubah sedemikian rupa, khususnya dalam bidang keberadaan mesjid Jamik mukim sebagai simpul atau pusat kegiatan mukim. Di Aceh Besar misalnnya, mukim- mukim masih mempetahankan satu Mesjid Jamik untuk satu Mukim. Kalaupun ada yang lebih dari satu mesjid dalam satu mukim, itu didasarkan pada kesepakatan ditingkat mukim untuk memperlancar syiar islam. Kedua, Gampong-gampong telah menjalankan pemerintahan sendiri yang lepas dari pengawasan mukim selama 20 tahun lebih. Dalam masa yang demikian lama, untuk wilayah tertentu mukim sudah tidak terlalu berfungsi dan hilang perannya. Berdasarkan dua kondisi diatas, maka Gampong-gampong dalam sebuah mukim perlu membina kelmbali kontrak sosial bersama ditingkat mukim, sehingga dapat memperlancar kembali proses rekontrukasi kehidupan bersama dalam sebuah mukim Backman 2001. Kontrak sosial tersebut paling kurang meliputi : 1. Menyepakati struktur kelembagaaan adat yang ada di mukim 2. Melengkapi struktur kelembagaan mukim dan gampong 3. Memperkuat lembaga Tuha Peut 4. Menyepakati dan melakukan pengukuhan kembali aturan adat dan lembaga adat ditingkat mukim 5. Menyepakati kawasan-kawasan yang keputusan pengelolaannya ada pada tingkat mukim, namun pengaturannya tetap pada gampong dimana kawasan tersebut berada. 6. Menyepakati bentuk hubungan antar gampong dan antar lembaga adat dalam sebuah mukim.

2.2.2 Sistem Adat

Setelah berakhirnya era orde baru, pada tahun 1998, UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dinyatakan tidak berlaku lagi. Untuk menggatikan UU tersebut dan UU nomor 5 tahun 1974 di keluarkan UU nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Walaupun demikian UU nomor 5 tahun 1979 masih berlaku di Aceh, bahkan hingga Juni 2005. Padahal dengan diberlakukannya UU nomor 22 tahun 1999 dan kemudian diganti lagi dengan UU nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah, maka UU lama yang mengatur tentang pemerintahan desa otomatis tidak lagi memiliki keabsahan. Bahkan khusus untuk Aceh, telah pula dikeluarkan UU tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan UU nomor 18 tahun 2001 tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Syarif 2003. Namun tragis bagi masyarakat Aceh, suasana konflik politik membuat gampong dan lembaga adat lainnya terlalu lama menunggu untuk dapat kembali kepada tradisi yang didasarkan pada adat dan hukom. Masa penantian bagi gampong-gampong di Aceh semakin panjang, sejalan dengan berlarutnya konflik Aceh. Setahun setelah UU nomor 22 tahun 1998, khusus bagi Aceh ditetapkan pula UU nomor 44 tahun 1999 tantang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai bagian dari upaya penyelesaian konflik Aceh. Untuk adat dan kehidupan gampong, UU ini kemudian segera ditindak lanjut oleh Pemda Aceh dengan mengeluarkan PERDA No 7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan Kehidupan Adat. Namun belum sempat PERDA ini diterapkan secara sempurna, pemerintah RI mengeluarkan pula UU no 18 tantang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk melaksanakan amanat dari UU no 18 tersebut, dua tahun kemudian barulah dikeluarkan peraturan di Aceh dalam bentuk Qanun no 4 dan 5 tahun 2003 yang mengatur masing-masing tentang pemerintahan mukim dan pemerintahan gampong. Qanun ini disahkan pada Juli 2003, namun disampaikan kepada masyarakat luas melalui media masa sekitar Novembar 2003. Dengan lahirnya Qanun ini, pemerintahan di tingkat gampong di Aceh kembali ke sistem adat dan yang paling penting adalah diakui kembali mukim sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengurus sumberdaya alam di wilayahnya. Hukum adat tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh dan sepanjang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan syari’at Islam maka perlu dipelihara dan dilestarikan. Hukum adat oleh masyarakat Aceh sudah dilaksanakan secara turun temurun, dihormati dan dipatuhi meskipun tidak tertulis Syarif 2005. Demikian juga upaya untuk mengembalikan kepercayaan diri komunitas masyarakat adat terhadap peran dan fungsi lembaga-lembaga adat yang merupakan kearifan lokal terutama lembaga adat Pawang Uteun yang berkewajiban dalam menjaga, menyalamatkan, memanfaatkan serta mengelola sumberdaya alam di wilayahnya sudah mulai ada. Hal ini dapat kita lihat dari keinginan masyarakat untuk mengaktifkan kembali lembaga adat Pawang Uteun. Selanjutnya kesepakatan-kesepakatan yang telah dihasilkan harus dideklarasikan kembali kepada masyarakat luas, khususnya segenap warga mukim yang bersangkutan juga kepada instansi terkait. Dengan demikian diharapakan semua akan memberikan dukungan Emtas 2006. Melemahnya sistem kelembagaan adat ditingkat mukim seperti Pawang Uteun , sekarang sudah menjadi bagian dari sejarah. Dengan kondisi kelembagaan tersebut, maka upaya pembentukan dan penguatan sistem adat sebagai bagian dari energi sosial masyarakat Aceh, tidak cukup hanya mengandalkan peraturan baru, baik berupa UU maupun Qanun. Akan tetapi haruslah disertai dengan upaya yang sungguh-sungguh dari masyarakat itu sendiri Langen 2001. Fakta yang nampak hari ini, dalam proses implementasi undang-undang dan juga peraturan, seperti yang diamanatkan oleh UU nomor 18 tahun 2001 dan juga Qanun mukim dan gampong tahun 2003 masih berjalan lambat. Tanpa ada keberanian, tanpa ada upaya sungguh-sungguh dari masyarakat, maka proses penguatan kembali lembaga adat akan terhambat. Karena masyarakar secara perlahan-lahan harus mulai mempersiapakan langkah-langkah, dengan bersandar pada UU dan adat setempat untuk menata kembali wilayah adat dan juga sistem adat dari gampong masing-masing.

2.3 Pengelolaan Hutan Berkelanjutan