Kelompok Diskusi Terfokus Focus Group Discussion

5.3.4. Kelompok Diskusi Terfokus Focus Group Discussion

Di dalam kerangka perencanaan sudah ditetapkan bahwasanya tujuan utama pelaksanaan FGD adalah untuk memahami strategi masyarakat dalam pemanfaatan hasil hutan yang lestari 10 tahun kedepan. Adapun pertanyaan intinya adalah apa saja yang dilakukan masyarakat untuk menunjang ekonomi keluarganya dan dampak apa yang ditanggung oleh mereka terhadap kegiatan pemanfaatan hasil hutan yang telah mereka lakukan. FGD dilakukan di 6 tempat berbeda dengan kelompok isu yang berbeda pula. Dalam pelaksanaannya, walupun topik pembicaraan dalam diskusi kelompok terfokus tentang faktor langsung yang menjadi ancaman kerusakan hutan, namun dari peserta muncul keinginan serta pernyataan dari mereka untuk melakukan kegiatan rehabilitasi lahanhutan yang telah rusak, “Kita tidak akan mampu menghentikan kegiatan pengrusakan terhadap hutan kita, mari kita tanami hutan yang telah rusak dengan berbagai tanaman yang bermanfaat, minimal kita telah memperkecil luasan kerusakan hutan kita” demikian harapan yang disampaikan oleh para peserta. Pertanyaan yang digunakan dalam FGD dapat dilihat pada lampiran 2. a Konsensus Dari hasil pelaksanaan seluruh FGD, ada beberapa kesamaan pandangan dari para peserta akan beberapa hal yang berkaitan dengan ancaman bagi kelestarian hutan yang terdapat dikawasan kemukiman Kueh dan Leupung, yaitu : 1. Kegiatan penebangan merupakan ancaman terbesar bagi kelestarian hutan serta masyarakat yang terdapat di kemukiman Kueh Leupung. Kegiatan penebangan kayu di hutan yang dilakukan oleh beberapa orang telah menimbulkan dampak yang negatif bagi masyarakat yang lebih banyak. Hal ini seperti yang disampaikan oleh bapak Drs.H. Adi YS tokoh masyarakat Lhonga dalam diskusi terfokus yang dilaksanakan di Meunasah Pulot, “... saya lahir di desa Lamseunia dan sekarang tinggal di Gampong Menasah Bak’u, kami sebagai masyarakat sangat merasakan dampak dari penebangan liar, dahulu Lamseunia tidak pernah banjir, sekarang banjir sudah menjadi ancaman bagi masyarakat Lamseunia” . Demikian juga halnya yang disampaikan M Yusuf dalam diskusi terfokus di Meunasah Tanjong Pak Yusuf, “... penebangan ini dilakukan hanya oleh beberapa orang, manfaat kegiatan penebangan yang bakalan diterima masyarakat banyak hanya bencana yang ditimbulkan dikemudian hari ”. 2. Terjadinya kebakaran hutan dipicu oleh adanya kegiatan pembukaan lahanhutan. Pembersihan area lahanhutan yang ditebangdibuka biasanya dilakukan dengan cara membakar. Walaupun sebahagian sudah membuat sekat bakar namun api yang membesar tetap sulit untuk di kendalikan. Menurut pendapat M Juned BTM tokoh masyarakat Meunasah Bak U peserta FGD di Meunasah Bak U, “... mereka yang membuat ladang-ladang di hutan, menebang kayu dan kemudian dibakar dan pada akhirnya api tidak bisa terkendali maka terjadilah kebakaran” . Selanjutnya Syamsuddin dari Lamseunia menambahkan bahwa “... biasanya disaat membuka lahan kami sudah membuat skat bakar, ya tapi kadang-kadang kebakaran itu sendiri juga tidak dapat terelakkan dengan kata lain tetap terjadi”. 3. Galian C yang dilakukan oleh masyarakat setempat masih dalam skala kecil, seperti yang diakui oleh Dedi Alfian peserta dari Naga Umbang yang bekerja sebagai pengambil batu gunung, “... ya kalau yang dilakukan disini masih secara alam, khususnya dimukim Kueh ini, misalnya pengambilan batu yang saya lakukan masih menggunakan linggis, ya kalau kami katakan masih secara tradisioanal”. Walaupun pada kenyataannya itu juga ada yang melakukan pengambilan batu secara besar besaran terutama pasca tsunami. 4. Masyarakat memahami bahwa kegiatan penebangan, kebakaran hutan, galian C serta pembukaan lahan menimbulkan kerugian, kerusakan lingkungan sekitarnya serta terutama masalah ketersediaan air. Anwar peserta dari desa Kueh berpendapat bahwa “... menurut saya penebangan liar harus bisa kita atasi bersama karena walaupun penebangan itu dilakukan secara kecil- kecilan tetapi lama-kelamaan akan berakibat buruk bagi alam dan juga manusia”. Selanjutnya, Bpk Suwandi, peserta lainya yang berasal dari desa Lamseunia menyatakan bahwa “... selama ini kami sangat susah air, dan air tidak bisa lagi dipergunakan melalui jaringan irigasi untuk persawahan, sehingga masyarakat menunggu hujan untuk menanam padi agar kebutuhan air tercukupi”, dan Ibu Sulasmi dari Lamseunia berpendapat bahwa “... galian C dapat merusak lingkungan” . Usman dari desa Naga Umbang menyatakan ”... menurut analisa saya, yang sudah terjadi dari kegiatan Galian C tersebut adalah, pertama rusaknya jalan dan yang kedua banjir seperti yang terjadi didaerah Lhoknga, disaat hujan kemarin itu penuh air”. 5. Kegiatan yang mengancam kelestarian hutan terutama penebangan dan galian C dilakukan karena tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Disamping itu, kegiatan ini juga sangat mudah untuk mendapatkan uang, mengingat terjadinya peningkatan permintaan, terutama pasca tsunami, sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Anwar “... jadi seperti ini, memang masyarakat ada yang melakukannya karena alasan ekonomi, tetapi menurut saya, menebang bagi mereka merupakan pekerjaan yang mudah untuk mereka lakukan dan juga akan mendapatkan uang dengan cepat. Sementara jika bertani atau berkebun mereka harus menunggu panen, kalau menebang mereka bisa panen terus…. Sementara kita, yang tidak ikut menebang juga akan panen, panen bencana maksud saya”. Hal ini juga di perkuat dengan pernyataan Bapak Zainuddin yang menyikapi maraknya aktifitas galian C, “... kalau menurut saya kita melakukan kegiatan galian C menurut situasi yang terjadi, mungkin untuk saat ini khususnya di Aceh masih pada tahapan rekontruksi, dan pada galian c itu merupakan bahan baku untuk rekontruksi itu sendiri, jadi wajar saja kalau aktivitas galian c lagi maraknya untuk di lakukan. Ya karena itu merupakan realita yang terjadi sekarang ini”. 6. Terjadinya perubahan kondisi lingkunganhutan yang terdapat di kawasan Kueh Leupung. Menurut Bapak M Juned BTM “yang jelas sangat berbeda jika dibandingkan dengan sekitar tahun 56 dulu, sekarang hutan sudah mulai tandus, tanah tidak subur lagi dan yang parah lagi jika terjadi hujan pasti akan banjir paling tidak air sungai pasti keruh”. “Ya, rotan juga sudah tidak banyak lagi seperti dulu, karena kami disini juga mencari rotan, namun sekarang sudah agak susah dibandingkan beberapa tahun yang lalu, mungkin 15 tahun yang lalu” Syamsuddin dari Lamseunia menambahkan. 7. Adanya keinginan dan harapan dari masyarakat untuk melakukan perbaikan kedepan, dan juga perlunya dilakukan rehabilitasi kawasan hutan yang telah rusak, sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Abdurrahman, “... saya mengharapkan hutan kita ini tetap terjaga, perlu adanya reboisasi kembali terhadap lahan-lahan yang sudah rusak dengan tanaman produktif yang memberikan hasil yang bermanfaat bagi masyarakat”. Selanjutnya Hasbi menyatakan bahwa “.. sebahagian besar harapan saya sama dengan kawan yang lain, apa yang kita nikmati saat ini harus dapat juga dirasakan oleh anak cucu kita, jangan mewariskan bencana bagi mereka. Saya ingin mereka juga dapat menikmati kekayaan alam ini. Sementara itu Adi, salah seorang peserta diskusi yang lain menyatakan pengharapannya, “... kami sangat mengharapkan HPH tidak lagi diberikan izin di daerah ini sehingga nantinya hutan bisa dikelola bersama oleh masyarakat sendiri dan terbentuk sebuah undang-undang atau peraturan tentang permanfaatan hasil hutan yang baik serta manfaatnya dirasakan oleh orang banyak” . b Perbedaan Pendapat Ada di antara masyarakat yang menyatakan bahwa hutan yang ada di Lhoknga dan Leupung memang memiliki perbedaan antara sekarang dan 10 tahun yang lalu. Sekarang sudah semakin buruk dibandingkan 10 tahun yang lalu, ini dikarenakan 10 tahun yang terjadi konflik sehingga masyarakat tidak berani sembarangan ke hutan. Namun demikian ada juga yang mengatakan hutannya biasa saja tetap saja masih bagus dan kayu-kayunya pun masih banyak. Tapi yang jelas Pak Abdullah dari Pulot Leupung tetap bersikeras dan mengatakan bahwa “... hutan kita sekarang sudah sangat rusak, ini dapat kita lihat di Kr. SarahGeupu jika terjadi hujan pasti akan langsung banjir begitu juga dengan jalan-jalan yang ada di Leupung ini”. Selanjutnya Syamsuddin dari desa Lamseunia mencoba memberi solusi dan menyatakan bahwa ”... penebangan harus diperkecil atau kalau bisa dihentikan dan kemudian memberikan kepada mereka pekerjaan lain yang bisa membuat mereka mampu menghidupi keluargannya, kemudian galian C kalau bisa kita suruh tutup saja jadi sungai kita tidak rusak terus, karena galian C ini sangat berpengaruh kepada air, dulu sungai tidak luas dan air pun banyak, sekarang setelah seringnya dilakukan pengambilan pasir dan batu itu dilakukan maka sungai semakin luas dan air pun menjadi sedikit”. Terhadap terjadinya kelangkaan dari beberapa jenis satwa maupun tumbuhan juga terdapat perbedaan pendapat, Bapak Yusri Budiman menyatakan bahwa “... punahnya burung dan tumbuhan bukan disebabkan oleh pelaku penebangan akan tetapi merupakan ulah para oknum yang menangkap secara besar-besaran. Dan pada umumnya yang melakukan adalah orang luar yang masuk ke wilayah kita”. Namun sdr Anwar berpendapat lain dan menyatakan bahwa “... banyaknya pohon yang ditebang telah berakibat pada semakin sedikitnya makanan dan juga tempat bersarang burung dan juga binatang yang lain” c Perbedaan Pengalaman Dampak kerusakan alam berupa bencana banjir hanya di alami oleh masyarakat yang berada di sekitar DAS sementara yang berada di pinggiran hutan serta gunung lebih sering mengalami bencana berupa tanah longsor serta gangguan binatang buas. d Ide-ide Lain Ada beberapa gagasan serta saran menarik untuk ditindaklanjuti yang telah disampaikan oleh masyarakat kepada tim pelaksana FGD, antara lain adalah: 1. Perlunya dilakukan kegiatan penanaman berbagai jenis tanaman yang bermanfaat bagi masyarakat pada pekarangan rumah serta kawasan hutan yang telah rusak, dengan harapan lahan yang telah dibuka serta ditelantarkan dapat kembali produktif dan pada akhirnya ketergantungan masyarakat pada kegiatan yang mengancam kelestarian alamhutan yang selama ini mereka lakukan dapat ditinggalkan. 2. Penyuluhan tentang dampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan penebangan, pembukaan lahan, kebakaran hutan serta galian C. 3. Menghidupkan kembali aturan serta kearifan lokal yang dulunya pernah berlaku dengan efektif di kalangan masyarakat Kueh dan Leupung. 4. Penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran. 5. Izin pemanfaatan hasil hutan berupa kayu jangan diberikan lagi untuk kawasan hutan Keuh serta Leupung. Adapun daftar pertanyaan yang digunakan pada saat FGD dapat dilihat pada lampiran 2.

5.3.4 Survei Pra Kampanye