Latar Belakang Peran Kampanye Bangga (Pride Campaign) Dalam Penguatan Lembaga Adat Pawang Uteun Untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Aceh Besar

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukom baca hukum adat tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh dan sepanjang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan syari’at Islam maka perlu dipelihara dan dilestarikan. Hukom adat oleh masyarakat Aceh sudah dilaksanakan secara turun temurun, dihormati dan dipatuhi meskipun tidak tertulis Syarif 2005. Sejak zaman Sultan Iskandar Muda, masyarakat Aceh telah memiliki kearifan tradisional dalam berbagai hal, begitu juga dalam pengelolaan sumber daya alam. Baik itu dalam hal pemanfaatan maupun tata kelola sumber daya alam yang mereka miliki dan pertahankan. Pandangan indatu nenek moyang yang menyiratkan hukom ngon adat lagee zat ngon sifet hukum dan adat bagaikan zat dengan sifat yang artinya tidak dapat dipisahkan, sangat dipegang teguh. Salah satu contoh dapat kita baca dalam sejarah Aceh yaitu mengenai aturan pengelolaan sumberdaya alam yang ada, misalnya hutan. Pawang Uteun adalah sebuah lembaga adat lokal yang ada di Aceh dan secara stuktural berada dibawah lembaga adat Mukim yang diketuai oleh seorang Imum Mukim. Lembaga Pawang Uteun diketuai oleh seorang ketua yang biasa disebut Panglima Uteun atau Peutua Uteun atau juga Pawang Uteun. Pawang Uteun di angkat dan dipilih melalui musyarah gampong baca desa karena memiliki kemampuan dan mengerti seluk beluk hutan. Pada masa dulu Pawang Uteun dipilih karena dia memiliki kemampuan khususnya dalam menangkal jin dan menjinakkan binatang buas, sehingga disebut Pawang. Selain itu dia juga memiliki tugas dan wewenang khusus yang berkaitan dengan hutan. Tugas dan wewenang ini diantaranya : 1. Menegakkan adat hutan uteungle 2. Menentukan masa berburu 3. Mengawasi agar pohon-pohon yang dilindungi oleh adat tidak ditebang, seperti pohon ara ditepi sungai, pohon kayu tempat lebah madu bersarang 4. Menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pengumpul hasil hutan di wilayah UteunGle 5. Menjaga pelestarian hutan dan tanaman pelindung sumber mata air Akan tetapi dengan diberlakukannya UU No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, ruang bagi kehidupan adat menjadi sempit sehingga menyebabkan penurunan fungsi serta peran dari lembaga adat yang ada di Aceh. Fungsi beberapa jabatan pemangku adat menjadi tidak berjalan bahkan hilang [seperti Imum mukim, Petua Seunebok petua kebun, Pawang Uteun petua hutan dan beberapa lembaga lainnya]. Dengan kata lain, hak-hak warga negara secara hukum adat yang pernah hidup subur dikalangan warganya layu kembali karena sudah tercabut dari akarnya. Hukum adat diperlakukan sebagai pelengkap saja mendampingi hukum nasional yang diadopsi dari hukum sipil Barat Syarif 2005 Upaya untuk memperkuat kembali lembaga adat yang perlu dilakukan, salah satunya adalah lembaga adat Pawang Uteun sebagai lembaga yang mengurus dan mengatur pengelolaan kawasan hutan dan memiliki tugas dan kewenangan tersendiri seperti telah disebutkan diatas. Memperkuat kembali sistem adat, baik berupa aturan maupun kelembagaan tidak dapat dilakukan dengan serta merta dan tergesa-gesa akan tetapi memerlukan proses atau tahapan- tahapan agar dapat dicapai kesepakatan yang utuh melalui mufakat. Salah satu cara yang harus ditempuh untuk memperkuat kembali sistem adat ditingkat mukim adalah melakukan kontrak sosial baru. Selanjutnya kesepakatan- kesepakatan yang telah dihasilkan harus dideklarasikan kepada segenap warga dan instansi terkait Juned 2002. Namun demikian, harapan kearah kembalinya terbentuk sistem pemerintahan dan sistem peradilan asli menurut hukum adat mulai muncul. Hal ini tersirat dalam pasal 2 Undang-Undang No 18 tahun 2001 tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang menetapkan Gampong dan Mukim sebagai badan pemerintahan dibawah Camat. UU tersebut menyatakan bahwa kedua lembaga itu sebagai persekutuan masyarakat hukum. Selain itu ada juga adanya Qanun No 4 Tahun 2003 tentang pemerintahan mukim sehingga membuat masyarakat semakin kuat untuk kembali kepada hukum adat indatu. Memperhatikan fakta dari kajian tersebut, maka sangatlah mendesak untuk melakukan sebuah rencana aksi untuk mendukung konservasi hutan ulayat melalui penguatan lembaga adat di Kemukiman Kueh, Lhoknga, dan Leupung. Metodologi Kampanye Pride Kampanye Bangga Melestarikan Alam—untuk selanjutnya akan disebut Kampanye Bangga dengan pendekatan sosial marketing merupakan cara yang dipilih untuk meningkatkan peran dan partisipasi aktif masyarakat di dalam pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan serta berkeadilan. Kampanye Bangga ini ditargetkan bagi setidaknya 23,000 jiwa di Kemukiman Kueh, Lhoknga dan Leupung. Kampanye Bangga ditujukan untuk mendorong perubahan perilaku melalui perbaikan pengetahuan dan sikap masyarakat sasaran PeNA 2006. Kelebihan metode Kampanye Bangga adalah bentuk pendidikan konservasi yang menggunakan teknik pemasaran sosial, memiliki beragam bentuk pendekatan yang bertujuan untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat serta dapat direplikasikan. Teknik pemasaran sosial yang dikembangkan oleh Rare ini telah direplikasikan dan sukses mengurangi permasalahan konservasi di lebih 40 negara Rare 2006. Metode pendidikan konservasi ini disebut dengan Kampanye Bangga karena kampanye ini akan menginspirasikan orang untuk memiliki kebanggaan terhadap sumber daya alam yang mereka miliki dan mendorong mereka untuk menghargai dan melindungi sumber daya alam yang dimiliki tersebut, termasuk sistem kelembagaan sosial seperti Pawang Uteun yang berperan penting dalam pengelolaan dan pelestarian sumberdaya hutan.

1.2 Perumusan Masalah