Kontrol Sosial Masyarakat Terhadap “Geng Motor” (Studi di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara)

(1)

Kontr Studi d K Di FAKUL

rol Sosial M di Desa Ban Kabupaten D iajukan Gun Untuk M MICH DEPAR LTAS ILM UNIVE Masyaraka ndar Khalip Deli Serdang SKR na Untuk M Memperoleh DISUSUN HAEL JUL 09090 RTEMEN MU SOSIAL RSITAS SU MEDA 2013 at Terhadap ah Kecamat g Provinsi S RIPSI Memenuhi S

h Gelar Sarj

N OLEH LPRI TARI 01071

SOSIOLO L DAN ILM

UMATERA AN

p “Geng M tan Percut S Sumatera Ut

alah Satu Sy ana Sosial IGAN GI MU POLIT A UTARA Motor” Sei Tuan tara yarat TIK


(2)

ABSTRAK

Banyaknya kasus perilaku menyimpang dikalangan remaja, seperti perilaku Geng Motor merupakan bukti dari kekosongan, kurangnya atau tidak efektifnya kontrol sosial yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun kontrol sosial yang dilakukan oleh pihak masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa kontrol sosial itu hanya dilakukan oleh pemerintah, kepolisian, dan aparat keamanan saja. Sesungguhnya kontrol sosial itu tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, kepolisian, dan aparat keamanan saja, namun kontrol sosial itu juga dapat dilakukan oleh masyarakat, seperti misalnya: tokoh agama, praktisi pendidikan (lembaga pendidikan), lembaga keluarga. Itu semua merupakan bagian dari agen kontrol sosial yang dapat mengambil peran sosial untuk mengandalikan, mengatasi banyaknya perilaku menyimpang dikalangan remaja, seperti Geng Motor. Untuk itu, sebagai upaya mengatasi perilaku Geng Motor yang sebagain besar anggotanya adalah anak remja yang masih labil dan gampang terpengaruh lingkungannya, perlu adanya kontrol sosial oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak masyarakat.

Tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui bagaimana kontrol sosial yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun masyarakat dalam mengatasi dan mengendalikan perilaku Geng Motor. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna dana respon dari anggota Geng Motor terhadap kontrol sosial. Penelitian dilakukan terhadap 12 orang informan yang memenuhi keriteria informan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan teknik penelitian menggunakan obeservasi, wawancara mendalam, dan studi pustaka yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol sosial oleh pihak pemerintah maupun masyarakat terhadap Geng Motor di sekitar Desa Bandar Khalipah sudah efektif, hal ini terlihat dari berkurangnya keberanian dan keberadaan dari aktifitas - aktifitas perilaku anggota Geng Motor di sekitar Desa Bandar Khalipah, Kecamatan Percut Sei Tuan. Dari hasil penelitian ini juga dapat dianalisis bahwa, makna dan respon dari anggota Geng Motor terhadap lebel negatif masyarakat menunjukkan bahwa, anggota Geng Motor tidak malu atas pelebelan tersebut, sebaliknya anggota Geng Motor berpandangan bahwa Geng Motor adalah sebuah keluarga yang memberikan suka cita/kebahagiaan. Pelabelan negatif (caap) terhadap Geng Motor membuat anggota Geng Motor bangga, dan rasa bangga itu yang ahirnya membuat anggota Geng Motor mengulangi tindakan yang sama atau bahkan tindakan yang lebih anarkis.

Kata Kunci:Kontrol Sosial, Perilaku Menyimpang, Makna dan Respon, Geng Motor


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat, rahmat, dan karunia - NYA penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Kontrol Sosial Masyarakat Terhadap “Geng Motor”(Studi di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara) guna untuk memenuhi salah satu syarat untuk memproleh gelar Sarjana Sosial (S1) dari Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam menulis skripsi ini penulis mengalami banyak hambatan, kesulitan, akan tetapi berkat kasih sayang Tuhan Yesus Kristus, doa dan motivasi kedua orang tua penulis, serta berkat kerja keras penulis untuk menggapai cita - cita penulis yaitu mendapatkan Gelar Sarjana, yang kedepannya akan meraih kesuksesan, ahirnya semua hambatan, rintangan dan kesulitan itu dapat dilewati oleh penulis, sehingga ahirnya penulisan skripsi ini dapat selesai. Penyelesaian skripsi ini juga tidak luput dari motivasi, bantuan, kasih sayang dari banyak pihak, oleh karna itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah turut serta membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Dalam hal ini, penulis berkesempatan untuk mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku sebagai dosen pembimbing penulis yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memberikan banyak pelajaran dalam hal


(4)

memberikan banyak hal yang patut menjadi pembelajaran buat penulis untuk mendapatkan kesuksesan kedepannya. Beliau telah menjadi seorang tokoh inspirasi sekaligus menjadi tokoh favorit penulis dalam hal pendidikan melebihi tokoh - tokoh pendidikan dan tokoh - tokoh politik lainya. Selain itu, beliau juga salah satu dosen favorit penulis selama penulis kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, ditambah lagi karena beliau adalah seorang pembimbing akademik penulis, beliau secara tidak langsung juga telah membentuk karakter penulis menjadi lebih bijaksana selama penulis melakukan bimbingan skripsi sama beliau. Untuk itu sekali lagi penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Segenap dosen serta Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak bekal pendidikan sebagai pembentuk intelektual dan karakter penulis yang lebih baik kedepannya.

4. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si, selaku penguji pada sewaktu seminar proposal yang telah banyak memberikan masukan dan kritikan yang sangat membangun, walaupun pada awalnya penulis merasa tertekan dengan kritikan ibu, namun pada ahirnya penulis sangat kagum dengan kritikan ibu.


(5)

5. Rasa terima kasih yang sebesar - besarnya kepada kedua orangtua saya yang tersayang. Kepada ayah saya Muliana Tarigan dan ibu saya Nenny br Perangin - nangin, yang selain telah banyak berjuang demi masa depan penulis, juga memberikan banyak hal tentang pendidikan kepada penulis yang tidak kalah dengan tokoh - tokoh besar di Indonesia, sehingga berkat transformasi pendidikan dari Bapak dan Ibu, ahirnya penulis memiliki komitmen yang kuat untuk terus berjuang meraih pendidikan yang setinggi - tingginya. Sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih yang tidak bisa saya ungkapakan nilainya.

6. Terima kasih buat semua teman - teman dari Departemen Sosiologi Stambuk 2009 yang telah banyak membatu penulis selama perkuliahan, khususnya buat teman - teman dari grup PKL di Desa Bandar Khalipah, yaitu diantaranya: Nela Harizona, Dede, Bima, Jhames, Ria Badariah, Mey, Mega, Rido, Irfin, dan teman - teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

7. Terima kasih buat Corry Turnip dan Nasrullah, Yohan Reza, Bismar Joy Surbakti, yang telah banyak membantu penulis selama mengerjakan skripsi.

8. Semua pihak yang turut membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis. Penulis telah berupaya semaksimal mungkin dalam penulisan skripsi ini. Akan tetapi penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan


(6)

Penulis, Medan 22-10-2013


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ... i

Kata Pengantar... ii-v Daftar Isi... vi-vii Daftar Tabel... viii

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Rumusan Masalah... 11

1.3. Tujuan Penelitian... 11

1.4. Manfaat Penelitian... 12

1.5. Defenisi Konsep... 13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kontrol Sosial (Social Control)... 16

2.1.1. Teori Kontrol Sosial (Social Control Teory)... 17

2.2. Teori Perspektif Simbolik... 22

2.2.1. Teori Reaksi Masyarakat atau Teori Pemberian Lebel. 22 2.2.2. Teori Perilaku Sosial (Behaviorial Sociology)... 23

2.3. Jenis – Jenis Lembaga Pengendalian Sosial... 26

2.3.1. Lembaga Keluarga... 26

2.3.2. Adat... 26

2.3.3. Lembaga Penegak Hukum... 27

2.3.4. Lembaga Pendidikan... 27

2.3.5. Lembaga Keagamaan... 28

2.3.6. Lembaga Kemasyarakatan... 28

2.4. Pengendalian Sosial Berdasarkan Caranya... 29

2.4.1. Cara Persuasif... 29

2.4.2. Cara Coersif... 30

2.5. Teknik Pengendalian Sosial... 33

2.5.1. Compulsion (Paksaan)... 33

2.5.2. Pervasion (Pengisian)... 33

2.6. Upaya Pengendalian Sosial... 35

2.7. Kelompok Sosial... 37

2.8. Geng... 39

2.9. Perilaku Menyimpang... 41

2.10. Perilaku Yang Digolongkan Menyimpang... 44

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... 46

3.2. Lokasi Penelitian... 46

3.3. Unit Analisis Informan... 47

3.3.1. Unit Analisis... 47


(8)

3.4.3. Studi Kepustakaan... 50

3.5. Interpretasi Data... 50

3.6. Jadwal Penelitian... 51

3.7. Keterbatasan Penelitian... 51

BAB IV. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 53

4.1.1. Sejarah Singkat Desa Bandar Khalipah... 53

4.2. Gambaran Umum Desa Bandar Khalipah... 54

4.2.1. Orbitasi... 54

4.2.2. Sarana Dan Prasarana... 55

4.2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis Suku... 57

4.2.3.1. Jumlah Penduduk Menurut Agama... 58

4.2.3.2. Keadaan Sosial Ekonomi... 59

4.2.3.3. Pendidikan... 61

4.3. Profil Informan... 63

4.4. Deskripsi Tentang Geng Motor... 73

4.4.1. Keberadaan Geng Motor Di Sekitar Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan... 73

4.4.2. Struktur Kepemimpinan Dalam Geng Motor... 78

4.5. Kontrol Sosial Pemerintah Terhadap Geng Motor... 81

4.5.1. Kontrol Sosial Pemerintah Secara Preventif... 81

4.5.2. Kontrol Sosial Pemerintah Secara Persuasif... 93

4.5.3. Kontrol Sosial Pemerintah Secara Represif... 105

4.5.4. Kontrol Sosial Pemerintah Secara Coersif... 114

4.6. Kontrol Sosial Masyarakat Terhadap Geng Motor Di Desa Bandar Khalipah... 119

4.6.1. Kontrol Sosial Masyarakat Secara Preventif... 119

4.6.2. Kontrol Sosial Masyarakat Secara Persuasif... 129

4.6.3. Kontrol Sosial Masyarakat Secara Represif... 133

4.6.4. Kontrol Sosial Masyarakat Secara Coersif... 135

4.7. Makna Dibalik Geng Motor... 140

4.7.1. Makna Geng Motor Dimata Anggota Geng Motor... 140

4.7.2. Respon Dari Anggota Geng Motor Terhadap Pelebelan Negatif Yang Diberikan Masyarakat... 146

4.7.3. Alasan Anggota Geng Motor Bergabung Dengan Geng Motor... 152

BAB V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan... 160

5.2. Saran... 168


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel. 2.1. Skema Konsep Agen Kontrol Sosial... 29

Tabel. 2.2. Skema Konsep Pengendalian Sosial... 41

Tabel. 4.1. Nama – Nama Pemimpin Desa Bandar Khalipah... 54

Tabel. 4.2. Sarana Dan Prasarana di Desa Bandar Khalipah... 55

Tabel. 4.3. Jumlah Penduduk Desa Bandar Khalipah Bersarkan Etnis/ Suku... 57

Tabel. 4.4. Jumlah Penduduk Desa Bandar Khalipah Berdasarkan Agama... 58

Tabel. 4.5. Jumlah Pendudukan Berdasarkan Mata Pencaharian... 60

Tabel. 4.6. Penduduk Desa Bandar Khalipah Dari Segi Pendidikan.... 61

Tabel. 4.7. Sarana dan Prasarana Pendidikan di Desa Bandar Khalipah... 63

Tabel. 4.8. Pandangan Masyarakat dan Kepolisian Tentang Geng Motor... 76


(10)

ABSTRAK

Banyaknya kasus perilaku menyimpang dikalangan remaja, seperti perilaku Geng Motor merupakan bukti dari kekosongan, kurangnya atau tidak efektifnya kontrol sosial yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun kontrol sosial yang dilakukan oleh pihak masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa kontrol sosial itu hanya dilakukan oleh pemerintah, kepolisian, dan aparat keamanan saja. Sesungguhnya kontrol sosial itu tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, kepolisian, dan aparat keamanan saja, namun kontrol sosial itu juga dapat dilakukan oleh masyarakat, seperti misalnya: tokoh agama, praktisi pendidikan (lembaga pendidikan), lembaga keluarga. Itu semua merupakan bagian dari agen kontrol sosial yang dapat mengambil peran sosial untuk mengandalikan, mengatasi banyaknya perilaku menyimpang dikalangan remaja, seperti Geng Motor. Untuk itu, sebagai upaya mengatasi perilaku Geng Motor yang sebagain besar anggotanya adalah anak remja yang masih labil dan gampang terpengaruh lingkungannya, perlu adanya kontrol sosial oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak masyarakat.

Tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui bagaimana kontrol sosial yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun masyarakat dalam mengatasi dan mengendalikan perilaku Geng Motor. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna dana respon dari anggota Geng Motor terhadap kontrol sosial. Penelitian dilakukan terhadap 12 orang informan yang memenuhi keriteria informan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan teknik penelitian menggunakan obeservasi, wawancara mendalam, dan studi pustaka yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol sosial oleh pihak pemerintah maupun masyarakat terhadap Geng Motor di sekitar Desa Bandar Khalipah sudah efektif, hal ini terlihat dari berkurangnya keberanian dan keberadaan dari aktifitas - aktifitas perilaku anggota Geng Motor di sekitar Desa Bandar Khalipah, Kecamatan Percut Sei Tuan. Dari hasil penelitian ini juga dapat dianalisis bahwa, makna dan respon dari anggota Geng Motor terhadap lebel negatif masyarakat menunjukkan bahwa, anggota Geng Motor tidak malu atas pelebelan tersebut, sebaliknya anggota Geng Motor berpandangan bahwa Geng Motor adalah sebuah keluarga yang memberikan suka cita/kebahagiaan. Pelabelan negatif (caap) terhadap Geng Motor membuat anggota Geng Motor bangga, dan rasa bangga itu yang ahirnya membuat anggota Geng Motor mengulangi tindakan yang sama atau bahkan tindakan yang lebih anarkis.

Kata Kunci:Kontrol Sosial, Perilaku Menyimpang, Makna dan Respon, Geng Motor


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari - hari sistem pengendalian sosial (social control) terhadap berbagai gejala perilaku menyimpang di masyarakat sering kali diartikan sebagai pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah beserta aparaturnya saja. Memang ada benarnya bahwa di era globalisasi sekarang ini kontrol sosial oleh pemerintah yang memiliki sanksi - sanksi tegas terhadap anggota suatu masyarakat yang melanggar norma - norma yang berlaku lebih banyak dipakai dalam mengontrol dan mengawasi berbagai gejala perilaku menyimpang di masyarakat. Tetapi sesungguhnya kontrol sosial masyarakat itu tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Reucek dalam Soekanto (1987 : 1 - 2) mengatakan bahwa, arti sesungguhnya dari kontrol sosial jauh lebih luas, karena dalam pengertian tersebut tercangkup segala proses baik yang direncanakan maupun tidak, bersifat mendidik, mengajak bahkan memaksa warga - warga masyarakat agar mematuhi kaidah - kaidah dan nilai sosial yang berlaku, baik yang dilakukan oleh pribadi terhadap pribadi, kelompok terhadap kelompok, kelompok terhadap anggotanya. Sejalan dengan Reucek, Soekanto (1990 : 205) mengatakan, pengendalian sosial dapat dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya, atau oleh suatu kelompok terhadap individu. Itu semua merupakan suatu proses pengendalian sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat walaupun sering kali tidak disadari. Dengan demikian maka pengendalian sosial terutama


(12)

bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan - perubahan yang terjadi di masyarakat.

Konsep kontrol sosial yang saat ini diberlakukan di beberapa wilayah Negara Indonesia oleh para pemegang otoritas yang turut berperan serta untuk mengawasi segala perilaku individu dalam kehidupan bermasyarakat, dinilai masih kurang efektif dalam mengatasi berbagai macam gejala perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh warga masyarakatnya. Banyaknya kasus tawuran, perampokan, pemerkosaan, penggunaan obat - obat terlarang oleh para remaja maupun orang dewasa menjadi salah satu bukti bahwa sistem kontrol sosial yang ada saat ini masih belum efektif dalam mengendalikan berbagai perilaku yang menyimpang dimasyarakat khususnya dikalangan remaja. Ditambah lagi sekarang ini perilaku - perilaku menyimpang, seperti; kasus tawuran, perampokan, pemerkosaan, penggunaan narkoba tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, anak - anak remaja yang seharusnya belajar untuk menuntut masa depannya yang cerah bahkan ikut merajalela melakukan tindakan perilaku menyimpang. Dalam jurnal Pewarta Dinamika, Eading in Character Education, Edisi 10/2012, dikatakan bahwa seorang pelajar yang bernama Alawy Yusianto Putra Meninggal pada tanggal 24 September 2012 karena kekerasan yang dilakukan oleh pelajar lainnya yang terlibat dalam aksi tawuran antara SMA 70 dan sekolah Alwi sendiri yaitu SMA 6 Jakarata Selatan. Dalam jurnal ini juga dikatakan bahwa tawuran dikalangan pelajar juga merupakan sebuah budaya baru di sejumlah kota di Indonesia.


(13)

Berger dalam Bagong (2010) mendefenisikan bahwa, pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggota masyarakat yang membangkang. Sementara itu menurut Reucek dalam Soekanto (1987 : 83) menyatakan bahwa, pengendalian sosial adalah proses yang direncanakan maupun tidak. Melalui proses tersebut warga masyarakat dididik, diajak, atau dipaksa untuk menganut kebiasaan kelompok. Dilain pihak, Menurut Horton dan Hunt (1996 : 176), pengendalian sosial atau kontrol sosial adalah segenap cara dan proses yang ditempuh oleh sekelompok orang atau masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat itu.

Salah satu faktor yang mempertimbangkan mengapa warga masyarakat perlu dikontrol atau diberi rambu - rambu didalam berperilaku dalam kehidupan sehari - hari ada kaitannya dengan efektif tidaknya proses sosialisasi, proses sosialisasi secara normatif tidak hanya mendatangkan manfaat bagi masyarakat, dalam arti mewujudkan tertib sosial. Disisi lain, peroses sosialisasi juga mendatangkan manfaat bagi warga masyarakat secara individual, sehingga dengan adanya sosialisasi maka masyarakat akan mengerti tentang bagaimana seharusnya hidup menjadi anggota masyarakat yang memiliki perilaku yang jauh dari penyimpangan norma - norma dan nilai masyarakat yang dapat menciptakan suasana yang nyaman bagi setiap individu dalam menjalankan berbagai aktifitas sehari - hari.


(14)

tindakan yang selama ini mereka lakukan secara tidak sadar merupakan tindakan yang termasuk dalam kategori yang menyimpang. Namun karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat, serta adanya kebudayaan lokal yang membenarkan tindakan terntentu, maka bisa saja seseorang secara tidak sadar telah melakukan tindakan penyimpangan, tetapi tidak merasa bahwa dirinya telah melakukan tindakan yang menyimpang atas perilakunya.

Kontrol sosial yang dilakukan dalam bentuk sosialisasi oleh berbagai pihak kepada masyarakat, selain dapat memberikan pedoman kepada individu tentang bagaimana seharusnya berperilaku dalam kehidupan masyarakat dan bagaimana seharusnya sikap yang harus diambil oleh masyarakat agar tidak terpengaruh oleh sekelompok orang tertentu, juga kontrol sosial yang dilakukan tersebut seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang sangat menguntungkan masyarakat khususnya individu. Bagong (2010) menyatakan bahwa karena kontrol sosial yang berupa sosialisasi bersifat menguntungkan atau rewarding, maka seharusnya seluruh masyarakat itu bersedia untuk menerima norma - norma dari sosialisasi itu sendiri dan kemudian menginternalisasikannya dalam dikehidupan bermasyarakat yang kongkrit dan aktual tanpa paksaan dari pihak manapun. Namun realitas sekarang ini, peneliti melihat bahwa fenomena yang terjadi di masyarakat menunjukan bahwa proses sosialisasi norma - norma sosial sering sekali dianggap masyarakat sebagai hal yang merugikan dan membuang - buang waktu saja. Adanya pandangan seperti ini mungkin disebabkan oleh adanya anggapan masyarakat bahwa proses sosialisasi justru secara tidak langsung menuntut mereka untuk mengikuti semua nilai - nilai yang disosialisasikan,


(15)

sedangkan para penguasa birokarasi yang membuat kontrol sosial itu sendiri juga kerap kali melanggar nilai - nilai dan norma yang disosialisasikan ke masyarakat itu sendiri. Efek dari itu maka tidak heran kalau perilaku - perilaku menyimpang dalam masyarakat baik itu yang dilakukan oleh individu secara tunggal maupun individu secara berkelompok terus bertambah jumlahnya.

Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat menyimpang dari norma yang berlaku seperti yang dikemukakan, Soekanto (1990 : 214 - 226) ; (1) karena kaidah - kaidah nilai - nilai sosial budaya yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidak memenuhi kebutuhan dasarnya; (2) karena kaidah - kaidah nilai - nilai sosial tidak dirasakan manfaatnya olah masyarakat; (3) karena terjadi ketidakserasian antara aspirasi dengan saluran -saluran yang tujuannya untuk mencapai cita - cita tersebut; (4) berpudarnya pegangan masyarakat pada kaidah - kaidah nilai sosial, sehingga menimbulkan keadaan yang tidak stabil.

Secara umum, yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang adalah; (1) tindakan yang nonconform, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai - nilai atau norma - norma yang ada; (2) tindakan yang antisosial atau asosial, yaitu tindakan yang melawan kebiasan masyarakat atau kepentingan umum (tindakan kriminal), yaitu tindakan yang nyata - nyata telah melanggar aturan - aturan hukum tertulis dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain (Soekanto, 1990 : 205). Tindakan yang seperti ini sering kita temui misalanya: pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan berbagai bentuk tindak kejahatan lainnya, itu


(16)

semua merupakan sebagian contoh dari perilaku menyimpang yang secara nyata bahwa semua itu telah mengancam ketentraman masyarakat.

Di era globalisasi sekarang, perilaku menyimpang rentan terjadi di masyarakat perkotaan (urban community) dan masyarakat pinggiran kota (sub urban) daripada masyarakat pedesaan (rural commuity), hal ini dikarenakan di masyarakat yang tinggal di perkotaan (urban community) atau di daerah pingiran kota (sub urban) memiliki karakteristik lebih terbuka terhadap hal - hal baru termasuk hal yang bersifat idieologi. Keadaan ini berbeda dengan masyarakat yang tinggal di pedesaan, masyarakat pedesaan biasanya lebih tertutup, tidak dengan mudah menerima hal - hal yang bersifat baru, sehingga masyarakat tersebut tidak dengan mudah masuk ke dalam sebuah wacana yang bersifat menyimpang. Bagong (2010) mengatakan bahwa, semakin besar suatu kelompok masyarakat maka semakin sukarlah orang saling menginditifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompoknya. Dengan demikian anomie social menjadi hal yang tidak dapat dihindari (keadaan tanpa norma), sehingga semakin bebaslah individu - individu untuk berbuat “semaunya”, dan kontrol sosial pun akan lumpuh tanpa daya. Hal yang demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat tradisional (primitif) yang kecil - kecil, dimana segala interaksi bersifat langsung dan face to face dengan demikian masyarakat tradisonal (primitif) cenderung jarang terjadi berbagai pelanggaran norma - norma sosial atau perilaku menyimpang. Dalam masyarakat tradisional (primitif) kontrol - kontrol sosial yang berlaku bersifat tradisional (informal), biasanya hanya berbentuk ejek - ejekan dan sindiran, namun karena semua anggota masyarakat


(17)

dari kelompok tradisional ini saling mengenal maka ejek - ejekan dan sindiran yang dilakukan sebagai kontrol sosial cukup efektif dalam mengendalikan perilaku - perilaku meyimpang yang dilakukan oleh kelompoknya.

Terlepas dari itu tidak heran jika kontrol sosial yang diberlakukan di daerah - daerah yang berada di kawasan pinggiran kota terlihat melemah dalam mengatasi dan mengendalikan berbagai gejala perilaku menyimpang di masyarakat. Hal ini dikarenakan daerah pinggiran kota (sub urban) juga memiliki karakteristik masyarakat yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan. Perubahan sosial, ekonomi, politik, teknologi telah merubah daerah pinggiran kota menjadi daerah tak kalah maju dengan perkotaan. Tidak jarang, terlihat banyak sekali daerah pinggiran kota telah berubah menjadi daerah kawasan elit perumahan. Perubahan yang semacam ini juga tidak hanya terlihat dalam karakteristik fisiknya saja, tetapi hal ini juga diikuti oleh perilaku masyarakat yang tinggal di daerah itu. Masyarakat yang materialis, individualistik

juga menjadi hal yang tidak bisa dipungkiri akibat adanya perubahan ini, sehingga individu yang tidak mempunyai kemampuan tertentu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sering sekali menghalalkan segala cara untuk memenuhinya. Hal - hal yang demikian akhirnya menjadi pemicu timbulnya masalah perilaku menyimpang di masyarakat, seperti misalnya masalah perilaku menyimpang yang dilakukan secara berkelompok yaitu Geng Motor.

Geng Motor merupakan salah satu contoh dari kelompok sosial yang pada dasarnya kelompok tersebut diikat oleh persamaan tujuan, hobi atau dengan kata


(18)

terhadap motor, kemudian seiring dengan perkembangan waktu kelompok tersebut berubah menjadi puluhan atau bahkan ratusan orang. Untuk menunjukan identitas mereka kepada masyarakat kemudian kelompok - kelompok tersebut melakukan aktivitas - aktivitas yang meresahkan masyarakat sekitarnya, seperti: kebut - kebutan di jalan, tawuran sampai merampok pengguna jalan di sekitar mereka, dan lain - lain.

Dalam Web Blog yang ditulis Sigit (2011) menyatakan bahwa, Geng Motor adalah sebuah kelompok sosial yang memiliki dasar tujuan yang sama atau asosiasi yang dapat disebut suatu paguyuban tapi hubungan negatif dengan paguyuban yang tidak teratur dan cenderung melakukan tindakan anarkis. Salah satu kontributor dari munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling (dan oleh karenanya diyakini “pantas” untuk dipukuli); atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan).

Terkait dengan keberadaan Geng Motor, dalam skripsi Hutabarat (2011), menyatakan bahwa “ keberadaan Geng Motor itu sendiri sebenarnya sudah ada dari tahun 1978, yang dulu namanya melegenda adalah Geng Motor Moonraker. Kota tempat tumbuh dan berkembangnya geng - geng motor adalah kota Bandung. Namun seiring dengan berkembangnya zaman kini mereka mulai menjalar ke daerah - daerah seperti Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Ciamis, Cirebon, Subang, Medan dan sejumlah kota besar lainya”. Namun belakangan ini


(19)

geng motor tidak hanya banyak ditemukan dan melakukan aksi - aksi anarkis mereka di kota - kota besar saja, di sekitar daerah pinggiran kota seperti Desa Bandar Khalipah keberadaan Geng Motor juga telah ditemukan di sekitar daearah yang tak jauh dari Desa Bandar Khalipah bahkan istilah Geng Motor bukan lagi menjadi hal yang asing bagi sebagian masyarakatnya.

Berdasarkan observasi awal saya terkait keberadaan Geng Motor di Desa Bandar Khalipah bahwa, Geng Motor sudah ada sejak 3 tahun terahir ini, tapi Geng Motor itu sendiri bukan berasal dari Desa Bandar Khalipah. Mereka biasanya datang dari Kota Medan dan melakukan Konvoi dari jalan Desa Lau Dendang (10 km dari Desa Bandar Khalipah) sampai akhirnya berhenti di sekitar Pasar 12 (dulu kebun sawit sekarang tanah garapan). Aksi - aksi mereka bervariasi mulai dari tawuran dengan pemuda - pemuda setempat yang tidak mau gabung dengan geng mereka, menghancurkan ruko - ruko para pedagang Baju Monja (bekas) di pasar 12, tidak membayar uang saat mengisi bensin di SPBU dan lain sebagainya.

Desa Bandar Khalipah merupakan suatu kawasan pinggiran kota (Sub Urban) dan Seiring dengan perkembangan dan kemajuannya Desa Bandar Khalipah tersebut juga telah mengalami berbagai perubahan sosial yang lebih maju baik secara sosial, ekonomi, politik dan lain - lain. Hal ini ditandai dengan semakin tingginya tingkat heterogenitas dari kelompok masyarakatnya dan juga ditandai dengan lengkapnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat, seperti misalnya rumah sakit, swalayan, sekolah, sehingga seiring dengan


(20)

kemajuannya tersebut tingkat perilaku menyimpang yang mengarah pada kriminalitas juga ikut meningkat sesuai dengan perkembangan desa tersebut.

Melihat keadaan seperti itu maka penulis tertarik menjadikan Desa Bandar Khalipah untuk sebagai lokasi penelitan skripsi yaitu tentang “Kontrol Sosial Masyarakat Terhadap Geng Motor”. Studi di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan. Penelitian tentang Geng Motor itu sendiri sebenarnya sudah banyak dilakukan, namun dalam penelitian ini penulis tidak akan membahas dan meneliti secara mendalam tentang bagaimana keberadaan Geng Motor dalam melakukan aksi - aksi brutalnya atau faktor - faktor pemicu banyaknya Geng Motor sekarang ini, namun dalam penelitian ini peneliti lebih mendalami tentang bagaimana peran dari para penguasa birokrasi, keluarga, aparat keamanan, juga kontrol sosial masyarakat yang lainnya dalam melakukan pengawasan terhadap anak - anak remaja sehingga tidak terjerumus dan bergabung dalam sebuah kelompok sosial yang menyimpang dan meresahkan masyarakat seperti Geng Motor. Selain itu, peneliti juga akan meneliti tentang makna tindakan/perilaku Geng Motor berkenaan dengan banyaknya reaksi dari masyarakat yang telah memberikan caap (lebeling) yang negatif terhadap Geng Motor, dan juga bagaimana respon dari anggota Geng Motor terhadap kontrol sosial sosial.


(21)

1. 2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dirumuskan maka perumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk kontrol sosial Pemerintah Desa Bandar Khalipah terhadap perilaku Geng Motor?

2. Bagaiamana kontrol sosial masyarakat terhadap Geng Motor di Desa Bandar Khalipah?

3. Bagaimana makna dan respon dari perilaku anggota Geng Motor terhadap kontrol sosial?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan diatas, maka tujuan penelitian yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk kontrol sosial Pemerintah Desa Bandar Khalipah terhadap perilaku Geng Motor.

2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk kontrol sosial masyarakat terhadap Geng Motor di Desa Bandar Khalipah.

3. Untuk mengetahui bagaimana makna dan respon dari perilaku Geng Motor terhadap kontrol sosial.


(22)

1. 4. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian mampu memberikan manfaat, baik itu untuk diri sendiri, orang lain maupun ilmu pengetahuan. Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu kajian referensi dalam dunia pendidikan khususnya dalam ilmu sosiologi yang mengkaji berbagai fenomena - fenomena masyarakat yang berkaitan dengan pengawasan sosial, perilaku menyimpang dan juga dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada masyarakat dan pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan sosial yang efektif demi terciptanya ketertiban sosial di masyarakat.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam menulis karya ilmiah khususnya yang berhubungan dengan upaya dalam mengendalikan atau mengawasi banyaknya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak remaja seperti Geng Motor. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada agen kontrol sosial dalam mengambil kebijakan sosial. Selain itu, hasil penelitian ini nantinya juga diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan bagi pihak agen kontrol sosial dalam mengatasi banyaknya perilaku menyimpang dikalangan remaja dan juga menjadi salah satu kajian refrensi bagi pihak - pihak yang mempunyai peran dalam mengambil kebijakan sosial untuk menyelesaikan berbagai masalah yang mengganggu ketertiban masyarakat atau bahkan meresahakan masyarakat, seperti misalnya perilaku Geng Motor.


(23)

1.5. Defenisi Konsep

Defenisi konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Kontrol Sosial Pemerintah

Kontrol sosial adalah pengawasan dari kelompok terhadap kelompok atau individu lain untuk mengarahkan peran individu atau kelompok sebagai bagian dari masyarakat agar tercipta situasi kemasyarakatan yang sesuai dengan harapan sosial yaitu kehidupan sosial yang konformis (Kolip, 2010). Dari pengertian tersebut, maka kontrol sosial pemerintah dalam hal ini adalah peran atau upaya yang dilakukan oleh lembaga – lembaga yang berada dibawah sistem pemerintahan, seperti Pemerintah Desa Bandar Khalipah, lembaga kepolisian, lembaga pendidikan yaitu dengan tujuan untuk mengendalikan atau mengkontrol banyaknya perilaku menyimpang dikalangan remaja, seperti perilaku Geng Motor. 2. Kontrol Sosial Masyarakat (Society)

Yaitu pengendalian sosial yang dilakukan oleh seluruh lapisan atau anggota masyarakat yang tinggal di sekitar Desa Bandar Khalipah dalam mengendalikan banyaknya perilaku menyimpang dikalangan remaja, seperti Geng Motor, baik itu kontrol yang dilakukan oleh kepala keluarga, tokoh yang dituakan, tokoh agama.

3. Pengendalian Sosial Secara Preventif

Merupakan salah satu tahap yang utama yang dilakukan oleh lembaga agen sosiolisasi atau kontrol sosial sebagai upaya dalam mengendalikan banyaknya perilaku menyimpang dikalangan remaja, seperti Geng Motor, baik


(24)

yang dilakukan dengan cara - cara, seperti : sosialisasi, himbauan, mengarahkan, mengawasi.

4. Pengendalian Sosial Secara Persuasif

Merupakan salah cara yang dilakukan oleh lembaga agen kontrol sosial dalam mengendalikan banyaknya perilaku menyimpang dikalangan remaja, seperti Geng Motor yaitu dengan cara - cara seperti : membujuk dan mengajak secara lebih inten, merayu, memberikan imbalan.

5. Pengendalian Sosial Secara Represive

Adalah salah satu cara yang dilakukan oleh agen kontrol sosial dalam mengendalikan banyaknya perilaku menyimpang dikalangan remaja, seperti Geng Motor, yaitu dengan cara memberikan hukaman yang berupa sanksi sosial, sanksi administrasi, dan sanksi hukum.

6. Pengendalian Sosial Secara Coersive

Merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh agen kontrol sosial dalam mengendalikan banyaknya perilaku menyimpang, yaitu dengan cara memberlakukan tindakan kekerasan fisik dan tindakan yang berupa ancaman, seperti memukul, menampar, mengeroyok.

7. Perilaku Menyimpang (Deviance)

Yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai - nilai dan norma - norma yang berlaku di masyarakat atau dengan kata lain penyimpangan terhadap kaidah dan nilai - nilai yang berlaku di masyarakat, seperti misalnya tawuran, penggunaan obat terlarang, mencuri, bergabung dengan kelompok yang menyimpang seperti Geng Motor.


(25)

8. Geng Motor

Merupakan suatu kelompok sosial yang pada dasarnya kelompok tersebut diikat oleh persamaan tujuan, hobbi atau dengan kata lain kelompok yang tergabung dari orang - orang yang memiliki kecintaan terhadap motor, kemudian seiring dengan perkembangan waktu kelompok tersebut berubah menjadi puluhan atau bahkan ratusan orang. Untuk menunjukkan idendititas mereka kepada masyarakat kemudian kelompok - kelompok tersebut melakukan aktivitas - aktivitas yang meresahkan masyarakat sekitarnya, seperti: kebut-kebutan, merampok pengguna jalan raya, membuat keributan, dan lain - lain. Itu semua terjadi karena adanya perasaan/keyakinan yang sama terhadap suatu hal tertentu sehingga mereka cenderung untuk melakukan tindakan yang disepakati oleh kelompok, meskipun seringkali tindakan itu adalah tindakan yang menyimpang


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Kontrol Sosial (Social Control)

Pengendalian sosial (sosial control) merupakan suatu sistem yang mendidik, mengajak bahkan memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan nilai dan norma - norma sosial agar kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan tertib dan teratur. Berger dalam Kamanto (1993 : 65) mengartikan pengendalian sosial sebagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggota yang membangkang. Semantara, Roucek dalam Bagong (2010) mendefenisikan pengendalian sosial tidak hanya pada tindakan terhadap mereka yang membangkang, tetapi proses - proses yang dapat kita klasifikasikan sebagai proses sosialisasi. Berbeda dengan, Veeger dalam Kolip (2010 : 252) pengendalian sosial adalah titik kelanjutan dari proses sosialisasi dan berhubungan dengan cara dan metode yang digunakan untuk mendorong seseorang agar berperilaku selaras dengan kehendak kelompok atau masyarakat yang jika dijalankan secara efektif, perilaku individu akan konsisten dengan tipe perilaku yang diharapkan.

Proses - proses pengandalian sosial yang dilakuakan secara terus - menerus maka sacara tidak langsung akan menyebabkan perilaku individu sesuai dengan nilai - nilai dan pola - pola atau aturan - aturan yang telah disepakati secara bersama oleh seluruh lapisan masyarakat tertentu.

Menurut Reucek (1987 : 2) proses pengendalian sosial dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk, yaitu:


(27)

a) Pengendalian sosial antara individu dan individu lainnya, dimana individu yang satu mengawasi individu yang lainnya. Misalnya, seorang ayah yang mendidik anak-anaknya untuk menaati peraturan dalam keluarga. Hal ini merupakan contoh dari pengendalian sosial yang pada dasarnya pengendalian sangat lazim dalam kehidupan sehari - hari, meskipun kadang-kadang tidak disadari.

b) Pengendalian sosial antara individu dan kelompok terjadi ketika individu mengawasi suatu kelompok.

c) Pengendalian sosial antara kelompok dan kelompok lainnya, terjadi ketika suatu kelompok mengawasi kelompok lainnya.

Pengendalian sosial dapat terjadi dalam kehidupan sehari - hari agar keserasian dan stabilitas dalam kehidupan sehari - hari tercapai. Dengan pengendalian sosial ini, diharapkan penyimpangan yang terjadi di masyarakat dapat berkurang khususnya penyimpangan yang dilakukan oleh para anak - anak remaja. Oleh karena itu pengendalian sosial harus mendapat perhatian yang mendalam dan mendasar.

3.2.1. Teori Kontrol Sosial (Social Control)

Ide utama dibelakang teori kontrol adalah bahwa penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cendrung untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum. Oleh sebab itu para ahli teori kontrol menilai perilaku menyimpang adalah konsekuensi


(28)

logis dari kegagalan seseorang untuk menaati hukum. Dalam konteks ini teori kontrol sosial pararel dengan teori conformitas (Bagong, 2004).

Salah satu ahli yang mengembangkan teori ini adalah Hirschi dalam Atmasasamita (1992), Ia mengajukan beberapa proposisi teoritisnya, yaitu:

i. Bahwa berbagai bentuk pengingkaran terhadap aturan - aturan sosial adalah akibat dari kegagalan mensosialisasi individu warga masyarakat untuk bertindak

conform terhadap aturan atau tata tertib yang ada.

ii. Penyimpangan dan bahkan kriminalitas atau perilaku menyimpang merupakan bukti kegagalan kelompok - kelompok sosial konvensional untuk mengikat individu agar tetap conform, seperti keluarga, sekolah atau institusi pendidikan dan kelompok - kelompok dominan lainnya.

iii. Setip individu seharusnya belajar untuk conform dan tidak melakukan tindakan menyimpang atau kriminal.

iv. Kontrol internal lebih berpengaruh daripada kontrol ekternal.

Masih berdasarkan proposisi, Hirschi dalam Atmasasmita (1992) kurang lebih ada empat unsur utama didalam kontrol sosial internal, yaitu attachement

(kasih atau partisipasi); commitment (tanggung jawab), involvement (keterlibatan atau partisipasi) dan believe (kepercayaan dan keyakinan). Keempat unsur tersebut dianggap merupakan social bonds yang berfungsi untuk mengendalikan perilaku individu.

Attachement atau kasih sayang adalah sumber kekuatan yang muncul dari hasil sosialisasi di dalam kelompok primernya (misalnya keluarga), sehingga individu punya komitmen kuat untuk patuh pada aturan. Terkait dengan kasih


(29)

sayang, Formm dan Schindler dalam Horton dan Hunt (1996 : 277) menjelaskan bahwa salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang atau rasa dicintai. Pandangan psikiatrik berpendapat bahwa barangkali penyebab gangguan emosional, masalah perilaku dan bahkan kesehatan fisik terbesar adalah ketiadaan cinta, yakni tidak adanya kehangatan, hubungan kasih sayang dalam satu lingkungan asosiasi yang intim. Sejalan dengan yang dijelaskan oleh Formm dan kawan - kawannya, Soekanto (1990 : 18) menjelaskan bahwa mempersiapkan masa depan anak dengan pada ketertiban belaka, maka hal ini akan menimbulkan pemberontakan dalam diri anak tersebut. Mereka juga memerlukan ketentraman, berdasarkan kasih sayang yang diberikan secara langsung dan tidak diwakilkan pada kerabat atau bahkan mungkin pada pembantu. Penelitian serupa, Eggan dan Dai dalam Horton dan Hunt (1996 : 98) menunjukkan bahwa suasana mesra dan penuh kasih sayang dalam dunia yang hangat dan aman ternyata sangat mempengaruhi perilaku dan kepribadian seseorang anak remaja.

Commitment atau tanggung jawab yang kuat pada aturan yang dapat memberikan kerangka kesadaran tentang masa depan. Bentuk komitmen ini antara lain berupa kesadaran bahwa masa depannya akan suram apabila ia melakukan tindakan menyimpang. Contohnya seorang mahasiswa yang memilki rasa tanggung jawab pada dirinya sendiri dan keluarganya tidak akan membuat kekacauan di kampus atau diluar kampus seperti misalnya berantam, menggunakan obat terlarang selama mahasiswa tersebut sadar bahwa tindakan tersebut akan merusak masa depannya. Sehingga dengan adanya kesadaran


(30)

tersebut seorang mahasiswa tersebut cendrung untuk menahan dirinya untuk melakukan tindakan yang menyimpang.

Involvement (keterlibatan)artinya dengan adanya kesadaran tersebut, maka individu akan terdorong berperilaku partisipatif dan terlibat di dalam ketentuan - ketentuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Intensitas keterlibatan seseorang terhadap aktivitas - aktivitas normatif konvensional dengan sendirinya akan mengurangi peluang seseorang untuk melakukan tindakan - tindakan melanggar hukum. Horton dan Hunt (1996 : 202) mengungkapkan bahwa, semakin tinggi tingkat kesadaran akan salah satu lembaga kemasyarakatan, seperti gereja, sekolah, dan organisasi setempat, maka semakin kecil pula kemungkinan baginya untuk melakukan penyimpangan. Sejalan dengan diatas, Friday dan Hage dalam Horton dan Hunt (1996 : 204) menyatakan “jika para remaja memiliki hubungan kekerabatan, masyarakat, pendidikan, dan peranan kerja yang baik, maka mereka akan terbina untuk mematuhi norma - norma yang dominan.

Belive atau kepercayaan, kesetian, dan kepatuhan pada norma-norma sosial atau aturan masyarakat pada ahirnya akan tertanam pada diri seseorang dan itu berarti aturan sosial telah self enforcing dan ekstensinya (bagi setiap indivindu) juga semakin kokoh (Bagong, 2004 : 109 - 116). Reckless dalam Henslin (2006 : 154) mendefenisikan bahwa Belive dalam hal ini adalah adanya keyakinan terhadap tindakan moral tersebut salah. Sehingga dengan adanya perasaan yang demikian kecenderungan seseorang untuk melakukan penyimpangan akan berkurang. Di lain pihak, Horton dan Hunt (1996 : 202) juga mengatakan bahwa kepercayaan dalam hal ini mengacu pada norma yang dihayati; semakin kuat


(31)

kepercayaan seseorang, maka semakin kecil kemungkinan terjadinya penyimpangan. Contoh, seorang anak remaja tidak akan ikut bergabung dengan kelompok Geng Motor dan melakukan tindakan anarkis apabila dia mempunyai kesadaran dan keyakinan bahwa tindakan - tindakan yang dilakukan oleh Geng Motor itu adalah suatu tindakan yang menyimpang dari nilai - nilai dan moral masyarakat.

Menurut sosiolog, Gottfreson dan Hirschi dalam Henslin (2006 : 154) teori tentang kontrol sosial dapat diringkas sebagai pengandalian diri. Kunci kearah pembelajaran pengendalian diri yang tinggi ialah sosialisasi, khususnya dimasa kanak-kanak. Para orang tua dapat membantu anak mereka untuk mengembangkan pengendalian diri dengan jalan mengawasi mereka dan menghukum tindakan mereka yang menyimpang. Berbeda dengan pendapat Gottfreson dan Hirschi, Roucek (1987 : 2 - 3) mengungkapkan bahwa pengendalian sosial dan pengendalian diri itu berbeda, walaupun keduanya berkaitan erat. Pada taraf pribadi, pengendalian sosial mengacu pada usaha untuk mempengaruhi pihak lain. Pengendalian diri mengacu pada usaha untuk mempengaruhi atau membimbing perilaku pribadi tersebut menjadi anggotanya. Dengan demikian, dari sudut pandang tersebut, pengendalian sosial mengacu pada dan berasal dari pengendalian diri. Oleh karena itu harus ada pembedaan antara pengendalian diri dengan pengendalian sosial, namun keterkaitannya haruslah diakui.


(32)

2.2. Teori Perspektif Interaksi Simbolik

2.2.1. Teori Reaksi Masyarakat atau Teori Pemberian Lebel

Horton dan Hunt (1996 : 206) Teori pemberian cap (lebeling theory) memusatkan perhatian pada para pembuat peraturan dan pelanggar peraturan. Pemberian cap pada seseorang seringkali mengubah perlakuan masyarakat terhadap orang itu dan jaring - jaringan hubungannya. Hal tersebut mendesak orang yang semula hanya melakukan penyimpangan primer (perbuatan menyimpang yang dilakukan seseorang, bersifat temporer dan orang yang melaukan penyimpangan tersebut masih dapat diterima secara sosial), ahirnya melakukan penyimpangan skunder (penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok secara berulang - ulang bukan menjadi kebiasaan yang secara umum tidak bisa ditoleransi oleh masyarakat) sehingga seluruh gaya hidup orang itu diwarnai oleh penyimpangan semata.

Sejalan dengan, Horton dan Hunt, Henslin (2006 : 155 - 156) menjelaskan bahwa teori pemberian lebel (lebeling theory), yang menempatkan fokus pada signifikasi lebel (nama, reputasi) yang diberikan kepada kita. Lebih cendrung menjadi bagian dari konsep diri kita dan membantu kita ke jalur yang mendorong ke penyimpangan ataupun mengalihkan kita darinya. Sebagian besar diantara kita melawan upaya pemberian lebel pada kita sebagai penyimpang, namun ada orang-orang yang menggemari suatu identitas menyimpang (merangkul penyimpangan). Salah satu contoh yang merangkul penyimpangan ialah Geng Sepeda Motor. Watson dalam Henslin (2006 : 156) melakukan obeservasi partisipatif terhadap para pengendara sepeda motor yang melanggar hukum. Ia merenovasi motor


(33)

Harley bersama mereka, berkeliaran di sekitar bar dan rumah mereka, dan ikut dalam melakukan ekspedisi bersama mereka. Ia menyimpulkan bahwa para pengandara motor pelanggar hukum memandang bahwa dunia bersifat “mengancam, lemah, dan banci”. Mereka membanggakan diri mereka yang nampak “kotor, jahat, dan pada umumnya tidak disukai” dan memperoleh kesenangan dengan jalan memprovokasi reaksi terkejut orang lain melalui penampilan mereka. Dengan memandang rendah dunia konvensional mereka pun membanggakan diri mereka karena terlibat dalam masalah, menertawakan maut, dan memperlakukan perempuan sebagai mahluk lebih rendah, yang nilai umumnya hanyalah untuk melayani mereka terutama dalam hal seks. Para pengendara motor pelanggar hukum tersebut pun menganggap diri mereka sebagai pencundang, suatu faktor yang terjalin dengan dirangkulnya penyimpangan secara tidak lazim.

2.2.2. Teori Perilaku Sosial (Behaviorial Sociology)

Konsep dasar behaviorial sociology adalah “reinfocement” yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward). Tak ada sesuatu yang melekat dalam obyek yang dapat menimbulkan ganjaran. Suatu perilaku tidak akan diulagi apabila tidak memiliki efek terhadap aktor yang melakukan tindakan/perilaku tersebut. Perulangan tingkah laku dirumuskan dalam pengertian terhadap aktor. Suatu ganjaran yang tidak membawa pengaruh terhadap aktor tidak akan diulang (Ritzer, 1985 : 81 - 86). Contoh yang sederhana adalah tentang makanan. Makanan dapat dinyatakan sebagai ganjaran umum dalam masyarakat. Tapi bila


(34)

menentukan: apakah ganjaran yang akan diperoleh itu yang menyebabkan perulangan tingkah laku? bila aktor telah kehabisan makanan, maka ia akan lapar dan makanan akan berfungsi sebagai pemaksa. Sebaliknya bila ia baru saja makan, tingkat kerugiannya menurun sehingga makanan tidak menjadi pemaksa yang efektif terhadap perulangan tingkah laku.

Berbeda dengan pandangan Skinner, Lewis dan Smith dalam Ritzer dan Goodman (2008 : 268) mengatakan bahwa dalam teori behavorisme terbagi menjadi dua basis, yaitu: Behaviorisme sosial yang dikembangkan oleh Herbert Mead, dan beaviorisme radikal yang dikembangkan oleh Jhon B. Watson.

Behaviorismeradikal Watson memusatkan perhatian perilaku individu yang dapat diamati. Sasaranya perhatiannya adalah pada stimuli atau perilaku yang mendatangkan respon. Penganut behaviorisme radikal menyangkal atau tak mau menghubungkan proses mental yang tersembunyi yang terjadi di antara saat stimuli dipakai dan respon dipancarkan. Mead mengakui arti penting perilaku yang dapat diamati, tetapi dia juga merasa bahwa ada aspek tersembunyi dari perilaku yang diabaikan oleh behaviorisme radikal. Dalam menganalisis tindakan Mead hampir sama dengan pendekatan behaviorisme dan memusatkan perhatian pada rangsangan (stimulus) dan tanggapan (response). Tetapi stimulus disini tidak menghasilkan respon manusia secara otomatis tanpa dipikirkan. Mead dalam Ritzer dan Goodman (2008 : 274 - 276) mengindetifikasi empat basis dan tahap tindakan yang saling berhubungan, yaitu:

Implus. Tahap pertama adalah dorongan hati/implus (impulse) yang meliputi “stimulasi/ rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indra” dan


(35)

reaksi aktor terhadap rangsangan, kebutuhan untuk melakukan sesuatu terhadap rangsangan itu. Contoh, rasa puas adalah contoh dari Impuls. Anggota Geng Motor yang merasa puas bila tindakan atau perilaku mereka dapat mengundang perhatian banyak masyarakat. Atau bisa juga seseorang yang banyak bergaul dengan teman - temannya yang sebagian besar adalah anggota Geng Motor, akhirnya mempengaruhi dan memberikan dorongan pada aktor untuk ikut bergabung dengan kelompok Geng Motor.

Persepsi. aktor menyelidiki dan bereaksi terhadap rangsangan yang berhubungan dengan implus. Persepsi ini melibatkan rangsangan yang baru masuk maupun citra mental yang ditimbulkannya. Aktor tidak secara spontan menilainya melalui bayangan mental. Manusia tidak hanya tunduk pada rangsangan dari luar, mereka juga secara aktif memilih ciri - ciri rangsangan mungkin mempunyai beberapa dimensi dan aktor mampu memilih diantaranya. Contoh, dalam hal ini rasa bangga, puas dan dorongan diri untuk bergabung dengan sebuah kelompok sosial seperti Geng Motor dan dengan adanya dukungan sarana (sepeda motor) ahirnya aktor berhadapan dengan banyak rangsangan yang ahirnya aktor dengan kapasitasnya untuk memilih bergabung dengan Geng Motor atau tidak.

Manipulasi. Mengambil tindakan berkenaan dengan objek yang dipahaminya. Contoh, setelah memutuskan bergabung dengan sebuah kelompok sosial seperti Geng Motor, langkah selanjutnya adalah mengambil tindakan berkenaan dengan objek Geng Motor tersebut. Seperti misalnya, apabila salah satu anggota dari kelompok Geng Motor membuat suatu tindakan/perilaku (ngetrack,


(36)

membuat keributan, bentrok), maka aktor yang baru bergabung juga ikut-ikutan untuk melakukan hal yang sama dengan anggota Geng Motor tersebut.

Konsumasi. Tahap terahir adalah tahap pelaksanaan atau mengambil tindakan yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya.

2.3. Jenis - Jenis Lembaga Pengendalian Sosial 2.3.1. Keluarga

Horton dan Hunt (1996 : 276) mendefenisikan bahwa, keluarga merupakan kelompok primer (primary group) yang pertama dari seorang anak dan dari situlah pengembangan kepribadian bermula. Ketika anak sudah cukup umur untuk memasuki kelompok primer lain diluar keluarga, pondasi dasar kepribadiannya sudah diarahkan dan terbentuk. Survei yang dilakukan oleh Yankelovich, dkk dalam Horton dan Hunt (1996 : 104) menunjukkan bahwa sekalipun terdapat dorongan yang kuat untuk suatu perubahan dikalangan remaja masa kini, namun pada dasarnya mereka dapat menyetujui nilai-nilai dasar orang tua mereka.

2.3.2. Adat

Adat istiadat merupakan salah satu bentuk pengendalian sosial tertua. Kalau hukum selalu dibentuk dan ditegakkan, maka adat - istiadat merupakan tata cara yang berangsur - angsur muncul tanpa adanya suatu keputusan resmi maupun pola penegakan tertentu. Dalam masyarakat bersahaja terdapat pengendalian yang bersifat mutual dan adat - istiadat sekaligus bersifat demokratis maupun totaliter. Hal ini bersifat demokratis oleh karena dibuat oleh kelompok, setiap orang berperan dalam pertumbuhannya, setiap orang mempunyai sikap tertentu terhadapnya, dan hal itu dapat ditafsirkan menurut perkembangan yang terjadi.


(37)

Adat istiadat juga bersifat totaliter, oleh karena mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia. Sehingga selama adat - istiadat serta merta tetap bertahan maka adat - istiadat itu merupakan ikatan yang paling kuat dalam membentuk suatu tertib sosial (Soekanto, 1985 : 112 - 113). Sejalan dengan Soekanto, Reucek dalam Soekanto (1987 : 11) mengatakan bahwa, di masyarakat yang statis, adat - istidat merupakan sarana yang kuat untuk mempengaruhi dan mengendalikan individu yang menyimpang dari nilai-nilai dan norma masyarakat.

2.3.3. Lembaga Penegak Hukum

Lembaga Penegak Hukum di negara kita adalah pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian. Lembaga ini secara formal tugas dan fungsinya diatur dalam undang - undang. Namun, apabila kita cermati tugas dan fungsinya ternyata mempunyai dampak positif sebagai pengendalian sosial/kontrol sosial (Wahyuni, 2004). Dilain pihak, Prodjodikoro dalam Soedjono (1981 : 91) merumuskan bahwa, “hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang - orang manusia atau badan - badan, baik badan hukum maupun bukan sebagai anggota masyarakat”. Dalam masyarakat yang kompleks, dimana kontrol sosial yang

informal dengan cara-cara seperti mengolok - olok, mengucilkan sudah tidak efektif lagi diterapkan maka salah satu cara terbaik utuk mengendalikan dan mengawasi perilaku masyarakatnya adalah melalui lembaga - lembaga hukum. 2.3.4. Lembaga Pendidikan

Lembaga Pendidikan sangat besar andilnya dalam keikutsertaan sebagai lembaga pengendalian sosial, khususnya terhadap peserta didik dan umumnya


(38)

bahwa kontrol langsung di sekolah bersumber pada kepala sekolah dan guru. Merekalah yang menentukan kelakukan yang bagaimana yang diharapkan dari murid - murid. Bila anak - anak melanggar peraturan, guru - guru dapat menggunakan otoritas untuk menindak murid itu sehingga tidak akan mengulanginya lagi.

2.3.5. Lembaga Keagamaan

Lembaga Agama merupakan sistem keyakinan dan peraktek keagamaan yang penting dari masyarakat yang telah dilakukan dan dirumuskan serta dianut secara luas dan dipandang sebagai perlu dan benar (Horton dan Hunt, 1996 : 304). Lembaga keagamaan sering kali diyakin oleh masyarakat sebagai agent of social control yang sangat efektif untuk mengurangi, mengandalikan banyaknya perilaku menyimpang ditengah masyarakat yang semakin kompleks, karena ajaran - ajaran agama itu sendiri adalah nilai - nilai dan moral yang nilai - nilainya juga diadopsi oleh hukum dalam membuat suatu peraturan - peraturan tertentu dalam mengatasi banyaknya perilaku menyimpang di masyarakat. Hal ini dapat kita lihat contohnya dalam agama kristen, dimana dalam agama kristen telah jelas memiliki nilai - nilai dan norma beserta doktrin - doktrinnya yang sangat menentang tentang adanya perilaku menyimpang, seperti misalnya jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berjinah, dan lain - lain.

2.3.6. Lembaga Kemasyarakatan

Keberadaan Lembaga Kemasyarakatan seperti halnya RT, RW, LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), BPD (Badan Perwakilan Desa) dan BKM (Badan keswadayaan Masyarakat) dalam kehidupan masyarakat yang


(39)

semakin k lembaga k berpengar sosial kem (Wahyuni 2.4. Pe Be [Stiadi da Bagong, W (2004)], y 2.4.1. Ca Ca kompleks kontrol sosi ruh, berwib masyarakata , 2004). S engendalian erdasarkan c an Kolip (2 Wahyuni (20 yaitu:

ara Persuas ara persuasif Agent ko

sangat pen ial di tingk awa, terper an sebagaia

Skema 2. 1. n Sosial Ber caranya pen 2010 : 264) 004), Horto

sif

if dilaksanak

ontrol sosial

nting artiny katan paling rcaya dilapi an besar dis

Konsep Ag

rdasarkan ngendalian s

), Basrowi on dan Hunt

kan dengan

ya, sebab l g bawah. M

isan bawah selesaikan o

gen Kontrol

Caranya sosial dapat

(2005 : 98 t (1996 : 18

n membujuk

       Kelua

       Aga

  Penegak H

    Pendidik

  Lembaga  Kemasyara

Adat, tokoh y media massa

lembaga in Melalui toko

h ini, persoa oleh masya

l Sosial

t dibagi men 8), Soekant 88), Berger

k dan menga rga 

ma 

Hukum 

an 

katan 

yang dituakan,  dll 

nilah merup oh - tokoh alan - pers arakat itu se

njadi dua b to (1990 : r dalam Wah

ajak secara pakan yang soalan endiri bagian 206), hyuni halus


(40)

dan norma - norma sosial yang berlaku di masyarakat. Biasanya cara ini dilaksanakan pada masyarakat yang kondisinya relatif tentram (Basrowi, 2005 : 98). Secara lebih detail, Setiadi dan Kolip (2010 : 264) mendefenisikan bahwa pengendalian sosial secara persuasif adalah dengan cara mempengaruhi sekelompok orang agar orang yang dipengaruhi mau melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu sesuai dengan kehendak dari pihak yang dipengaruhi, dihimbau untuk tidak melakukan sesuatu sesuai dengan pihak yang mempengaruhi.

2.4.2. Cara Coersif (coercion)

Cara ini dilaksanakan dengan kekerasan fisik atau dengan cara ancaman. Pengandalian sosial dengan cara kekerasan fisik biasanya menimbulkan korban dan dendam. Contoh polisi terpaksa memukul, menendang bahkan menembak para demonstran yang dengan sengaja menyerang aparat keamanan (Wahyuni, 2004). Sejalan dengan yang diungkapakan Wahyuni. Hal serupa juga diungkapakan oleh, Backman dalam Horton dan Hunt (1996 : 188) yang mengatakan bahwa manusia cenderung mematuhi orang yang berotoritas, maka penjaga keamanan diberi pakaian seragam yang memberi kesan resmi. Dilain pihak, Reucek dalam Basrowi (2005) mengungkapkan bahwa pengendalian secara

coercive lebih sering digunakan pada masyarakat yang mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena dalam kondisi berubah, pengendalian soisial juga dapat berfungsi untuk membentuk kaidah - kaidah yang baru untuk menggantikan kaidah yang lama. Sementara itu, Berger dalam Bagong (2004 : 147), menyatakan bahwa di berbagai komunitas cara - cara kekerasan dapat digunakan secara resmi


(41)

dan sah manakala cara paksaan gagal dalam mengendalikan perilaku menyimpang yang terjadi di masyarakat. Kerusuhan yang telah berkembang menjadi anarki. Misalnya, sering kali secara terpaksa dibubarkan dan dibatasi oleh aparat petugas dengan cara kekerasan, seperti melempar gas air mata atau membubarkan massa yang berkumpul dengan pukulan pentungan. Kalangan masyarakat umum cukup sering terpaksa menggunakan kekerasan untuk menegakkan norma - norma sosial yang berlaku.

Dari kedua cara diatas menurut Soekanto (1990 : 206), cara mana yang terbaik dalam mengandalikan berbagai perilaku menyimpang di masyarakat adalah tergantung pada situasi yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai. Jangka waktu juga menjadi hal yang sangat penting dalam penyelesaian, mengatasi dan mengawasi banyaknya perilaku menyimpang yang terjadi di masyarakat.

Metode kontrol sosial bervariasi menurut tujuan dan sifat kelompok yang bersangkutan. Disamping berbagai mekanisme seperti desas - desus, mengolok - ngolok mengucilkan, menyakiti, bentuk pengendalian sosial juga bisa dilakukan melalui idieologi, bahasa, seni, rekreasi, organisasi rahasia, cara - cara tanpa kekerasan, kekerasan dan teror, pengendalian ekonomi, perencanaan ekonomi dan sosial.

Roucek dalam Wahyuni (2004) berpendapat bahwa pengendalian sosial pada dasarnya bisa dijalankan melalui institusi atau tidak, ada yang dilakukan secara lisan dan secara simbolis, ada yang dilakukan secara kekerasan, ada yang


(42)

menggunakan hukuman dan ada pula yang digunakan dengan cara pemberian imbalan, serta ada yang bersifat formal dan ada yang bersifat informal.

Didalam kelompok primer atau komunitas yang relatif akrab dimana satu sama lain saling kenal secara personal, mekanisme kontrol umumnya dilakukan dengan cara langsung oleh anggota komunitas itu sendiri secara keseluruhan. Tentang bentuknya bisa berupa mekanisme persuasif, menertawakan, pergunjingan, atau penghinaan. Berbeda dengan daerah perkotaan dimana antar anggota masyarakat saling acuh, individualis, dan rata - rata bersikap tidak mau mencampuri urusan orang lain, didaerah pedesaan yang masih tradisional nyaris apapun tindakan dan tingkah laku yang dilakukan oleh anggota warga masyarakat akan ketahuan oleh semua warga yang ada. Jika ada suami istri yang mencoba selingkuh atau menyeleweng, niscaya kesempatan ke arah itu relatif kecil karena semua warga desa itu pasti akan semua tau dan akan memperjuangkannya . Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Seokanto, Berger dalam Wahyuni (2004) mengatakan bahwa mengolok - olok dan perguncingan adalah kontrol sosial yang kuat didalam kelompok primer. Disamping itu, mekanisme yang telah efektif untuk menegakkan tertib sosial didalam komunitas primer adalah moralitas, adat - istiadat, dan tata sopan santun. Seseorang yang dinilai sering bersikap tidak sopan, biasanya jarang diundang ke dalam berbagai pertemuan warga desa. Disisi lain jika ada seseorang bertindak amoral, seperti berzinah maka dia bukan saja dikucilkan, tetapi tak jarang juga akan diberikan sanksi yang betul - betul memalukan sehingga membuat orang lain yang mau berbuat demikian akan berpikir seribu kali untuk melanggarnya.


(43)

2.5. Teknik Pengendalian Sosial

Setiadi dan Kolip (2010 : 265) mengungkapkan bahwa pengendalian sosial dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu sebagai berikut:

2.5.1. Compulsion (Paksaan)

Merupakan teknik pengendalian sosial yang diciptakan untuk memaksa orang untuk mengubah sikapnya yang menyimpang dan secara tidak langsung kembali patuh pada nilai dan norma - norma sosial. Dalam hal ini seseorang atau suatu kelompok tertentu akan merasa dipaksa oleh faktor faktor eksternal untuk melakukan hal - hal yang tidak disetujuinya. Misalnya, seseorang guru memberikan tugas agar para siswanya mengumpulkan tepat waktu, maka guru menentukan batas waktu tertentu jika terlambat, maka hasil tugasnya tidak diterima dan tidak akan diberikan nilai.

2.5.2. Pervasion (Pengisian)

Merupakan teknik yang dilakukan dengan menyampaikan norma dan nilai secara berulang - ulang. Dengan begitu, diharapkan kesadaran seseorang dapat meningkat dan mematuhi norma - norma yang ada.

Terkait dengan kedua cara diatas menurut, Soekanto (1990 : 207) alat yang digunakan dengan teknik ini berbagai macam. Suatu alat tertentu mungkin saja akan efektif bila diterapkan dalam suatu masyarakat yang bersahaja. Akan tetapi, hampir tidak mungkin digunakan pada masyarakat yang telah rumit susunannya. Misalnya, sopan santun dalam hubungan kekerabatan hanya terbatas efektifitasnya pada kelompok - kelompok yang bersangkutan. Sopan santun, umpamanya, dapat


(44)

menantu, antara paman atau bibi dengan keponakan - keponakannya, dan seterusnya.

Soekanto (1990 : 206) mengungkapkan bahwa, pengendalian sosial dengan teknik

pervasion (pengisian) dapat dibagi menjadi dua begian, yaitu :

Pertama, Pengendalian yang bersifat preventif atau prevensi

Merupakan suatu usaha pencegahan terhadap terjadinya gangguan - gangguan pada keserasian antara kepastian dan keadilan. Usaha - usaha preventif, misalnya dijalankan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan informal.

Sejalan dengan Soekanto, Horton dan Hunt (1996 : 178) menyatakan bahwa melalui sosialisasi seseorang menginternalisasikan (menghayati) norma - norma, nilai, dan hal - hal yang tabu dalam masyarakatnya. Menginternalisasikan hal tersebut berarti menjadikannya bagian dari perilaku otomatis seseorang yang dilakukannya tanpa pikir. Orang yang menginternalisasikan suatu nilai secara penuh akan menerapkan nilai tersebut meskipun tidak ada seorang pun yang, melihatnya, karena keinginan untuk melanggar nilai tersebut sangat kecil kemungkinannya dibenak seseorang.

Kedua, Pengendalian sosial yang bersifat represif

Adalah bentuk pengendalian sosial yang bertujuan untuk mengembalikan kekacauan sosial atau mengembalikan situasi deviasi menjadi keadaan kondusif kembali (komformis). Dengan demikian, pengendalian sosial represif merupakan bentuk pengendalian dimana penyimpangan sosial sudah terjadi kemudian dikembalikan lagi agar situasi sosial menjadi normal, yaitu situasi dimana masyarakat mematuhi norma sosial kembali. Contoh:


(45)

a. Polisi menertibkan tawuranan antar desa dengan menggunakan tembakan agar para pelaku tawuran membubarkan diri.

b. Polisi menggrebek rumah kontrakan yang digunakan sebagai tempat penyimpanan ganja.

c. Seorang guru memberikan sanksi kepada siswanya yang bolos belajar (Kolip, 2010)

2.6. Upaya Pengendalian Sosial

Menurut keontjaraningrat dalam Wahyuni (2004 : 153) terdapat lima upaya pengandalian sosial, yaitu:

a. Mempertebal keyakinan para warga masyarakat akan kebaikan adat istiadat dalam berbagai masyarakat melalui pendidikan, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat maupun sekolah. Tujuan pendidikan dalam lingkungan keluarga adalah untuk meletakkan dasar norma bagi anak dan untuk mempertebal keyakinan pada norma yang berlaku merupakan peran dari masyarakat dan sekolah. Mempertebal keyakinan pada norma ini juga dapat dilakukan dengan sugesti sosial yaitu mempengaruhi perilaku seseorang lewat cerita dongeng perjuangkan pahlawan yang mengandung nilai moral, dan menonjolkan norma - norma tertentu kemudian membandingkannya dengan norma-norma lain yang berlaku pada masyarakat lainnya. Beberapa yang ditempuh dalam rangka mempertebal keyakinan masyarakat terhadap norma sosial diantaranya : (1) melalui pendidikan, (2) sugesti sosial, dan (3) menonjolakan kelebihan norma - norma (Kolip, 2010 : 268).


(46)

b. Memberi penghargaan kepada warga masyarakat yang mematuhi adat istiadat supaya mereka tetap berbuat baik dan selanjutnya menjadi contoh bagi warga selanjutnya.

c. Mengembangkan rasa malu dalam jiwa warga masyarakat yang tidak mematuhi adat istiadat. Biasanya kegiatan yang dianggap menyimpang dari norma akan mendapat celaan dari warga masyarakat dan hal ini akan mempengaruhi jiwa seseorang yang melakukan penyimpangan tersebut. Untuk mengembangkan rasa malu juga dapat - dilakukan dengan gosip, dengan begitu pelaku penyimpang juga akan merasa malu dan merubah perilakunya.

d. Mengembangkan rasa takut dalam jiwa masyarakat yang hendak menyeleweng dari adat dengan ancaman dan kekerasan. Dengan begitu, seseorang akan menghindarkan diri dari suatu perbuatan yang diaggap menyimpang dan mengandung resiko jika dia melanggarnya.

e. Memberlakukan hukuman yang merajuk pada sistem hukum yang ada dengan mengenakan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Wujudnya berupa hukuman pidana, kompensasi, terapi dan konsiliasi. Seseorang yang melakukan tindak pidana akan menerima hukuman pidana yaitu dalam bentuk hukuman penjara, sedangkan dalam bentuk kompensasi, seseorang yang melakukan penyimpangan diharuskan membayar sejumlah uang kepada pihak yang dirugikan akibat perbuatannya. Dalam hal konsiliasi, pengendalian sosial dilakukan dengan kompromi yaitu dengan mengundang pihak ketiga sebagai penengah dalam menyelesaikan persoalan dua pihak yang bersengketa.


(47)

Berbeda dengan pengendalian sosial yang lainnya, terapi merupakan bentuk pengendalian sosial yang muncul karena inisiatif dari pelaku untuk memperbaiki dirinya sendiri dengan meminta bantuan pihak lain (Wahyuni, 2004 ; 144 - 154).

2.7. Kelompok Sosial

Sherif dalam Soedjono (198 : 47) mendefenisikan bahwa, kelompok sosial adalah suatu kesatuan sosial yang terdiri atas dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur sehingga diantara individu sudah terdapat pembagian tugas, struktur dan norma - norma tertentu yang khas bagi kesatuan sosial tersebut. Jadi kelompok sosial dapat terdiri atas hanya dua individu seperti suami istri dan dapat pula ratusan orang - orang dengan syarat telah terjadi interaksi sosial diantara mereka. Sejalan dengan yang diungkapkan Sherif, Sunarto (1993 : 53) mengatakan bahwa, kelompok sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung didalamnya. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Seokanto (1990 : 116) bahwa, semua manusia pada awalnya merupakan anggota kelompok sosial yang dinamakan keluarga, walaupun anggota - anggota keluarga tadi selalu menyebar, pada waktu tertentu meraka pasti akan berkumpul seperti misalnya pada makan pagi, siang dan malam.


(48)

Tipe - tipe kelompok sosial [Soekanto (1990 : 136), Bagong (2010 : 28)] diantaranya adalah:

I. Kelompok Formal (Formal Group)

Seokanto (1990 : 136) mendefenisikan bahwa kelompok formal (formal group) adalah kelompok - kelompok yang mempunyai peraturan yang tegas dan dengan sengaja diciptakan oleh anggota - anggotanya untuk mengatur hubungan antar anggota - anggotanya. Sejalan dengan Seokanto, Bagong (2010 : 28) menyatakan bahwa kelompok formal (formal group) merupakan organisasi kelompok yang mempunyai peraturan yang tegas dan dengan sengaja dibuat oleh anggota - anggotanya untuk ditaati serta untuk mengatur hubungan antar anggotanya. Loyalitas anggota bukan pada kelompok melainkan pada peraturan, terdapat struktur organisasi yang jelas, terdapat hierarki diantara anggota kelompok oleh karena terdapat pembatasan tugas dan wewenang. Contoh, perkumpulan pelajar, himpunan wanita suatu instansi pemerintah, persatuan sarjana - sarjana dari suatu perguruan tinggi tertentu, dan lain - lainya.

II. Kelompok Informal (Informal Group)

Seokanto (1990 : 136) mendefenisikan bahwa kelompok informal (informal group) adalah kelompok yang tidak mempunyai struktur dan organisasi tertentu atau pasti. Kelompok - kelompok tersebut biasanya terbentuk karena pertemuan yang berulang kali dan itu menjadi dasar bagi bertemunya kepentingan - kepentingan dan pengalaman yang sama. Sejalan dengan Soekanto, Bagong (2010 : 28) mengungkapkan bahwa, kelompok


(49)

informal (informal group) merupakan organisasi kelompok organisasi yang tidak resmi serta tidak mempunyai struktur dan organisasi yang pasti, jadi kelompok ini tidak didukung oleh peraturan - peraturan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga secara tertulis. Biasanya kelompok ini terbentuk atas dasar pengalaman - pengalaman dan kepentingan - kepentingan yang sama dari anggotanya.

Sifat interaksinya (hubungan timbal balik) berdasarkan saling mengerti yang lebih mendalam karena pengalaman - pengalaman dan pandangan yang sama. Karena tidak mengenal peraturan tertulis, maka loyalitas anggota pada anggota kelompok lain besar sekali, para anggotanya mengenal secara pribadi dan sering bertemu muka dengan anggota lainnya. Contoh, clique yang merupakan suatu kelompok kecil tanpa struktur formal yang sering timbul dalam kelompok - kelompok besar. clique tersebut ditandai dengan adanya pertemuan - pertemuan timbal balik antara anggotanya, biasanya hanya bersifat antara kita saja.

2.8. Geng

Istilah geng umumnya dipakai untuk kelompok yang lebih besar dan terbatas pada kelompok yang kecil. Defenisi tentang geng sangat jelas identik dengan kehidupan berkelompok. Hanya saja geng memang memiliki makna yang sedemikian negatif. Geng bukan sekedar kumpulan remaja yang bersifat informal. Geng dalam bahasa inggris adalah sebuah kelompok penjahat yang terorganisasi secara rapi. Dalam sebuah konsep yang moderat, geng merupakan sebuah


(50)

menyebabkan keributan. Kaum remaja yang terlibat dalam kehidupan geng sebenarnya sedang mengalami distorsi komunikasi. Kaum remaja tidak mampu memahami atau sengaja tidak sudi untuk menyepakati aturan - aturan budaya, masyarakat, dan komunitas tempat berfungsinya dengan baik.

Dalam skripsi Hutabarat (2011) menyatakan bahwa, hal kenakalan remaja yang terbentuk dalam suatu geng - geng atau gerombolan - gerombolan anak muda, fokusnya bukan lagi pelanggaran individu tetapi sudah terhadap kelompok sebagai keseluruhan dalam arti bahwa kolektifitas itu dipandang sebagai suatu kesatuan yang mengandung kualitas - kualitas diluar jumlah individu anggota semata - mata.

Berdasarkan pengertian dari kelompok sosial dan geng yang telah dikemukakan diatas maka dapat dijelaskan bahwa Geng Motor adalah salah satu contoh dari sekian banyak kelompok sosial, dimana anggotanya terdiri dari orang - orang yang memiliki kecintaan terhadap motor atau balap motor dan biasanya anggotanya terdiri dari kebanyakan dari laki - laki remaja, diikat oleh persamaan tujuan, hobi, memiliki struktur yang terorganisir. Namun seiring dengan banyaknya Geng Motor yang dalam aktivitas - akitivitasnya yang banyak meresahkan masyarakat, seperti merampok para pengguna jalan, kebut - kebutan di jalan, dan bahkan baru - baru ini ada yang sampai membunuh. Ahirnya masyarakat memberikan penilaian negatif terhadap Geng Motor tersebut, sehingga Geng Motor yang dulunya dimata masyarakat adalah kelompok sosial yang sering disebut sebagai Club Motor sekarang berubah menjadi kelompok sosial informal (Geng Motor) yang menyimpang.


(51)

2.9. Pe Se masyaraka dimana tin dan norma (1984 : 1 tindakan y penerapan tersebut. P pelanggara dan Sagar menyimpa Cara penge sosial  S erilaku Me cara umum at baik yan ngkah laku a yang berl 91) menera yang dilakuk n sanksi ya

Penyimpang an terhadap rin dalam H ang merupa endalian 

Skema 2. 2. enyimpang m perilaku

ng dilakuka itu melang laku di mas angkan bah

kan orang, ang dilakuk

gan adalah p norma - n

Hoton dan akan salah s Preventive (se penyimpanga

Persuasif  

Represif (sesu penyimpanga

Coersive (pak kekerasan fisi

Konsep Pe

menyimpan an secara p ggar dan di

syarakat ter hwa, penyim

melainkan kan oleh o h setiap per norma kelom

Hunt (198 satu cara un ebelum terjadi  an)

udah terjadi  an) 

ksaan,  ik)

engendalian

ng dapat d perorangan ianggap me rtentu. Beck mpangan bu konsekuens rang lain t rilaku yang mpok masy 4 : 193) m ntuk menyes So M m m D pr M se n Sosial diartikan tin maupun s enyimpang ker dalam H ukanlah ku si dari adany

terhadap pe g dinyataka yarakat. Dila menyatakan

suaikan keb osioalisasi, peng

Membujuk, men memberikan imb menertawakan, 

eviasi, membua raturan, memb

k i t

Memukul, meng endiri, menemb

ngkah laku secara kelom

dari nilai -Hoton dan ualitas dari ya peratura erilaku tind an sebagai

ain pihak, C bahwa per budayaan de gawasan  ngajak,  balan,  at  berikan  ghakimi  bak gas air 

u dari mpok nilai Hunt suatu n dan dakan suatu Coser rilaku engan


(52)

182) bahwa penyimpangan merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi. Berbeda halnya dengan yang diugkapkan oleh Becker. Maka, Clinard dan Mainer (1989 : 4 - 7) menyatakan bahwa perilaku menyimpang dapat didefenisikan berdasarkan empat sudut pandang, yaitu:

Pertama, secara statistikal. Defenisi secara statisfikal adalah salah satu yang paling umum dalam pembicaraan awam. Adapun yang dimaksud dengan penyimpangan secara statistikal adalah segala perilaku yang bertolak dari suatu tindakan yang bukan rata - rata atau perilaku yang jarang atau tidak sering dilakukan. Pendekatan ini berasumsi bahwa sebagian besar masyarakat dianggap melakukan cara - cara tindakan yang benar. Defenisi ini sulit untuk diterima karena dapat mengarah pada beberapa kesimpulan yang membingungkan. Misalnya, ada kelompok - kelompok minoritas yang memiliki kebiasaan berbeda dari kelompok mayoritas, maka apabila menggunakan defenisi statistikal, kelompok tersebut dianggap sebagai perilaku yang menyimpang.

Kedua, secara absolut atau mutlak. Defenisi perilaku menyimpang yang berasal dari kaum absolutis ini berangkat dari aturan - aturan sosial yang dianggap sebagai suatu yang mutlak atau jelas dan nyata, sudah ada sejak dulu, serta berlaku tanpa terkecuali untuk semua warga masyarakat. Kelompok absolutis

berasumsi bahwa aturan - aturan dasar dari suatu masyarakat adalah jelas dan anggota - anggotanya harus menyetujui tentang apa yang disebut sebagai menyimpang dan bukan. Itu karena standar atau ukuran dari suatu perilaku yang dianggap conform sudah ditentukan terlebih dahulu, begitu juga apa yang disebut


(53)

menyimpang juga sudah ditetapkan secara tegas. Dengan demikian diharapkan setiap orang bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang dianggap benar dan jauh dari perilaku yang dianggap meyimpang. Contoh penerapan defenisi perilaku meyimpang secara absolut, pada umumnya terjadi pada masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat serta nilai - nilai tradisional. Kehidupan gotong - royong dan saling membantu masih sangat kental di lingkungan pedesaan. Apabila ada salah satu ada warga yang tidak mau membantu tetangganya atau enggan ikut gotong - royong ketika di komunitasnya ada hajatan atau kerja bakti, maka dapat dipastikan ia akan dicap menyimpang dari warga masyarakat lainnya.

Ketiga, secara reaktif. Perilaku menyimpang menurut kaum reaktivis bila berkenaan dengan reaksi masyarakat atau agen kontrol sosial terhadap tindakan yang dilakukan seseorang. Artinya apabila reaksi dari masyarakat atau agen kontrol sosial dan kemudian mereka memberi cap atau tanda (lebeling) terhadap si pelaku, maka perilaku itu telah dicap menyimpang, demikian juga si pelaku dikatakan menyimpang. Menurut, Becker dalam Clinard dan Meiner (1989 : 5), penyimpangan adalah suatu akibat yang kepada siapa cap itu telah berhasil, diterapkan: perilaku menyimpang adalah perilaku yang telah dicapkan kepadanya atau orang lain telah memberi cap kepadanya. Dengan demikian apa yang menyimpang dan apa yang tidak tergantung dari ketetapan - ketetapan (reaksi-reaksi) dari anggota masyarakat terhadap suatu tindakan.


(1)

mengamankan 8 orang lainnya dari kawasan Jl. Pintu Air III, Simalingkar. Diantaranya Marco Tarigan (20), Joy Sebayang (20) warga Pasar IV Padang Bulan, Boy Fernando (17) warga Jl. Antariksa, Jonathan (18) warga Jl. Luku, gang Pertemuan, Agus Budiman (18) warga Jl. Bunga Cempaka, Robinson Manalu (19) warga Jl. Pintu Air III, Ari Tanti Bangun (17) warga Pasar I Padang Bulan, Luhut Manalu (19) warga Jl. Pintu Air III dan Arya Aroniat (18) warga Pasar I Padang Bulan. Dari hasil pengembangan, diketahui pula jika kelompok geng motor Kami Punya Kuasa melakukan penjambretan terhadap Sahat Parulian mahasiswa Methodist dan merampas tas berisi laptop axus beberapa waktu lalu. Namun saat diamankan, ke 8 anggota geng motor KPK membantah terlibat aksi perampokan tersebut. Marco Tarigan mengatakan jika dirinya dan rekan-rekannya tak terlibat dalam aksi perampokan. "Kami tak ada ikut-ikutan bang, yang merampok itu si Arya sama si Diva. Kami pun tak tahu pas kami ditangkap di Pintu Air III bang. Memang kami dari Kami Punya Kuasa, tapi hanya kumpul-kumpul ajanya kami bukan merampok." Katanya ketika ditemui di sel tahanan Polsek Medan Baru. Geng motor KPK (Kami Punya Kuasa) telah berdiri satu tahun lebih. Geng motor ini diketuai oleh Diva yang menjadi DPO atas kasus perampokan sepeda motor di sekitar kampus USU. Geng motor KPK ini pula menambah cerita mengenai kian bertumbuhnya "penjahat jalanan" di seputaran kota Medan."Ketuanya si Diva. Kalau si Arya kompaknya si Diva bang. Orang ini nya yang sering merampok, kami tak tahu apa-apa." Tambah Boy yang turut ditangkap berdasarkan hasil pengembangan.

Turut diamankan 4 unit sepeda motor jenis beat dan jupiter tanpa nomor polisi, sebilah pedang dan beberapa body sepeda motor yang sudah terbongkar. Sementara itu Kapolsek Medan Baru Kompol Jean Calvijn Simanjuntak mengatakan jika para anggota geng motor tersebut ditangkap berdasarkan pengembangan dan adanya laporan korban.

http://utamanews.com/view/Keamanan/514/Anggota-KPK-Diamankan-Oleh-Petugas-Polsek-Medan-Baru.html diaskes pada tanggal 16/10/2013, jam 12:44,


(2)

2. Anggota KPK Pakai Samurai Saat Beraksi

Kamis, 11 April 2013 20:58 WIB

Laporan Wartawan Tribun Medan / Indra Gunawan Sipahutar.

TRIBUNNEWS.COM MEDAN- Dalam penangkapan Sembilan orang anggota Geng Motor KPK (kami punya kuasa), Polsek Medan Baru menemukan berbagai barang bukti. Mulai dari samurai, pisau, sepeda motor, handphone polisi juga mengamankan barang barang spearpart sepeda motor. Hal tersebut dikatakan oleh Kapolsek Medan Baru, Kompol Calvin Simanjuntak, Kamis, (11/4/2013).

Sebelumnya, sembilan orang anggota geng motor yang tergabung dalam grub KPK (kami punya kuasa) berhasil dibekuk oleh Polsek Medan Baru. Kesembilan orang itu antara lain, Arya, Luhut, Robinson, Ayub, Marko, Boy, Joy, Aritata dan Jonatan.

Mereka ditangkap pada Selasa, (9/4/2013) malam karena diduga sering sering melakukan aksi perampokan di beberapa jalan di Kota Medan. Kapolsek Medan Baru, Kompol Jean Calvin Simanjuntak mengatakan jika kesembilan orang itu berhasil dibekuk dari pengembangan salah satu anggota yang lebih dulu ditangkap.

“ Pertama yang tertangkap itu namanya Arya, ia kita tangkap karena pada Selasa malam melakukan aksi perampokan di jalan DR Mansyur, Ia ini tergabung dalam anggota geng motor KPK. Dari dirinyalah kita

( http://www.tribunnews.com/regional/2013/04/11/anggota-kpk-pakai-samurai-saat-beraksi Diaskes pada tanggal 16 oktober 2013, Pukul 12 :48 WIB)


(3)

3. Polisi Temukan Samurai Dari Anggota KPK

Kamis, 11 April 2013 20:57 WIB

Laporan Wartawan Tribun Medan / Indra Gunawan Sipahutar.

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN- Dalam penangkapan Sembilan orang anggota geng motor KPK (kami punya kuasa), Polsek Medan Baru menemukan berbagai barang bukti. Mulai dari samurai, pisau, sepeda motor, handphone polisi juga mengamankan barang barang spearpart sepeda motor. Hal tersebut dikatakan oleh Kapolsek Medan Baru, Kompol Calvin Simanjuntak, Kamis, (11/4/2013). Sebelumnya, sembilan orang anggota geng motor yang tergabung dalam grub KPK (kami punya kuasa) berhasil dibekuk oleh Polsek Medan Baru. Kesembilan orang itu antara lain, Arya, Luhut, Robinson, Ayub, Marko, Boy, Joy, Aritata dan Jonatan.

Mereka ditangkap pada Selasa, (9/4) malam karena diduga sering sering melakukan aksi perampokan di beberapa jalan di Kota Medan. Kapolsek Medan Baru, Kompol Jean Calvin Simanjuntak mengatakan jika kesembilan orang itu berhasil dibekuk dari pengembangan salah satu anggota yang lebih dulu ditangkap.

“ Pertama yang tertangkap itu namanya Arya, ia kita tangkap karena pada Selasa malam melakukan aksi perampokan di jalan DR Mansyur, Ia ini tergabung dalam anggota geng motor KPK. Dari dirinyalah kita temukan teman temannya lain yang menempati rumah kontrakan dikawasan Simpang Pos,”ujar Calvin, Kamis, (11/4/2013). ( http://medan.tribunnews.com/2013/04/11/polisi-temukan-samurai-dari-anggota-kpk Diaskes pada tanggal 16 oktober 2013, Pukul 12 :48 WIB)


(4)

4. Markas Genk Motor KPK di Padang Bulan Digerebek

Donny | Jumat, 12 April 2013 - 00:05 WIB

Anggota genk motor KPK bersama sejumlah barang bukti (ilustrasi) yang berhasil digerebek petugas di kawasan Padang Bulan Medan. (kini.co/Ist)

Medan, kini.com, sebanyak delapan anggota geng motor Kami Punya Kuasa (KPK) dibekuk unit Reskrim Polsek Medan Baru, Rabu (10/04/2013) malam. Gerombolan ini dibekuk saat berada di markas Genk Motor KPK di kawasan Jalan Simpang Gudang IX Padang Bulan Medan, Sumatera Utara.

Informasi yang dihimpun di Mapolsek Medan Baru, penangkapan gerombolan genk motor KPK ini berdasarkan pengembangan dari tertangkapnya, Arya, salah seorang anggota Genk Motor Jaringan Pengikut Malaikat (JPM) yang bergabung dengan genk motor KPK.

Arya dibekuk saat merampok motor milik Fitri, mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) di kawasan Jalan Dr Mansyur Medan, Rabu (10/04/2013) malam. Kapolsek Medan Baru Kompol Calvijn Simanjuntak yang dikonfirmasi menjelaskan setelah menangkap Arya, petugas melakukan pengembangan. “Berdasarkan pengakuan Arya dan laporan warga yang menjadi korban genk motor, petugas bergerak cepat sehingga berhasil meringkus delapan tersangka lain,” urai Calvijn, Kamis (11/04/2013). Calvijn menjelaskan petugas belum berhasil meringkus Diva, ketua genk motor KPK yang keburu kabur saat dilakukan penggerebekan. “Gerombolan genk motor ini memanfaatkan uang hasil merampok untuk membeli handphone, laptop, dan untuk kebutuhan biaya berpoya


(5)

- poya,” jelasnya.

Mengenai penadah barang rampokan gerombolan genk motor KPK ini, Calvijn mengakui pihaknya masih melakukan pengembangan dengan menginterogasi para pelaku yang kerap beraksi di wilayah Medan Baru, Sunggal dan Medan Kota. “Hasil sementara interogasi, kita sudah mengantongi sejumlah identitas penadahnya termasuk domisilinya. Sekarang kita sedang melakukan pengembangan,” kata Calvijn.

(http://indonesia.kini.co/2013/04/12/00/05/18/928/markas-genk-motor-kpk-di-padang-bulan-digerebek.html Diaskes pada tanggal 16 oktober 2013, Pukul 12 :48 WIB)

5. Geng Motor KPK Diringkus

MEDAN, Kepolisian Sektor (Polsekta) Medan Baru menghentikan aksi geng motor Kami Punya Kuasa (KPK) ketika hendak merampas motor korbannya di Jalan Dr Mansyur, Rabu (10/4) malam. Setelah mengagalkan aksi kejahat an geng motor KPK yang berjumlah lima orang, polisi berhasil menangkap lagi empat anggota geng motor KPK lainnya di ka wasan Medan Kota. Kesembilan anggota geng motor KPK ini, bernama Luhut, 18; Robinson, 20; Ayub, 21; Marko, 23; Zul, 19; Aritanta, 19; Jonatan, 25; Arya, 22; dan David, 21.

Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsekta) Medan Baru KomIsaris Polisi (Kompol) Jean Cal - vijn Simanjuntak mengatakan, penangkapan tersebut berawal dari polisi yang sedang patroli di Jalan Dr Mansyur melihat geng mo tor KPK hendak merampas motor Honda Beat bernomor po - lisi BK 5623 QAD milik Fitri, 24. Ada sekitar lima pria anggota geng motor KPK menghentikan laju motor Fitri dan mengancam menggunakan senjata tajam. Fitri yang mencoba mem pertahan kan sepeda motor miliknya sempat terseret. “Anggota langsung mengejar dan tertangkaplah dua dari sembilan tersangka ini. Dari pe nangkapan itu kami mengamankan satu samurai milik tersangka Arya, sedangkan Diva (DPO) berhasil melarikan diri,” kata Jean Calvijn. Hal senada diakui korban, Fitri. Dia mengaku mem pertahankan sepeda motornya, sehingga sempat terseret. Sayang, upaya Fitri gagal. Untung ada polisi yang berpatroli dan mengagalkan upaya perampasan sepeda motor tersebut.


(6)

“Mereka mengancam jangan berteriak, jadi saya diam saja. Daripada saya dibacok sama me reka,” tutur Fitri di Ruang Penyidik Polsekta Medan Baru. Calvijn menambahkan, setelah dilakukan penyelidikan dari tersangka Arya ini, terungkaplah anggota geng motor lainnya yakni berjumlah sembilan orang. “Dari kesembilan anggota geng motor ini disita barang bukti tujuh unit sepeda motor, empat samurai, satu unit laptop, empat telepon selular hasil ke - jahatan,” tambah Kapolsekta. Calvijn mengatakan, sebenarnya ada 15 orang anggota geng motor KPK, namun enam orang masih buron.

”Mereka sering berkumpul di Jalan Simpang Gudang, Simpang Pos, dan Padang Bulan,” bebernya. Selanjutnya, sepeda motor hasil kejahatan akan dijualkan kembali ke penadah dan satu sepeda motor utuh dijual Rp2 juta. Geng motor ini juga biasa men jual spare part sepeda motor secara terpisah. dody ferdiansyah (http://www.koran-sindo.com/node/307278 Diaskes pada tanggal 16 oktober 2013, Pukul 12 :48 WIB)