pengembangan sikap-sikap yang sama, walau kadangkala bersifat emosional dengan tujuan untuk mencapai kesatuan,
atau paling sedikit mencapai integrasi dalam organisasi, pikiran, dan tindakan.
Dari uraian di atas jelas bahwa proses asimilai terkait erat dengan pengembangan sikap-sikap dan cita-cita yang
sama. Sehingga perbedaan-perbedaan yang ada dapat melebur menjadi satu karena adanya kepentingan-kepentingan dan
tujuan-tujuan dari kelompok. b. Proses-proses Disosiatif
Menurut Soerjono Soekanto “Proses-proses disosiatif sering disebut sebagai Oppositional processes, yang persis halnya
dengan kerja sama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan
sistem sosial masyarakat yang bersangkutan”
24
. Suatu oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau
sekelompok manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Proses- proses disosiatif diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Persaingan Persaingan merupakan suatu usaha dari seseorang untuk
mencapai sesuatu yang lebih daripada yang lainnya. Sesuatu itu bisa berbentuk harta benda atau suatu popularitas tertentu.
Persaingan biasanya bersifat individu, apabila hasil dari persaingan itu dianggap cukup untuk memenuhi kepentingan
pribadi. Menurut Basrowi “Bentuk kegiatan persaingan ini biasanya didorong oleh motivasi berikut ini untuk mendapatkan
status sosial, memperoleh jodoh, mendapatkan kekuasaan, mendapatkan nama baik, mendapatkan kekuasaan dan lain-
lain”.
25
24
Soerjono Soekanto, Op.cit. h.82
25
Basrowi, Loc.cit, h.146
Dengan kata lain adanya persaingan oleh karena ada perasaan atau anggapan bahwa seseorang itu lebih beruntung
jika tidak bekerja sama dengan orang lain. Karena persaingan merupakan suatu upaya untuk mencapai suatu tujuan dengan
bersaing terhadap yang lain. 2. Kontravensi
Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dengan
pertentangan atau pertikaian. kontravensi dtitandai oleh gejala- gejala adanya ketidakpastian mengenai diri seseorang atau
suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian atau keragu-raguan terhadap kepribadian seseorang.
Kontravensi ini dalam bentuknya seperti keengganan, kebencian, penolakan, perlawanan, protes, gangguan-gangguan
lain, dan bahkan rencana untuk menghalangi pihak lain agar itu tidak terjadi.
Kontravensi apabila dibandingakan dengan persaingan dan pertentangan atau pertikaian, bersifat agak tertutup atau
rahasia. Perang
dingin, misalnya
merupakan bentuk
kontravensi karena tujuannya adalah untuk membuat lawan tidak tenang. Dalam hal ini, pihak lawan tidak diserang secara
fisik, akan tetapi secara psikologis. 3. Pertikaian atau Pertentangan
Pertikaian adalah bentuk persaingan yang berkembang secara negatif, artinya di satu pihak bermaksud untuk
mencelakakan atau paling tidak berusaha untuk menyingkirkan pihak lainny
a. Menurut Soerjono Soekanto “ada beberapa hal yang menjadi penyebab dari pertikaian atau pertentangan
antara lain, Perbedaan antara individu-individu, perbedaan
kebudayaan, perbedaan kepentingan dan adanya perubahan sosia
”.
26
Perbedaan-perbedaan ada di antara masyarakat yang kemudian berkembang menjadi sebuah pertikaian atau
pertentangan, akan tetapi tidak semua bentuk pertikaian disertai dengan tindak kekerasan. Karena pertikaian atau pertentangan
dapat memungkinkan untuk melakukan penyesuaian diri kembali jika fungsi-fungsi nilai dan norma sosial dan toleransi
pribadi masih cukup kuat. Pertikaian akan dapat diselesaikan jika di antara
masing-masing pihak yang bertikai dapat mengintropeksi diri, berusaha dan mau menyadari kesalahan dan kelemahan
masing-masing. Alternatif yang terjadi kemudian diantara yang bertikai dapat hidup berdampingan dengan bekerja sama atau
masing-masing menjauhkan diri secara tegas karena tidak mungkin dilakukan kerja sama.
B. Anak Jalanan
1. Pengertian Anak Jalanan
Ada beberapa pengertian anak jalanan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, antara lain:
a. Anak Jalanan menurut Rano Karno tatkala ia menjabat sebagai Duta Besar UNICEF, yang dikutip oleh Bagong Suyanto
mengatakan bahwa, Anak Jalanan sesungguhnya mereka adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teraliensi dari perlakuan
kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang keras, dan bahkan
sangat tidak bersahabat.
27
Jadi anak jalanan adalah anak yang teraliensi dari perlakukan kasih sayang, sehingga ia sejak usia
anak-anak sudah terlibat dengan dunia dan lingkungan kota dan jalanan.
26
Soerjono Soekanto, op. cit. , h.91.
27
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Jakarta : PT. Kencana Prenada Media Grup,2013.h. 199
b. Menurut Soedijar 1989 dalam buku “Anak Jalanan dan
Kekerasan” dikemukakan bahwa, “Anak jalanan adalah anak-anak
usia 7-15 tahun yang bekerja di jalan raya dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan
orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya ”.
28
c. Menurut Pusat Data dan Informasi Pusdatin Departemen Sosial RI,
“Anak jalanan adalah anak berusia antara 5 tahun sampai dengan 21 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk mencari nafkah, berkeliaran di jalanan maupun di tempat- tempat umum
”.
29
d. Dalam Jurnal Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan yang disusun oleh Armai Arief dikemukakan bahwa: UNICEF memberikan
batasan tentang anak jalanan, yaitu : Street child are those who have abandoned their homes, school and immediate communities
before they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life anak jalanan merupakan anak-anak berumur
dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam
kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya.
30
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa anak jalanan merupakan anak yang berusia di bawah 21 tahun, yang
menggunakan sebagian waktunya di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya. Aktivitas anak jalanan bukan hanya yang bertujuan
mencari uang atau mencari nafkah, tetapi juga aktivitas lain seperti bermain, istirahat, tidur, atau belajar.
28
Heru Prasadja, Murniati Agustian, “Anak Jalanan Kekerasan”’ Jakarta: PKMP Unika Atma Jaya bekerjasama dengan Depsos, 2000, h. 4.
29
Murdiyanto, “Pengaruh Penyuluhan dan Bimbingan Sosial, terhadap Persepsi Stakeholder pada Anak Jalanan di Palembang
” Yogyakarta: Citra Media, 2008, cet 1, h. 14.
30
Armai Arief,
Upaya Pemberdayaan
Anak Jalanan,2013
http:anjal.blogdrive.comarchive 11 . html
Di berbagai sudut kota, sering terjadi anak jalanan harus bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau
bahkan tidak dapat diterima masyarakat umum, sekedar untuk menghilangkan rasa lapar dan keterpaksaan untuk membantu
keluarganya. Tidak jarang mereka pula dicap sebagai pengganggu ketertiban dan membuat kota menjadi kotor dengan keberadaan
mereka. Menurut Bagong
“Marginal, rentan, dan eksploitatif adalah istilah-istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi dan kehidupan
anak jalanan ”.
31
Anak Jalanan dikatakan marginal karena anak-anak jalanan melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas dengan jenjang
kariernya, kurang dihargai, dan umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun di masa depan. Mereka juga rentan dengan resiko
yang harus ditanggung akibat dari jam kerja yang sangat panjang benar-benar dari segi kesehatan maupun sosial sangat rawan. Dan
adapun makna dari eksploitatif karena biasanya anak jalanan memiliki posisi tawar-menawar yang sangat lemah, tersubordinasi, dan
cenderung menjadi objek perlakuan yang sewenang-wenang dari ulah para preman atau oknum aparat yang tidak bertanggung jawab.
Menurut Farid yang dikutip oleh Bagong Suyatno dalam buku Masalah Sosial Anak, Sebagai bagian dari pekerja anak child
labour, anak jalanan sendiri sebenarnya bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup beragam, dan dapat dibedakan
atas dasar pekerjaannya, hubungannya dengan orangtua atau dewasa terdekat, waktu dan jenis kegiatannya dijalanan, serta
jenis kelaminnya.
32
Berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok yaitu: Children On The Street,
31
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Jakarta : PT. Kencana Prenada Media Grup,2013 h.200.
32
Ibid, h.203
Children from Children of the street dan Children from families on the street
33
. Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang
mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka.
Sebagian penghasilan yang mereka dapatkan dijalanan akan diberikan kepada orang tuanya. Fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah
untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat
diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya. Kedua, children of the street, yakni anak-anak jalanan yang
berpartisipasi penuh dijalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan
orangtuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab,
biasanya karena kekerasan, lari atau pergi dari rumah. Anak jalanan pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan yang salah, baik
secara sosial dan emosional, fisik maupun seksual. Ketiga, children from families of the street, yakni anak-anak
yang berasal dari keluarga yang hidup di Jalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup
mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lainnya dengan segala resiko yang akan dihadapinya.
2. Faktor Penyebab Anak Jalanan
Secara umum ada tiga tingkatan penyebab keberadaan anak
jalanan:
a. Tingkat mikro immediate causes, yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya,
b. Tingkat messo underlying causes, yaitu faktor yang ada dimasyarakat,
33
Ibid,h. 200
c. Tingkat makro basic causes, yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro.
34
Adapun uraian untuk tiga tingkatan yang telah dikemukakan di atas adalah sebagai berikut:
1 Tingkat Mikro Pada tingkat ini, biasanya anak menjadi anak jalanan di
sebabkan faktor internal dalam keluarga, yaitu: a Keluarga mengalami kesulitan ekonomi, sehingga anak dengan
sangat terpaksa lari dari keluarga, berusaha untuk mandiri dan berjuang sendiri mempertahankan hidup dan memenuhi
kebutuhannya. b Orang tua mengalami perceraian, perceraian menyebabkan
berkurangnya perhatian, kasih sayang dan rasa aman yang diterima anak dari keluarga, sehingga anak mencari
c kebutuhan tersebut dengan cara menjadi anak jalanan.
35
2 Tingkat Messo Pada tingkat messo, faktor penyebab dapat diidentifikasi
sebagai berikut: a Masyarakat atau komunitas miskin mempunyai pola hidup dan
budaya miskinnya sendiri. Pola hidup yang tidak teratur dan memandang anak sebagai aset untuk menunjang hidup keluarga
yang menyebabkan hilangnya kebutuhan-kebutuhan anak sesuai tugas perkembangannya. Sehingga kadang anak harus
bekerja dan tidak bersekolah. Nilai bagaimana nantinya, tidak ada orientasi masa depan menyebabkan mereka dalam kondisi
yang rentan dalam berbagai hal. Seperti ketika sakit, tidak
34
Dwi Astuti, Penelitian Rumah Singgah Se-Jawa Timur, 2013 www.damadiri.or.idfile dwiastututiunairbab2.pdf.
34
Modul Pelayanan Sosial Anak Jalanan Berbasis Panti, Jakarta: Direktorat Pelayanan Sosial Anak, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Departemen Sosial RI, 2006,
h. 5.