Tabel Elemen Skematik II
yang merah dan bengkak, Wiwin kembali mengingat
kenangan tentang adiknya pada Mei 2009 lalu. Saat itu,
Kikim yang menghampiri rumahnya, mengaku ingin
menjadi TKI ke Arab Saudi.” Paragraf 10, “Entah apa yang
ada dibenak adiknya saat itu. Yang jelas, menurut Wiwin,
adiknya yang hanya ibu rumah tangga itu sama sekali
tak
pernah bekerja
sebelumnya, apalagi hingga keluar negeri.”
Paragraf 11, “Satu yang saya ingat, waktu itu dia bilang
dia pengen cari duit buat anaknya sekolah. Anaknya
yang paling tua baru lulus SMA
dan mau
kuliah. Apalagi, anak-anak lelakinya
dua yang masih kecil juga, katanya.”
Paragraf
12, “Kebutuhan
ekonomi yang
semakin tinggi, ditambah suami yang
hanya seorang montir di Sukabumi membuat Kikim
ingin
mengubah nasib.
Apalagi, desa tempat dia tinggal,
merupakan desa
yang banyak menyalurkan tenaga kerja ke luar negeri.”
Paragraf 13,
“Mungkin karena lihat banyak juga TKI
lain yang ternyata sukses. Karena itu, jadi ingin pergi,
ujar Wiwin.” Paragraf 14, “Akhirnya, Juli
2009 melalui PT Bantal Perkasa Sejahtera, resmilah
Kikim pergi ke Arab Saudi. Ia bekerja dengan sistem
kontrak selama dua tahun.” Paragraf 15, “Meskipun tak
tahu dengan siapa adiknya bekerja, saat itu, Wiwin
memastikan
adiknya merupakan pengasuh anak di
salah satu keluarga di Arab. Semenjak itu, setiap bulan
Kikim rajin menghubungi Wiwin
melalui telepon
rumahnya.” Paragraf
16, “Awalnya
Uminya majikan
yang telepon. Lalu, baru dikasih
ke dia, katanya. Menurut dia, Kikim selalu meneleponnya
untuk menanyakan kabar tiga buah hatinya Yosi 19,
Galih 10, dan Fikri 5. Seingatnya,
Kikim tak
pernah mengeluh
selama bekerja. Ia mengaku kerap
diperlakukan baik
oleh majikannya.”
Paragraf 17, “Juni 2010 lalu, Kikim kembali menghubungi
Wiwin.
Saat itu
ia mengatakan
ingin mempercepat
kontrak kerjanya menjadi satu tahun.
Rasa rindu dengan Fikri, anaknya yang paling kecil
membuatnya kekeh ingin pulang.”
Paragraf 18, “Ia bilang, Desember ini 2010 aku
pulang.
Umi majikan
perempuan Kikim
mengizinkan. Katanya nanti, kalau mau lanjut kerja lagi
juga enggak apa-apa, kata Wiwin menirukan Kikim.
Ternyata telepon tersebut merupakan
komunikasi terakhir ia dan adiknya.”
Paragraf 19, “Wiwin hanya berharap jenazah Kikim bisa
dipulangkan secepatnya ke Indonesia. Menurut mereka,
Desa Mekarwangi adalah kampung
halamannya. Karena itu, Kikim harus
dimakamkan di Indonesia.” Paragraf 20, “Yosi, anak
pertama
Kikim, tampak
terdiam di sisi ayahnya, Maman Ali Nurjaman yang
sedang memangku kedua adiknya Galih dan Fikri yang
tertidur.
Tangan Yosi
memegang erat foto seorang wanita dengan baju putih dan
jilbab panjang
berwarna hitam. Foto itu satu-satunya
kenangan sang ibu, yang didapatkannya
beberapa menit sebelum ibunya pergi
berangkat ke Arab Saudi.” Paragraf
21, “Meskipun
terlihat tegar
dan tak
meneteskan air mata, gadis yang enggan
berkomentar banyak
ini mengaku sangat kehilangan
ibunya. Ibu saya ke sana biar saya dan adik-adik bisa
sekolah. Ibu orangnya baik. Dia sangat sayang pada
kami, katanya pelan.” Paragraf
22, “itu
harus berperan sebagai pengganti
sang ibu untuk adik-adiknya.
Harapannya tak jauh beda dari bibinya. Ia ingin jenazah
ibunya pulang.
Ia pun
berharap ada keadilan hukum untuk ibunya.”
Selasa, 23 November 2010
Fisik Hariyatin tak Seperti Dulu
Story terdapat pada paragraf: Paragraf
2, “Hariyatin
sebelumnya bekerja sebagai tenaga kerja wanita TKW
di Arab
Saudi. Lewat
sambungan telepon,
Hariyatin meminta Samsul menjemputnya di Bandara
Juanda, Rabu 4 Agustus lalu.”
Paragraf
3, “bukan
kebahagiaan yang muncul, tetapi justru kesedihan. Rabu
itu, Samsul
menunggu hampa di bandara. Tak sekali
pun ia melihat sosok istrinya. Sementara,
Hariyatin tak
tahu keberadaan
Samsul. Keduanya saling mencari.”
Paragraf 4,
“Akhirnya, setelah seharian mencari,
saya menemukan istri saya. Kesulitan bertemu itu karena
saya pangling pada wajah istri saya, kata Samsul
membuka kisahnya kepada Republika, Senin 2111.”
Paragraf
5, “Wajah
Hariyatin, jelas
Samsul, berubah 180 derajat. Fisik
ibu dua anak ini tak lagi seperti
dulu karena
mengalami siksaan.
Kepalanya penuh bekas luka. Matanya buta.”
Paragraf 6, “Batin Samsul
menjerit. Cobaan tidak hanya datang dari istrinya yang kini
cacat. Selama bekerja di Arab
Saudi ternyata
Hariyatin tak
pernah diupah.”
Paragraf 7,
“Ia lalu
menceritakan kronologi
penyiksaan istrinya.
Hariyatin berangkat ke Arab Saudi pada Desember 2006.
Ia hanya membayar Rp 700 ribu kepada
biro penyalur jasa tenaga kerja Indonesia TKI PT
Kemuning
Bunga Sejati.
Perusahaan ini punya cabang di
Blitar, kampung
Hariyatin.” Paragraf
8, “Sebelum
diberangkatkan, Hariyatin
mendapat pelatihan selama 10 hari di Jakarta. Di Arab
Saudi, Hariyatin seharusnya menjadi pembantu rumah
tangga Hayam Mubarok di Riyadh.
Namun, sesampainya di
sana ia
dipindahkan ke
rumah Fatma, anak Mubarok.”
Paragraf 9, “Pada awalnya segala sesuatu berlangsung
normal. Memasuki bulan kedua,
istri saya
mulai mengalami perlakuan kasar
dari Fatma, kata Samsul.” Paragraf 10, “Siksaan pun
bertambah sering. Menjelang setahun bekerja di rumah
Fatma, setiap hari bagian badan, kepala, dan mata
Hariyatin
terus-terusan
dipukuli. Akibatnya saraf mata istri saya putus dan
bola mata kirinya rusak, sebab
terus diperlakukan
secara tak manusiawi, kata Samsul.”
Paragraf 11, “Sialnya lagi, saat di tanah perantauan
Hariyatin
tak leluasa
menghubungi Samsul untuk mengadu. Hanya pada bulan-
bulan awal
bekerja komunikasi
lancar. Selebihnya, Samsul tak lagi
bisa menghubungi istrinya.” Paragraf 12, “Nomor yang
diberikan Hariyatin setiap ditelepon
tak bisa
tersambung. Dari situ saya mulai bertanya-tanya dengan
keadaan istri saya. Tapi, saya tak bisa berbuat apa-apa,
terangnya.” Paragraf 13, “Akhirnya pada
pertengahan
2010, satu
telepon dari
Hariyatin mengagetkan keluarga di
Desa Bakalan RTRW 0305, Kecamatan
Wonodadi, Blitar.
Istri saya
bisa menelepon
berkat pertolongan
saudara majikannya yang kasihan.
Istri saya diberi telepon dan sejumlah
uang untuk
membeli tiket
pulang, katanya.”
Paragraf 14, “Dari telepon inilah Samsul mengetahui
istrinya
selama bekerja
menjadi pembantu
tak pernah digaji sepeser pun.
Malahan, Hariyatin harus bekerja siang-malam tanpa
henti sembari dipukuli. ” Paragraf 15, “Banyak luka
fisik
yang diterimanya.
Bahkan, karena
sering dipecut
dengan menggunakan selang plastik
di bagian mata, akhirnya istri saya mengalami gangguan
penglihatan sebelum menjadi buta total, ungkap Samsul.”
Paragraf
16, “Samsul
menceritakan, istrinya sudah lima kali mencoba kabur,
tapi selalu
ketahuan majikannya dan diseret lagi
ke rumah, lalu dikurung agar tak berbuat macam-macam.
Istri saya saat kabur tak tahu
harus meminta
pertolongan kepada siapa. Jadi, setiap mencoba kabur
selalu gagal dan mendapat penyiksaan lebih kejam dari
majikannya, kata Samsul.” Paragraf 17, “Samsul pun
sangat kecewa dengan biro jasa penyalur istrinya yang
seolah lepas tangan, tak mau memberikan
bantuan pengobatan atau dana tali
asih. Padahal, sebelumnya terdapat perwakilan dari PT
KBS
yang mengajaknya
berdamai untuk
menyelesaikan masalah
tersebut secara
kekeluargaan.” Paragraf 18, “Tapi, nggak
ada realisasinya.
Mereka hanya janji-janji. Bisa jadi
malah lupa
pada kewajibannya
sekarang, tegas Samsul.”
Paragraf 19, “Karena kondisi kedua matanya yang buta,
Samsul
pun sempat
membawa Hariyatin bolak- balik sejumlah rumah sakit.
Pertama ia dibawa ke RS Wlingi,
Blitar. Namun,
karena keterbatasan
alat medis, ia dirujuk ke RS Mata
Undaan.” Paragraf
20, “Kemudian,
Hariyatin dipindah ke RS Bhayangkara Polda Jatim.
Sialnya, meski sudah di negeri
sendiri, nasib
Hariyatin tetap
terlunta- lunta.
Dokter di
RS Bhayangkara mematok tarif
Rp 3 juta tiap kali periksa.” Paragraf 21, “Samsul yang
punya pekerjaan serabutan ini jelas angkat tangan.
Dompetnya
tak setebal
permintaan dokter. Akhirnya ia mengajak istrinya pulang
ke Blitar pada Jumat 1911 lalu.”
Paragraf
22, “Samsul
menyesalkan tak
adanya perhatian dari pemerintah,
mulai dari Kabupaten Blitar, Pemprov
Jatim, hingga
pusat. Tak ada bantuan advokasi maupun keuangan.
Bantuan yang masuk hanya dari
Badan Nasional
Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia BNP2TKI. Tapi,
uangnya sudah ia gunakan untuk biaya sekolah putri
mereka, Wulan
Asnaningrum.” Paragraf
23, “Samsul
memang tak
mengharap dikasihani.
Namun, ia
mengharap adanya bantuan yang
akan digunakannya
untuk keperluan perawatan istrinya agar kesehatannya
bisa lebih baik. Saya hanya meminta
pertanggungjawaban semata dari pemerintah. Hanya itu
yang saya inginkan, sebab sejauh ini tak ada perhatian
dari
mereka, katanya
dengan nada getir.” Rabu, 24 November
2010 Di Manapun Asal Bukan
di Arab Story terdapat pada paragraf:
Paragraf 2,
“Setidaknya, inilah
jawaban Hasanah,
Titin, dan Surtiah, calon TKW
yang sedang
menunggu jadwal berangkat ke luar negeri. Hasanah,
putri sulung
dari tiga
bersaudara, buah
hati pasangan Safaat dan Murtiati
pendidikannya tak tinggi. Ia hanya tamat SMP.”
Paragraf 3, “Di kampungnya, Buring,
Kelurahan Cemorokandang, Kecamatan
Kedungkandang, Kota
Malang, keluarga Hasanah termasuk golongan miskin.
Hidup saya
serba kekurangan, katanya kepada
Republika.” Paragraf 4, “Ia tampaknya
tak punya
pilihan lain.
Melihat tetangga di kiri dan kanan rumahnya yang mulai
membaik kehidupan
ekonominya berkat anak- anak mereka yang jadi TKW,
Hasanah pun
tergiur. Makanya,
saya tertarik
menjadi TKW, kata dia.” Paragraf
5, “Sebelum
memutuskan menjadi TKW, Hasanah
sudah banyak
mendengar cerita-cerita
horor soal nasib TKW. Terutama yang bekerja di
Malaysia dan Arab Saudi. Namun,
ia menilai,
pengalaman pahit itu hanya menimpa sebagian kecil dari
jutaan TKW.” Paragraf
6, “Untuk
menghindari jadi korban, ia pasang strategi. Hasanah tak
mau ditempatkan di negara Timur Tengah dan Malaysia
yang sudah tersohor rekam jejak penyiksaan TKW-nya.
Ia ingin bekerja di Hong Kong,
Singapura, atau
Brunei Darussalam.” Paragraf 7, Sesuai informasi
yang saya dapat, terutama dari tetangga yang pernah
bekerja di Arab, kerja di Hong Kong lebih enak. Di
Arab, katanya sih modelnya majikan seperti raja. TKW
dianggap
sebagai budak.
Jadi, saya ngeri kalau bekerja di sana, katanya dengan
nada polos.” Paragraf 8, “berangkatlah
Hasanah ke Hong Kong lewat PT Bina Dinamita
Rama. Hasanah dijemput makelar dan utusan dari PT
Bina Dinamita Rama dua bulan lalu. Kepergiannya
diiringi iming-iming janji gaji
yang sangat
menggiurkan per
bulan sebesar 3.580 dolar Hong
Kong.” Paragraf 9, “Seluruh biaya
pemberangkatan ditanggung PT Bina Dinamita Rama.
Sesuai perjanjian, Hasanah mencicil ongkos berangkat
dengan
pemotongan gaji
selama tujuh bulan.” Paragraf 10, “Hasanah hanya
akan menerima 580 dolar Hong Kong selama tujuh
bulan. Sedangkan yang 3.000 dolar Hong Kong itu untuk
membayar biaya pembinaan selama di karantina, tiket
pesawat ke Hong Kong, dan ongkos makelar.”
Paragraf 11, “Ia baru bisa menikmati gajinya sebesar
3.580 dolar Hong Kong itu secara penuh setelah bulan
ke
delapan dari
masa kerjanya di luar negeri.
Meski begitu, Hasanah tidak keberatan.”
Paragraf 12, “Di dalam karantina, Hasanah mengaku
dibimbing bahasa, budaya, hingga
keterampilan- keterampilan kerja. Saya
harap sebulan ke depan sudah bisa diberangkatkan,
Kamis, 25
November 2010 Kakak pulang Jadi Tak
Waras Story terdapat pada paragraf
: Paragraf 2, “Tini sempat
bekerja
di luar
negeri, menjadi tenaga kerja wanita
TKW di
Amman, Yordania, sejak 2006 dan
pulang 2008. Minimal, uang hasil jerih payahnya bisa dia
nikmati
bersama keluarganya.”
Paragraf 3, “Kini kedua pergelangan
kaki mungil
milik Tini dirantai di tiang dipan. Hidup remaja yang
lulus sekolah dasar ini hanya terbatas dalam kamar tanpa
lampu
di rumah
gubuk keluarganya.”
Paragraf 4, “Di dalam kamar yang gelap dan lembab itu
Tini
menghabiskan hari-
harinya. Hanya
selembar kain
sarung menutupi
tubuhnya. Ia makan, minum, dan buang hajat di situ. Ia
tidur pun tanpa alas kasur.” Paragraf 5, “Keluarganya
terpaksa
memasung Tini
sekembalinya dari Yordania. Kakak jadi tidak waras. Dia
suka mengamuk
dan bertindak ngawur kata
Asrul, adik Tini, kepada Republika, Selasa 2311.”
Paragraf
6, “Ibu
Tini, Asmariah 40, tidak bisa
menahan rasa sedih melihat kondisi putrinya. Tini sudah
tak beres sejak pulang dari Amman. Keluarga sangat
sukar berkomunikasi
dengannya. Padahal,
keluarga sangat
ingin mengetahui apa yang terjadi
di Amman dan apa sebab dia berubah.”
Paragraf
7,Omongannya sudah ngelantur. Ia sering
berteriak dan
bernyanyi dalam bahasa Arab, kata
Asrul lagi. Informasi sepihak yang diterima keluarga dari
perusahaan
yang memulangkan
Tini menyebutkan,
Tini tidak
kerasan bekerja di Yordania. Ia kerap meminta pulang ke
kampungnya.” Paragraf
8, “Sayangnya,
Asrul dan Asmariah terkesan takut
menyebutkan siapa
perusahaan yang
memberangkatkan dan
memulangkan Tini itu. Tini bekerja sebagai pembantu
rumah tangga di Amman setahun selepas dia tamat SD
pada 2006.” Paragraf
9, “Kondisi
ekonomi keluarga yang serba pas-pasan
memaksa Tini
harus bekerja sebagai TKW meski usianya masih sangat
belia pada
waktu itu.
Terlebih Samsani, ayah Tini, sudah meninggal dunia.
Ibu dan
adiknya hanya
menjadi buruh tani.” Paragraf 10, “Tini pulang
tanpa membawa
uang sepeser pun. Gaji selama 24
bulan bekerja di Amman tak
pernah masuk
ke dompetnya.”
Paragraf 11, “Tini kerap mendapat perlakuan kasar
dan
dibentak-bentak. Majikan
Tini selalu
melarangnya pulang. Tak tahan, Tini pun stres dan
perilakunya berubah.” Paragraf 12, “kondisi fisik
Tini
semakin memprihatinkan. Badannya
semakin kurus. Wajahnya pucat karena jarang dijamah
sinar matahari.” Paragraf 13, “Ketua rukun
tetangga setempat, Arobi, mengaku prihatin melihat
nasib Tini dan keluarganya. Sayang,
kemampuannya terbatas membantu seadanya.
Ia mengatakan, Tini dan keluarganya belum pernah
mendapat bantuan sepeser pun dari pemerintah pusat
maupun
daerah. Belum
pernah ada bantuan dari pemerintah
untuk kesembuhan
Tini, kata
Arobi.” Paragraf 14, “Sementara itu,
pemerintah makin
menunjukkan keengganannya menetapkan
penghentian sementara TKI ke luar negeri moratorium.
Menko
Kesra Agung
Laksono mengatakan,
moratorium TKI justru bisa memicu
peningkatan pengiriman
TKI ilegal.
Karena itu kita harus
berhati-hati dalam
mempersiapkan wacana
moratorium pengiriman TKI ke luar negeri, kata Agung.”
Paragraf 15,
“Menurut menteri dari Partai Golkar
ini, bila pengiriman TKI ilegal makin menjadi-jadi,
justru kian membahayakan nasib
TKI. Karena
itu, menurut
Agung, yang
terpenting dilakukan
menyusul terjadinya
sejumlah kasus penyiksaan yang dialami TKI adalah
peningkatan pengawasan dan pembenahan
prosedur pengiriman tenaga kerja.”