Perumusan Masalah Dr- Ing Ir. Widodo Setiyo Pranowo, M.Sc,

sebesar 294 ton. Produksi udang putih sebesar 819 ton dan tahun 2012 sebesar 444 ton. Udang vaname pada tahun 2003 sebesar 0 ton dan pada tahun 2012 sebesar 294 ton. Dengan demikian produksi udang total Provinsi Banten pada tahun 2003 sebesar 1757 ton dan pada tahun 2012 sebesar 1032 ton dan tahun 2013 sebesar 1.382 ton DJPB 2013; DJPB 2014. Produksi perikanan khususnya udang di wilayah pertambakan pesisir optimal dan berkelanjutan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik bersifat positif maupun negatif yang penilaiannya tergantung perspektif yang dipakai. Konsekuensi positif umumnya adalah dampak sesuai dengan harapan, sementara konsekuensi negatif adalah dampak yang tidak diharapkan. Kawasan pertambakan pesisir Teluk Banten mempunyai kharakteristik oseanografis, bentukan tanah, flora, fauna dan kondisi lingkungan yang hampir terdapat di kawasan budidaya udang di seluruh Indonesia, sehingga kasus seperti disini banyak dijumpai di daerah lainnya. Tekanan ekologi di kawasan ini sangat besar, dinamis dan merupakan sentra berbagai aktivitas melalui aliran sungai mulai dari hulu sampai muara, perindustrian, pelabuhan, kawasan pemukiman, aktivitas kota dan desa. Kondisi ini menyebabkan menurunnya daya dukung, produksi dan meningkatnya pencemaran. Berkenaan dengan hal tersebut peran tata ruang dan kesesuaian lahan sangat penting dalam budidaya udang yang berkelanjutan. Di kawasan Teluk Banten, tekanan terhadap ekosistem di wilayah ini merupakan konsekuensi dari dinamika pembangunan yang berlangsung di kawasan darat. Dinamika pembangunan tersebut tidak lepas dari pengelolaan yang diterapkan oleh otoritas wilayah sebagai pengambil kebijakan. Pengelolaan kawasan ini sangat ditentukan oleh kebijakan yang dijadikan referensi para pelaksana dan pengambil keputusan termasuk masyarakat yang berinisiatif memenuhi kebutuhannya. Aktifitas stakeholder seringkali memicu terjadinya konflik dalam pemanfaatan sumberdaya pantai. Pertumbuhan ekonomi pesisir sering tidak sejalan dengan lingkungan. Ekspolitasi oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam mengelola sumberdaya alam pesisir yang tidak terarah sering memicu konflik sosial. Pengelolaan perikanan tidak terlepas dari banyak pihak antara lain: nelayan, pemerintah, lembagainstitusi, akademisi, pelaku perikanan pedagang, pengolah ikan dan lain – lain serta kerjasama antar stakeholders. Koordinasi ini menjadi sangat penting dalam memecahkan permasalahan pengelolaan pesisir Teluk Banten. Pengelolaan bersama ko- manajemen perikanan dapat menjadi alternatif bagi pengelolaan perikanan di Indonesia karena pada dasarnya menitik beratkan pada pembagian tanggung jawab antara pemerintah dan pengguna sumberdaya Andrianto et al. 2011. Salah satu program pengelolaan kawasan kelautan dan perikanan adalah industrialiasi. Yang dimaksud dengan indusrialisasi kelautan dan perikanan adalah proses perubahan sistem produksi hulu dan hilir untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas dan skala produksi sumberdaya kelautan dan perikanan melalui modernisasi yang didukung dengan arah kebijakan terintegrasi antara kebijakan ekonomi makro, pengembangan infrastruktur, sistem usaha dan investasi, ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumberdaya manusia untuk kesejahteraan masyarakat KKP 2013. Industrialisasi perikanan budidaya udang diharapkan dapat menghasilkan udang yang terus meningkat dan berkelanjutan. Faktor yang mempengaruhi berkelanjutan usaha akuakultur yaitu ketersediaan benih unggul, implementasi cara budidaya yang baik, pengelolaan lingkungan budidaya, pengelola kesehatan ikan dan mutu produk dan pemasaran Sukadi 2006. Implementasi operasional budidaya udang windu juga diselenggarakan dengan baik yaitu maksimal 3 kali setahun dan memperhatikan musim dan metoda atau teknologi budidaya WWF Indonesia 2011. Gambar 1.1 Skema perumusan masalah penelitian