Sedangkan Lampiran 13 menjelaskan tentang penutupan lahan di Kabupaten Serang.
Tabel 3.2 Tutupan lahan di pesisir Teluk Banten Tahun 2010 No Jenis Tutupan Lahan
Luas Tutupan Lahan Hektar Ha
Area Km
2
1 Mangrove
746,72 7,47
0,50 2
Tambak 7.261,85
72,62 4,84
Total 149.930,32
1.499,30 100,00
Sumber: Hasil interpretasi Citra Satelit SPOT-4 tahun 2010 Pemda Kab. Serang, 2011
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis
sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan nursery ground berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, dari angin taufan
dan tsunami, pencegah interusi air laut dll. Hutan bakau juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan, teknik
penangkapan ikan dan lain lain. Fakta menunjukkan bahwa pada wilayah-wilayah dengan jumlah lahan mangrove menjadi budidaya tambak, kebanyakan tingkat
kesejahteraan pembudidaya ikan masih pada tingkat pra-sejahtera. Silvofishery merupakan salah satu metode rehabilitasi hutan mangrove. Pendekatan antara
konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove Kondisi hutan mangrove saat ini dapat
dilihat pada Gambar 3.2 yang menjelaskan tentang pertambakan sebelah barat Pelabuhan Karangantu.
Gambar 3.2 Pertambakan dan hutan mangrove di sisi barat Pelabuhan Karangantu.
3.8 Teknologi Budidaya
Terdapat tiga teknologi yang diterapkan oleh para pembudidaya udang di pesisir Teluk Banten yaitu intensif, semi intensif dan ekstensif atau tradisional.
1 Budidaya intensif
Perkembangan teknologi budidaya udang intensif mengalami fluktuasi yang tajam. Pada tahun 1992 luas budidaya udang sekitar 1.200 ha yang berada di
lokasi kecamatan Kramat Watu yang meliputi desa Margagiri dan Terate tidak kurang 3 perusahaan mengusahakan budidaya udang di tambak dan menempati
areal 500 ha. Di kecamatan Kasemen yang meliputi desa Banten 20 Ha, desa Sawah Luhur 40 ha, Kemayungan 100 ha, Kecamatan Pontang yang meliputi desa
Linduk 30 ha, Domas 50 ha, kecamatan Tirtayasa di desa Lontar 400 ha dan Tengkurak 70 ha. Infeksi penyakit dan kondisi sosial ekonomi pesisir
mengakibatkan perkembangan perikanan udang terus mengalami penurunan dan tahun 2015 hanya tinggal 90 ha. Saat ini teknologi yang memberikan harapan
adalah pemeliharaan udang sistem tertutup dengan menggunakan probiotik. Pemeliharaan sistem ini telah dilakukan di BAPPL
– STP Serang Karangantu, Banten dengan hasil udang vaname pada lahan luas petakan 600 m², berat panen
sekitar 3,2 ton. Pada tahun 1987 sampai 2001 jenis udang yang dipelihara hanya udang windu, meskipun terdapat beberapa petambak yang membudidaya udang
putih Penaeus indicus. Kegagalan akibat infeksi virus dengan jenis MBV Macrobrachium baculo virus WSSV White Spote Syndrom Virus para
pembudidaya mulai mengembangkan udang vaname Penaeus vanamei. 2. Budidaya udang semi intensif
Usaha udang semi intensif di Teluk Banten merupakan alternatif teknologi yang disesuaikan dengan ketersediaan modal, sarana dan prasarana,
ketrampilan SDM dan sosial budaya. Pada tebar udang windu 10 – 15 ekor per
m². dapat menghasilkan 900 – 1000 kghasiklus panen.
3. Budidaya udang tradisional .
Beberapa pembudidaya mengusahakan tambaknya dengan padat tebar rendah atau budidaya bersama ikan bandeng atau rumput laut polikultur Padat
tebar antara 3 – 5 ekor per m² dan dapat menghasilkan siklus 500 – 1.000
kghatahun.
Gambar 3.3 Petakan budidaya udang dengan teknologi intensif di pesisir Teluk Banten.
3.9 Sungai
Teluk Banten merupakan tempat bermuaranya sungai kecil dan besar, sehingga kondisi air sungai ini sangat berpengaruh terhadap kawasan
pertambakan secara fisik, sosial maupun ekonomi. Sungai kecil yang tersebar di