merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukan dengan akibat- akibat yang diterimanya, sedang individu dengan kecenderungan locus of
control eksternal merasa bahwa akibat-akibat yang diterimanya adalah berasal dari kesempatan, nasib, campur tangan orang lain, dan
keberuntungan. 3.
Faktor-Faktor Pembentuk Locus of Control Locus of control bukan merupakan suatu konsep yang ada dalam
diri individu yang bersifat bawaan, namun terbentuk dan berkembang dikarenakan berbagai faktor. Karena bukan bersifat bawaan, maka locus
of control dapat berubah dan berkembang tergantung dari kemauan dan kemampuan setiap individu. Faktor-faktor yang bisa membentuk dan
mengembangkan locus of control adalah sebagai berikut J.Phares dalam London dan Exner, 1978:291.
a. Faktor Usia
Seiring anak berkembang, ia menjadi seorang manusia yang lebih efektif, sehingga ia meningkatkan kepercayaan bahwa dirinya
mampu mengendalikan bermacam-macam hal dan kejadian dalam hidupnya. Dengan kata lain, locus of control bergerak dari
kecenderungan eksternal ke arah internal sejalan dengan bertambahnya usia.
b. Pengalaman akan suatu perubahan Penelitian Kiehlbauch dalam London dan Exner, 1978:292
menemukan bahwa teman serumah yang masih baru menunjukkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
locus of control yang relatif lebih eksternal daripada teman serumah yang telah lama. Locus of control teman serumah yang akan
berpisah juga cenderung bergeser ke arah eksternal. Keadaan yang cenderung labil dan tak pasti selama masa transisi mendorong locus
of control individu ke arah eksternal. c.
Generalitas dan Stabilitas perubahan Adanya berbagai perubahan di tempat tinggal sekitar akan
mempengaruhi locus of control. Misalnya adanya bom nuklir, perang, skandal politik. Pengalaman perubahan peristiwa tersebut
menyebab-kan kecenderungan ke arah locus of control eksternal. Perilaku individu mengalami pergeseran dari rasa aman menjadi rasa
takut dan kehilangan kemampuan untuk menganalisa dan mempersiapkan diri terhadap jalannya peristiwa dalam hidup
mereka. d. Pelatihan dan Pengalaman
De Charms dalam London dan Exner, 1978:293 berhasil membukti-kan efektifitas program pelatihan untuk meningkatkan
locus of control internal. Selain itu, penelitian Barnes dalam London dan Exner, 1978:293 menemukan bahwa pengalaman
berkemah yang terstruktur dapat meningkatkan locus of control internal. Demikian pula dengan penelitian Levens serta Gottesfeld
dan Dozier dalam London dan Exner, 1978:293 mengenai pengalaman berorganisasi dalam masyarakat. Penelitian-penelitian
tersebut menunjukkan bahwa locus of control dapat berubah karena pengalaman-pengalaman yang bisa meningkatkan kepercayaan diri,
keberanian dan kemandirian pribadi. e.
Efek Terapi Beberapa peneliti; Lefcourt, Dua, Gillis dan Jessor, Smith dalam
London dan Exner, 1978:293 menunjukkan bahwa psikoterapi berpengaruh positif terhadap perubahan locus of control internal.
Psikoterapi bertujuan meningkatkan kemampuan individu dalam mengatasi masalah-masalahnya.
4. Prosedur Penaksiran Setiap individu memiliki locus of control yang berbeda. Rotter
membedakannya menjadi dua yaitu individu dengan locus of control internal dan locus of control eksternal. Untuk melihat perbedaan ini,
Rotter menyusun skala pengukuran dan menginventarisasikan menjadi 29 item. Tes ini dinamakan skala control internal-eksternal I–E scale.
Rotter, 1964:58 mengklasifikasikan menjadi enam kebutuhan yaitu status recognition pengakuan status merupakan kebutuhan untuk
mengungguli, ingin dianggap dirinya kompeten di bidang akademik, baik di sekolah, jabatan, profesi, atletik; independence
ketidaktergantungan merupakan kebutuhan untuk membuat keputusan sendiri, menggantungkan pada diri sendiri, mengembangkan
keterampilan untuk dapat memperoleh kepuasan dan mencapai tujuan tanpa bantuan orang lain; protection dependency perlindungan-
ketergantungan merupakan kebutuhan untuk melindungi orang lain agar terhindar dari frustasi, menyediakan perlindungan keamanan, dan
membantu orang lain mencapai tujuannya; love and affection cinta dan kasih sayang merupakan kebutuhan untuk dicintai dan disenangi orang
lain, ingin mendapatkan kehangatan, ketertarikan, perhatian dan kasih saying; dominance dominasi merupakan kebutuhan untuk mengontrol
aktifitas orang lain, termasuk keluarga dan teman, ingin diposisikan untuk berkuasa agar orang lain mengikuti keinginan dan kesukaan
dirinya; physical comfort kenyamanan fisik merupakan kebutuhan untuk kepuasan fisik yang berkaitan dengan keamanan untuk
menghindari sakit dan kesukaan terhadap kesenangan jasmani. Sedangkan Weiner, 1980:251 mengklasifikasikan menjadi enam
kategori yaitu; academic recognition, social recognition, love and affection, dominance, social political belief, dan life philosophy.
A. Kultur Keluarga
1. Pengertian Kultur Keluarga
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka, 1992, yang dimaksud dengan kultur adalah adat atau kebiasaan yang berlaku.
Dalam ilmu antropologi istilah kultur digunakan untuk menjelaskan: 1 keunikan sekelompok masyarakat dibandingkan kelompok masyarakat
lainnya; 2 mengapa perilaku sekelompok masyarakat dapat bertahan dari satu generasi ke generasi lainnya Kotter dan Heskett, 1992:3-4.
Hingga saat ini muncul berbagai definisi kultur dari para teoritikus dan peneliti. Schein 1991:9 mendefinisikan kultur sebagai:
“a pattern of basic assumption-invented, discovered, or developed by a given group as it learns to cope with its problems of external adaptation
and internal integration-that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to
perceive, think, and feel in relation to those problems”.
Kultur merupakan asumsi dasar yang ditemukan, dipahami, dan dikembangkan oleh anggota kelompokgrup. Karena asumsi terbukti
benar saat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi kelompok, maka asumsi tersebut diajarkan kepada anggota-anggota baru
sebagai cara pandang, pola pikir, dan perasaan yang benar ketika menghadapi masalah di masa mendatang.
Clayde Kluckhon, sebagaimana dikutip Erez 1993:41, menyatakan bahwa:
“Culture consist of patterned ways of thinking, feeling, and reacting, acquired and transmitted mainly by symbols, constituting the distinctive
achievement of human group, including their embodiments in artifacts: the essential, core of culture consist of traditional i.e. historically
derived and sellected ideas and especially their attached values”.
Kultur merupakan bentuk pemrograman mental secara kolektif. Kultur membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok lainnya
dalam cara berpikir, perasaan dan tindakan anggota kelompok. Esensi kultur adalah nilai-nilai yang didasarkan pada pengalaman sejarah masa
lalu. Nilai-nilai itu telah terinternalisasi ke dalam diri masing-masing kelompok selama bertahun-tahun dan diyakini mengandung nilai luhur,
sehingga sangat sulit untuk berubah. Nilai-nilai itu dalam diri masyarakat tampak dalam pola pikir, rasa dan reaksi masyarakat atas suatu kejadian.
Sementara Hofstede 1994:5 mengartikan kultur sebagai: “ a collective phenomenon, because it is at least partly shared with
people who live or lived within the same social environment, which is there it was learned. It is the collective programming of the mind wich
distinguishes the members of one group or category of people from another.
Hofstede 1994:4 menyebut kultur sebagai: “software of the mind”. Substansi perbedaan tersebut lebih tampak pada praktik kultur daripada
nilai-nilai. Sebagai bentuk pemrograman mental secara kolektif, kultur cenderung sulit berubah, kalaupun berubah akan membutuhkan waktu
yang lama dan perlahan-lahan. 2. Dimensi Kultur Keluarga
Kultur dalam suatu kelompok cenderung sangat sulit untuk berubah, jikalau berubah ini akan membutuhkan waktu yang lama dan
secara bertahap. Hal ini disebabkan karena kultur telah terkristalisasi ke dalam lembaga yang telah mereka bangun selama ini. La Midjan
1995:7 menyebutkan bahwa lembaga yang dimaksud antara lain: struktur keluarga, struktur pendidikan, organisasi keagamaan, asosiasi-
asosiasi, bentuk pemerintahan, organisasi kerja, lembaga hukum, kepustakaan, pola tata ruang, bentuk bangunan gedung, dan juga teori-
teori ilmiah. Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national
level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social class level, dan an organization or corporate level Hofstede, 1994:10.
Pada tingkatan nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang mencakup: power distance from small to large, collectivism vs
individualism, femininity vs masculinity, dan uncertanity avoidance from weak to strong. Dimensi power distance jarak kekuasaan
merupakan tingkat dalam nama kekuasaan anggota institusi didistribusikan secara berbeda. Dimensi individualism menggambarkan
suatu masyarakat dimana pertalian antar individu cenderung memudar. Dimensi collectivism menunjukkan suatu kondisi kelompok dimana
individu sejak lahir diintegrasikan secara kuat sehingga mereka menjadi sangat loyal. Dimensi masculinity menunjukkan suatu kelompok dimana
peran sosial gender terhadap perbedaan yang jelas. Dimensi femininity menunjukkan masyarakat dalam mana individu akan merasa terancam
dalam suatu ketidakpastian. Pada keluarga, dimensi power distance jarak kekuasaan mencakup indikator: ketaatan kepada norma keluarga,
penghormatan terhadap orang tua dan yang lebih tua sebagai dasar kebaikan, pengaruh otoritas orang tua terus menerus sepanjang hidup
dan ketergantungan. Dimensi collectivism vs individualism mencakup: demokratis dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber
daya bersama, kemampuan mengelola keuangan, upacara keagamaan tidak boleh dilupakan, merasa bersalah jika melanggar peraturan dan
keluarga menjadi tempat bersatunya anggota keluarga. Dimensi femininity vs masculinity mencakup indikator: relasi anak dan orangtua
ada jarak, perbedaan peran orang tua, peranan wanita yang lebih rendah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI