10 Hutan Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam dengan mengikut sertakan
masyarakat. Sarana pariwisata dapat dibangun dalam zona pemanfaatan.
2.3. Resort Taman Nasional
Penggunaan istilah resort dalam pengelolaan taman nasional dikenal melalui Surat Keputusan Bersama Meneteri Kehutanan dan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia Nomor : 10Kpts-II93-SKEP07I93 tanggal 7 Januari 1993 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Jagawana. Istilah resort juga ditemui dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 597Kpts-VI1998 Tanggal 18
Agustus 1998 tentang Satuan Tugas Operasional Jagawana. Pada kedua peraturan tersebut pengertian resort merujuk pada satuan tugas wilayah
dari organisasi JagawanaPolisi Kehutanan. Meskipun diatur dalam kedua peraturan tersebut dalam perkembangan pengelolaan taman nasional resort
bukan merupakan bagian hirarki dari struktur organisasi pengelola taman nasional. Pengggunan istilah resort sebagai bagian dari hirarki dari
struktur organisasi pengelola taman nasional baru muncul sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. 03Menhut-II2007
tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 03Menhut-II2007
tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional maka Resort Pengelolaan Taman Nasional merupakan bagian dari struktur organisasi
dari Unit Pengelola Teknis Taman Nasional yaitu Balai Besar Taman Nasional atau Balai Taman Nasional. Organisasi Balai Besar Taman
Nasional terdiri dari : a Bagian Tata Usaha, b Bidang Teknis Konservasi Taman Nasional, c Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah, d
Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah dan e Kelompok Jabatan Fungsional sedangkan Balai Taman Nasional terdiri dari : a Sub Bagian
Tata Usaha, b Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah, dan c Kelompok Jabatan Fungsional.
Diluar struktur organisasi tersebut masih memungkinkan dibentuk bagian organisasi lainnya sesuai ketentuan yang terdapat dalam pasal 31
ayat 1 yang menyebutkan untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan
11 wilayah pada Balai Besar Taman Nasional Tipe A, Balai Besar Taman
Nasional Tipe B, Balai Taman Nasional Tipe A dan Balai Taman Nasional Tipe B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat ditetapkan Resort
Pengelolaan Taman Nasional Wilayah yang merupakan jabatan non struktural dengan keputusan Kepala Unit Pelaksana Teknis Taman
Nasional.
2.4. Pengamanan Kawasan Konservasi 2.4.1. Kelembagaan Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Konservasi
Pengelolaan kawasan konservasi sangat erat hubungannya dengan pembangunan kehutanan di Indonesia dan hal ini tidak terlepas dari
kenyataan bahwa kebanyakan kawasan konservasi di Indonesia merupakan kawasan hutan. Dengan kondisi demikian maka dalam setiap bentuk
pengamanan kawasan konservasi selalu mengacu pada kelembagaan dan organisasi kehutanan. Pengamanan kawasan konservasi telah banyak diatur
kelembagaan dan organisasinya dalam undang-undang maupun peraturan di bidang kehutanan sehingga dalam implementasinya selalu mengacu pada
kelembagaan perlindungan dan pengamanan hutan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004
penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung,
fungsi konservasi, dan fungsi produksi, dapat tercapai secara optimal dan lestari. Menurut fungsinya perlindungan dan pengamanan hutan meliputi
pengamanan kekayaan
negara berupa
hutan, guna
mendukung terselenggaranya pembangunan kehutanan sesuai dengan pola dan rencana
yang telah ditetapkan, meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
hutan bagi
pembangunan, serta
turut menjamin
terselenggaranya stabilitas keamanan umum Dephut 1985. Perlindungan hutan merupakan usaha untuk : 1. mencegah dan membatasi kerusakan
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan 2.
mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang
12 berhubungan dengan pengelolaan hutan UU No. 41 Tahun 1999; PP No.
45 Tahun 2004.
2.4.2. Gangguan Kawasan
Situasi masalah yang dihadapi dalam perlindungan dan pengamanan hutan adalah gangguan kawasan. Jenis-jenis gangguan
meliputi : 1. Gangguan terhadap kawasan hutan, hutan cadangan dan hutan lainnya, 2. Gangguan terhadap tanah hutan, 3. Gangguan
terhadap tegakan hutan, 4. Gangguan terhadap hasil hutan 5. Gangguan terhadap flora dan fauna yang dilindungi. Gangguan keamanan hutan
umumnya ditimbulkan oleh beberapa penyebab yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Secara terpisah, beberapa
penyebab gangguan tersebut adalah : 1 manusia, 2 api, 3 hewan, 4 hama dan penyakit, dan 5 alam Dephut 1985.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, gangguan kawasan yang kebanyakan terjadi pada
kawasan taman nasional adalah gangguan yang diakibatkan oleh perbuatan manusia seperti : illegal logging, perambahan, perburuan liar,
penambangan tanpa ijin. Gangguan kawasan tersebut dapat mengancam keutuhan dan kelestarian kawasan taman nasional. Gangguan terhadap
keutuhan suatu kawasan konservasi pada dasarnya akan mengikuti teori pengaruh tepi edge effect theory.
Berdasarkan teori pengaruh tepi menyatakan bahwa setiap aktivitas manusia dan perubahan lansekap akan membuat efek terhadap populasi
dan ekologi spesies tertentu. Selain dirusak dalam arti yang sebenarnya, habitat-habitat yang semula luas tidak terpecah-pecah kini terbelah-belah
menjadi beberapa bagian oleh jalan, lapangan, kota, dan berbagai pembangunan konstruksi yang dilakukan oleh manusia. Fragmentasi
habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan utuh menjadi berkurang atau terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Antara
satu fragmen dengan lainnya seringkali terisolasi oleh bentang alam yang terdegradasi atau telah diubah. Seringkali pada bentang alam
13 tersebut daerah tepinya mengalami serangkaian perubahan kondisi, yang
dikenal dengan istilah efek tepi Supriatna 2007. Kawasan Taman Nasional ditunjuk oleh Departemen Kehutanan
Republik Indonesia yang sebelum dilakukan pengukuhan terdapat proses penataan batas yang membutuhkan waktu relatif lama, hingga beberapa
tahun. Banyak hal yang dapat terjadi selama masa tersebut ataupun ketika sudah dikukuhkan, antara lain berupa ancaman yang terjadi pada
kawasan. Ancaman yang dihadapi oleh kawasan dilindungi juga merupakan kunci dalam menentukan bentuk pola dalam pengelolaan
yang akan diperuntukkan bagi kawasan. Pada kenyataannya sangat sedikit kawasan dilindungi yang kebal terhadap satu jenis ancaman saja,
melainkan cenderung mendapat ancaman-ancaman yang sangat kompleks pada satwaliar dan habitat di dalam kawasan. Penyebab utama
timbulnya gangguan tersebut tidak jarang juga disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak bersahabat dengan visi dan
misi konservasi. Berikut adalah pola-pola ancaman yang umum terjadi pada kawasan dilindungi berdasarkan Carey et al. 2000, seperti
ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Pola ancaman yang sering dihadapi kawasan dilindungi
Migrasi manusia Perkembangan hewan
domestikasi Serbuan spesies asing
Dampak erosi air Perbedaan kebijakan
Dampak konflik Aktivitas krimnal
Pengaruh wisatawan Akses transportasi
Polusi Perubahan iklim
Pemukiman Pertanian
Perburuan Memancing
Eksploitasi Hasil Hutan
Kayu Bakar Kebakaran
Penebangan untuk kepentingan lokal
Perdagangan daging satwaliar
Produksi kehidupan liar ikan, aquarium,
tumbuhan,karang,dll Kayu
Perdagangan kayu
bakar komersial Bahan bakar tambang
mineral lainnya
Dampak External
Dampak Internal
Output SDA dari
kawasan