pemakai air merupakan suatu mekanisme dimana petani secara aktif berpartisipasi dalam pengelolaan irigasi. Aspek-aspek kebijaksanaan terhadap organisasi petani
pemakai air, terdiri dari : a. Status hukum;
b. Status pemilikan sarana fisik; c. Hak pemakai air;
d. Wewenang wilayah hidrologis; e. Kewajiban serta wewenang keuangan; serta
f. Keterlibatan dalam desain dan konstruksi fasilitas fisik jaringan irigasi. Kelembagaan pangan merupakan salah satu komponen penting dalam
menunjang kerangka dasar perumusan kebijakan pangan dan pembangunan pertanian untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kelembagaan yang dimaksud disini
adalah suatu aturan yang dikenal, diikuti, dan ditegakkan secara baik oleh anggota masyarakat, yang memberi naungan dan hambatan constraints bagi individu atau
anggota masyarakat. Pendekatan dan kerangka analisis yang ditempuh dalam penelusuran ekonomi kelembagaan pangan lebih banyak bersifat kualitatif, walaupun
beberapa penarikan kesimpulan juga dilakukan berdasarkan data kuantitatif dan informasi relevan lain. Fokus analisis kelembagaan mencakup 2 aspek penting, yaitu:
aturan main dan organisasi, terutama yang berhubungan erat dengan skema kebijakan publik bidang pangan Arifin 2005.
2.6. Subak
Subak adalah masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio-agraris religius, yang secara historis didirikan sejak dulu kala dan berkembang terus sebagai
organisasi penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain, persawahan dari suatu sumber di dalam suatu daerah Gandakoesoemah 1975. Ciri khas Subak
terdapat dalam hal pelaksanaan kegiatan ritual keagamaan yang sangat padat dan terkait erat dengan tahap-tahap pertumbuhan tanaman padi. Fungsi utama Subak
adalah pengelolaan air untuk memproduksi pangan, khususnya beras, yang
merupakan makanan pokok utama bagi orang Bali, seperti halnya juga kebanyakan penduduk Asia Sutawan et al. 2005.
Sebagai lembaga adat, Subak berlandaskan pula falsafah ―Tri Hita Karana‖, yaitu hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara manusia dengan manusia,
manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya. Menurut Gandakoesoemah 1975, Subak dalam penyelenggaraan usahataninya tidak terlepas kaitannya dengan
landasan Tri Hita Karana tiga penyebab kebaikan, dimana terdapat tiga unsur, yaitu:
1. Unsur Parahyangan dengan membangun Pura Subak sebagai perwujudan bakti ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa Ida Sang Hyang Widhi Wasa;
2. Unsur Pawongan perwujudan hubungan yang harmonis diantara para anggota Subak yang diikat dengan susunan organisasi dan peraturan-peraturan yang dibuat
lewat musyawarah mufakat; 3. Unsur Palemahan, yang berwujud lahan persawahan serta semua prasarana dan
sarana irigasi dari Subak itu yang dikelola dengan penuh tanggung jawab. Supartama et al. 2013 menyatakan bahwa konsep Tri Hita Karana memiliki
hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan manusia sehingga kegiatan usahatani berjalan dengan baik dan
harmonis. Dalam pelaksanaan kegiatannya, Subak mempunyai landasan operasional yang disebut paras paros salunglung subayantaka sarpanaya, artinya segala baik
buruk atau berat ringan dipikul bersama. Hal itu menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan Subak berdasarkan atas prinsip kerja sama atau gotong royong.
2.7. Konsep Biaya Transaksi
Richter dan Furubotn 2000 menyatakan bahwa transaksi adalah perpindahan barang, jasa, informasi, pengetahuan, dan lain-lain, dari satu tempat komunitas ke
tempat komunitas lain atau pemindahan barang dari produsen ke konsumen atau pemindahan barang dari satu individu ke individu yang lain. Biaya transaksi
mencakup biaya untuk mengolah sumber daya alam sehingga dapat dimanfaatkan,