Penelitian Tentang Karet TINJAUAN PENELITIAN TERDAHULU

II. TINJAUAN PENELITIAN TERDAHULU

2.1 Penelitian Tentang Karet

Sopian 2008 melakukan penelitian tentang karet yang berjudul Produksi Tanaman Karet Havea Brasiliensis di Daerah Bercurah Hujan Tinggi di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian menerangkan bahwa produktivitas tanaman karet di Bogor dibanding di wilayah lain di Jawa Barat terbilang masih rendah walaupun bila dibandingkan dengan skala nasional masih lebih tinggi. Rendahnya produktivitas tanaman karet tersebut disebabkan oleh curah hujan yang tinggi yang terjadi di Kabupaten Bogor. Tingginya curah hujan secara langsung mempengaruhi kadar air dalam lateks, sehingga kadar karet kering relatif lebih rendah daripada keadaan normal. Selain faktor utama curah hujan yang tinggi, penyebab produktivitas yang relatif rendah ini juga disebabkan inefisiensi fotosintesis akibat rendahnya intensitaslama penyinaran matahari, dan rendahnya populasi tanaman per hektar akibat rusaknya tanaman karet yang merupakan pengaruh langsung dari tinginya kecepatan angin selama hujan. Faktor penyebab lainnya adalah serangan penyakit, yang selain mempengaruhi produksi karet juga turut mengganggu pertumbuhan tanaman karet. Semua faktor-faktor penyebab tersebut di atas, menurut penulis ternyata bermuara pada permasalahan parameter iklim curah hujan yang parameter iklim lainnya turut terkait. Demikian pula dengan fluktuasi produksi tanaman karet turut dipengaruhi pula oleh musim yang dikaitkan pula dengan volume curah hujan yang terjadi tiap bulannya. Penelitian Hananto 2003 yang berjudul Analisis Genetik Sifat Ketahanan Tanaman Karet Terhadap Penyakit Gugur Daun Corynespora, menghasilkan bahwa respon ketahanan tanaman karet terhadap penyakit gugur daun corynespora berbeda antar klon. Klon karet BPM 1, PB 260, PR 261, RRIC 100, dan RRIM 712 bersifat tahan, klon karet AVROS 2037, BPM 24, PR 300, PR 303, RRIC 110, dan RRIM 600 bersifat moderat, sedangkan klon karet PPN 2058, PPN 2444, PPN 2447, RRIC 103, dan RRIM 725 tergolong rentan terhadap isolat C. cassiicola yang paling virulen. Adapun tingkat virulensi antar isolat cendawan C. cassiicola berbeda tiap klon karet. Isolat C. cassiicola yang berasal dari Sumatera Selatan C C3 memperlihatkan tingkat virulensi paling tinggi, isolat dari Kalimantan Selatan C C1 memperlihatkan tingkat virulensi medium, sedangkan isolat yang berasal dari Jawa Tengah C C2 memperlihatkan tingkat virulensi paling rendah, sehingga penulis menyimpulkan ternyata ada keragaman ras fisiologi C. cassiicola di Indonesia. Hasil penelitian juga menunjukkan klon-klon karet AVROS 2037, BPM 24, PPN 2058, PPN 2447, PR 300, PR 303, RRIC 110, RRIM 600, dan RRIM 725 dapat digunakan sebagai inang diferensial, karena klon-klon tersebut memperlihatkan respon ketahanan yang berbeda terhadap tiga isolat C. cassiicola yang diuji. Gintings 1985 melakukan penelitian terhadap tiga kelompok klon di dua lokasi kebun percobaan dengan jarak tanam yang berbeda. Adapun penelitian tersebut menghasilkan bahwa jumlah partikel karet dalam pembuluh lateks berdasarkan bidang pandang pada penampang melintang pembuluh lateks mengikuti pola produktivitas masing-masing klon karet. Saat tanaman karet berumur 1,5 tahun di lapang terdapat hubungan yang nyata dan positif antara diameter batang dan partikel karet dalam pembuluh lateks dengan produksi. Partikel karet dapai dipakai sebagai penduga produksi tanaman karet umur 1,5 tahun sedangkan lingkar batang dapat dipakai sebagai penduga produksi pada tingkat umur 1,5, 7 tahun dan 9 tahun. Hendratno 2008 dalam skripsinya yang berjudul Analisis Permintan Ekspor Karet Alam Indonesia di Negara Cina menuturkan bahwa permintaan ekspor mempunyai kecenderungan meningkat sebesar 89,96 persen selama periode 2000-2007. Selanjutnya diterangkan adapun faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor karet alam ke Cina diantaranya adalah harga ekspor karet alam Indonesia ke negara Cina tahun sebelumnya, harga karet sintetis dunia, GDP perkapita negara Cina, nilai tukar yuan terhadap dolar US, dan log ekspor tahun sebelumnya. Strategi pengembangan ekspor karet alam Indonesia dapat dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas karet alam Indonesia, diantaranya dengan perluasan perkebunan karet, peremajaan kembali tanaman- tanaman karet yang sudah maupun yang kurang produktif, mengaplikasikan pola kemitraan antara petani perkebunan rakyat dan perkebunan besar negaraswasta.

2.2 Penelitian Tentang Motivasi