Pemikiran Islam dan Upaya membendung Kristenisasi

e. Peranannya di dalam organisasi Islam Internasional

Peranan Mohammad Natsir dalam dakwah dan Perjuangan Islam tidak hanya sebatas di Indonesia, tetapi juga dikancah Internasional. Berikut ini pengalaman dan peranannnya di Dunia Islam Internasional: 1. Pada Tahun 1956 ia bersama Syaikh Maulana Abul A’la al-Maududi Lahore dan Abu Hasan al-Nadwi memimpin sidang Muktamar Alam Islamy di Damaskus. Selain itu ia juga pernah menjadi wakil presiden Kongres Islam sedunia yang berpusat di Pakistan. 47 2. Tahun 1968 sebagai anggota Muslim World League Rabithah Alam Islamy yang berpusat di Mekah. 48 3. Tahun 1976 sebagai anggota A’la Al-Alamy lil Masjid Dewan Masjid Sedunia bermarkas di Mekah 49 4. Tahun 1980 menerima penghargaan dibidang pengkhidmatan kepada Islam dari “King Feisal Foundation”, Riyadh. 50

B. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir

Konsep adalah “gambaran mental dari objek, proses, atau apa yang ada diluar bahasa, dan yang memerlukan penggunaan akal budi untuk memahaminya.” 51 Berdasarkan data-data yang berhasil diperoleh penulis, setidaknya terdapat 8 point penting mengenai gagasan Pendidikan Islam Mohammad Natsir, yaitu Asas dari pendidikan, tujuan pendidikan, Pendidikan dan nilai-nilai agama, pendidikan yang universal, Konsep ilmu, pentingnya bahasa asing, dan hubungan pendidikan dengan masyarakat. berikut ini penulis menjabarkan satu persatu dari point-point tersebut yang penulis anggap sebagai konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir. 47 Abudin Nata, Op.cit., h. 78 48 Lukman Hakiem, Loc.it., 49 Ibid. 50 Ibid. 51 Hasanudin, dkk., Ensiklopedia Kebahasaan Indonesia, Jilid II Bandung: Angkasa, 2009, cet. 1, h. 628

1. Tauhid Sebagai Asas Pendidikan

Sebagaimana kita ketahui, umat Islam telah sepakat bahwa asas atau sumber dasar dari Pendidikan Islam adalah Tauhid. Jika Tauhid tidak dijadikan landasan atau dikesampingkan peranannya dari Pendidikan umat Islam, maka Pendidikan tersebut tidak lagi disebut pendidikan Islam dan jika hal itu terjadi maka Pendidikan tidak lagi mendidik umat Islam sebagaimana yang dicita-citakan dalam Islam, yakni menjadikan hamba Allah swt. Di sinilah maka Mohammad Natsir sangat menekankan tentang pentingnya Tauhid sebagai dasar Pendidikan dalam Islam. Ia menyatakan: “Ajaran Tauhid manifestasinya adalah pembentukan kepribadian dan sasaran serta tujuan dari pendidikan itu sendiri, memberikan didikan Tauhid kepada anak haruslah sedini mungkin, selagi masih muda dan mudah dibentuk, sebelum rebung menjadi betung, dan sebelum kedahuluan oleh faham atau ideologi lain.” 52 Mohammad Natsir juga menyatakan bahwa meninggalkan Tauhid sebagai asas pendidikan berarti suatu pengkhianatan yang besar terhadap anak- anak yang kita didik. Sebagaimana pernyataan beliau berikut ini: Mengenal Allah, mentauhidkan Allah, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah, tak dapat tidak harus menjadi dasar bagi tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi yang kita latih. Meninggalkan dasar ini merupakan suatu kelalaian yang amat besar, yang tidak kurang besar bahaya daripada berkhianat terhadap anak-anak yang kita didik walaupun sudah kita sempurnakan makan dan minumnya, serta sudah kita lengakpkan pula ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini tidak ada artinya tanpa Tauhid. 53 Lebih lanjut beliau pun menyatakan: Hubungan dengan manusia dan sesama machluk dapat diadakan kapan sadja waktunja. Akan tetapi hubungan dengan ilahi tidaklah boleh dinanti- nantikan setelahnja besar atau berumur landjut. Malapetaka dan kehinaanlah jang akan menimpa mereka, dimana sadja mereka berada, ketjuali apabila mereka mempunjai hubungan dengan Allah dan pertalian sesama manusia. 54 52 Anwar Harjini ed., Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011, cet. 2, h. 152 53 Ibdi, h. 196 54 D.P. Sati Alimin ed., Op.cit., h. 143 Dalam hal pentingnya tauhid sebagai dasar pendidikan, Mohammad Natsir mengambil salah satu contoh pada seorang profesor fisika bernama Paul Ehrenfest yang membunuh anak kesayangannya dan iapun mati bunuh diri. dalam menjelaskan maksud pemikiran M. Natsir ini, Abudin Nata menggambarkan“Paul Ehrenfest seorang Profesor yang sudah berada pada tingkat keilmuan yang mumpuni dan benar-benar menguasai bidang-bidang sains, berbagai hasil penemuan-penemuan rahasia alam menjadi rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Disamping itu pekerjaannya sehari-hari tak pernah tercela. Pergaulannya pun dengan orang-orang baik, bahkan iapun seorang yang ramah. 55 ” Namun ia adalah seorang Atheis, tidak mengenal Tuhan, sehingga walaupun ia sudah menguasai Ilmu Pengetahuan yang sangat tinggi, Jiwanya tetap merasa kosong dan selalu merasa ada sesuatu yang kurang, yakni tidak adanya tempat atau pegangan untuk menggantungkan perasaan pergolakan nuraninya kepada sesuatu yang absolut dan mutlak adanya bila datang suatu panca roba yang menerpanya. Ia tidak menemukan hal ini dalam sejumlah teori-teorinya. Dalam surat yang ditinggalkan Paul Ehrenfest, yakni agama itu perlu, barang siapa yang tidak memiliki agama, ia munkin binasa karena itu. suratnya itu kemudian ditutup dengan do’a yang sangat mengharukan sahabat-sahabatnya. “Mudah-mudahan Tuhan akan menolong kamu, yang amat aku lukai sekarang ini.” 56 Dalam kumpulan tulisannya Capita Selecta, Mohammad Natsir menyimpulkan dengan kata-kata sebagai berikut: “Demikianlah gambaran batin seseorang jang pada lahirnja boleh dinamakan “atheist.” Seseorang jang pada hakikatnja amat rindu untuk mempunjai Tuhan, tetapi tidak diperdapatnja dalam hidupnja. Seolah-olah dengan membunuh diri itu ia hendak mentjahari Tuhan diseberang kubur, Jakni diachirat dan supaja ia terlepas dari tekanan ruhani jang dirasanja amat berat menghimpitnja didunia ini. 57 55 Abudin Nata, Op.cit., h. 85 56 Ibid, h. 86 57 D.P. Sati Alimin ed., Capita Jilid 1,Op.cit. h. 142