Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
menurut pandangan mereka bisa lebih meningkatkan pendidikan Islam dengan syarat sistem tersebut tidak merusak jati diri Agama Islam yang sebenarnya yang
sudah baku dan disepakati oleh mayoritas ummat Islam. Para tokoh pembaharu pendidikan Islam ini setidaknya mereka
menanamkan tiga pokok besar dalam pendidikan Islam, yaitu: 1 landasan dasar pendidikan Islam; 2 sistem keilmuan dan pembelajaran yang berada pada
pendidikan Islam; 3 kegunaan pengamalan dan tujuan arah pendidikan Islam. Diantara beberapa tokoh pembaharu pendidikan Islam tersebut, terdapat
salah satu yang menjadi fokus perhatian penulis, yakni Mohammad Natsir. Walaupun Beliau hanya lulusan AMS setingkat SMA sekarang tetapi Beliau
adalah seorang cendekiawan muslim yang sangat brilian. Beliau sangat dikagumi oleh kawan maupun lawan, disegani masyarakat baik di dalam maupun diluar
negri. Menurut
Adian Husaini, “ Natsir bukan hanya politisi andal, dia adalah seorang pejuang pendidikan yang layak disejajarkan dengan tokoh-tokoh seperti
KH. Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantara, dan sebagainya”.
7
Didorong oleh kepeduliannya pada problematika umat Islam, pada waktu itu, ia memahami bahwa masalah penting yang membelenggu sebagian
besar umat Islam adalah kebodohan dan kemiskinan yang mana hal itu menjadi lahan subur bagi aktivis misionaris Kristen untuk melakukan kristenisasi atau
minimal menetralisir masyarakat Indonesia dari agamanya Sekularisasi. Dengan demikian maka Mohammad Natsir dalam usianya yang masih muda 24 tahun ia
mendirikan Pendidikan Islam Pendis dan diluar Pendis beliau memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada murid-murid sekolah umum yang beliau ajar,
seperti murid-murid HIS, MULO dan Kweek School Sekolah Guru. Pada masa-masa mudanya, setelah lulus dari AMS, selain aktif
mengajar dan membina Pendidikan Islam Pendis yang ia rintis, beliau juga aktif diberbagai Organisasi ke-Islaman, antara lain Persis, Jong Islamiten Bond, Partai
Syarikat Islam dan Muhammadiyah.
7
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2009, cet. 1. h. 26
Menurut Adian Husaiani, “berangkat dari pencermatan dan pengalaman pada dirinya sendiri,
Natsir kemudian mencoba mengintegrasikan pendidikan yang ketika itu sudah terbelah yakni pendidikan agama dan umum. Natsir menginginkan adanya
integrasi pendidikan agar kaum Muslimin menguasai agamanya dengan baik dan pada sisi lain juga tidak tertinggal dalam persaingan global.”
8
Pada jaman Revolusi fisik, Agustus 1945, sampai Desember 1949, beliau merupakan partisipan aktif dalam barisan pimpinan tertinggi revolusi
dibawah pimpinan bung Karno dan bung Hatta.
9
Dari pengalamannya pula sebagai aktivis organisasi-organisasi Nasional, dan didorong oleh keinginan luhur membangun bangsanya, Mohammad
Natsir akhirnya terlibat langsung dalam politik praktis di pemerintahan yang waktu itu baru lahir. Beliau adalah sebagai ketua umum Masyumi, salah satu
Partai politik yang besar ketika itu dan menjadi oposisi bagi pemerintahan Soekarno.
Dalam pemerintahan dan politik, terdapat pula peranan beliau yang amat menentukan dalam penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
NKRI, yakni pada April tahun 1950, dengan terlebih dahulu melobi petinggi pemerintahan dan para petinggi partai, beliau akhirnya berhasil mengembalikan
bangsa Indonesia dari RIS kepada NKRI. Hal ini disebut dengan Mosi Integral Natsir, sehingga soekarno akhirnya meminta Mohammad Natsir menjadi formatur
kabinet sekaligus perdana menteri. Selain sebagai aktivis organisasi-oraganisasi Nasional, politisi, dan
pendidik guru, beliau juga aktif menulis tentang berbagai keilmuan, khususnya yang berkaitan dengan Islam dan kaum Muslim. Sebagaimana berikut ini Adian
Husaini menyebutkan: Pada sekitar tahun 1930-an, dalam usia sekitar tiga puluhan, Natsir
telah aktif menulis tentang berbagai persoalan keilmuan dan terlibat dalam perdebatan ilmiah dengan berbagai kalangan. Melalui tulisan-tulisannya,
ketika itu, tampak Natsir sudah membaca berbagai literatur tentang Aqidah,
8
Ibid, h. 37
9
Endang Saifudin Anshari dan Amin Rais, “Kata Pengantar”, dalam Endang Saifudin Anshari ed, Pak Natsir 80 Tahun buku kedua,Jakarta: Media Dakwah, 1988. Cet. 1, h. vii
Sejarah, Ilmu Kalam, Tasawuf, Filsafat, Syari‟ah, Perbandingan Agama, dan sebagainya. Hampir dalam setiap tulisannya Natsir mampu meramu
dengan baik sumber-sumber dari kalangan Muslim maupun karya-karya orientalis barat.
10
Mengenai kecendekiawanan dan intlektulitas Mohammad Natsir ini, Lebih lanjut Adian Husaini menyatakan :
Tulisan-tulisan M. Natsir mengandung visi dan misi yang jelas dalam pembelaan terhadap Islam. Dalam buku-buku dan artikel-artikel yang
ditulisnya, tentang berbagai masalah dalam Islam, kita bisa menemukan semangat dan kepercayaan diri yang tinggi dari seorang Natsir yang sama
sekali tidak minder atau rendah diri menghadapi serbuan paham sekularisme barat. Yang waktu itu begitu banyak menyihir otak kaum terpelajar dan elite
bangsa.
11
Setelah Mohammad Natsir dan partai politiknya dibekukan oleh Soekarno dengan alasan terlibat PRRI tahun 1957, hingga pada masa
pemerintahan Soeharto, sikap pemerintah tidak berubah. Bahkan pada masa Presiden Suharto lebih menyedihkan lagi, Mohammad Natsir dicekal hak-hak
pribadinya, beliau dilarang bepergian keluar negeri dengan alasan M. Natsir telah ikut menandatangani Petisi 50 surat pernyataan keprihatian atas pidato dan
kebijakan Soeharto. Namun demikian, ia tetap berjuang untuk rakyat indonesia dan ummat Islam khususnya. Pada masa-masa inilah peranan beliau dalam
Dakwah dan sekaligus membentuk Pengkaderan mujahid-mujahid Dakwah di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia sangat menonjol dan membuahkan hasil.
Dalam hal iniAdian Husaini menggambarkan sebagai berikut: Setelah lepas dari gelanggang politik formal, Natsir mengaktifkan diri
dalam dunia dakwah melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia DDII. Disinilah Natsir mulai melakukan pembinaan intlektual melalui tiga jalur
strategis, yaitu kampus, masjid, dan pesantren. Dari berbagai masjid kampus yang didirikan, Natsir berhasil melakukan kaderisasi intlektual dan
menanamkan benih dakwah di kalangan kaum intlektual. Tahun 1984. Natsir juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina
Pondok Pesantren Indonesia. Beliau juga termasuk pelopor berdirinya
berbagai Pesantren Tinggi Ma‟had „Aliy di Indonesia.
12
10
Adian Husaini, op, cit., h. 41
11
Ibid, h. 40
12
Ibid, h. 38
Dari pernyataan-pernyataan diatas, maka dapat dipahami, bahwa Dr. Mohammad Natsir adalah seorang ilmuwan, intlektual, sekaligus pendidik dan
tokoh teladan bagi bangsa indonesia saat ini. Dari kenyataan-kenyataan sejarah yang demikian jelas itu, maka pada tanggal 7 November 2008, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono atas nama pemerintah Republik Indonesia menyerahkan Kepres No. 041TKTahun 2008 tentang pemberian gelar pahlawan untuk
Mohammad Natsir. Hal-hal inilah yang membuat penulis cukup tertarik dan menjadi latar
belakang untuk mendalami lebih lanjut mengenai Pemikiran dan Konsep beliau tentang Pendidikan Islam. Sehingga dengan demikian penulis mengambil judul
“Konsep Pendidikan Islam Modern Menurut Dr. Mohammad Natsir”.