PENUTUP Konsep pendidikan islam modern menurut pemikiran Dr. Mohammad Natsir

kelompok ini berusaha untuk menerapkan hukum syari‟at Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelompok ini sering disebut dengan Nasionalis Islam. Dari kelompok masyarakat ke empat inilah maka sejak pertengahan abad ke 19 hingga pertengahan abad ke 20 mulai muncul ide-ide pembaharuan pendidikan Islam. Mereka berusaha mengintegrasikan Pendidikan Islam dengan sistem pendidikan Barat. Diantara tokoh-tokoh yang banyak berkecimpung dalam pembaharuan Pendidikan Islam yaitu: KH. Ahmad Dahlan 1869-1923, KH. Hasyim Asyari 1871-1957 KH. Ahmad Soerkati 1875-1943, KH. Agus Salim 1884-1954 KH. A. Hasan 1887-1958, Ki Hadjar Dewantara 1889-1959, Prof. Dr. Mahmud Yunus 1899-1982 Dr. Mohammad Natsir 1908-1993, KH. Wahid Hasjim 1914-1953, Prof. Dr. Rasjidi 1915-2001 dan tokoh-tokoh lainnya masih banyak lagi. Dari segi pendidikannya, mayoritas para tokoh pembaharu ini sempat mengenyam Pendidikan barat khususnya Belanda. Bahkan sebagian diantara mereka seperti Prof. Dr. Rasjidi adalah Sarjana pendidikan Barat, dan M. Natsir seorang siswa AMS dengan lulusan terbaik, luar biasa dan sangat memuaskan dibandingkan dengan anak-anak Belanda sekalipun yang notabene serba lengkap dan cukup mendukung fasilitas belajarnya. Namun sebelumnya mereka juga banyak belajar mengenai Agama Islam secara baik dan mendalam sehingga Aqidah mereka kuat tak tergoyahkan oleh teori-toeri kaum Orientalis, dan pandangannya mengenai Islam sangat jelas serta mudah dipahami oleh masyarakat Islam yang awam sekalipun. Pendapat para pembaharu Pendidikan Islam, secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut: “Pendidikan harus membentuk masyarakat yang berkualitas sebagai ham ba Allah”. Maksudnya kaum muslimin harus menguasai agamanya dengan baik dan benar dan disisi lain kaum muslimin juga tidak tertinggal dalam persaingan global dan tekhnologi. Maka bisa dipastikan karena dengan alasan inilah mereka berusaha menyatukan pendidikan yang murni berasal dari Islam dengan pendidikan- keilmuan dan segala sistem darimanapun asalnya baik Timur maupun Barat yang menurut pandangan mereka bisa lebih meningkatkan pendidikan Islam dengan syarat sistem tersebut tidak merusak jati diri Agama Islam yang sebenarnya yang sudah baku dan disepakati oleh mayoritas ummat Islam. Para tokoh pembaharu pendidikan Islam ini setidaknya mereka menanamkan tiga pokok besar dalam pendidikan Islam, yaitu: 1 landasan dasar pendidikan Islam; 2 sistem keilmuan dan pembelajaran yang berada pada pendidikan Islam; 3 kegunaan pengamalan dan tujuan arah pendidikan Islam. Diantara beberapa tokoh pembaharu pendidikan Islam tersebut, terdapat salah satu yang menjadi fokus perhatian penulis, yakni Mohammad Natsir. Walaupun Beliau hanya lulusan AMS setingkat SMA sekarang tetapi Beliau adalah seorang cendekiawan muslim yang sangat brilian. Beliau sangat dikagumi oleh kawan maupun lawan, disegani masyarakat baik di dalam maupun diluar negri. Menurut Adian Husaini, “ Natsir bukan hanya politisi andal, dia adalah seorang pejuang pendidikan yang layak disejajarkan dengan tokoh-tokoh seperti KH. Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantara, dan sebagainya”. 7 Didorong oleh kepeduliannya pada problematika umat Islam, pada waktu itu, ia memahami bahwa masalah penting yang membelenggu sebagian besar umat Islam adalah kebodohan dan kemiskinan yang mana hal itu menjadi lahan subur bagi aktivis misionaris Kristen untuk melakukan kristenisasi atau minimal menetralisir masyarakat Indonesia dari agamanya Sekularisasi. Dengan demikian maka Mohammad Natsir dalam usianya yang masih muda 24 tahun ia mendirikan Pendidikan Islam Pendis dan diluar Pendis beliau memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada murid-murid sekolah umum yang beliau ajar, seperti murid-murid HIS, MULO dan Kweek School Sekolah Guru. Pada masa-masa mudanya, setelah lulus dari AMS, selain aktif mengajar dan membina Pendidikan Islam Pendis yang ia rintis, beliau juga aktif diberbagai Organisasi ke-Islaman, antara lain Persis, Jong Islamiten Bond, Partai Syarikat Islam dan Muhammadiyah. 7 Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2009, cet. 1. h. 26