Penguasaan Bahasa Asing Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir
4. Dalam beberapa hal Islam bertindak sebagai suplement dari akal,
menjambung kekuatan akal dimana siakal tak dapat mentjapai lebih tinggi lagi. Seseorang jang mendakwakan bahwa “akal” itu bisa mentjapai semua
kebenaran, pada hakikatnja, bukanlah sebenar-benarnja orang jang telah mempergunakan akalnja dan bukanlah seseorang jang akalnja merdeka dari
hawa-nafsu tjongkak dan tekebur, tetapi jang terikat oleh salah satu matjam taklidisme modern jang bernama “rasionalism”.
85
5. Siapakah jang tidak mengakui bahwa Immanuel Kant itu seorang ahli fikir
jang beser? Akan tetapi Immanuel Kant jang besar itulah, jang telah membantah paham orang jang mengatakan bahwa semua boleh dipulangkan
kepada akal merdeka, boleh diputuskan menurut kemauan “rein Vernunft?”
86
6. Prof. Farid Wadjdi, salah seorang pengandjur akal merdeka diabad kita
sekarang, apakah ia “merasionilkan” semua aturan-aturan Islam? Tidak dalam beberapa tulisannja a.I. dalam “Al-Islamu Dienun „Aam wa Chalid”
ditjontohkannja bagaimana kita harus mempergunakan akal kita supaja si akal djangan tekebur menganggap semua jang dinamakan perasaan keagamaan itu
adalah sentimen jang rendah. Didjelaskanja supaya si akal mengakui akan kekuatan perasaan-keagamaan itu dan kepentingannja, untuk djadi rem bagi
tabiat kedjahatan dari manusia, tabiat jang tak dapat direm dan dikekang dengan ratio dan akal semata-mata. Diuraikannja bagaimana Agama Islam
telah memperhubungkan akal dengan perasaan-keagamaan dalam satu kombinasi jang harmonis, jang satu menghargai jang lain pada tempatnja
masing-masing.
87
Dari beberapa pernyataan Mohammad Natsir diatas, dapatlah kita mengambil kesimpulan, bahwa kita umat Islam sangat dianjurkan untuk
memperguanakan akal kita demi kesejahteraan hidup dan berkembangnya peradaban yang maju, dan pada akhirnya akan menguntungkan ummat Islam
sendiri, baik dibidang pendidikan dan dakwah Islam maupun dibidang lainnya,
84
Ibid.
85
Ibid, h. 243
86
Ibid, h. 243-244
87
Ibid, h. 245-246
dan itu semua akan menjadi ladang ibadah buat kita. Namun disisi lain jangan pula kita memaksakan akal kepada sesuatu yang mustahil bisa dicapai dengan
akal, karena jika kita memaksakan akal untuk mencapai sesuatu yang tidak mungkin dicapai oleh akal, itu pada hakikatnya sama dengan tidak
mempergunakan akal. Jadi intinya kita bersikaplah secara wajar Pertengahan dan dalam batas-batas tertentu dalam mempergunakan akal. Batas tetentu tersebut
ada dalam agama Islam. Bagi orang-orang yang bersikap ekstrim yakni orang yang memegang
kuat paham “rasionalism” dan orang yang “Jumud”, Mohammad Natsir mengomentari sebagai berikut: “Jang perlu, bukan sadja berseru kepada kaum
kita: “Djangan engkau terima sesuatu jang engkau tak mempunjai ilmu tentang
itu”, akan tetapi kepada pihak jang satu lagi harus kita berseru djuga: “Djanganlah saudara menolak sesuatu urusan jang saudara belum selidiki apa
jang saudar hendak tolak itu”