Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab Undang-Undang Republik Indonesia dalam Tim penyusun, 2011. Gora Sunarto 2010: 17 menjelaskan bahwa pendidikan hendaknya dapat mengembangkan kemampuan, membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan berkembangnya aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, manusia seperti yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional akan terbentuk. Akn tetapi, harapan tersebut belum dapat dicapai secara maksimal jika pembelajaran relatif mengajak siswa untuk mendengarkan ceramah guru, mengerjakan latihan soal, menghafal informasi, dan tanpa berperan aktif dalam proses pembelajaran. Gora dan Sunarto, 2010: 2 menjelaskan pembelajaran yang didominasi guru dengan ceramah menyebabkan tingkat partisipasi siswa menjadi rendah dan siswa sering berada dalam situasi “tertekan’. Jika siswa cenderung merasa tertekan saat mengikuti pembelajaran, maka siswa tidak dapat memusatkan perhatian pada materi yang dipelajarinya. Hal tersebut ditegaskan oleh Hartono, dkk 2012: 30 yakni materi pelajaran yang tidak terlampau sulit untuk dipelajari, namun jika suasana belajar membosankan, tidak menarik, dan siswa belajar di bawah tekanan, maka pelajaran akan sulit dipahami. 1 2 Siswa yang relatif dituntun untuk mencatat dan menghafal pelajaran, tidak mendapat kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungan. Hal ini menyebabkan siswa tidak memiliki kemampuan untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang diperlukannya. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada proses pembelajaran dan prestasi belajar siswa. Hal ini tampak pada kondisi di lapangan yang diperoleh peneliti. Hasil observasi mengenai aktivitas guru dan siswa kelas V SD Kanisius Totogan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 16 Januari 2013, menunjukkan bahwa dalam pembelajaran matematika, guru relatif memberi tugas saat pembelajaran dan melakukan penilaian. Hal ini tampak saat melakukan pengamatan peneliti melihat guru dua kali memberikan tugas dan melakukan penilaian dalam waktu dua jam pelajaran. Soal yang diberikan selama pembelajaran merupakan soal abstrak. Selain itu, guru memberikan soal latihan untuk dikerjakan secara kelompok yang terdiri dari dua siswa. Pada saat berkelompok, 100 dari 22 siswa terlihat membagi tugas sama rata dan 22 dari 22 siswa berpendapat dalam kerja kelompok. Selain itu tampak 22 dari 22 siswa mempertahankan pendapat; 48 dari 22 siswa saling bertanya; 32 dari 22 siswa menjawab pertanyaan teman sekelompok; dan 36 dari 22 siswa menanggapi pendapat teman sekelompok. Hasil kuesioner kerjasama yang diberikan kepada siswa kelas V SD Kanisius Totogan pada tanggal 17 Januari 2013 membuktikan bahwa siswa yang memiliki tingkat kerjasama baik sebesar 45 dari 22 siswa. Sedangkan 55 dari 22 siswa memiliki tingkat kerjasama kurang baik. Oleh sebab itu, peneliti menyimpulkan bahwa tingkat kemampuan kerjasama siswa perlu ditingkatkan. Hasil pengisian 3 kuesioner kondisi awal terdapat pada lampiran 1 halaman 122. Dari hasil dokumentasi selama satu tahun terakhir, terbukti bahwa 45 dari 22 siswa mendapat nilai ulangan harian matematika yang mencapai KKM sedangkan 55 dari 22 siswa belum mencapai KKM. Nilai KKM yang ditentukan sekolah adalah 60. Hasil tersebut menunjukkan bahwa siswa kelas V SD Kanisius Totogan prestasi belajarnya rendah dalam mata pelajaran matematika. Nilai kondisi awal dapat dilihat pada lampiran 2 halaman 123. Penjelasan dari hasil observasi, kuesioner, dan dokumentasi, membuktikan bahwa siswa kelas V SD Kanisius Totogan perlu mendapat perlakuan yang dapat meningkatkan kerjasama dalam belajar dan prestasi belajar matematika. Proses pembelajaran matematika pada penjelasan tersebut cenderung menggunakan soal abstrak dan tidak memulai dengan konteks. Hal ini bertentangan dengan kurikulum pembelajaran matematika yang hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah sesuai dengan situasi nyata Tim penyusun, 2007. Oleh sebab itu, diperlukan bentuk pembelajaran lain yang dapat mengkaitkan situasi nyata dengan materi pembelajaran dan membantu siswa untuk lebih aktif terlibat dalam setiap kegiatan pembelajaran. Menurut Davies Riyanto, 2009: 161, setiap hal yang dipelajari siswa, siswa harus mempelajari sendiri karena tidak ada seorang pun dapat melakukan kegiatan belajar tersebut untuknya. Oleh karena itu, pelaksanaan proses pembelajaran hendaknya mengutamakan keterlibatan siswa secara aktif untuk berinisiatif dalam menemukan pengetahuan yang dibutuhkan. Pembelajaran yang menyenangkan akan membantu siswa dalam memahami materi pelajaran dan terlibat aktif sehingga pembelajaran menjadi efektif. Peter Kline Hartono, dkk, 2012: 30, juga mengungkapkan 4 learning is most effective when it’s fun, yang berarti belajar sangat efektif jika menyenangkan. Bentuk pembelajaran yang dapat digunakan yaitu pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI. Pendekatan PMRI merupakan pendekatan pembelajaran khusus matematika yang tidak langsung memulai proses pembelajaran matematika pada tingkat formal melainkan menggunakan konteks untuk membangun konsep matematika Wijaya, 2012: 41. Oleh sebab itu, peneliti memutuskan untuk menggunakan pendekatan PMRI untuk meningkatkan kerjasama dan prestasi belajar siswa. Melalui penerapan pendekatan PMRI dalam mata pelajaran matematika, siswa akan membangun pengetahuannya sendiri bukan hanya diberi tahu oleh guru melalui rumus-rumus matematika. Sama halnya dengan ungkapan Freudenthal Wijaya, 2012: 20 bahwa matematika sebaiknya tidak diberikan kepada siswa sebagai suatu produk jadi yang siap pakai tetapi sebagai bentuk kegiatan dalam mengkonstruksi konsep matematika. Siswa diharapkan mampu menemukan keterkaitan antara konsep-konsep matematika dari setiap masalah kontekstual yang ditemuinya melalui penerapan pendekatan PMRI. Dengan demikian, siswa tidak cepat melupakan pengetahuan yang diperolehnya. Riyanto 2009: 161 dan Hartono, dkk 2012, 18 menegaskan bahwa belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami sendiri hal-hal yang dipelajari, bukan mengetahuinya. Dengan menggunakan masalah kontekstual, siswa secara bertahap dibimbing untuk menemukan dan menguasai konsep matematika. Uraian tersebut menegaskan bahwa pendekatan PMRI dapat digunakan dalam upaya meningkatkan kerjasama dan prestasi belajar 5 matematika. Oleh karena itu, peneliti mengambil judul “Meningkatkan Kerjasama dan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas V SD Kanisius Totogan Menggunakan Pendekatan PMRI”.

B. Pembatasan Masalah