1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan matematika memegang peranan penting dalam pendidikan nasional. Melalui pendidikan matematika, siswa dapat dilatih
untuk berpikir logis dalam memecahkan sebuah permasalahan. Pendidikan matematika di Indonesia dilaksanakan mengacu pada kurikulum nasional
yang ditetapkan oleh pemerintah. Tujuan pendidikan matematika, khususnya pada tingkat SMP berdasarkan Kurikulum 2006, salah satunya
adalah siswa memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Rumusan tujuan ini mewarnai pembelajaran matematika yang dilakukan dalam kelas, yaitu pembelajaran matematika yang berorientasi pada
pemecahan masalah. Pembelajaran matematika terdiri dari beberapa bidang pembahasan,
di antaranya adalah geometri. Berdasarkan kurikulum 2006, isi pembelajaran matematika mengarah pada pengembangan Standar
Kompetensi SK dan Kompetensi Dasar KD yang menjadi salah satu acuan tujuan pembelajaran matematika. Pada SK-KD KTSP tahun 2006
untuk kelas VIII SMP, materi geometri meliputi unsur-unsur lingkaran, sudut, menghitung panjang garis singgung lingkaran, dan bangun ruang
seperti kubus, balok, prisma, limas dan bagian-bagiannya. Pada materi ini
2 siswa akan banyak mengamati objek geometri serta hubungan-
hubungannya melalui gambar. Salah satu kompetensi yang terkait adalah tentang melukis garis singgung lingkaran. Melukis garis singgung
lingkaran adalah materi yang penting karena membutuhkan kemampuan visual thinking berpikir visual.
Untuk mempelajari geometri, siswa memerlukan kemampuan visual thinking atau berpikir visual yang baik. Visual thinking adalah proses
analitis dengan membayangkan atau menggambarkan Surya, 2011: 3. Kemampuan untuk membayangkan dan menggambarkan, mendukung
siswa dalam mengoptimalkan kemampuan memecahkan masalah geometri. Ini berarti kemampuan pemecahan masalah geometri sangat
didukung pemahaman mengenai objek geometri. Contoh objek geometri tersebut adalah garis singgung lingkaran. Melukis objek geometri adalah
salah satu cara untuk memvisualisasikan objek geometri. Selain itu melukis juga merupakan kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan
motorik siswa, dimana kegiatan motorik ini sangat berpengaruh terhadap imajinasi. Oleh karena itu, sangat penting bagi siswa untuk
mengoptimalkan kemampuan pemecahan masalah dalam hal melukis. Kemampuan pemecahan masalah matematis pada umumnya sangat
penting. Menurut Bell 1978, penyelesaian masalah secara matematis dapat membantu para siswa meningkatkan daya analitis mereka serta dapat
diterapkan pada macam-macam situasi. Salah satu cara dalam
3 mengoptimalkan kemampuan pemecahan masalah dalam hal melukis,
adalah dengan menerapkan pembelajaran melukis yang efektif. Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dirancang
sesuai dengan karakteristik siswa berupa pengetahuan awal, minat dan gaya belajar siswa. Untuk mencapai pembelajaran yang efektif maka perlu
diaplikasikan prinsip-prinsip belajar. Menurut Suprijono 2013: 4-5 salah satu ciri-ciri prinsip belajar adalah aktif sebagai usaha yang direncanakan
dan dilakukan. Aktif dalam hal ini disesuaikan dengan tujuan pemecahan masalah, bekerja secara aktif baik secara individu maupun berkelompok
dan berpusat pada siswa. Terkait dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa terdapat dua
teori yang mendukungnya, yakni teori pembelajaran kognitivistik dan teori pembelajaran konstruktivistik. Keduanya memiliki kesamaan yakni
pembelajaran berpusat pada siswa. Menurut Suparno 1997: 49, salah satu prinsip pembelajaran kontruktivis, yakni pengetahuan tidak dipindahkan
oleh guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri. Sedangkan dari sisi kognitivistik, salah satu aplikasi teori ini adalah guru tidak hanya
mengutamakan keaktifan siswa, tetapi juga menyusun materi dengan menggunakan urutan dari sederhana ke kompleks dalam rangka
menciptakan pembelajaran yang bermakna meaningful learning Thobroni dan Mustofa, 2013: 94-95.
4 Menurut Poedjiadi 2005: 70
konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang
dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi
dengan lingkungannya.
Di sisi lain, beberapa prinsip yang membedakan teori kognitivistik adalah pembentukan struktur kognitif dan juga peranan kognitif itu sendiri
Thobroni dan Mustofa, 2013: 95 Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang berfokus pada
pemecahan masalah dan menggunakan teori konstruktivisme adalah PBL Problem Based Learning. Pendekatan berbasis masalah ini PBL
memiliki prinsip bahwa siswa dapat mengonstruksi pengetahuan yang mereka miliki sendiri melalui proses interaksi dalam kelompok. Hal ini
sejalan dengan pendapat Arends 2007: 346, yakni “experiental learning,
in which individuals are personally involved in learning, provides theoretical support for cooperative learning”.
Terdapat berbagai macam model pembelajaran kooperatif yang mendukung pendekatan PBL, salah satunya adalah Student Team
Achievement Division STAD. Slavin 2005: 143 mengungkapkan bahwa model ini merupakan model pembelajaran yang paling sederhana dan
mudah diterapkan dalam pembelajaran dengan materi yang masih baru bagi siswa. Dalam pelaksanaan model STAD ini, guru berperan sebagai
fasilitator bukan
sebagai transfer
informasi. Pembelajaran
ini mengandalkan keaktifan siswa sebagai modal utama dalam pemecahan
5 masalah. Model STAD dengan pendekatan PBL menekankan pada
kerjasama dalam kelompok belajar. Fungsi dibentuknya kelompok adalah agar siswa dapat menyelesaikan masalah secara bersama dengan anggota
lain pada kelompoknya. Selain itu, pembelajaran yang berpusat pada siswa, memungkinkan mereka untuk mendapatkan solusi yang baru
Slavin, 2005: 92-93. Melalui proses kerjasama mereka akan lebih kritis dalam mengamati sesuatu sehingga akan lebih kreatif dalam
menyelesaikan masalah karena mengombinasikan berbagai ide dalam diskusi. Pada pembelajaran STAD dengan pendekatan PBL, guru hanya
memberikan bimbingan yang minimal kepada siswa selama kegiatan pemecahan masalah.
Sementara Cognitive Load Theory CLT adalah teori yang berprinsip bahwa keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh seberapa
efektif siswa dapat mengatur muatan kognitif yang dialami siswa saat belajar Retnowati, 2016. Working memory adalah bagian sistem kognitif
yang berfungi untuk mengolah informasi baru dengan menghubungkan pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya telah dipelajari. Working
memory juga memiliki keterbatasan kapasitas dalam mengolah informasi, terutama jika informasi ini bersifat baru atau kompleks Retnowati, 2009.
Terkadang guru memberikan cara penyelesaian permasalahan matematika yang kompleks, padahal menurut Kalyuga 2009: 332, dikarenakan
banyak komponen yang butuh diproses sekaligus dan tidak secara berurutan, maka tugas belajar kompleks mungkin saja memaksakan proses
6 kognitif yang berat. Apabila working memory menerima informasi
kompleks sekaligus maka working memory akan sulit mengolah informasi yang baru dengan baik dan terorganisir. Oleh karena itu, agar
pembelajaran dapat terlaksana dengan efektif, CLT menyarankan tingkat kompleksitas penyajian materi harus diperhatikan.
Informasi yang kompleks dapat menjadi salah satu dari dua sumber muatan kognitif. Menurut Sweller 2011: 57, terdapat dua sumber muatan
kognitif dalam working memory, yakni intrinsic cognitive load dan extraneous cognitive load. Intrinsic cognitive load dapat berupa tingkat
kompleksnya suatu bahan ajar lainnya yang ditentukan secara subjektif sesuai karakteristik materi dan prior-knowledge yang dimiliki oleh siswa.
Prior-knowledge merupakan pengetahuan awal siswa sebagai bekal dalam mengembangkan pengetahuan baru yang akan dipelajari. Extraneous
cognitive load yang merupakan bentuk penyajiannya. Untuk meminimalisir efek cognitive load akibat penyajian materi
yang kompleks, dibutuhkanlah tahap-tahap pembelajaran agar tidak memaksakan muatan kognitif siswa saat memecahkan masalah.
Pendekatan CLT menggunakan beberapa prosedur contoh penyelesaian permasalahan matematika, yakni secara penuh worked example, sebagian
completion problem, dan permasalahan setipe tanpa contoh penyelesaian sama sekali yang berupa masalah yang sebenarnya conventional problem
Merrienboer, 2002: 13. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik memiliki gambaran secara bertahap tentang cara pemecahan masalah yang baru dan
kompleks bagi mereka. Menurut Kalyuga 2009: 333 mempelajari
7 worked-example pada tahap awal perolehan kemampuan kognitif dapat
menghasilkan pemahaman yang lebih dalam dan bermakna dalam prosedur pemecahan masalah untuk pemula. Menurut Merrienboer, et al. 2002: 13
siswa yang menggunakan completion problem dapat memfokuskan perhatiannya pada apa yang dipermasalahkan. Mereka juga dapat
mengasosiasikan langkah-langkah
penyelesaiannya, serta
dapat memperoleh gambaran solusi secara umum atau skema pemecahan
masalahnya. Keduanya ini akan mendukung siswa untuk terlatih dalam pemecahan permasalahan matematika pada tahap awal.
Selain ketiga prosedur tersebut, penyajian materi menurut Sweller 1998: 277 haruslah meminimalisir extraneous cognitive load, sehingga
menstimulasi germane cognitive load. Penyajian materi tersebut memenuhi syarat antara lain, tanpa adanya split-attention sehingga
perhatian siswa tidak terbagi sehingga sulit memahami materi dan juga redundancy effect yang menyebabkan siswa menerima informasi yang
tidak mereka butuhkan sehingga mengurangi kemampuan mereka dalam memecahkan masalah.
Kedua model dan pendekatan yang telah dijelaskan di atas, masing- masing memiliki keunggulan. Melalui latar belakang inilah penelitian ini
perlu dilakukan untuk menguji perbedaan keefektifan kedua model dan pendekatan pembelajaran tersebut, ditinjau dari kemampuan pemecahan
masalah matematika.
8
B. Identifikasi Masalah