PERBEDAAN EFEKTIVITAS MODEL TEAM GAME TOURNAMENT DAN INDIVIDU BERDASARKAN COGNITIVE LOAD THEORY DITINJAU DARI KEAKURATAN DAN KECEPATAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA.

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan proses sistematis yang berfungsi untuk meningkatkan martabat manusia. Di Indonesia, pendidikan dirumuskan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga setiap warga negara memiliki kapasitas dalam mengaktualisasikan diri sebagai manusia seutuhnya. Dimensi kapasitas manusia tersebut mencakup tiga, yaitu (1) afektif, yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif, yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik, yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis (Depdiknas, 2005: 9 – 10). Diantara ketiga kapasitas manusia tersebut, dimensi kognitif merupakan dimensi yang sering menjadi fokus dalam memajukan pendidikan, seperti dalam hal menentukan pembelajaran yang efektif.

Menurut Suwarto (2010a: 76), pembelajaran masa kini cenderung fokus pada dimensi kognitif yakni pembelajaran yang menekankan pada peran aktif siswa dalam menguasai isi pembelajaran seperti mengolah dan memahami informasi yang diperoleh dari guru, buku pelajaran atau media pembelajaran. Paradigma pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran berpusat pada siswa yang menekankan peran aktif siswa secara keseluruhan dalam proses pembelajaran. Siswa bukanlah penerima pasif akan tetapi pembelajar aktif dalam proses pembelajaran, termasuk dalam pembelajaran matematika.


(2)

2

Matematika dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang mencakup segala aspek kehidupan. Hal ini sesuai dengan Permendiknas No. 22 tahun 2006, yang mengartikan matematika sebagai ilmu pengetahuan universal yang melandasi perkembangan teknolog i modern. Selain itu, matematika berperan penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Dengan kata lain, matematika adalah ilmu pengetahuan yang mendasar sehingga siswa dapat mengembangkan berbagai jenis kemampuan untuk mempelajari matematika.

Kemampuan pemecahan masalah merupakan satu diantara kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang siswa selama dan setelah pembelajaran matematika. Karena menurut Ruseffendi (2006), pemecahan masalah matematika dapat dipandang sebagai proses dan juga hasil. Bahkan pentingnya kemampuan pemecahan masalah ditegaskan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika sangat penting diisi dengan kegiatan-kegiatan pemecahan masalah. Sama halnya dengan BSNP, pentingnya kemampuan pemecahan masalah juga diamanatkan dalam kurikulum nasional (Permendiknas No. 22 tahun 2006) dan juga kurikulum pada negara-negara maju eperti Amerika Serikat, Inggris dan Korea Selatan. Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalah menjadi perhatian khusus dalam pembelajaran matematika.

Jonassen (2003: xxi) berpendapat bahwa kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran merupakan kemampuan paling penting yang dapat dipelajari oleh siswa melalui berbagai model pembelajaran. Sebagai contoh dalam bidang profesional, sebagian orang ‘dibayar’ untuk memecahkan masalah, misalnya


(3)

3

profesi detektif atau konsultan. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, manusia dituntut untuk dapat memecahkan masalah kehidupan, baik dari tingkat yang sederhana hingga yang rumit. Oleh karena itu, model pembelajaran perlu dikembangkan agar dapat memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Davidson dan Sternberg (2003: 3) juga menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah sangat penting dalam pembelajaran. Menurut Davidson dan Sternberg, masalah adalah pusat dari kehidupan manusia sehingga penting untuk menguasai kemampuan pemecahan masalah terutama mengidentifikasi permasalahan tersebut.

Kemampuan pemecahan masalah idealnya memiliki kriteria tertentu agar dapat dikategorikan sebagai kemampuan pemecahan masalah yang baik. Menurut Benjamin, Foy, Konowitch dan Mauprivez (2013: 2), keakuratan dan kecepatan sangat penting bagi siswa dalam kemampuan pemecahan masalah matematika. Kecepatan yang dimaksud berkaitan dengan secepat apa siswa dapat memproses informasi matematika dari memori pemyimpanan ke memori kerja, sedangkan keakuratan berkaitan dengan kebenaran dan ketepatan dari hasil pemrosesan (pemecahan masalah) tersebut. Sheremata (2000) juga berpendapat bahwa keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah merupakan dua hal penting yang berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah. keakuratan berkaitan dengan kualitas jawaban dimana

Davidson dan Stemberg (2003: 237) menyatakan, keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah bergantung pada bagaimana strategi seseorang dalam memecahkan masalah. Jika strategi yang digunakan efektif maka berimplikasi pada


(4)

4

keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah yang efektif. Oleh sebab itu, siswa memerlukan strategi yang efektif melalui desain dan model pembelajaran yang efektif agar siswa dapat memecahkan masalah dengan akurat dan cepat.

Guru merupakan fasilitator pembelajaran yang dituntut untuk mendesain pembelajaran yang sesuai dengan kapasitas berfikir siswa sehingga dapat memfasilitasi pembelajaran yang efektif. Struktur kognitif dalam proses berpikir siswa memiliki karakteristik yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain pembelajaran (Retnowati, Sugiman & Murdanu, 2015). Belajar dalam perspektif kognitif adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan proses mental kognitif untuk memilih, mengolah dan menyusun informasi serta merangkainya menjadi pengetahuan yang sistematis (Retnowati, 2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang memfasilitasi siswa untuk berfikir dengan efisien dalam mengkonstruksi pengetahuan.

Cognitive Load Theory adalah teori terbaru yang digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan pembelajaran matematika yang efektif terutama dalam kemampuan pemecahan masalah. Teori ini berawal dari penemuan batasan kapasitas memori kerja yang dipelopori oleh George Miller pada tahun 1956 dalam publikasinya yang berjudul “The Magical Number Seven, Plus or Minus Two: Some Limits on Our Capacity for Processing Information”, dimana Miller menyatakan bahwa manusia hanya dapat menyimpan informasi dalam memori kerja sekitar lima hingga sembilan bagian. Penemuan tersebut digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan mengapa siswa mengalami kesulitan belajar dengan desain


(5)

5

pembelajaran tertentu, yang diteorikan oleh John Sweller dari Autralia dengan istilah Cognitive Load Theory (CLT) pada tahun 1980-an.

Cognitive Load Theory merupakan teori instruksional (pembelajaran) yang berlandaskan pada kapasistas berfikir siswa (Sweller, Merrienboer dan Paas, 1998, Sweller, 2004, Sweller, Ayres dan Kalyuga, 2011). Teori ini menyatakan bahwa proses pembelajaran bermakna berlangsung karena keseimbangan antara muatan dari proses pembelajaran dengan kapasitas kognitif manusia. Menurut CLT, working memory berperan dalam memfasilitasi proses berfikir siswa. Khususnya untuk siswa yang belum mempunyai pengetahuan awal yang cukup untuk mengenali dan memroses informasi baru atau kompleks, kapasitas working memory untuk mengorganisir pengetahuan menjadi semakin rendah.

Dengan adanya kapasitas working memory tersebut, Sweller, Ayres dan Kalyuga (2011) menjelaskan bahwa siswa yang akan mempelajari materi baru atau kompleks akan lebih baik difasilitasi dengan desain pembelajaran yang meminimalkan muatan kognitif di working memory. Muatan kognitif dalam working memory dapat disebabkan oleh dua sumber yaitu: (1) dari kompleksitas elemen-elemen materi pembelajaran (intrinsic cognitive load); (2) dari penyajian materi pembelajaran (extraneous cognitive load). Kedua muatan ini bersifat akumulatif di dalam working memory.

Retnowati, Sugiman dan Murdanu (2015: 19) mencatat bahwa implikasi dari Cognitive Load Theory untuk mendesain metode pembelajaran antara lain: guru perlu memahami tingkat kompleksitas materi (antarelemen) yang akan dipelajari, guru perlu mengetahui sejauh mana prior-knowledge siswa sebelum mempelajari


(6)

6

materi baru, guru perlu mendesain pembelajaran yang meminimalkan muatan dari intrinsic cognitive load dan extraneous cognitive load, dan guru berperan dalam memfasilitasi proses yang meningkatkan germane cognitive load yaitu untuk konstruksi skema pengetahuan serta guru berperan dalam membangun susunan skema yang baik dan memfasilitasi automatisasi skema melalui rehearsal.

Konstruksi skema pengetahuan matematika berhubungan dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa. Belajar matematika memerlukan prior-knowledge sebagai modal untuk membangun konsep baru (Subanji, 2015:1). Kegiatan menghubungkan prior-knowledge dengan pengetahuan lama atau pengetahuan yang telah dimiliki memerlukan kemampuan pikiran. Pikiran akan memberikan respon terhadap suatu konsep matematika yang telah dipelajari. Konsep matematika yang dipelajari akan dihubungkan dengan konsep bersesuaian yang telah dimiliki.

Geometri merupakan cabang dari matematika yang berhubungan dengan bentuk dan ruang. Siswa dalam mempelajari geometri akan mengalami kesulitan atau kendala saat memahami bentuk. Menurut Saha (2010), banyak siswa kesulitan dalam mengembangkan pemahaman yang layak untuk skema pengetahuan geometri, penalaran geometri, dan kemampuan pemecahan masalah geometri. Gal dan Linchevski (2010) berpendapat bahwa dalam mempelajari geometri yang menjadi kesulitan adalah konfigurasi secara sudut pandang (Perceptual Organization), pengenalan (recognition), dan representasi dari sudut pandang (representation of perception). Dalam mempelajari geometri yang menjadi permasalahan adalah kesulitan dalam mengkonfigurasi pemahaman (Lin dan Lin,


(7)

7

2013). Lin dan Lin juga membuktikan bahwa jumlah elemen informasi, tingkat interaksi elemen, dan tingkat operasi mental merupakan tiga sumber utama cognitive load dalam konfigurasi pemahaman, terutama berkenaan dengan geometri pemecahan masalah. Sebagai mana menurut Suharjana (2010), geometri adalah salah satu materi dari matematika yang diajarkan dengan tujuan agar siswa dapat memahami sifat-sifat dan hubungan unsur geometri serta dapat menjadi pemecah masalah yang baik.

Cognitive Load Theory mengembangkan pembelajaran menggunakan model individu karena proses berfikir dan mengkonstruksi pengetahuan seyogyanya bersifat individual (Retnowati, Ayres dan Sweller, 2010). Akan tetapi, kerena seorang individu berada dalam suatu lingkungan sosial budaya memungkinkan untuk belajar dari individu lain (Retnowati, Sugiman & Murdanu, 2015). Menurut Vygotsky (dalam Daniels, 2001), perkembangan kognitif siswa dapat lebih optimal ketika siswa mendapatkan bimbingan (scaffolding) dari orang lain yang lebih pandai. Hung (dalam Retnowati, Sugiman & Murdanu, 2015) menambahkan, orang lain yang berfungsi sebagai scaffolding karena dapat menyediakan pengetahuan awal untuk “dipinjam” oleh siswa yang kurang pengetahuan awalnya sehingga dapat mengorganisasikan dan mempelajari bahan ajar. Menurut Paas, Sweller, Ayres dan Kalyuga (dalam Retnowati, Sugiman & Murdanu, 2015), siswa memerlukan pengetahuan awal yang cukup untuk memecahkan masalah atau untuk mengorganisasikan materi untuk dipelajari. Tanpa adanya pengetahuan awal, konstruksi pengetahuan akan tidak efektif karena siswa cenderung berfikir secara acak dan tidak terorganisir.


(8)

8

Pembelajaran kooperatif bukanlah gagasan baru dalam dunia pendidikan, tetapi dewasa ini, model tersebut hanya digunakan oleh beberapa guru aktif dan kreatif. Namun demikian, penelitian selama beberapa dekade terakhir telah mengidentifikasikan model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan secara efektif pada setiap tingkatan kelas dan untuk mengajarkan berbagai macam mata pelajaran. Mulai dari matematika, membaca, menulis sampai pada ilmu pengetahuan ilmiah, mulai dari kemampuan dasar sampai pemecahan masalah-masalah yang kompleks (Slavin, 2008: 4).

Pembelajaran kooperatif memfasilitasi siswa untuk belajar berkelompok dan bekerja sama dengan siswa lainnya serta saling berbagi agar dapat mengerjakan tugas baik berupa informasi, konsep, eksperimen, atau bahkan pemecahan masalah dalam pembelajaran (Johnson dan Johnson, 1994: 100 – 101). Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas terstruktur sesuai dengan konsep gotong royong di Indonesia. Pembelajaran ini dapat merangsang dan menggugah potensi siswa secara optimal dalam suasana belajar dengan kelompok-kelompok kecil yang bervariasi. Lie (2007: 12) menjelaskan, pada model pembelajaran kooperatif, siswa dalam belajar kelompok akan mengembangkan suasana belajar terbuka yang saling menguntungkan dan membutuhkan, interaksi guru dengan siswa, siswa dengan siswa sehingga memungkinkan pengembangan nilai-nilai sosial yang ada.

Menurut DeVries, Mescon dan Shackman (1976: 4), salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendukung kemampuan kognitif siswa dan efektif terhadap pembelajaran matematika adalah Team Game Tournament (TGT). Team


(9)

9

Game Tournament (TGT) merupakan model pembelajaran kooperatif yang menggunakan permainan dan turnamen akademik, dimana siswa berkompetensi sebagai wakil dari timnya melawan anggota tim yang lain yang mencapai hasil atau prestasi serupa pada waktu lalu. Komponen-komponen dalam TGT adalah presentation (penyajian materi), team (kelompok), game (permainan), tournament (turnamen), dan reward (penghargaan kelompok) (Slavin, 1995:84). Dalam permainan, terdapat dua variabel yang menentukan keberhasilan kelompok, yaitu keakuratan dan kecepatan. Dengan kata lain, TGT memiliki kelebihan dalam mendorong siswa untuk lebih cepat dan akurat dalam pemecahan masalah.

Penelitian mengenai efektivitas TGT yang dilaksanakan sebelumnya menggunakan pendekatan implisit dimana siswa hanya diberi materi pembelajaran geometri berupa pemecahan masalah untuk dipelajari tanpa ada bimbingan dari guru. Bagi siswa yang tidak memiliki pengetahuan awal yang cukup, pembelajaran seperti ini tidak efisien karena mengakibatkan cognitive load yang tinggi. Akan tetapi, masih diperlukan bukti empiris bahwa jika materi pembelajaran geometri berupa pemecahan masalah dalam pembelajaran disusun sesuai dengan CLT dengan menggunakan model pembelajaran TGT akan lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, model pembelajaran TGT berdasarkan CLT menjadi sebuah eksperimen yang menarik karena keduanya mendukung dan memfasilitasi siswa dalam materi pembelajaran geometri melalui pemecahan masalah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk membandingkan efektivitas model TGT berdasarkan CLT dan model individu berdasarkan CLT serta bagaimana pengaruh materi pembelajaran geometri dan interaksi antara materi geometri dengan kedua


(10)

10

model pembelajaran tersebut berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

B. Identifikasi Masalah

Dari pejabaran latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut.

1. Kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika masih perlu untuk selalu ditingkatkan dengan model pembelajaran yang inovatif.

2. Keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah merupakan bagian penting dari kemampuan pemecahan masalah yang masih perlu untuk difasilitasi dengan inovasi pembelajaran.

3. Penelitian tentang model pembelajaran kooperatif Team Game Tournament (TGT) belum diketahui keefektivannya jika dikembangkan berdasarkan Cognitive Load Theory (CLT) pada materi geometri. 4. Perbandingan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dan

model individu berdasarkan CLT belum mempunyai bukti empiris yang cukup.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat permasalahan yang teridentifikasi cukup luas, penelitian ini dibatasi pada:

1. Variabel yang diukur dibatasi pada dua yaitu keakurataran dan kecepatan pemecahan masalah.


(11)

11

2. Keakuratan pemecahan masalah didefinisikan sebagai jawaban dari tes kemampuan pemecehan masalah yang sesuai dengan pertanyaan yang diajukan, lengkap dan benar.

3. Kecepatan pemecahan masalah didefinisikan sebagai total skor benar dari tes kemampuan pemecehan masalah yang dapat dipecahkan oleh siswa dalam waktu tertentu.

4. Materi pembelajaran dibatasi hanya pada materi Standar Kompetensi (4) untuk kelas VIII yaitu menentukan unsur, bagian lingkaran serta ukurannya dan Kompetensi Dasar (4.4) yaitu menghitung panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dimana indikator pencapaian kompetensi adalah menentukan panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dan menentukan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih. Materi tersebut dipilih karena sesuai dengan sifatnya yang tidak mudah diajarkan, kompleksitas materi, dan merupakan materi yang paling mungkin untuk diteliti pada semester genap tahun akademik 2015/2016.

D. Rumusan Masalah

Dari latar belakang dan beberapa identifikasi masalah yang telah diuraikan tersebut maka pokok permasalah yang menjadi penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa?


(12)

12

2. Apakah terdapat perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT berdasarkan CLT dan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa? 3. Apakah terdapat interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan

model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah menyelidiki

1. Untuk menguji apakah terdapat perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. 2. Untuk menguji apakah terdapat perbedaan pengaruh jenis materi antara

model TGT berdasarkan CLT dan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

3. Untuk menguji apakah terdapat interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Diharapakan melalui penelitian ini dapat memperkaya konsep atau teori serta memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada bidang


(13)

13

pendidikan matematika. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai rujukan untuk orang-orang yang berminat dalam melakukan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa

1) Memfasilitasi siswa dengan proses kognitif dalam pembelajaran matematika yang efektif.

2) Melatih siswa aktif dalam belajar secara individu dan kelompok.

3) Membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika.

b. Bagi Guru

1) Memberi desain pembelajaran alternatif, yaitu pembelajaran berdasarkan Cognitive Load Theory (CLT). 2) Memberi ide kreatif dalam pembelajaran matematika. c. Bagi Peneliti

1) Mengembangkan keterampilan dalam penelitian sebagai calon pendidik matematika.

2) Menambah pengetahuan dan melihat efektivitas keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa setelah pembelajaran matematika dengan menggunakan model Team Game Tournament (TGT) berdasarkan Cognitive Load Theory (CLT) dan model individu Cognitive Load Theory (CLT).


(14)

75 BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang bagaimana metode penelitian yang akan dilaksanakan dan analisis data yang akan digunakan. Dari uraian ini, peneliti berusaha untuk merancang desain, instrumen dan uji hipotesis (berdasarkan rumusan masalah) dalam penelitian.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan paradigma kuantitatif yang berjenis kuasi eksperimen. Kuasi eksperimen merupakan suatu bentuk penelitian ekperimen dimana individu tidak ditempatkan ke dalam kelompok secara acak seutuhnya atau acak yang kebetulan sehingga dapat menggunakan kelas yang telah ada untuk dijadikan kelompok eksperimen (Creswell, 2012: 309). Penelitian ini akan membandingkan bagaimana keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa untuk mengetahui dan menyelidiki efektivitas model pembelajaran TGT dan individu berdasarkan CLT.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di SMP Negeri 14 Yogyakarta tahun ajaran 2015/2016. Adapun waktu yang akan digunakan adalah tanggal 20 sampai dengan 25 Mei 2016. Alokasi waktu untuk setiap pertemuan (pertemuan pertama dan pertemuan kedua) lebih kurang selama 2 × 40 menit (2 jam pelajaran) dimana pada tiap pertemuan diadakan tes pemecahan masalah (post-test) setelah proses pembelajaran. Penelitian akan dilakukan pada waktu pembelajaran matematika (tidak di luar jam pelajaran). Perlu diketahui, SMP Negeri 14 Yogyakarta masih


(15)

76

menggunakan kurikulum nasional 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan masih akan menggunakan kurikulum tersebut pada saat penelitian berlangsung. C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Menurut Creswell (2012: 142), populasi merupakan kelompok individu yang memiliki karakteristik yang sama. Sebagai contoh, semua guru yang membentuk populasi guru, dan semua administrator sekolah yang membentuk populasi administrator sekolah. Contoh tersebut menggambarkan, populasi dapat berupa skala kecil atau besar.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Pertama kelas VIII khususnya siswa yang memiliki rata-rata umur 14,12 tahun dan belum mempelajari materi panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.

Dengan kata lain, populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah populasi tidak terbatas, akan tetapi ditentukan dari kemampuan subyek yang masuk dalam populasi sehingga siapa saja siswa yang berumur 13-15 tahun dan belum mempelajari garis singgung persekutuan dua lingkaran dan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih serta belajar secara klasikal maka masuk dalam populasi penelitian ini. Menurut Nazir (2005: 271), populasi tidak terbatas adalah populasi yang jumlah anggotanya tidak diketahui secara pasti atau jumlah anggotanya tidak terbatas.


(16)

77 2. Sampel

Menurut Creswell (2012: 142), sampel merupakan subkelompok dari populasi. Dalam situasi yang ideal, sampel dapat dipilih dari beberapa individu yang merepresentasikan seluruh populasi. Berdasarkan kesistematisannya (Creswell, 2012: 142), ada dua jenis pengambilan sampel, yaitu Probability Sampling (pengambilan sampel yang sistematis) dan Nonprobability Sampling (pengambilan sampel yang tidak sistematis).

Dalam penelitian pendidikan, Probability Sampling tidak selalu digunakan karena peneliti dapat menggunakan Nonprobability Sampling. Pada Nonprobability Sampling, peneliti memilih individu karena mereka bersedia dan mewakili beberapa karakteristik yang akan diteliti. Dalam beberapa situasi, dapat juga karena individu tersebut sukarela dan setuju (Creswell, 2012: 145). Ada dua jenis Nonprobability Sampling yang populer digunakan (Creswell, 2012: 145), yakni convenience sampling dan snowball sampling.

Penelitian ini menggunakan pengambilan sampel Nonprobability Sampling berjenis convenience sampling. Convenience sampling merupakan pengambilan sampel yang memilih individu (subjek penelitian) dikarenakan ingin dan bersedia untuk diteliti. Dalam hal ini, peneliti tidak dapat mengatakan dengan keyakinan bahwa individu seutuhnya mewakili populasi. Akan tetapi, sampel dapat memberikan informasi yang berguna untuk menjawab pertanyaan dan hipotesis. Selain itu, sekolah ini dipilih karena siswanya telah terbiasa menggunakan pembelajaran individu ataupun


(17)

78

kooperatif serta pada saat penelitian dilakukan siswa belum memahami dan menguasai salah satu kompetensi dari permasalahan matematika, yaitu garis singgung lingkaran. Hal lainnya, karena kemudahan akses dan kemudahan mitra yang telah terjalin sebelum peneliti melakukan penelitian yaitu pada saat Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 14 Yogyakarta tepatnya pada kelas VIII. Berdasarkan pertimbangan guru mata pelajaran matematika kelas VIII dan kebutuhan penelitian serta kemudahan objek yang akan diteliti, diperolehlah dua kelas eksperimen. Kelas eksperimen pertama adalah kelas VIII A yang menggunakan model pembelajaran individu yang terdiri dari 34 siswa dan kelas eksperimen kedua adalah kelas VIII C yang menggunakan model pembelajaran Team Game Tournament (TGT) yang terdiri dari 33 siswa. Kedua model pembelajaran tersebut sama-sama berdasarkan Cognitive Load Theory (CLT).

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasionalnya

Penelitian ini memuat empat jenis variabel, yaitu variabel terikat (dependen variable), variabel bebas (independent variable), dan variabel kontrol (control variable). Berikut ini variabel penelitian dan definisi operasionalnya:

1. Variable Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keakuratan pemecahan masalah matematika dan kecepatan pemecahan masalah matematika.


(18)

79

a. Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika

Keakuratan pemecahan masalah matematika merupakan keakuratan jawaban dalam memecahkan masalah pada soal post-test I dan post-test II.

b. Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika

Kecepatan pemecahan masalah matematika dalam penelitian ini merupakan banyaknya soal post-test yang dapat dipecahkan siswa dalam waktu tertentu. Banyaknya soal post-test yang dapat dipecahkan siswa merujuk pada keakuratan pemecahan masalah matematika siswa Sedangkan waktu merujuk pada waktu yang ditempuh oleh siswa yang terakhir menyelesaikan post-test karena waktu diukur secara klasikal. 2. Variabel Bebas

a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang terdiri dua bagian, yaitu:

1) Model TGT (berdasarkan CLT) 2) Model individu (berdasarkan CLT)

b. Variabel bebas lain yang digunakan sebagai tinjauan untuk menganalisis keakuratan dan kecepatan pemecahan siswa adalah jenis materi. Materi pada penelitian ini adalah garis singgung lingkaran. Materi ini merupakan salah satu materi yang tergolong kompleks dan membutuhkan berbagai kombinasi serta aturan yang diterapkan sesuai dengan kegiatan pemecahan masalah. Siswa harus mengaplikasikan hubungan-hubungan antar objek geometri serta perhitungannya. Ada dua jenis materi dalam penelitian ini, yakni:


(19)

80

1) Panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran, jenis ini menekankan penggunaan Teorema Pytthagoras dan prinsip kesejajaran garis pada bangun datar.

2) Panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih, jenis ini menekankan penggunaan diameter dan busur lingkaran.

3. Variabel Kontrol

Variabel kontrol adalah variabel yang dikendalikan sehingga pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti (Nazir, 2011). Variabel ini bukan variabel inti yang menjadi perhatian dalam menjelaskan hasil. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah: (a) pengajar yang sama yaitu peneliti, (b) alokasi waktu yang sama, (c) adanya RPP guna mengelola intensitas untuk pembelajaran yang sama, (d) kedua model sama-sama berdasarkan CLT sehingga jenis LKS pun sama, (e) soal post-test pertemuan I dan II yang sama.

E. Desain dan Prosedur Eksperimen

Penelitian ini menggunakan desain penelitian post-test-only-nonequivalent comparison-group design (Creswell, 2012: 310) yang menggunakan dua kelas eksperimen. Secara operasional, penelitian dilaksanakan dengan mengikuti desain dan prosedur eksperimen yang telah ditentukan seperti yang akan diuraikan seperti yang diuraikan di bawah ini.


(20)

81 Tabel 3. 1 Desain Eksperimen

Keterangan:

: Kelas yang diberi melalui model individu berdasarkan Cognitive Load Theory (CLT) (kelas VIII A).

: Kelas yang diberi model Team Game Tournament (TGT) berdasarkan Cognitive Load Theory (CLT) (kelas VIII C). A : pembelajaran model individu berdasarkan CLT.

C : pembelajaran model TGT berdasarkan CLT.

1 : Materi pembelajaran pada pertemuan pertama, yakni garis singgung persekutuan dua lingkaran.

2 : Materi pembelajaran pada pertemuan kedua, yakni panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.

: tes pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII A pada pertemuan pertama.

: tes pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII C pada pertemuan pertama.

: tes pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII A pada pertemuan kedua.

Kelas Perlakuan (Treatment)

Post-test I

Perlakuan (Treatment)

Post-test II �

A C

A C


(21)

82

: tes pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII C pada pertemuan kedua.

Eksperimen dilaksanakan dalam empat fase yaitu: (1) fase pengaktifan prior-knowledge, (2) fase pengenalan materi baru, (3) fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, dan (4) fase tes pemecahan masalah. Fase-fase tersebut dilakukan berturut-turut di setiap kelas sesuai dengan jadwal pelajaran matematika di sekolah. Masing-masing fase memiliki ciri khas dan alokasi waktu yang berbeda. Untuk menjaga prosedur agar diterapkan dengan tepat, peneliti merancang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) seperti dapat dilihat pada Lampiran 2.3 – 2.6.

Adapun sebelum eksperimen, peneliti melakukan tes untuk mengetahui apakah tingkat pemahaman prior-knowledge siswa pada kedua kelas maupun antarsiswa sama atau belum. Soal tes berkaitan dengan materi prior-knowledge untuk kedua pertemuan seperti yang telah dipaparkan pada Bab II. Kemudian soal tes tersebut dibahas secara bersama pada masing-masing kelas. Perlu diketahui bahwa kegiatan tes dan pembahasannya merupakan kegiatan bersifat pra-eksperimental. Berikut akan dijelaskan prosedur setiap fase pembelajaran:

1. Fase pengaktifan prior-knowledge

Fase pengaktifan prior-knowledge dilakukan untuk mengaktifkan kembali pengetahuan materi prasyarat (prior-knowledge) sebelum memasuki materi baru. Fase ini dilakukan dengan tanya jawab klasikal dan pembahasan secara singkat untuk menghemat waktu.


(22)

83 2. Fase pengenalan materi baru

Materi baru yang dipelajari adalah panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih. Pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa mencoba langsung untuk menemukan rumus untuk materi tersebut menggunakan ringkasan materi secara induktif, siswa menggeneralisasi berbagai fakta atas rumus tersebut.

Setelah memahami, siswa memecahkan masalah-masalah terkait untuk mengotomatisasikan pengetahuan (schema automation) rumus-rumus yang baru dipelajari ini. Peneliti membimbing dengan intensitas minimal agar memfasiliasi siswa untuk belajar lebih bermakna akan tetapi peneliti tetap memastikan siswa telah menguasai materi baru agar dapat memecahkan masalah yang lebih kompleks terkait materi tersebut.

3. Fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah

Pada fase ini, siswa mengerjakan soal-soal pemecahan masalah menggunakan LKS. Tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Pada model individu, siswa mengerjakan LKS secara individu dan guru membimbing secara sangat minimal serta sekedar mengarahkan siswa untuk fokus dan termotivasi mengembangkan kemampuan pemecahan masalah terutama keakuratan dan kecepatan. Selama pembelajaran siswa hanya menggunakan LKS dan ringkasan materi dari peneliti, tidak membuka bahan ajar lain. Hal ini untuk mengontrol variabel penelitian dengan baik.


(23)

84

Pada model TGT siswa mengerjakan LKS secara berkelompok. Kelompok-kelompok dibagi secara heterogen (kemampuan akademik dan jenis kelamin) sebelum fase ini dilakukan. Pengerjaan LKS untuk model TGT dikemas dalam bentuk permainan (game) serta pemberian skor bagi setiap kelompok. Setelah itu, pada pertemuan akhir (kedua), diadakan turnamen antarkelompok yang berlangsung menggunakan meja turnamen. Soal-soal yang diberikan pada turnamen merupakan kumpulan soal yang telah dipelajari dari pertemuan awal hingga pertemuan akhir. Sebelum turnamen, setiap anggota kelompok di rangking yang kemudian mewakili kelompok masing-masing pada turnamen. Kelompok terbaik adalah kelompok yang meraih skor tertinggi dan akan memperoleh penghargaan. Penghargaan diberikan berdasarkan beberapa kategori yang telah dijelaskan pada bab II.

Pada fase ini, bagi model TGT juga bertujuan mengembangkan keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah siswa. Sama dengan model individu, selama pembelajaran siswa hanya menggunakan LKS dan ringkasan materi dari peneliti, tidak membuka bahan ajar lain. Hal ini untuk mengontrol variabel penelitian dengan baik. Selain itu, guru juga membimbing secara sangat minimal serta sekedar mengarahkan siswa untuk fokus dan termotivasi mengembangkan kemampuan pemecahan masalah.

Lembar Kerja Siswa yang digunakan untuk kedua model sama-sama berdasarkan Cognitive Load Theory dimana memiliki prinsip worked example dan modality effect serta mengurangi split-attention effect dan redudancy effect yang telah dijelaskan pada bab II. Pada bagian akhir LKS,


(24)

85

siswa diberikan kesempatan untuk membuat kesimpulan yang dilakukan setelah siswa mengerjakan tiga langkah pada LKS, yakni 1) completion problem, 2) worked example, dan 3) problem solving.

4. Fase tes pemecahan masalah

Setelah siswa selesai dalam fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa langsung mengikuti fase tes pemecahan masalah atau post-test (berlaku untuk setiap pertemuan). Tidak ada jeda antara fase ini dengan fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah sehingga siswa secara alami hanya menggunakan pengetahuan yang diakuisisi pada pertemuan tersebut untuk memecahkan soal tes. Sementara peneliti menghitung waktu maksimal yang dibutuhkan siswa untuk menyelesaikan post-test (siswa yang terakhir menyelesaikan tes). Setelah fase ini selesai, peneliti menutup pembelajaran dan menganjurkan siswa agar mempelajari kembali materi yang telah dipelajari di rumah.

F. Instrumen Penelitian

Terdapat dua jenis instrumen dalam penelitian ini, yaitu instrumen tes yang berupa tes uraian dan instrumen non-tes yang berupa lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran.

1. Instrumen tes

Ada dua variabel yang diukur dalam penilaian ini yaitu keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah siswa yang dilakukan dengan tes uraian tertulis pemecahan masalah yang bersifat objektif. Jumlah skor maksimal yang didapat siswa adalah 6 dan skor minimal adalah 0. Adapun pedoman


(25)

86

penskoran yang digunakan untuk mengukur keakuratan dan kecepatan pemecahan sebagai berikut:

a. Pedoman penskoran keakuratan pemecahan masalah matematika siswa

Untuk memperoleh data kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, maka dilakukan penskoran dengan menggunakan pedoman penskoran dari Oregon Mathematics Problem Solving Official Scoring Guide (2011) yang terdiri dari lima kategori penilaian dan salah satunya adalah accuracy (keakuratan) pemecahan masalah. Menurut Oregon Assement Mathematics (2011), keakuratan pemecahan masalah mencakup tiga aspek penilaian diantaranya kesesuaian jawaban dari pertanyaan yang ada dalam masalah (soal), kelengkapan dan kebenaran (ketepatan) hasil pemecahan masalah dan adanya pertanyaan baru yang menuju ke permasalahan baru. Hasil penilaian tersebut akan dikonversi ke dalam bentuk persentase. Berikut ini Tabel 3.1 yang menjabarkan prosedur penilaian keakuratan pemecahan masalah matematika siswa.


(26)

87

**6 untuk penilaian yang hampir keseluruhan dari ketentuan; 5 untuk sebagian dari ketentuan *2 untuk penilaian yang belum/tidak dikembangkan atau tidak jelas/mendetail sedangkan 1 untuk minimum atau tidak ada

Sementara itu kisi-kisi dari penelitian ini dijabarkan dari Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar kelas VIII semester 2 dengan dua materi yakni, panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih. Kisi-kisi dari instrumen dalam penelitian ini dijabarkan pada Tabel 3.2 berikut.

Prosedur Penilaian (Skor)

Keakuratan

(Mendukung jawaban/hasil)

**6/5 Jawaban (solusi)/ hasil benar dan ditambah dengan

 Ulasan,

 Keterkaitan,

 Gagasan (simpulan) umum, dan/atau

 Menanyakan pertanyaan baru yang menuju ke permasalahan baru.

4 Jawaban (solusi)/hasil yang diberikan

 Benar,

 Secara matematika dibenarkan, dan

 Didukung oleh hasil pengerjaan. 3 Jawaban (solusi)/hasil yang diberikan

 Tidak benar karena ada kesalahan kecil, atau

 Jawaban benar tetapi hasil pengerjaan terdapat beberapa kesalahan kecil

 Sebagian lengkap, dan/atau

 Sebagian benar.

*2/1 Jawaban (solusi)/hasil yang diberikan

 Tidak benar dan/atau

 Tidak lengkap, atau

 Benar, tetapi

o Bertentangan dengan hasil pengerjaan, atau o Tidak didukung oleh hasil pengerjaan.


(27)

88 Tabel 3. 2 Kisi-kisi Instrumen

Indikator Pembelajaran Nomor

Soal Pertemuan I (Materi I)

4.4.1 Menentukan panjang garis singgung persekutuan dalam dua lingkaran.

a. Panjang jari-jari kedua lingkaran dan jarak titik

pusat kedua lingkaran diketahui. 1

b. Panjang jari-jari kedua lingkaran dan jarak terdekat

antara kedua sisi lingkaran diketahui. 2 c. Panjang jari-jari kedua lingkaran dan jarak titik

pusat kedua lingkaran diketahui. (soal cerita) 3 4.4.2 Menentukan panjang garis singgung persekutuan luar dua

lingkaran.

Indikator Pembelajaran Nomor

Soal a. Panjang jari-jari kedua lingkaran dan jarak titik

pusat kedua lingkaran diketahui. 1

b. Panjang jari-jari kedua lingkaran dan jarak terdekat

antara kedua sisi lingkaran diketahui. 2 c. Panjang jari-jari kedua lingkaran dan jarak titik

pusat kedua lingkaran diketahui. (soal cerita) 3 Pertemuan II (Materi II)

4.4.3 Menentukan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.

a. Panjang jari-jari masing-masing lingkaran dan

banyaknya lingkaran diketahui. 1

b. Panjang jari-jari masing-masing lingkaran dan


(28)

89

Adapun kriteria rata-rata skor keakuratan pemecahan masalah siswa sebagai berikut.

Tabel 3. 3 Kategori Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa

b. Pedoman penskoran kecepatan pemecahan masalah matematika siswa

Pengukuran kecepatan pemecahan masalah matematika dalam penelitian ini didefinisikan sebagai perhitungan rasio keakuratan pemecahan masalah dengan waktu maksimal yang ditempuh siswa dalam memecahkan soal tes. Keakuratan dalam hal ini dikonversikan menjadi nilai persentase keakuratan yang diperoleh siswa dibanding dengan nilai keakuratan total (100%) sehingga mendeskripsikan satu unit skor akurat sebagai hasil menyelesaikan satu set pemecahan masalah. Oleh karena itu, meskipun jumlah soal pada post-test I dan II berbeda dengan persen ini, skor keakuratan dapat dapat dideskripsikan dengan setara. Perhitungan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa dapat dikalkulasikan dalam rumus berikut: Kecepatan

=

waa a a ya a wa a Contoh perhitungan nilai kecepatan pemecahan masalah siswa:

Koefisien Keakuratan (%) Kategori

, < � , Sangat akurat

, < � , Akurat

� , < � , Cukup akurat

, < � � , Tidak akurat


(29)

90

Ryan adalah siswa kelas VIII A, memperoleh nilai keakuratan 60% dan waktu maksimal yang ditempuh siswa dalam memecahkan soal tes pada kelas VIII A adalah 30 menit, maka nilai kecepatan pemecahan masalah Ryan dapat dirumuskan sebagai berikut:

Kecepatan = % = ( ⁄ ) � � =

,

= , ⁄ = 0,02 upm Artinya Ryan hanya mampu menjawab 0,6 unit dengan akurat dari skor keakuratan total tes dalam waktu 30 menit atau Ryan hanya mampu menjawab 0,02 unit dengan akurat dari skor keakuratan total tes dalam waktu 1 menit.

Adapun kategori dari skor kecepatan pemecahan masalah siswa sebagai berikut.

Tabel 3. 4 Kategori Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa

*unit per menit

Dimana = %

� � � � = �

� =

Untuk rincian nilai pada masing-masing model dapat dilihat pada lam Selain itu, pada instrumen tes terdapat rating scale untuk mengukur tingkat kesulitan soal yang dikembangkan menggunakan skala likert’s sembilan titik mengadopsi dari instrumen yang digunakan oleh Retnowati, Sugiman dan Murdanu (2015). Terdapat pertanyaan “Seberapa mudah atau sulit menyelesaikan soal tersebut?” dan jawabannya diberi pilihan sembilan titik alternatif dengan rentang

Koefisien Kecepatan (upm)* Kategori

� > , � �� Sangat cepat

, � �� < � , � �� Cepat

, �� �� < � , � �� Cukup cepat

, � �� < � , �� �� Tidak cepat


(30)

91

dari 1 hingga 9 dengan “1” untuk “sangat-sangat mudah” dan “9” untuk “ sangat-sangat sulit”. Berikut ini kategori tingkat kesulitan soal.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

sangat-sangat mudah

sangat mudah

mudah agak mudah

tidak mudah

atau tidak

sulit

agak sulit

sulit sangat sulit

sangat-sangat sulit

2. Instrumen non-tes

Instrumen non-tes yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan hasil lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran. Observasi yang dilakukan bertujuan untuk melihat keterlaksanaan pembelajaran matematika pada masing-masing kelas eksperimen, yakni kelas yang menggunakan model individu (kelas VIII A) dan kelas yang menggunakan model TGT (kelas VIII C). Teknik observasi ini menggunakan lembar observasi.

Lembar observasi tersebut diisi dengan cara memberikan tanda centang (√) pada kolom “ya” apabila aspek yang diamati terlaksana, memberikan tanda centang pada kolom “tidak” apabila aspek yang diamati tidak terlaksana, serta menuliskan deskripsi dari hasil pengamatan. Skor 1 untuk jawaban “ya” dan skor 0 untuk jawaban “tidak”. Perhitungan presentase hasil observasi keterlaksanaan pembelajaran (P) dapat dikalkulasikan dalam rumus berikut:


(31)

92 G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Instrumen tes disiapkan melalui diskusi, konsultasi, piloting serta expert judgment. Diskusi serta konsultasi instrumen digunakan untuk memastikan seluruh aspek pengukuran telah dijabarkan dalam butir-butir tes sehingga konstruksi tes secara keseluruhan dapat mengukur variabel penelitian dan instrumen memenuhi syarat validitas konstruk (construct validity).

Allen dan Yen (1979: 95) menyatakan bahwa instrumen dilakukan dengan melihat valid secara logika (logical validity), valid secara muka (face-validity), validitas isi (content validity) dan bahasa. Validitas yang ditetapkan melalui analisis rasional dari isi suatu tes dan ditentukan berdasarkan pandangan atau penilaian subjektif dari suatu individu sehingga sesuai dengan tujuan pengukuran. Pencocokan antar butir pertanyaan dalam tes dengan kisi-kisi, memastikan konstruksi soal tepat dan benar serta penyesuaian alokasi waktu sesuai kemampuan siswa dilakukan dalam penilaian expert judgment.

Validitas untuk memperoleh bukti validitas isi dilakukan dengan cara mempertimbangkan tiga orang ahli (expert judgement), diantaranya Nur Insani, M.Sc., Wahyu Setyaningrum, M.Ed., Ph.D., dan Endah Retnowati, M.Ed., Ph.D. Ada beberapa aspek yang akan divalidasi oleh validator untuk menentukan butir tes tersebut valid atau tidak dan dapat dilihat pada lembar validasi pada Lampiran 4.1, 4.2, 4.4, 4.5, 4.7 dan 4.8 yang menunjukkan hasil yang valid baik valid secara logika (logical validity), valid secara muka (face-validity), validitas isi (content validity) dan bahasa. Setelah instrumen dikoreksi oleh validator maka instrumen akan direvisi berdasarkan masukan yang diberikan.


(32)

93

Setelah dilakukan perbaikan, kemudian instrumen ini dikonsultasikan kembali kepada ahli atau validator sehingga instrumen ini dikatakan valid dan siap digunakan. Kategori validitas instrumen dijabarkan oleh Widoyoko (2009: 238) dalam Tabel 3.3 berikut. (analisis validitas lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.3, 4.6 dan 4.9).

Tabel 3. 5 Kategori Validitas Instrumen

Hasil analisis validitas RPP, LKS dan post-test adalah layak untuk digunakan dengan beberapa bagian yang perlu diperbaiki. RPP memperoleh kategori cukup, LKS memperoleh kategori baik dan post-test memperoleh kategori sangat baik dari kedua validator (expert judgement).

Piloting adalah upaya untuk menguji cobakan tes uraian kepada beberapa siswa untuk memprediksi reliabilitas instrumen menggunakan indeks Alpha Cronbach. Instrumen dapat dikatakan reliabel apabila selalu memberikan hasil yang sama jika diuji pada kelompok yang sama pada waktu atau kesempatan yang berbeda (Arifin, 2012: 248).

Alpha Cronbach adalah koefisien alpha dikembangkan oleh Cronbach pada tahun 1951 sebagai ukuran umum dari konsistensi internal skala multi-item (Field, 2009: 674). Rumus menghitung Alpha Cronbach:

Koefisien Validitas Kategori

�̅ > ��+ , � � sangat baik

��+ , � � < �̅ ��+ , � � Baik

��− , � � < �̅ ��+ , � � Cukup ��− , � � < �̅ ��− , � � kurang


(33)

94

� = − × −∑ �

Keterangan:

� : nilai reliabilitas : jumlah soal

: jumlah varians skor tiap-tiap soal : varians total

Kategori reliabilitas instrumen dijabarkan oleh Arikunto (2009: 75) dalam Tabel 3.4 berikut.

Tabel 3. 6 Kategori Reliabilitas Instrumen

Hasil analisis reliabilitas tersebut untuk post-test I adalah 0,483 yang berarti tergolong cukup dan untuk post-test II adalah 0,708 yang berarti tergolong tinggi. H. Teknik Analisis Data

ANOVA (Univariate Analysis of Variance) dan T-test merupakan jenis uji yang paling sering digunakan dalam penelitian pendidikan. Perbedaan dari T-test dan ANOVA hanya jumlah kelompok sampel yang dibandingkan. T-test menguji perbedaan dari dua kelompok dalam satu variabel terikat. Contohnya adalah membandingkan pria dan wanita dalam hal waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan soal matematika. ANOVA menguji perbedaan dua atau lebih kelompok dalam satu variabel terikat. Contoh aplikasi dari ANOVA adalah

Koefisien Reliabilitas Kategori

, � , sangat tinggi

, � , Tinggi

, � � , Cukup

, � , � Rendah


(34)

95

membandingkan 4 kelompok (pria, wanita, tua, muda) dalam hal waktu yang dihabiskan untuk membaca (Cresswell, 2012: 339).

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Repeated-Measures ANOVA. Menurut Field (2009: 458) Repeated-measures digunakan karena subjek yang sama berpartisipasi dalam suatu eksperimen dengan dua perlakuan atau lebih. Dalam penelitian ini eksperimen yang dilakukan memiliki dua perlakuan (pertemuan I untuk materi I dan pertemuan II untuk materi II) dan variabel terikat yang diuji lebih dari satu (keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah). Selain itu, Field (2009: 17) menjelaskan bahwa jika menggunakan analisis Repeated-measures, efek dari eksperimen lebih jelas serta dapat menentukan ada atau tidaknya interaksi (ketergantungan) antara variabel-variabel. Field (2009: 467) juga menjelaskan bahwa Repeated-measures ANOVA menghasilkan F-ratio yang membandingkan jumlah varians yang sistematis dengan jumlah varians yang tidak sistematis:

= � =

� �

Keterangan:

� : varians yang sistematis : varians yang tidak sistematis � : total varians regresi

� : derajat kebebasan regresi : total varians residu : derajat kebebasan residu


(35)

96

Beberapa asumsi dari ANOVA harus dipenuhi dahulu sebelum menganalisis dan menyimpulkan hasil dari penelitian. Field (2009: 359 – 360) menjabarkan ANOVA memiliki tiga asumsi yang harus dipenuhi. Asumsi-asumsi ANOVA akan dijabarkan sebagai berikut.

1. Normalitas

Data yang memiliki distribusi normal berarti memiliki sebaran yang normal pula. Data akan berdistribusi normal apabila nilai skewness dan kurtosis akan berada diantara -2 dan +2 (George & Mallery, 2010). Selain itu, Field (2009: 144) menjelaskan bahwa Kolmogorov–Smirnov test (K-S Test) juga dapat menjadi pertimbangan data berdistribusi normal jika nilai signifikansi (p) lebih dari 0,05. Field (2009: 134) juga memberikan alternatif lain yang menyatakan data dapat dikatakan mendekati berdistribusi normal jika sampel penelitian lebih dari 30. Dengan kata lain, data berdistribusi normal dapat mewakili populasi dalam penelitian (Field, 2009: 133).

Uji normalitas lainnya yang tidak hanya mengacu pada data numerik, dapat menggunakan grafik QQ-Plot. Pada Q-Q Test menghasilkan grafik Q-Q plot yang dapat menggambarkan persebaran distribusi data.

2. Homogenitas varians

Asumsi homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah varians skor (variansi antar kelompok sampel) yang diukur sama atau tidak (Field, 2009: 133). Pada analisis Repeated-measures, asumsi homogenitas varians skor akan terpenuhi jika sudah memenuhi assumption of sphericity (circularity) atau compound symmetry. Apabila variabel terikat hanya dua (dalam hal ini menggunakan Repeated-measures ANOVA) maka tidak perlu menguji


(36)

97

asumsi sphericity karena varians skor cenderung tidak memilki perbedaan varians skor atau cenderung sama (Field, 2009: 459).

Selain itu, Uji levene’s digunakan untuk mengetahui homogenitas dari variabel yang akan diuji. Data dikatakan homogen ketika nilai signifikansi lebih dari 0,05. Menurut Kirk (1995: 100), uji F tetap robust (kuat) walaupun asumsi homogenitas varians tidak terpenuhi dengan syarat (1) siswa berjumlah sama pada setiap kelompok, (2) asumsi normalitas tepenuhi, (3) perbandingan antara varians terbesar dengan varians terkecil tidak melebihi 3. Peneliti menggunakan analisis Repeated-measures ANOVA.

3. Pengamatan Sampel Penelitian Saling Independen

Pengamatan pada semua kelompok eksperimen (sampel) dilakukan secara independen dan acak satu sama lain. Saling independen dalam hal ini jika setiap pengukuran antarkelompok yang diteliti tidak saling mempengaruhi atau dipengaruhi. (Field, 2009: 603). Myers (1979) menjelaskan, asumsi independensi dapat dipenuhi apabila setiap subjek hanya dikenai pengukuran satu kali pelaksanaan dan masing-masing subjek ditempatkan secara acak (randomly assigned) ke dalam kelompok eksperimen.

Analisis uji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan menggunakan Repeated-measures ANOVA. Berikut ini penjelasan analisis uji hipotesis yang terdiri dari tiga:

1. Uji hipotesis pertama

Untuk mengetahui perbedaan efektivitas antara model TGT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Hipotesisnya adalah sebagai berikut.


(37)

98

: tidak terdapat perbedaan pengaruh model antara model TGT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

: terdapat perbedaan pengaruh model antara model TGT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

: � = � � � : � ≠ � � � Keterangan:

� : rata-rata keakuratan pemecahan masalah matematika pada kelas dengan model TGT berdasarkan CLT.

� � : rata-rata keakuratan pemecahan masalah matematika pada kelas model individu berdasarkan CLT.

� : rata-rata kecepatan pemecahan masalah matematika pada kelas dengan model TGT berdasarkan CLT.

� � : rata-rata kecepatan pemecahan masalah matematika pada kelas model individu berdasarkan CLT.

Apabila nilai signifikansi (p) < 0,05 maka ditolak, artinya terdapat perbedaan pengaruh model antara model TGT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

Sebaliknya, apabila nilai signifikansi (p) 0,05 maka diterima, artinya tidak terdapat perbedaan pengaruh model antara model TGT dengan


(38)

99

model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

Analisis lebih lanjut yang harus dilakukan adalah menentukan model manakah yang lebih baik (efektif) ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata keakuratan pemecahan masalah matematika model TGT �̅ dan model individu �̅ serta kecepatan pemecahan masalah matematika model TGT �̅ dan model individu �̅ pada masing-masing model. Model pembelajaran yang memiliki rata-rata keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika yang lebih tinggi merupakan indikasi bahwa model tersebut lebih efektif.

2. Uji hipotesis kedua

Untuk mengetahui perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Hipotesisnya adalah sebagai berikut.

: tidak terdapat perbedaan pengaruh jenis materi ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. : terdapat perbedaan pengaruh jenis materi ditinjau dari keakuratan

dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

: � = � : � ≠ �


(39)

100 Keterangan:

� : rata-rata keakuratan pemecahan masalah matematika pada materi I (panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran).

� : rata-rata keakuratan pemecahan masalah matematika pada materi II (panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih).

� : rata-rata kecepatan pemecahan masalah matematika pada materi I (panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran).

� : rata-rata kecepatan pemecahan masalah matematika pada materi II (panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih).

Apabila nilai signifikansi (p) 0,05 maka ditolak, artinya terdapat pengaruh perbedaan jenis materi ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

Sebaliknya, apabila nilai signifikansi (p) > 0,05 maka diterima, artinya tidak terdapat pengaruh perbedaan jenis materi ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

Analisis lebih lanjut yang harus dilakukan adalah menentukan materi manakah yang paling sulit bagi siswa, sehingga mempengaruhi nilai tes keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika. Hal tersebut dapat dilihat dari total nilai rata-rata pada masing-masing tes serta skala tingkat kesulitan soal. Total nilai rata-rata tes yang paling rendah dan nilai


(40)

101

rata-rata skala lebih atau sama dengan 6 merupakan indikasi bahwa tes tersebut merupakan tes paling sulit untuk siswa.

3. Uji hipotesis ketiga

Untuk mengetahui interaksi antara jenis materi dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Hipotesisnya adalah sebagai berikut.

: tidak terdapat interaksi antara jenis materi dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

: terdapat interaksi antara jenis materi dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

Apabila nilai signifikansi (p) 0,05 maka ditolak, artinya terdapat interaksi antara jenis materi dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

Sebaliknya, apabila nilai signifikansi (p) > 0,05 maka diterima, artinya tidak terdapat interaksi antara jenis materi dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

Apabila terdapat dua ruas garis yang berpotongan pada grafik, maka hal tersebut mengindikasikan adanya interaksi antara model pembelajaran dan materi. Pada ruas garis materi yang berpotongan, dapat dilihat manakah model pembelajaran yang lebih efektif pada masing-masing materi.


(41)

102

Sebaliknya, apabila garis tidak berpotongan maka tidak ada interaksi antara materi dengan model pembelajaran.

Analisis berikutnya yang dilakukan adalah menguji apakah model pembelajaran yang diterapkan memiliki perbedaan pengaruh pada masing-masing jenis materi tes. Analisis ini menggunakan Independent T-test. Keputusan yang diambil apabila nilai signifikansi (p) < 0,05 maka artinya kedua model pembelajaran memiliki pengaruh pada jenis materi karena nilai rata-rata keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah pada kedua model secara signifikan berbeda.

Hasil analisis dari semua variabel terikat dirangkum untuk menemukan pola umum. Rangkuman tersebut digunakan untuk menjawab dan menyimpulkan hasil dari penelitian yang dilakukan.

Effect sizes dan plot dari rata-rata ditampilkan untuk lebih mengetahui besarnya efek dari model pembelajaran, jenis materi pembelajaran dan interaksi antara model pembelajaran dengan jenis materi pembelajaran yang diberikan. Field (2009: 57) menerangkan bahwa effect sizes sangat berguna karena dapat memberikan pengukuran secara objektif dari perlakuan yang diberikan dengan skor 0 - 1 di mana efek yang sempurna merupakan gambaran dari nilai 1. Cohen (1988) membagi effect size menjadi tiga kategori, efek kecil (0,20); efek sedang (0,50) dan efek besar (0,80).

Effect size dapat dilihat menggunakan eta square dan partial eta square. Eta-squared

merupakan proporsi varians total yang dijabarkan oleh suatu varibel. Sedangkan partial eta squared (

) merupakan sebuah


(42)

103

proporsi varians dari suatu variabel yang tidak dapat dijabarkan oleh varibel lainnya (Field, 2009: 791).

� =

�� ��

� =

�� ��+ � �

Keterangan:

� : eta squared

� : partial eta squared � : proporsi varians efek

� : proporsi varians total � : proporsi varians residu

Penelitian ini menggunakan partial eta squared sebagai effect size karena dalam partial eta squared juga memperhatikan pengaruh dari variabel lain. Dengan kata lain, partial eta squared merepresentasikan effect size lebih baik daripada eta squred (Field, 2009: 415).


(43)

104 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang pelaksanaan pengumpulan data, hasil analisis data dan pembahasannya. Dari uraian ini, peneliti berusaha untuk menjawab perumusan masalah penelitian.

A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menguji apakah ada perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa; (2) menguji apakah ada perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa; dan (3) menguji apakah ada interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.

Waktu pelaksanaan penelitian pada tanggal 16 Mei 2016 untuk pra-eksperimen serta tanggal 20, 23 dan 25 untuk pra-eksperimen di dua kelas, siswa kelas VIII yang terdiri dari dari kelas VIII A dan VIII C di SMP Negeri 14 Yogyakarta, D.I Yogyakarta, Indonesia. Seperti diuraikan pada bab sebelumnya, penelitian eksperimen ini menguji perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Eksperimen yang dilakukan menggunakan desain post-test-only-nonequivalent comparison-group. Setiap pertemuan


(44)

105

dilakukan post-test setelah proses pembelajaran. Alokasi waktu tiap pertemuan berlangsung lebih kurang selama 2 × 40 menit (2 jam pelajaran).

Kedua kelas eksperimen sama-sama berdasarkan Cognitive Load Theory akan tetapi menggunakan model pembelajaran yang berbeda, yaitu kelas VIII C menggunakan model TGT dan kelas VIII A menggunakan model individu. Jenis materi pembelajaran terdiri dari dua, yaitu panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dan panjang lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.

Sebelum menguraikan hasil penelitian, berikut ini Tabel 4.1 yang menjabarkan jadwal pelaksanaan pembelajaran (pengumpulan data) di sekolah sebagai gambaran fase-fase penelitian di masing-masing kelas.

Tabel 4. 1 Jadwal Pelaksanaan Pembelajaran

*alokasi waktu di RPP selama 80 menit (fase I: 5 menit, fase II: 10 menit, fase III: 30 menit dan fase IV: 35 menit)

** alokasi waktu di RPP selama 80 menit (fase I: 5 menit, fase II: 10 menit, fase III: 45 menit dan fase IV: 20 menit)

Kelas

(model) Hari/Tgl

Fase I (menit) Fase II (menit) Fase III (menit) Fase IV (menit) Total (menit) TGT pra- eksperi-men

Senin, 16 Mei 2016 Pegujian prior-knowledge 80

Materi I Senin, 23 Mei 2016 10 10 35 35 85*

Materi II Rabu, 25 Mei 2016 10 10 50 20 90**

Individu pra- eksperi-men

Senin, 16 Mei 2016 Pegujian prior-knowledge 80

Materi I Jumat, 20 Mei 2016 10 10 25 30 85*


(45)

106

Pada rencana sebelum penelitian, jumlah sampel yang akan dijadikan objek penelitian adalah 67 siswa dari dua kelas VIII, yakni kelas VIII A sejumlah 34 siswa dan kelas VIII C sejumlah 33 siswa. Akan tetapi pada saat pelaksanaan penelitian berlangsung, beberapa siswa tidak dapat hadir ataupun memenuhi kegiatan pembelajaran secara keseluruhan dikarenakan kegiatan sekolah seperti kegiatan OSIS, kegiatan pramuka serta karena urusan pribadi seperti izin dan sakit, sehingga jumlah sampel pada saat penelitan menjadi 55 siswa, diantaranya 30 siswa untuk kelas VIII A dan 25 siswa untuk kelas VIII C.

Pembelajaran dilaksanakan dalam empat fase, yaitu: (1) fase pengaktifan pengaktifan prior-knowledge; (2) fase pengenalan materi baru; (3) fase akuisisi akuisisi kemampuan pemecahan masalah; dan (4) fase tes pemecahan masalah. Berikut ini penjabaran setiap fase pembelajaran pada masing-masing kelas eksperimen.

1. Model TGT

a. Pra-eksperimen

Peneliti melakukan tes untuk mengetahui apakah tingkat pemahaman prior-knowledge antarsiswa sama atau belum. Soal tes berkaitan dengan materi prior-knowledge untuk kedua pertemuan seperti yang telah dipaparkan pada Bab II. Kemudian soal tes tersebut dibahas secara bersama. Perlu diketahui bahwa kegiatan tes dan pembahasannya merupakan kegiatan bersifat pra-eksperimental.

Kegiatan ini berlangsung cukup kondusif. Tes yang dilakukan selama 60 menit. Sedangkan 20 menit terakhir digunakan untuk membahas tes.


(46)

107

Karena keterbatasan waktu dan sebagian besar siswa masih belum paham atau lupa, peneliti mengajak siswa berdiskusi terkait kesulitan dari materi prior-knowledge. Diskusi bersifat klasikal dan induktif. Siswa diberi kesempatan bertanya dan ditanya. Pada saat ditanya, siswa cenderung pasif akan tetapi pada saat bertanya, siswa cenderung aktif.

b. Pertemuan Pertama

Pada fase pengaktifan prior-knowledge, siswa mempelajari materi prior-knowledge dengan tanya jawab klasikal. Materi prior-knowledge diantaranya Teorema Pythagoras dan prinsip kesejajaran garis pada bidang datar. Peneliti memastikan setiap siswa memahami dan dapat mengingat kembali materi tersebut dengan baik dengan memberikan konfirmasi jawaban yang benar, tanya jawab dan refleksi hasil tes pada pertemuan pra-eksperimen. Kemudian peneliti membagi siswa menjadi tujuh kelompok. Pengelompokan dibagi secara heterogen (kemampuan akademik dan jenis kelamin) sebelum fase pengenalan materi baru dilakukan. Setelah pembagian kelompok, siswa diberitahu aturan permainan dan pembelajaran.

Pada rencana awal fase pengenalan materi baru, pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa mencoba untuk menemukan rumus dari materi baru menggunakan ringkasan materi secara berkelompok dan induktif, kemudian siswa memecahkan masalah-masalah dengan mengotomatisasikan pengetahuan (schema automation) rumus-rumus yang baru dipelajari ini dengan sedikit bimbingan dari peneliti. Akan tetapi pada pelaksanaannya, peneliti membantu siswa


(47)

108

melalui penyampaian ringkasan materi secara klasikal dan deduktif karena siswa mengalami kesulitan dan keterbatasan waktu. Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami ringkasan materi tersebut secara berkelompok agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu, terdapat completion problem yang memiliki representasi mirip dengan apa yang akan dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah agar siswa dapat memahami instruksi dalam kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.

Pada fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa difasilitasi untuk memecahkan soal pada LKS yang memiliki prinsip-prinsip Cognitive Load Theory. Fase belajar ini merupakan aktivitas inti pembelajaran dan juga tujuan utama pembelajaran. Selama fase ini, siswa mengerjakan LKS yang dikemas dalam bentuk permainan (game) serta pemberian skor bagi setiap kelompok. Sub-materi LKS ada dua macam, yaitu menentukan panjang garis singgung persekutuan dalam dua lingkaran dan garis singgung persekutuan luar dua lingkaran.

Diskusi tidak diperbolehkan antarkelompok. Sebelum siswa memulai mengerjakan instruksi pembelajaran, guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa. Apabila selama belajar siswa bertanya kepada guru mengenai isi kegiatan, siswa diminta untuk mencermati kembali instruksi yang diberikan di lembar kerja atau


(48)

109

mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi siswa dalam mengerjakan LKS (memecahkan masalah).

Siswa diinstruksikan untuk menulis jawaban pada LKS dan karton putih agar setiap siswa memiliki tugas, seperti berdiskusi memecahkan jawaban soal, menulis jawaban di LKS, menulis jawaban di karton putih dan mempresentasikan jawaban. Akan tetapi karena keterbatasan waktu, sesi presentasi jawaban tidak dapat dilakukan sehingga peneliti mengganti dengan memberi kesempatan pada beberapa siswa untuk bertanya dan menyimpulkan pembelajaran pada pertemuan tersebut. Kegiatan ini sekaligus memberi kunci jawaban LKS pada siswa.

Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator.

Pelaksanaan fase-fase eksperimen ini dapat dikatakan cukup rapi dan taat pada prosedur yang direncanakan meskipun ada siswa yang tidak berpartisipasi dengan baik sesuai instruksi yang diberikan. Terdapat perubahan alokasi waktu di setiap fasenya.

c. Pertemuan Kedua

Pada fase pengaktifan prior-knowledge, siswa mempelajari materi prior-knowledge dengan tanya jawab klasikal. Materi prior-knowledge


(49)

110

diantaranya panjang diameter lingkaran dan panjang busur lingkaran. Peneliti memastikan setiap siswa memahami dan dapat mengingat kembali materi tersebut dengan baik dengan memberikan konfirmasi jawaban yang benar, tanya jawab dan refleksi hasil tes pada pertemuan pra-eksperimen. Kemudian peneliti membagi siswa menjadi tujuh kelompok. Pengelompokan dibagi berdasarkan kelompok pada pertemuan sebelumnya. Setelah pembagian kelompok, siswa diberitahu aturan permainan dan pembelajaran.

Pada fase pengenalan materi baru, pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa mencoba untuk menemukan rumus dari materi baru menggunakan ringkasan materi secara berkelompok dan induktif, kemudian siswa memecahkan masalah-masalah dengan mengotomatisasikan pengetahuan (schema automation) rumus-rumus yang baru dipelajari ini dengan sedikit bimbingan dari peneliti.

Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami ringkasan materi tersebut secara berkelompok agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu, terdapat completion problem yang memiliki representasi mirip dengan apa yang akan dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah agar siswa dapat memahami instruksi dalam kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.

Pada fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa difasilitasi untuk memecahkan soal pada LKS yang memiliki prinsip-prinsip


(50)

111

Cognitive Load Theory. Fase belajar ini merupakan aktivitas inti pembelajaran dan juga tujuan utama pembelajaran. Selama fase ini, siswa mengerjakan LKS yang dikemas dalam bentuk permainan (game) serta pemberian skor bagi setiap kelompok. Sub-materi LKS hanya satu macam, yaitu menentukan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.

Diskusi tidak diperbolehkan antarkelompok. Sebelum siswa memulai mengerjakan instruksi pembelajaran, guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa. Apabila selama belajar siswa bertanya kepada guru mengenai isi kegiatan, siswa diminta untuk mencermati kembali instruksi yang diberikan di lembar kerja atau mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi siswa dalam mengerjakan LKS (memecahkan masalah).

Siswa diinstruksikan untuk menulis jawaban pada LKS dan karton putih agar setiap siswa memiliki tugas, seperti berdiskusi memecahkan jawaban soal, menulis jawaban di LKS, menulis jawaban di karton putih dan mempresentasikan jawaban. Akan tetapi karena keterbatasan waktu, sesi presentasi jawaban tidak dapat dilakukan sehingga peneliti mengganti dengan memberi kesempatan pada beberapa siswa untuk bertanya dan menyimpulkan pembelajaran pada pertemuan tersebut. Kegiatan ini sekaligus memberi kunci jawaban LKS pada siswa.


(51)

112

Kegiatan selajutnya adalah turnamen antarkelompok. Pada rencana awal, siswa dirangking berdasarkan skor individu untuk menempati meja turnamen secara berurut akan tetapi karena keadaan kelas dan kondisi siswa yang kurang kondusif, peneliti membagi meja turnamen berdasarkan kelompok game. Setiap kelompok dibari empat pertanyaan berkaitan materi pembelajaran pada pertemuan pertama dan pertemuan kedua yang diambil dengan cara diundi. Kelompok yang sudah selesai memecahkan soal langsung mengumpulkan jawabannya. Kemudian peneliti menilai kelompok mana yang dapat memecahkan soal dengan cepat dan tepat untuk menentukan kelompok terbaik. Penilaian skor berdasarkan akumulasi skor game pada kedua pertemuan dan skor tournament. Penghargaan yang diberikan pada kelompok terbaik berupa sertifikat.

Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator.

Pelaksanaan fase-fase eksperimen ini dapat dikatakan cukup rapi dan taat pada prosedur yang direncanakan meskipun ada siswa yang tidak berpartisipasi dengan baik sesuai instruksi yang diberikan. Terdapat perubahan alokasi waktu di setiap fasenya.


(52)

113 2. Model individu

a. Pra-eksperimen

Peneliti melakukan tes untuk mengetahui apakah tingkat pemahaman prior-knowledge siswa pada kedua kelas maupun antarsiswa sama atau belum. Soal tes berkaitan dengan materi prior-knowledge untuk kedua pertemuan seperti yang telah dipaparkan pada Bab II. Kemudian soal tes tersebut dibahas secara bersama. Perlu diketahui bahwa kegiatan tes dan pembahasannya merupakan kegiatan bersifat pra-eksperimental.

Kegiatan ini berlangsung cukup kondusif. Tes yang dilakukan selama 40 menit. Sedangkan 40 menit terakhir digunakan untuk membahas tes. Karena keterbatasan waktu dan sebagian besar siswa masih belum paham atau lupa, peneliti mengajak siswa berdiskusi terkait kesulitan dari materi prior-knowledge. Diskusi bersifat klasikal dan induktif. Siswa diberi kesempatan bertanya dan ditanya. Pada saat bertanya dan ditanya, siswa cenderung aktif. b. Pertemuan Pertama

Pada fase pengaktifan prior-knowledge, siswa mempelajari materi prior-knowledge dengan tanya jawab klasikal. Materi prior-knowledge diantaranya Teorema Pythagoras dan prinsip kesejajaran garis pada bidang datar. Peneliti memastikan setiap siswa memahami dan dapat mengingat kembali materi tersebut dengan baik dengan memberikan konfirmasi jawaban yang benar, tanya jawab dan refleksi hasil tes pada pertemuan pra-eksperimen.

Pada rencana awal fase pengenalan materi baru, pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa


(53)

114

mencoba untuk menemukan rumus dari materi baru menggunakan ringkasan materi secara mandiri dan induktif, kemudian siswa memecahkan masalah-masalah dengan mengotomatisasikan pengetahuan (schema automation) rumus-rumus yang baru dipelajari ini dengan sedikit bimbingan dari peneliti. Akan tetapi pada pelaksanaannya, peneliti membantu siswa melalui penyampaian ringkasan materi secara klasikal dan deduktif karena siswa mengalami kesulitan dan keterbatasan waktu.

Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami ringkasan materi tersebut agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu, terdapat completion problem yang memiliki representasi mirip dengan apa yang akan dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah agar siswa dapat memahami instruksi dalam kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.

Pada fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa difasilitasi untuk memecahkan soal pada LKS yang memiliki prinsip-prinsip Cognitive Load Theory. Fase belajar ini merupakan aktivitas inti pembelajaran dan juga tujuan utama pembelajaran. Sub-materi LKS ada dua macam, yaitu menentukan panjang garis singgung persekutuan dalam dua lingkaran dan garis singgung persekutuan luar dua lingkaran.

Siswa tidak diperbolehkan berdiskusi dengan siswa lainnya. Sebelum siswa memulai mengerjakan instruksi pembelajaran, guru menjelaskan


(54)

115

kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa. Apabila selama belajar siswa bertanya kepada guru mengenai isi kegiatan, siswa diminta untuk mencermati kembali instruksi yang diberikan di lembar kerja atau mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi siswa dalam mengerjakan LKS (memecahkan masalah). Pada akhir fase ini, siswa diberi kunci jawaban LKS.

Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator.

Pelaksanaan fase-fase eksperimen ini dapat dikatakan cukup rapi dan taat pada prosedur yang direncanakan meskipun ada siswa yang tidak berpartisipasi dengan baik sesuai instruksi yang diberikan. Terdapat perubahan alokasi waktu di setiap fasenya.

c. Pertemuan Kedua

Pada fase pengaktifan prior-knowledge, siswa mempelajari materi prior-knowledge dengan tanya jawab klasikal. Materi prior-knowledge diantaranya panjang diameter lingkaran dan panjang busur lingkaran. Peneliti memastikan setiap siswa memahami dan dapat mengingat kembali materi tersebut dengan baik dengan memberikan konfirmasi jawaban yang benar, tanya jawab dan refleksi hasil tes pada pertemuan pra-eksperimen.


(55)

116

Pada rencana awal fase pengenalan materi baru, pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa mencoba untuk menemukan rumus dari materi baru menggunakan ringkasan materi secara mandiri dan induktif, kemudian siswa memecahkan masalah-masalah dengan mengotomatisasikan pengetahuan (schema automation) rumus-rumus yang baru dipelajari ini dengan sedikit bimbingan dari peneliti. Akan tetapi pada pelaksanaannya, peneliti membantu siswa melalui penyampaian ringkasan materi secara klasikal dan deduktif karena siswa mengalami kesulitan dan keterbatasan waktu.

Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami ringkasan materi tersebut agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu, terdapat completion problem yang memiliki representasi mirip dengan apa yang akan dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah agar siswa dapat memahami instruksi dalam kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.

Pada fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa difasilitasi untuk memecahkan soal pada LKS yang memiliki prinsip-prinsip Cognitive Load Theory. Fase belajar ini merupakan aktivitas inti pembelajaran dan juga tujuan utama pembelajaran. Sub-materi LKS hanya satu macam, yaitu menentukan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.


(1)

406

Lampiran 4. 22 Analisis Uji Hipotesis Pertama

Tests of Between-Subjects Effects

Measure: Keakuratan

Transformed Variable: Average Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Intercept 141873.153 1 141873.153 1137.161 .000 .955

model 1197.017 1 1197.017 9.594 .003 .153

Error 6612.326 53 124.761

Tests of Between-Subjects Effects

Measure: Kecepatan

Transformed Variable: Average Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared

Intercept .022 1 .022 1199.123 .000 .958

model 1.989E-005 1 1.989E-005 1.083 .303 .020


(2)

407

Lampiran 4. 23 Analisis Uji Hipotesis Kedua

Tests of Within-Subjects Effects

Measure: Keakuratan

Source Type III

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig. Partial Eta Squared

Materi

Sphericity Assumed 6262.000 1 6262.000 68.972 .000 .565 Greenhouse-Geisser 6262.000 1.000 6262.000 68.972 .000 .565 Huynh-Feldt 6262.000 1.000 6262.000 68.972 .000 .565 Lower-bound 6262.000 1.000 6262.000 68.972 .000 .565 Error(Materi)

Sphericity Assumed 4811.863 53 90.790 Greenhouse-Geisser 4811.863 53.000 90.790 Huynh-Feldt 4811.863 53.000 90.790 Lower-bound 4811.863 53.000 90.790

Tests of Within-Subjects Contrasts

Measure: Keakuratan

Source Materi Type III

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig. Partial Eta Squared Materi Linear 6262.000 1 6262.000 68.972 .000 .565 Error(Materi) Linear 4811.863 53 90.790

Tests of Within-Subjects Effects

Measure: Kecepatan

Source Type III

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig. Partial Eta Squared

Materi

Sphericity Assumed .003 1 .003 228.034 .000 .811 Greenhouse-Geisser .003 1.000 .003 228.034 .000 .811 Huynh-Feldt .003 1.000 .003 228.034 .000 .811 Lower-bound .003 1.000 .003 228.034 .000 .811

Error(Materi)

Sphericity Assumed .001 53 1.369E-005 Greenhouse-Geisser .001 53.000 1.369E-005 Huynh-Feldt .001 53.000 1.369E-005 Lower-bound .001 53.000 1.369E-005

Tests of Within-Subjects Contrasts

Measure: Kecepatan

Source Materi Type III

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig. Partial Eta Squared

Materi Linear .003 1 .003 228.034 .000 .811


(3)

408

Lampiran 4. 24 Analisis Uji Hipotesis Ketiga

Tests of Within-Subjects Effects

Measure: Keakuratan

Source Type III

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig. Partial Eta Squared

Materi * model

Sphericity Assumed 305.561 1 305.561 3.366 .072 .060 Greenhouse-Geisser 305.561 1.000 305.561 3.366 .072 .060 Huynh-Feldt 305.561 1.000 305.561 3.366 .072 .060 Lower-bound 305.561 1.000 305.561 3.366 .072 .060 Error(Materi)

Sphericity Assumed 4811.863 53 90.790 Greenhouse-Geisser 4811.863 53.000 90.790 Huynh-Feldt 4811.863 53.000 90.790 Lower-bound 4811.863 53.000 90.790

Tests of Within-Subjects Contrasts

Measure: Keakuratan

Source Materi Type III

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig. Partial Eta Squared Materi * model Linear 305.561 1 305.561 3.366 .072 .060 Error(Materi) Linear 4811.863 53 90.790

Tests of Within-Subjects Effects

Measure: Kecepatan

Source Type III

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig. Partial Eta Squared

Materi * model

Sphericity Assumed .000 1 .000 27.919 .000 .345 Greenhouse-Geisser .000 1.000 .000 27.919 .000 .345 Huynh-Feldt .000 1.000 .000 27.919 .000 .345 Lower-bound .000 1.000 .000 27.919 .000 .345

Error(Materi)

Sphericity Assumed .001 53 1.369E-005 Greenhouse-Geisser .001 53.000

1.369E-005 Huynh-Feldt .001 53.000

1.369E-005 Lower-bound .001 53.000

1.369E-005

Tests of Within-Subjects Contrasts

Measure: Kecepatan

Source Materi Type III

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig. Partial Eta Squared Materi * model Linear .000 1 .000 27.919 .000 .345 Error(Materi) Linear .001 53 1.369E-005


(4)

409


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Upaya Peningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa Melalui Model Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) Pada Konsep Sistem Koloid

0 7 280

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Games Tournament) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Biologi

1 3 310

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DITINJAU DARI KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA

6 42 56

IMPLEMENTASI PENDEKATAN PEMBELAJARAN SCIENTIFIC DENGAN STRATEGI TEAM GAME TOURNAMENT DAN NUMBERED Implementasi Pendekatan Pembelajaran Scientific Dengan Strategi Team Game Tournament Dan Numbered Head Together Ditinjau Dari Komunikasi Matematika Siswa(Ek

0 1 15

IMPLEMENTASI PENDEKATAN PEMBELAJARAN SCIENTIFIC DENGAN STRATEGI TEAM GAME TOURNAMENT DAN NUMBERED Implementasi Pendekatan Pembelajaran Scientific Dengan Strategi Team Game Tournament Dan Numbered Head Together Ditinjau Dari Komunikasi Matematika Siswa(Ek

0 1 14

PERBEDAAN EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) DAN MODEL PEMBELAJARAN INDIVIDU BERBASIS COGNITIVE LOAD THEORY (CLT) UNTUK SISWA SMP DITINJAU DARI KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA.

1 7 535

KEEFEKTIFAN TEAM’S GAME TOURNAMENT DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN PEMECAHAN MASALAH (STUDI EKSPERIMEN PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 SEYEGAN) | Nuryadi | Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 10894 22896 1 SM

0 0 13

Virtual Mathematics Media Effectiveness Based Teams Game Tournament Reviewed From Cognitive Load Theory Nuryadi, Nanang Khuzaini,

0 0 13

View of PROFIL PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI PERBEDAAN GAYA BELAJAR

0 1 10

PENGARUH MODEL TEAM GAME TOURNAMENT (TGT) TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI KEDISIPLINAN SISWA KELAS IV A SDN PEKIRINGAN 02

0 0 15