Pembentukan Pirit ARDI ANSYAH

pada tingginya kelarutan Al . Pada beberapa lokasi ada indikasi pembentukan teroksidasinya pirit akan menghasilkan Fe , SO 4-2 , kemasaman serta berdampak 17 sekat di mana penutupan air dimulai dari dasar saluran, lebih cocok untuk lahan pasang surut. Mempertahankan tanah dalam keadaan lembab dimaksudkan untuk mencegah teroksidasinya pirit dan gambut. Seperti diketahui bahwa +2 +3 pirit kembali pada kedalaman kurang lebih 75 cm pada bahan-bahan hasil oksidasi di lapisan atas Mulyanto et. al. 1999. Ini menunjukan sulitnya membuang hasil oksidasi pirit yang bersifat racun. Oleh karena itu pencegahan oksidasi pirit harus dilakukan. Besi hasil oksidasi pirit diantaranya adalah hidro oksida. Besi hidro oksida dapat membungkus pirit yang tersisa yang mencegah pirit teroksidasi lebih lanjut. Pada keadaan terbungkus, pirit tidak akan menjadi masalah lagi selama lapisan besi hidro oksida tidak tereduksi kembali atau dipecahkan sewaktu pengolahan. Dengan demikian memperlakukan tanah berselang-seling antara penggenangan dan tidak mesti dihindari.

2.7. Produktivitas Tanah Sulfat Masam

Produktivitas tanah adalah kemampuan tanah untuk memproduksi hasil pertanian bila ditanami dengan tanaman tertentu. Sedangkan produksi adalah jumlah berat hasil panen yang dikumpulkan dari tempat pemeliharaan yang diusahakan dengan skala kecil maupun skala besar yang biasanya dinyatakan dalam satuan kilogram atau ton. Kemampuan tanah untuk memproduksi hasil pertanian ditentukan oleh karakteristik atau kualitas lahan tanah itu sendiri. Tanah sulfat masam memiliki status hara rendah dan miskin unsur hara penting seperti N, K, Ca dan Mg. Kemasaman tinggi menghambat terjadinya mineralisasi N serta menyebabkan pencucian basa-basa di dalam larutan tanah. Ketersediaan hara P pada umunya rendah walaupun P total tinggi. Tingginya Fe dan Al diduga sebagai penyebab fiksasi P pada tanah sulfat masam. Dalam budidaya padi sawah, rendahnya kandungan oksigen dalam tanah bukan merupakan faktor pembatas sehingga tidak mengakibatkan pengaruh fisiologis yang bersifat negatif. Reduksi tanah sendiri tidak merusak tanaman padi kecuali mungkin pada potensial redoks -300 mv, dimana sulfida dihasilkan pada 18 tingkat toksik Patrick dan Mahapatra 1968, diacu dalam Sanchez 1976. Di sisi lain meningkatnya kelarutan besi pada tanah menguntungkan tanaman padi, mencapai 20 ppm di dalam larutan tanah. Namun peningkatan Fe +2 sampai 350 ppm dapat menyebabkan keracunan besi pada padi. Produktivitas dengan sistem drainase saluran permukaan yang bisa dicapai di Vietnam delta Mekong pada tahun pertama sampai tahun ketiga berturut-turut 3.3 -3.9 ton per hektar, 3.5-4.2 tonha dan 5.0-5.2 tonha The Truyen 2008. Pada masa lalu awal pembukaan tanah sulfat masam di Delta Mekong untuk usaha tani padi atau tanaman semusim telah mengalami kegagalan berulang kali Hanhart dan van Ni Doung 1992 dengan hasil kurang dari 1 ton per hektar karena zat beracun dan reduksi. Dengan sistem tebar tanam benih langsung menghasilkan gabah sangat rendah atau tanaman mati karena keracunan Fe dan Al yang sangat tinggi yang dimulai pada awal musim hujan. Dengan pengaturan air kadar Fe +3 selama masa vegetatif sekitar 50-70 ppm yang pada level ini tidak meracuni tanaman. Dengan penggenangan secara intermitten kelarutan aluminium dari 5 ppm menjadi 40 ppm dan lebih tinggi dari penggenangan secara terus menerus dengan kelarutan aluminium 5 ppm menjadi 8 ppm. Produksi padi pada tanah sulfat masam sangat tergantung dari rendahnya kemasaman dan salinitas karena adanya banjir alami atau pencucian selama musim hujan. Produksi padi bervariasi tergantung salinitas, kemasaman dan tingkat keracunan besi. Perkembangan produktivitas padi sawah di daerah Berbak-Pamusiran Laut dengan tahun pengusahaan menurut musim tanam 19721973 Institut Pertanian Bogor 1973, varietas lokal semut mempunyai produktivitas 1.08 tonha, pelita I 0.400 tonha. Sedangkan Demplot Institut Pertanian Bogor bulan Juni 1973 produktivitas rata- rata mencapai 1.66 tonha. Untuk produktivitas tahun 19831984, Rantau Rasau II 0.8 tonha, Rantau Jaya 2.3 tonha, Harapan Makmur 1,4 tonha dan Bandar Jaya 2.1 tonha gabah kering giling Institut Pertanian Bogor 1984.

2.8. Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan.

Penggunaan lahan diartikan sebagai perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan dan terkait dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan Lillesand dan Kiefer 1994. Penggunaan lahan land use melibatkan fungsi dan 19 kegunaan pengelolaan suatu lahan oleh populasi manusia lokal yang secara langsung berhubungan dengan lahan, memanfaatkan sumberdayanya atau melakukan penggarapan atas lahan tersebut FAO 1976. Selanjutnya, Arsyad 2010 mengatakan penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Secara garis besar, penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan, atau yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti penggunaan lahan tegalan, sawah, perkebunan karet dan kopi, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang semak belukar, dan sebagainya. Adapun penggunaan lahan non pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan lahan kota atau desa permukiman, industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya. Pengertian lahan tidak dapat terlepas dari pengertian tanah, terutama dari bentuk tanah yang dipandang sebagai ruang di muka bumi. Oleh karena itu, pengertian lahan ada yang sepadan dengan pengertian ruang terbuka land dan ada yang sepadan dengan pengertian tanah soil. Lahan mempunyai fungsi secara ekologis sebagai muka bumi biophere tempat di mana ada kehidupan, namun lahan juga memiliki fungsi sosial ekonomi yang dipandang sebagai sarana produksi, benda kekayaanbernilai ekonomi, maupun mempunyai fungsi sosial untuk kepentingan masyarakat umum. Sitorus 1985 mengatakan bahwa lahan land merupakan lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai ukuran kuantitatif atas bertambahnya atau berkurangnya suatu tipe penggunaan lahan. Pengukuran perubahan tutupan lahan tergantung pada skala ruang spatial, yakni semakin detil tingkat spasialnya semakin besar luas perubahan penggunaan lahan yang dapat dicatat dan direkam. Aktivitas perubahan penggunaan lahan umumnya digolongkan ke dalam dua kategori : a konversi dan b modifikasi. Konversi adalah perubahan dari satu jenis penggunaantutupan ke jenis penggunaantutupan lainnya, sedangkan modifikasi adalah perubahan penggunaan lahan tertentu tanpa mengubah secara keseluruhan fungsi atau jenis lahan tersebut.