I I . TI NJAUAN PUSTAKA
2.1. Lahan Rawa Pasang Surut
Lahan rawa didefinisikan sebagai tanah peralihan antara ekosistem daratan dan ekosistem yang permukaan air dekat permukaan tanah atau ditutupi oleh air
dangkal. Lahan rawa menunjukkan genangan permanen atau periodik, baik secara alami atau buatan, statis atau mengalir, payau atau asin. Termasuk rawa, danau,
lumpur flat, hutan mangrove dan padang lamun dangkal Mitch dan Gosselink,
1993. Daerah yang tergenang atau permukaan air tanah pada frekuensi dan durasi yang cukup mendukung kehidupan kondisi tanah jenuh air termasuk rawa
Cowardin et al. 1979. Idak 1948 mengatakan lahan rawa adalah lahan disekitar
aliran sungai yang selalu tergenang air terutama pada musim hujan dan dapat kering pada musim kemarau. Lahan rawa tersebut adan yang dipengaruhi oleh
pasang surutnya air laut, sebagian tergenang pada saat air pasang dan kembali kering pada saat air surut. Lahan rawa yang muka air tanah dipengaruhi oleh
pasang surut air laut disebut lahan rawa pasang surut. Rawa air tawar terdapat di cekungan yang terisolasi seperti di pinggiran sekitar danau dan sepanjang aliran
sungai. Pada lahan rawa air tawar salinitasnya relatif rendah karena pengaruh pasang surut dari air laut sedikit yang disebabkan posisi yang jauh dari laut.
Kondisi hidrologis lahan rawa dapat mengubah sifat fisik dan kimia seperti ketersediaan hara, tingkat pematangan, salinitas tanah, sifat sedimen, dan pH
tanah. Perubahan kondisi hidrologi lahan rawa akan berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan dan produktivitas di lahan rawa. Lahan rawa memberikan
peran ekosistem penting, langsung mengatur proses hidrologi dan biogeokimia serta supporing tingginya tingkat produktivitas biologis Mitsch dan Gosselink,
2007. Mitsch dan Gosselink 2007 mengklasifikasikan lahan rawa menjadi dua
kelompok utama yaitu : 1 lahan rawa pantai coastal wetland mencakup rawa
air pasang surut dan rawa bakau dan 2 lahan air tawar lebak. Lahan rawa pantai merupakan lahan basah di daerah pesisir yang dipengaruhi oleh pasang dan
surut dari air laut disebut lahan rawa pasang surut. Kondisi rawa pantai dan rawa
8 lebak yang memungkinkan terjadinya pengendapan bahan organik dapat terbentuk
tanah gambut. Daerah rawa pasang surut pantai timur Jambi memiliki beberapa lingkungan
pegendapan antara lain lingkungan dataran pasang surut, lingkungan rawa payau, lingkungan
riverine, lingkungan pantai pasir dan lingkungan rawa gambut Furukawa 1994. Daerah rawa pasang surut Batang Berbak-Pamusiran Laut
diapit oleh tiga buah sungai yaitu Sungai Batanghari, Pamusiran dan Batang Berbak dengan topografi datar. Rawa pantai timur Jambi terbentuk karena
peristiwa transgresi laut pada zaman Holosin Polak 1933, diacu dalam IPB 1973. Naiknya permukaan air laut maka permukaan air tanah di daerah tersebut
ikut naik dan tumbuhnya vegetasi yang husus yang menjadi awal pembentukan tanah-tanah Histosol gambut. Adanya lapisan bahan organik dan pengendapan
bahan tanah mineral yang dipengaruhi oleh air asin dapat berubah menjadi lapisan cat clay yang menjadi faktor penentu untuk tanah sulfat masam.
Pengelolaan lahan pasang surut terdapat beberapa kendala agrofisik lahan berupa tanah yang masam, kesuburan tanah yang rendah, kemungkinan terjadinya
keracunan aluminium dan besi, lapisan pirit yang terdapat pada permukaan tanah, gambut terlalu tebal, fluktuasi air pasang dan surut, perubahan kuantitas dan
kualitas air pada musim hujan dan kemarau yang dapat berdampak buruk terhadap tanaman pertanian.
2.2. Tanah Gambut
Dalam kunci taksonomi tanah Soil Survey Staff 1999 gambut dikelaskan dalam
Order Histosol. Gambut merupakan bahan tanaman atau organisme mati yang terlapuk dengan fraksi mineral ½ berat tanah dan memenuhi syarat-syarat
berikut : 1. Jenuh air kurang dari 30 hari kumulatif setiap tahun dalam tahun-tahun
normal dan mengandung 20 persen karbon organik atau 2. Jenuh air selama lebih dari 30 hari kumulatif setiap tahun dalam tahun-tahun
normal dan tidak termasuk perakaran hidup, mempunyai karbon organik sebesar :
a. 18 persen atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60 persen atau lebih, atau
9 b. 12 persen atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau
c. 12 persen atau lebih ditambah liat x 0,1 bila fraksi mineralnya mengandung kurang dari 60 persen liat.
Gambut peat adalah endapan bahan organik sedenter pengendapan di
tempat, yang terutama terdiri dari atas sisa jaringan tumbuhan yang menumbuhi dataran rawa itu Notohadiprawiro
et al. 1979. Oleh karena bahan sisa nabati itu belum mengalami proses perombakan jauh, maka gambut masih jelas
menampakkan bentuk jaringan asli yang menjadi asalnya. Apabila proses perombakan telah berjalan cukup jauh maka bentuk jaringan aslinya sudah tidak
tampak lagi dan sedikit banyak telah memperoleh kenampakan serba sama homogen, sehingga bahan organik itu dinamakan sepuk muck.
Sifat fisik yang penting dari tanah gambut yaitu sifat kering tidak balik irreversible drying. Kering tidak balik berkaitan dengan kemampuan gambut
dalam menyimpan, memegang dan melepas air. Gambut yang mengalami kekeringan hebat setelah reklamasi atau pembukaan lahan akan berkurang
kemampuannya dalam memegang air. Keadaan ini disebut dengan kering tak balik. Gambut yang telah mengalami kering tak balik menjadi rawan terbakar.
Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dapat dibedakan menjadi tiga tingkat dekomposisi yaitu gambut fibrik, hemik dan saprik. Gambut fibrik
merupakan bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah yang dicirikan dengan tingginya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa
tanaman yang masih dapat dilihat keadaan bahan pembentuknya dengan ukuran diameter antara 0,15 mm hingga 2,00 cm. Gambut hemik merupakan tanah
gambut yang sudah mengalami dekomposisi dan bersifat setengah matang. Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan
lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang Sabiham dan Furukawa, 1986; Noor, 2007. Bila dilihat volume seratnya, fibrik memiliki serat 23 volume,
hemik 13-23 volume dan saprik kurang dari 13 volume. Tingkat dekomposisi gambut sangat mempengaruhi sifat fisik tanah gambut. Kerapatan lindak adalah
salah satu pengukuran yang penting untuk menafsirkan data analisis tanah terutama yang menunjukkan kesuburan. Kerapatan lindak atau
bulk density BD tanah gambut sangat rendah jika dibandingkan dengan tanah mineral. Tanah
10 gambut memiliki BD yang beragam antara 0,01 gcm
3
- 0,20 gcm
3
. Makin rendah kematangan gambut, maka makin rendah nilai BD-nya. Nilai BD gambut fibrik
hemik saprik. Kerapatan lindak yang rendah dari gambut memberi konsekuensi rendahnya daya tumpu tanah gambut Noor, 2007. Kadar air tanah gambut
merupakan air yang ditahan oleh gambut terutama sebagai air kapiler dan air terjerap. Air yang tertahan secara kapiler dipengaruhi oleh porositas total dan
tingkat dekomposisi, sedangkan air yang terjerap dipengaruhi oleh sifat koloidal dan luas permukaan spesifik gambut. Namun demikian, kapasitas air maksimum
untuk gambut fibrik 850-3000 persen, gambut hemik 450-850 persen, dan gambut saprik 450 persen Andriesse 1998. Di lapangan kadar air yang bervariasi ini
tidak hanya mempunyai keterkaitan dengan tingkat kematangan atau tingkat dekomposisi gambut. Kadar air yang tinggi lebih banyak disebabkan oleh bentuk
permukaan tanah mineral yang cekung berada di bawah gambut. Dengan kemampuan menampung air yang tinggi, maka daerah cekungan dapat berfungsi
sebagai penyimpan air yang cukup besar Sabiham 2003. Kandungan
C-organik dalam
tanah gambut
tergantung tingkat
dekomposisinya. Proses dekomposisi menyebabkan berkurangnya kadar karbon dalam tanah gambut. Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti hemik
dan saprik akan menunjukkan kadar C-organik lebih rendah dibandingkan dengan fibrik. Kandungan C-organik gambut dapat bervariasi dari 12-60 persen. Kisaran
besaran ini menunjukkan jenis bahan organik, tahap dekomposisi, dan kemungkinan juga metode pengukurannya Andriesse 1998. Kadar abu pada
gambut alami yang belum terganggu tergolong rendah. Kadar abu yang rendah menunjukkan bahwa tanah gambut tersebut miskin. Semakin tinggi kadar abu,
maka semakin tinggi mineral yang dikandungnya. Kadar abu gambut Indonesia berkisar 2,4 persen-16,9 persen. Semakin dalam ketebalan gambut, makin rendah
kadar abunya. Kadar abu sangat dalam lebih dari 3 m sekitar 5 persen, gambut dalam dan tengahan 1-3 m berkisar 11-12 persen dan gambut dangkal sekitar 15
persen Noor 2007. Di Indonesia, gambut terbentuk dalam ekosistem lahan rawa. Proses
pembentukan gambut terjadi di daerah cekungan di bawah pengaruh
penggenangan yang cukup lama Sabiham 2003. Kesuburan alamiah lahan